Anda di halaman 1dari 24

KEIKUTSERTAAN PERANCANG PERUNDANG-UNDANGAN

DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


Fauzi Iswahyudi

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara


E-mail: fauziiswahyudi@gmail.com

Abstract

The formation of regional regulation is manifestation of regionl autonomy


as mandated Constituion of the Republic of Indonesia to create good regional
regulation by participating of legislation designer. Designer of regulation is
functional position that has task in design of regulation and arrangement other
law instrument. Participating of regulation designer in creating regional
regulation wished to minimize problematic regional regulation in application.

Kata Kunci: Perancang, Perundang-undangan, Peraturan Daerah

A. Pendahuluan
Pemerintah sebagai pihak yang mengajukan prakarsa sesuai dengan fungsi
dan tugas pokoknya dalam menjalankan penyelenggaraan negara harus mampu
mengidentifikasi dan memfilter, materi muatan peraturan perundang-undangan
apa saja yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk diatur
dalam peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan landasan pemikiran
dan filsafat hukum yang selaras dengan tujuan nasional (http://kifzaya030305.
blogspot.co.id. diakses tanggal 24 Februari 2015).
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari
seluruh proses pembentukan hukum yang baru, karena hukum mencakup proses
prosedur, bahkan hukum kebiasaan, perilaku dan sopan santun, dalam men-
jalankan tugas kenegaraan dan pelayanan publik kepada masyarakat, sesuai
dengan asas-asas pemerintahan yang baik (Sunaryati Hartono 2012: 3). Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan pemerintah harus merumuskan
kemungkinan-kemungkinan, kesempatan-kesempatan dan kecenderungan yang
akan terjadi di masa depan, melihat kesempatan dan menganalisis resiko untuk

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 85


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

meminimalisir kendala-kendala yang akan dihadapi ketika menegakkan suatu


peraturan perundang-undangan.
Pergeseran ketatanegaraan di Indonesia yang tadinya sistem pemerintahan
daerah yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi, menjadikan daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing
termasuk berkaitan dengan pembentukan aturan hukum di daerah yaitu melalui
pembentukan peraturan daerah (selanjutnya disingkat Perda). Dengan demikian
proses pembentukan perda diatur sendiri oleh pemerintah daerah. Kebebasan
pemerintah daerah dalam pembentukan Perda ini mengakibatkan telah terjadinya
pembatalan Perda di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang
dihimpun dari Kementerian Dalam Negeri sejak Tahun 2002 sampai Tahun 2009
sebanyak 1.878 Perda yang telah dibatalkan, Tahun 2010 sebanyak 407 Perda
dibatalkan, (www.tribunnews.com, diakses tanggal 24 Februari, 2015). Tahun
2011 sebanyak 351 Perda dan terakhir pada tahun 2012 sebanyak 173 Perda
dibatalkan Kementerian Dalam Negeri (www.rmol.co.red, diakses tanggal 24
Februari 2015).
Sepanjang Tahun 2011, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
mengevaluasi sekitar 9000 Perda. Dari jumlah itu, sebanyak 351 Perda dibatalkan.
Khusus dari wilayah Sumut, Perda yang dicoret dan tidak boleh lagi diberlakukan
sebanyak 36 Perda (www.jpnn.com, diakses tanggal 24 Februari 2015), dan hal
tersebut menjadikan Provinsi Sumatera Utara sebagai penyumbang Perda yang
terbanyak dibatalkan dibandingkan provinsi lainnya. Dari wilayah Sumatera Utara
untuk daerah terbanyak Perda yang dibatalkan adalah daerah Kabupaten
Simalungun, yaitu sebanyak 9 Perda (www.jpnn.com, diakses tanggal 24 Februari
2015).
Pembatalan Perda yang terjadi di beberapa daerah khususnya di Provinsi
Sumatera Utara pada rentang waktu 2002-2009, disebabkan Perda yang dibentuk
masih bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau salah satunya
dikarenakan belum adanya keikutsertaan perancang perundang-undangan dalam
proses pembentukan Perda untuk menciptakan Perda yang harmonis berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 86


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Perundang-undangan. Oleh sebab itu, maka diperlukan peran seorang perancang


perundang-undangan untuk mengawal dan mendampingi daerah dalam pem-
bentukan produk hukum daerah. Oleh sebab itu, perlu kiranya dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keikutsertaan perancang perundang-
undangan dalam pembentukan peraturan daerah.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, maksudnya
untuk memberikan gambaran atau fakta-fakta hukum yang terkait dengan
keikutsertaan perancang perundang-undangan dalam pembentukan peraturan
daerah. Untuk membahas permasalahan penelitian, maka jenis penelitian yang
dilakukan adalah yuridis normatif, maksudnya bahwa data yang diambil dan
dianalisis adalah data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
teknik studi dokumen, sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan tehnik
analisis kualitatif.

