Abstract
A. Pendahuluan
Pemerintah sebagai pihak yang mengajukan prakarsa sesuai dengan fungsi
dan tugas pokoknya dalam menjalankan penyelenggaraan negara harus mampu
mengidentifikasi dan memfilter, materi muatan peraturan perundang-undangan
apa saja yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk diatur
dalam peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan landasan pemikiran
dan filsafat hukum yang selaras dengan tujuan nasional (http://kifzaya030305.
blogspot.co.id. diakses tanggal 24 Februari 2015).
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari
seluruh proses pembentukan hukum yang baru, karena hukum mencakup proses
prosedur, bahkan hukum kebiasaan, perilaku dan sopan santun, dalam men-
jalankan tugas kenegaraan dan pelayanan publik kepada masyarakat, sesuai
dengan asas-asas pemerintahan yang baik (Sunaryati Hartono 2012: 3). Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan pemerintah harus merumuskan
kemungkinan-kemungkinan, kesempatan-kesempatan dan kecenderungan yang
akan terjadi di masa depan, melihat kesempatan dan menganalisis resiko untuk
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, maksudnya
untuk memberikan gambaran atau fakta-fakta hukum yang terkait dengan
keikutsertaan perancang perundang-undangan dalam pembentukan peraturan
daerah. Untuk membahas permasalahan penelitian, maka jenis penelitian yang
dilakukan adalah yuridis normatif, maksudnya bahwa data yang diambil dan
dianalisis adalah data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
teknik studi dokumen, sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan tehnik
analisis kualitatif.
terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan: “Urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi politik luar negeri;
pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.”
Otonomi daerah itu harus merupakan otonomi yang bertanggungjawab
dalam arti bahwa pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan
tujuannya yaitu sesuai dengan konsep “nawa cita” yang dibuat oleh pada masa
pemerintahan sekarang (www.kompas.com, diakses tanggal 13 Agustus 2015),
antara lain:
a. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri
bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan
negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan mem-
perkuat jati diri sebagai negara maritim;
b. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan
memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada
institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi
melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan;
c. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan;
d. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya;
e. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas
pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”; serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja’ dan
“Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program
kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah
susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019;
f. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa Asia lain;
undangan, yang menentukan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penye-
lenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Pembentukan Perda harus disesuaikan dengan peraturan yang
lebih tinggi, hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011,
yang menentukan bahwa Perda berada di paling bawah dalam hierarki perundang-
undangan.
Hans Kelsen sebagaimana dikutip Soeprapto (2010: 41), mengemukakan
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang
hukum (Stufentheorie). Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan
norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu
oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-
norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-
supposed.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.
Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar)
itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila
norma dasar itu berubah akan menjadi rusak sistem norma yang ada di bawahnya
(Soeprapto 2010: 41).
Berdasarkan pendapat di atas, maka untuk meminimalisir peraturan daerah
yang materi muatannya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi maupun antar peraturan yang sederajat perlu adanya
belum sesuai dengan harapan masyarakat dan peraturan yang berlaku, hal ini
mengakibatkan terjadinya pembatalan Perda oleh Kemendagri dan Mahkamah
Agung.
Secara moral setiap perancang peraturan perundang-undangan memiliki
tanggung jawab atas terjadinya pembatalan Perda, baik pembatalan yang dilaku-
kan pemerintah pusat maupun Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan tugas dan
fungsi perancang peraturan perundang-undangan dalam hal pengharmonisasian
Rancangan Perda, kendati tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk
mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan dalam pembentukan
Perda. Peran dan fungsi perancang adalah memberikan dukungan keahlian dalam
setiap tahapan pembentukan Undang-Undang, mulai dari tahap perencanaan,
penyusunan, dan pembahasan, tetapi walaupun mempunyai peran dan fungsi
dalam pembentukan undang-undang, pembinaan terhadap kinerja dan karier
parancang masih terdapat beberapa problematika yang harus segera dipikirkan dan
dicarikan solusi terbaik agar perancang menjadi lebih profesional sehingga dapat
memberikan kontribusi keahlian yang lebih baik dalam mendukung fungsi
legislasi.
Masih banyaknya problematika terkait pembentukan peraturan perundang-
undangan yang belum sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011,
mengakibatkan terjadinya pembatalan sebuah peraturan perundang-undangan.
Permasalahan ini wujud belum maksimalnya pembentukan peraturan perundang-
undangan yang melibatkan para pihak, dalam hal ini belum optimalnya keikut-
sertaan perancang perundang-undangan. Seharusnya peran perancang perundang-
undangan lebih dari sekedar peran yang terbatas dan pasif menunggu diikut-
sertakan, tetapi merupakan salah satu unsur dari proses penyusunan peraturan
daerah, hal ini penting mengingat perancang perundang-undangan bukan saja
memberikan masukan secara substansi terhadap suatu Rancangan Perda, namun
juga melakukan harmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang hirarkinya lebih tinggi, sehingga inkonsistensi antara peraturan daerah
dengan peraturan perundang-undangan lainnya dapat diminimalisir.
sumber daya manusia yang terbatas; (d) pertarungan kepentingan yang ber-
orientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala
powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (e). pemerintahan
daerah dalam rangka membentuk peraturan daerah, melangkah terlalu jauh dengan
tidak mengindahkan peraturan perundangan di atasnya (Bayu Dwi Anggono.
http://bayuanggono.blogspot.co.id. diakses pada tanggal 26 Maret 2016).
Permasalahan seperti diuraikan di atas sangat mempengaruhi semangat
otonomi daerah. Spirit kebebasan yang terkandung dalam konsep otonomi daerah
ternyata justru seringkali disimpangi oleh pemerintah daerah, antara lain dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, padahal Perda merupakan salah
satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah
undang-undang, yang tidak beoleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi tingkatannya.
Berdasarkan Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, Perda merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam hirarki peraturan
perundang-undangan, menempati jenjang rendah, oleh sebab itu Perda tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih. Secara lebih
tegas ditentukan dalam Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Perda
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka berdasarkan
Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Perda tersebut dapat dibatalkan oleh
Pemerintah (Pemerintah Pusat). Pemerintah daerah tentunya harus melaksanakan
tugas-tugasnya di daerah, sehingga harus pula mempersiapkan ranperda-ranperda
yang disesuaikan dengan materi muatan terkait dengan kewenangan urusan
pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, hal yang perlu diperhatikan adalah
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 UU No. 32
Tahun 2004.
Daerah untuk dapat saling bersinergi dan bekerjasama dalam proses legislasi di
daerah, untuk mengoptimalkan keterlibatan perancang peraturan perundang-
undangan dalam tahapan pembentukan Perda.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Internet:
Peraturan Perundang-undangan:
BIODATA PENULIS
Utara
Nomor HP : 081361536821
E-mail : fauziiswahyudi@gmail.com