C. Hasil Penelitian dan Analisis


1. Pembentukan Perda sebagai manifestasi otonomi daerah
Semakin dewasanya perkembangan ketatanegaraan Indonesia pasca era
reformasi menjadi jalan bagi daerah untuk lebih eksis bagi keterlibatannya dalam
pemerintahan yang bersifat mandiri atau lebih dikenal dengan istilah otonomi.
Seiring berkembangnya konsep otonomi di Indonesia maka tidak heran banyak
timbul permasalahan-permasalahan baru yang menjadikan pemerintah mencari
langkah-langkah untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Munculnya
permasalahan yang timbul di daerah akibat dari belum adanya regulasi baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah terkait pembagian urusan yang menjadi
kewenangan antara pusat dan daerah.
Secara kontekstual pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan
dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini ter-
sentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu,

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 87


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah


sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke
daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, dan jika dalam kondisi semula
arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka
diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus
dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah
(Ashshiddiqie 2000: 4).
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat
penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara
dengan sebaik-baiknya, kaarena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat
dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang
tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar
perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh
Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan
sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini
dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan
tingkat kesiapan daerah sendiri (Ashshiddiqie 2000: 6).
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik” sehingga sebagai negara kesatuan, Indonesia
menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk meyelenggarakan
otonomi daerah seluas-luasnya (Maranjaya. www.digilib.ui.ac.id, diakses tanggal
5 Oktober 2015). Dalam hal penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak berarti
daerah memiliki kewenangan mengurus seluruh aspek kehidupan masyarakat,
karena adanya pembatasan yang diberikan oleh negara dalam hal pembagian
urusan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal demikian
ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) yang berbunyi “Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.”
Sejalan dengan ketentuan yang tertuang di dalam UUD 1945 maka
ditegaskan kembali untuk yang menjadi urusan absolut Pemerintahan Pusat

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 88


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan: “Urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi politik luar negeri;
pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.”
Otonomi daerah itu harus merupakan otonomi yang bertanggungjawab
dalam arti bahwa pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan
tujuannya yaitu sesuai dengan konsep “nawa cita” yang dibuat oleh pada masa
pemerintahan sekarang (www.kompas.com, diakses tanggal 13 Agustus 2015),
antara lain:
a. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri
bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan
negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan mem-
perkuat jati diri sebagai negara maritim;
b. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan
memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada
institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi
melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan;
c. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan;
d. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya;
e. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas
pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”; serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja’ dan
“Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program
kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah
susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019;
f. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa Asia lain;

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 89


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

g. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor


strategis ekonomi domestik;
h. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan
kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan,
seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan
cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum
pendidikan Indonesia;
i. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia
melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan
ruang-ruang dialog antarwarga.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah membagi urusan yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Dengan
demikian, daerah dapat membuat kebijakan dalam menjalankan rumah tangganya
khususnya dalam pembuatan suatu produk hukum daerah sesuai dengan urusan
yang menjadi kewenangannya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pembagian
kewenangan dalam hal pembagian urusan diberikan oleh pemerintah pusat kepada
daerah semua telah diatur didalam lampiran Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).
Pembagian urusan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, maka
daerah dapat menentukan kebijakan hukum berupa perda yang menjadi
kewenangan daerah. Pembentukan Perda harus mengacu pada Pancasila sebagai
wujud cerminan masyarakat Indonesia yang bermacam suku bangsa yang
karakteristik dan kekhususan di tiap daerahnya dengan tanpa mengenyampingkan
kearifan lokalnya. Perda yang dibentuk oleh pemerintah daerah merupakan suatu
kebutuhan daerah guna dapat berjalannya fungsi dan tujuan penyelenggaraan

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 90


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

negara di pemerintahan daerah dimana perda yang terbentuk nantinya diharapkan


dapat mewujudkan ketertiban, perlindungan dan memberikan kepastian hukum.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan Negara Indonesia
sebagai Negara Hukum. Sebagai negara hukum, yang menjadikan hukum dalam
realitasnya memiliki 3 (tiga) tujuan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. Tentunya Indonesia dalam mencapai ketiga tujuan ini membutuhkan
proses yang berlangsung pada sub-sub sistem hukum yang antara lain disebutkan
oleh Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip Ali (1996: 128), yaitu substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Oleh karena itu, pembentukan Perda
yang harmonis dan terintegrasi merupakan upaya yang dilakukan untuk
mendukung pembangunan nasional secara umumnya.
Solly Lubis (2008: 29) mengatakan bahwa tertib perundang-undangan di
Daerah bergantung pada tertib ketatanegaraan kita yang berpuncak pada UUD.
Agar tidak menyimpang dari cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam UUD,
antara lain: cita-cita negara kesatuan dan persatuan bangsa, cita-cita demokrasi
dalam pemerintahan mulai dari Pusat hingga ke Daerah, maka garis politik
mengenai pemerintahan di daerah lebih dulu ditetapkan dalam GBHN, kemudian
disusul dengan aturan-aturan hukum bertingkat UU dan peraturan lainnya.
Perda sebagai produk peraturan pelaksana dari Undang-undang dalam
pembentukannya mesti berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik. Untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan yang
baik, harus berlandaskan pada 3 (tiga) unsur yaitu: dasar filosofis, sosiologis dan
yuridis, karena menurut Bagir Manan (1995: 12-13), dikatakan bahwa syarat-
syarat agar suatu peraturan perundang-undangan itu dinyatakan baik adalah:
1. ketepatan dalam struktur, pertimbangan, dasar hukum, bahasa, pemakaian
huruf dan tanda baca yang benar;
2. kesesuaian antara isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis; dan
3. peraturan perundang-undangan itu dapat dilaksanakan (applicable) dan
menjamin kepastian.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa, dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk pula Perda) harus ber-

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 91


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

dasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang


meliputi:
a. kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang, peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat
oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya;
d. dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis, yuridis maupun sisologis;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber-
negara;
f. kejelasan rumusan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
g. transparan dan terbuka adalah dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka, dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Materi muatan Perda dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 92


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

undangan, yang menentukan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penye-
lenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Pembentukan Perda harus disesuaikan dengan peraturan yang
lebih tinggi, hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011,
yang menentukan bahwa Perda berada di paling bawah dalam hierarki perundang-
undangan.
Hans Kelsen sebagaimana dikutip Soeprapto (2010: 41), mengemukakan
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang
hukum (Stufentheorie). Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan
norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu
oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-
norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-
supposed.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.
Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar)
itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila
norma dasar itu berubah akan menjadi rusak sistem norma yang ada di bawahnya
(Soeprapto 2010: 41).
Berdasarkan pendapat di atas, maka untuk meminimalisir peraturan daerah
yang materi muatannya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi maupun antar peraturan yang sederajat perlu adanya

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 93


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

keikutsertaan tenaga perancang perundang-undangan dalam pembentukan Perda.


Hal ini bertujuan untuk meminimalisir lahirnya Perda yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang pada akhirnya akan dibatalkan oleh
pemerintah pusat.
2. Keikutsetaan perancang perundang-undangan dalam pembentukan
Perda
Proses pembentukan Perda secara khusus dapat dilihat dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor.M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Di dalamnya diatur bahwa dalam jajaran Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia memiliki unit Eselon I yaitu Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan yang membidangi urusan peraturan perundang-undangan
yang bertanggungjawab setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dari
perencanaan sampai dengan penyebarluasannya.
Sejalan dengan itu Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
memiliki tanggung jawab lain berupa penyiapan dan pembinaan terhadap tenaga
Perancang Perundang-undangan yang dalam hal ini Perancang Perundang-
undangan merupakan jabatan fungsional dalam struktur organisasi di
pemerintahan. Kemudian dalam kaitannya dengan Tugas dan Fungsi Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang salah satunya adalah Sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 28 Tahun 2014
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
HAM.
Mengenai peran Kantor Wilayah yang ada di setiap provinsi dalam
pembentukan produk hukum daerah yang menjadi tugas dan fungsi bidang hukum
adalah melaksanakan pembinaan dan pengendalian pelaksanaan tugas teknis, kerja
sama, pemantauan, evaluasi, serta penyusunan laporan pelaksanaan tugas teknis di
bidang pelayanan dokumentasi dan informasi hukum, penyiapan bahan fasilitasi
perencanaan dan penyusunan produk hukum di daerah, penyusunan program
legislasi daerah dan naskah akademik dan pengembangan perancang peraturan
perundang-undangan di wilayah, serta bimbingan teknis.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 94


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Pelaksanaan analisa serta mengoordinasikan program legislasi daerah ini


merupakan sebuah bagian dari apa yang disebut sebagai harmonisasi peraturan
perundang-undangan di daerah (Priandono. www.kumham-jakarta.info, diakses
tanggal 10 September 2011). Kenyataannya, Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah tidak memiliki fungsi koordinasi
tersebut (Priandono. www.kumham-jakarta.info, diakses tanggal 10 September
2011).
Fungsi koordinasi dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah dilaksanakan oleh biro/bagian
hukum Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota (Priandono. www.kumham-
jakarta.info, diakses tanggal 10 September 2011). Lebih lanjut Pasal 98 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa: (a) setiap tahapan pem-
bentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan perancang peraturan
perundang-undangan; dan ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan
perancang peraturan perundang-undangan diatur dengan peraturan pemerintah.
Perancang perundang-undangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
angka 1 Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang dan Angka
Kreditnya menetapkan bahwa, perancang peraturan perundang-undangan adalah
pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun
rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada
instansi pemerintah.
Penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan perancang peraturan perundang-undangan adalah pegawai
negeri sipil yang diberi tugas,tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh
oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun rancangan
peraturan perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini mengandung makna
bahwa peran perancang peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan dalam
setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Perda.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 95


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Peran perancang dalam setiap proses pembentukan perundang-undangan sudah


diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, dan dalam Pasal 13
ayat (1) Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 ditegaskan pula bahwa setiap tahapan
pembentukan Perda, Perkada, PB KDH dan Peraturan DPRD mengikutsertakan
perancang peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang
Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya, ditentukan pula bahwa
Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Lembaga Nonstruktural,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengikut-
sertakan perancang dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Berbicara tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, selain
bargaining politics maka tidak lepas dari peranan perancang peraturan perundang-
undangan dalam proses penyusunan suatu produk peraturan. Sebagaimana telah
diulas sebelumnya bahwa banyak undang-undang yang disisipi kepentingan asing
yang tentu tidak berpihak pada kepentingan bangsa dan cenderung selalu
merugikan, maka sejauh manakah seorang perancang peraturan perundang-
undangan berperan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mem-
formulasikan norma hukum dengan berpayung pada satu sistem hukum nasional
dengan tetap memperhatikan perkembangan masyarakat dunia.
Perancang peraturan perundang-undangan merupakan ujung tombak atau
arsitek pembangunan hukum nasioal, khususnya dalam menyusun atau merancang
Peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Kompetensi seorang Perancang Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat dari
kemampuan yang bersangkutan dalam merancang atau merumuskan suatu
permasalahan sosial kemasyarakatan ke dalam suatu norma hukum atau peraturan
perundang-undangan yang jelas dan tegas sehingga dapat dipahami oleh para
pengguna peraturan perundang-undangan, yang pada akhirnya dapat memudahkan
pelaksanaan dan penerapan Peraturan Perundang-undangan tersebut di masyarakat
(Wahid 2008).

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 96


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Dalam hal pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, maka


perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran yang cukup strategis,
dan dituntut untuk memahami dan melaksanakan perannya dengan baik
(http://kifzaya030305. blogspot.co.id. diakses tanggal 24 Februari 2015), antara
lain:
a. menentukan pilihan-pilihan yang dikehendaki oleh penentu kebijakan;
b. merumuskan substansi secara konsistens atau taat asas;
c. merumuskan substansi yang tidak menimbulkan penafsiran (ambigu);
d. merumuskan substansi yang adil, sepadan, atau tidak diskriminatif;
e. menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat dilaksanakan dengan mudah
oleh pelaksana;
f. menjamin bahwa peraturan yang dirancang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya atau melanggar kepentingan umum;
g. menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat memecahkan masalah yang
dihadapi oleh penentu kebijakan.
h. menjadi penengah dalam penyelesaian tumpang tindih kewenangan dan
pengaturan dalam pembahasan di tingkat antar departemen atau antar
lembaga; dan
i. melakukan negosiasi atau pendekatan-pendekatan psikologis terhadap penentu
kebijakan demi tercapainya tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan tugas dan fungsinya, perancang peraturan perundang-
undangan diharapkan mampu meminimalisir pembatalan perda di daerah, dengan
demikian melahirkan perda yang berkeadilan, kepastian kedayagunaan dan
kehasilgunaan yang dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi dalam
krealitanya dalam proses pembentukan perda keberadaan Perancang perundang-
undangan di tingkat daerah masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh
pemerintah daerah untuk diikutkan dalam setiap tahapannya, kalau pun ada hanya
sebatas pengharmonisasian dan sinkrosnisasi perda yang mencakup penyesuaian
peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem
hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum,
kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum,

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 97


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum (Wargakusumah 1996:


30).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa harmonisasi
hukum, adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan
perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum (Gusnadi
2006: 71). Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian,
keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam
peraturan perundang-undangansebagai sistem hukum dalam satu kesatuan
kerangka sistem hukum nasional (Gusnadi 2006: 71). Sistem nasional
sebagaimana yang dinyatakan oleh Solly Lubis (2008: 2), yaitu Sistem
Pengelolaan kehidupan Nasional (Managerial System of national Life) yang
meliputi manajemen untuk semua bidang kehidupan bangsa seperti sosial politik,
sosial ekonomi, sosial budaya dan Hankamnas, dengan segala subsistem di
bidangnya masing-masing.
Harmonisasi Rancangan Perda adalah upaya untuk menyelaraskan,
menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan Perda
dengan peraturan perundang-undangan lain, baik lebih tinggi, sederajat maupun
yang lebih rendah dan hal-hal lain sehingga tersusun secara sistematis tidak saling
bertentangan atau tumpang tindih (Helmi. www.djpp.depkumham.go.id, diakses
tanggal 10 September 2011). Tujuan pengharmonisasian Rancangan Perda adalah
untuk memberikan gambaran yang jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa
suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral yang utuh dari
keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan, sedangkan pengertian
evaluasi Perda adalah proses penyajian kesesuaian Perda dengan kepentingan
umum dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Helmi. djpp.
depkumham.go.id, diakses tanggal 10 September 2011).
Rumusan tersebut memberikan penjelasan bahwa tujuan pengharmonisa-
sian Perda adalah untuk menghindarkan terjadinya pembatalan perda dikarenakan
Perda sebagai pilar utama dalam pelaksanaan otonomi daerah memiliki
karekteristik mengatur dan mengikat segala aspek kehidupan seperti kehidupan
politik, sosial, budaya dan ekonomi di daerah. Perda-perda yang dibuat masih

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 98


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

belum sesuai dengan harapan masyarakat dan peraturan yang berlaku, hal ini
mengakibatkan terjadinya pembatalan Perda oleh Kemendagri dan Mahkamah
Agung.
Secara moral setiap perancang peraturan perundang-undangan memiliki
tanggung jawab atas terjadinya pembatalan Perda, baik pembatalan yang dilaku-
kan pemerintah pusat maupun Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan tugas dan
fungsi perancang peraturan perundang-undangan dalam hal pengharmonisasian
Rancangan Perda, kendati tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk
mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan dalam pembentukan
Perda. Peran dan fungsi perancang adalah memberikan dukungan keahlian dalam
setiap tahapan pembentukan Undang-Undang, mulai dari tahap perencanaan,
penyusunan, dan pembahasan, tetapi walaupun mempunyai peran dan fungsi
dalam pembentukan undang-undang, pembinaan terhadap kinerja dan karier
parancang masih terdapat beberapa problematika yang harus segera dipikirkan dan
dicarikan solusi terbaik agar perancang menjadi lebih profesional sehingga dapat
memberikan kontribusi keahlian yang lebih baik dalam mendukung fungsi
legislasi.
Masih banyaknya problematika terkait pembentukan peraturan perundang-
undangan yang belum sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011,
mengakibatkan terjadinya pembatalan sebuah peraturan perundang-undangan.
Permasalahan ini wujud belum maksimalnya pembentukan peraturan perundang-
undangan yang melibatkan para pihak, dalam hal ini belum optimalnya keikut-
sertaan perancang perundang-undangan. Seharusnya peran perancang perundang-
undangan lebih dari sekedar peran yang terbatas dan pasif menunggu diikut-
sertakan, tetapi merupakan salah satu unsur dari proses penyusunan peraturan
daerah, hal ini penting mengingat perancang perundang-undangan bukan saja
memberikan masukan secara substansi terhadap suatu Rancangan Perda, namun
juga melakukan harmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang hirarkinya lebih tinggi, sehingga inkonsistensi antara peraturan daerah
dengan peraturan perundang-undangan lainnya dapat diminimalisir.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 99


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

3. Hambatan peran perancang perundang-undangan dalam pembentukan


Perda
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, dan terakhir dirubah kembali dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008, maka sistem pemerintahan di Indonesia memberikan keleluasaan
yang luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pengertian
desentralisasi yang tertuang dalam undang-undang tersebut mengandung beberapa
elemen yang penting, yaitu elemen penyerahan wewenang baik wewenang
mengatur, maupun wewenang mengurus, dan kedua elemen ini merupakan
substansi otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip
demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan
memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keaneka-
ragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting,
karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di
berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan meng-
haruskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung-
jawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya
masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,serta potensi
dan keanekaragaman antar daerah.
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat
dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan,
implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Desentralisasi mem-
berikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratis mengatur
pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita sistem desentralisasi,
tetapi pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-
kendala tersebut di antaranya adalah: (a) mindset atau mentalitas aparat birokrasi
yang belum berubah; (b) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (c)

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 100


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

sumber daya manusia yang terbatas; (d) pertarungan kepentingan yang ber-
orientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala
powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (e). pemerintahan
daerah dalam rangka membentuk peraturan daerah, melangkah terlalu jauh dengan
tidak mengindahkan peraturan perundangan di atasnya (Bayu Dwi Anggono.
http://bayuanggono.blogspot.co.id. diakses pada tanggal 26 Maret 2016).
Permasalahan seperti diuraikan di atas sangat mempengaruhi semangat
otonomi daerah. Spirit kebebasan yang terkandung dalam konsep otonomi daerah
ternyata justru seringkali disimpangi oleh pemerintah daerah, antara lain dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, padahal Perda merupakan salah
satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah
undang-undang, yang tidak beoleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi tingkatannya.
Berdasarkan Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, Perda merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam hirarki peraturan
perundang-undangan, menempati jenjang rendah, oleh sebab itu Perda tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih. Secara lebih
tegas ditentukan dalam Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Perda
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka berdasarkan
Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Perda tersebut dapat dibatalkan oleh
Pemerintah (Pemerintah Pusat). Pemerintah daerah tentunya harus melaksanakan
tugas-tugasnya di daerah, sehingga harus pula mempersiapkan ranperda-ranperda
yang disesuaikan dengan materi muatan terkait dengan kewenangan urusan
pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, hal yang perlu diperhatikan adalah
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 UU No. 32
Tahun 2004.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 101


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Pertentangan antar peraturan perundang-undangan menjadi salah satu


masalah hukum di Indonesia yang tak kunjung selesai. Banyak produk hukum
yang dihasilkan DPR maupun pemerintah tidak sinkron dengan peraturan lain,
baik yang setara maupun lebih tinggi kedudukannya. Kualitas harmonisasi dan
sinkronisasi rancangan peraturan perundang-undangan jadi perhatian utama
banyak pemerhati hukum. Bahkan tak jarang, peraturan organik tidak merujuk
sama sekali pada peraturan yang lebih tinggi. Berbagai kalangan menilai, hal ini
disebabkan proses harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan perundang-
undangan tidak maksimal. Kementerian Hukum dan HAM sebagai penanggung-
jawab dianggap tidak melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan baik
rancangan peraturan dengan peraturan yang sudah ada. Akibatnya, tidak sedikit
aturan baru yang bertentangan dengan aturan yang berlaku lebih awal
(http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id. diakses tanggal 24 Februari
2015).
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan
peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, peng-
undangan, dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses yang
tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting, yaitu
proses pengharmonisasian. Dengan demikian, pengharmonisasian merupakan
salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar tidak terjadi atau mengurangi
tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Permasalahannya adalah karena
tidak disebutkan secara tegas dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan, pertanyaannya adalah pada tahap apa proses pengharmonisasian itu
dilakukan? Sebetulnya proses pengharmonisasian bisa dilakukan di tingkat mana
pun, sejak dari tahap perencanaan hingga pada tahap pembahasan, baik di tingkat
pembahasan internal/antardepartemen maupun di tingkat koordinasi peng-
harmonisasian yang diselenggarakan di Departemen Hukum dan HAM.
Menurut M. Aliamsyah, sebagaimana dikutip Turiman Fachturahman Nur
(http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id. diakses tanggal 24 Februari 2015)

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 102


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

staf Direktorat Publikasi Kerjasama dan Pengundangan Direktorat Jenderal


Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham menyatakan, bahwa proses
harmonisasi dan sinkronisasi sering terkendala akibat tidak lengkapnya data
peraturan perundang-undangan yang dimiliki. Masih terdapat kesulitan penge-
lolaan sistem informasi peraturan perundang-undangan yang terpadu dan akurat.
Kesulitan lain yang sering menghambat harmonisasi hukum, disebabkan
administrasi peraturan di kementerian atau lembaga negara tidak begitu baik.
Seringkali prosesnya lama untuk sampai di Kemenkumham, bahkan ada file
peraturan yang sudah diunggah ke jaringan database Kemenkumhan diminta
kembali oleh kementerian yang bersangkutan.
Masih kurang optimalnya peran perancang peraturan perundang-undangan
menimbulkan persoalan yang ditinjau dari beberapa faktor baik secara eksternal
maupun internal. Salah satu persoalan yang terjadi adalah adanya pembatalan
Perda akibat Perda yang dibentuk belum sesuai dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011. Diharapkan dengan keikutsertaan perancang peraturan perundang-
undangan dalam setiap kegiatan perancangan peraturan perundang-undangan dan
turut aktif dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
mencegah atau meminimalisir pembatalan suatu Perda.
Hal lain yang menjadi hambatan yaitu belum terjalinnya koordinasi antara
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dengan Pemerintah Daerah serta
kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya keterlibatan Perancang Peraturan
Perundang-undangan dalam pembentukan perda, sehingga belum ada sinergisitas
antara kedua instansi tersebut dalam perihal perancangan Perda. Sementara itu
yang menjadi faktor lain yang menjadi hambatan perancang peraturan perundang-
undangan antara lain, masih banyaknya formasi jabatan perancang peraturan
perundang-undangan yang belum mengikuti diklat perancang tingkat pertama,
adanya penempatan perancang peraturan perundang-undangan yang belum sesuai
dengan formasinya atau ditempatkan di luar tugasnya sebagai perancang
perundang-undangan, kurangnya pemahaman dan wawasan perancang peraturan
perundang-undangan terhadap disiplin ilmu yang berkaitan dengan ilmu penge-
tahuan perundang-undangan, belum berfungsinya organisasi profesi perancang

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 103


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

peraturan perundang-undangan dalam hal ini belum dibentuknya kelompok


jabatan fungsional dan belum tersusunnya kode etik jabatan fungsional perancang
peraturan perundang-undangan.

D. Simpulan dan Saran


1. Simpulan
Terkait dengan pembagian urusan pemerintah daerah, maka daerah dapat
menentukan kebijakan hukum berupa Perda yang menjadi kewenangan daerah.
Pembentukan Perda harus mengacu pada Pancasila sebagai wujud cerminan
masyarakat Indonesia yang bermacam suku bangsa yang karakteristik dan
kekhususan di tiap daerahnya, tanpa mengenyampingkan kearifan lokalnya. Oleh
sebab itu, peran perancang peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan
dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Perancang
peraturan perundang-undangan memiliki tanggung jawab atas terjadinya pem-
batalan Perda, karena tugas dan fungsi perancang peraturan perundang-undangan
sangat terkait dengan pengharmonisasian antara Rancangan Perda dengan
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Tidak optimalnya peran perancang
peraturan perundang-undangan mengakibatkan terjadinya pembatalan Perda, dan
salah satu penyebabnya karena dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan
amanah UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011.
2. Saran
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pusat kepada daerah diharapkan
daerah dapat menjalankan kewenangan sebagaimana telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga atas dasar
pembagian urusan dan kewenangan tersebut daerah dapat membentuk perda
sebagaimana diatur dalam lampiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.
Perancang peraturan perundang-undangan diharapkan dapat ditempatkan sesuai
dengan tugas dan fungsinya sebagai tenaga perancang pembentukan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan apa yang diamanatkan peraturan perundang-
undangan. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan komunikasi yang berkelanjutan
antara Kanwil Kementerian Hukum dan HAM di daerah dengan Pemerintahan

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 104


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Daerah untuk dapat saling bersinergi dan bekerjasama dalam proses legislasi di
daerah, untuk mengoptimalkan keterlibatan perancang peraturan perundang-
undangan dalam tahapan pembentukan Perda.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 105


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Achmad Ali. 1996. Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama.


Bagir Manan. 1995. Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-
undangan Tingkat Daerah. Bandung: LPPM Unisba.
Goesnadi S. Kusnu. 2006. Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundang-
undangan. Surabaya: JP Books.
Lubis, M. Solly. 2008. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Jaya.
Maria Farida Indrati Soeprapto. 2010. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal dan Makalah:

Abdul Wahid. 2008. “Himpunan Peraturan Jabatan Fungsional Peraturan


Perundang-undangan”. Makalah. Disampaikan dalam Kata Sambutan
sebagai Dirjen Peraturan Perundang-undangan. Jakarta.
Jimly Asshiddiqie. 2000. “Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah”, Makalah.
Disampaikan dalam Lokakarya tentang Perda dan Budget Bagi Anggota
DPRD se-Propinsi (baru) Banten yang diselenggarakan oleh Institute for the
Advancement of Strategies and Sciences (IASS). di Anyer. Banten.
L.M. Gandhi. 1997. “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Moh. Hasan
Wargakususmah.
Sunaryati Hartono. 2012. “Pengkajian dan Penelitian Hukum dalam Menunjang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Daerah. Makalah. Bogor.

Internet:

Bayu Dwi Anggono. “Analisis Terhadap Kedudukan Peraturan Daerah Sebagai


Salah Satu Produk Hukum dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”.
http://bayuanggono.blogspot.co.id. diakses pada tanggal 26 Maret 20016.
Kifka Hazhizhi Mazaya. “Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam
Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia”. http://kifzaya030305.blogspot.
co.id. diakses pada tanggal akses 10 September 2015.
Kompas. “Agenda Prioritas Jokowi-JK.” http://nasional.kompas.com. diakses
pada tanggal 13 Agustus 2015.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 106


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

Maranjaya, A. Kahar. “Batas-batas Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan


Republik Indonesia”. http://www.digilib.ui.ac.id. diakses pada tanggal 5
Oktober 2015.
Septyarto Priandono. “Indikator Keberhasilan Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM dalam Rangka Harmonsiasi Perda”. http://kumham-
jakarta.info, diakses pada tanggal 10 September 2015.
Sofyan Helmi. “Upaya Menjadikan Kanwil Depkumham Sebagai Law Center
dalam Fasilitasi Pembentukan Perda”. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id.
diakses pada tanggal akses 10 September 2015.

Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang
Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pem-
bentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-
05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 28 Tahun 2014
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
HAM.

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 107


Keikutsertaan Perancang Perundang-undangan …… Fauzi Iswahyudi

BIODATA PENULIS

Nama : Fauzi Iswahyudi, S.H.

Pekerjaan : Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera

Utara

Jabatan : Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda

Nomor HP : 081361536821

E-mail : fauziiswahyudi@gmail.com

Alamat Kantor : Jl. Putri Hijau No. 4A, Medan

De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016 108

Anda mungkin juga menyukai