Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah
kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis
adalah inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi
duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis
melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10%
termasuk kolesistitis akalkulus.
Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan
sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk
kolik bilier rekuren atau kolesistitis akut adalah prosedur penatalaksanaan
bedah utama yang dilakukan oleh ahli bedah umum, dan kurang lebih
500.000 operasi dilakukan per tahunnya.
Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia.
Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada.
Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan
rasio androgen-estrogen.
Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-
laki, sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis.
Peningkatan kadar progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis
cairan empedu, sehingga penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya
pada wanita hamil. Sedangkan, kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada
laki-laki usia lanjut.
Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat
prevalensinya pada orang Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun
menurun dan jarang pada individu yang berasal dari sub-sahara Afrika dan
Asia. Di Amerika Serikat, penduduk kulit putih lebih sering terkena
kolesistitis daripada penduduk kulit hitam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu
dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung
empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu.(Albert et
al, 2016)
Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7 cm hingga
10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30 ml. Kandung empedu menempel
pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang mengandung vena dan saluran
limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung
empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum. Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang
kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus
komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu
bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus
biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8
cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas,
dan kemudian menuju ampula Vateri.
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri
sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat
bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan
(Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui
hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung
empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran
empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari
kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari

2
kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah
nodus atau sekelompok nodus.
Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada
vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik
dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik
simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal
dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena
portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang
nervus vagus (Welling & Simeone, 2009).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati
sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.(Albert et al, 2016)

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu (Winslow T, 2015)

2.2 Fisiologi Kandung Empedu


Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya
antara 600-1200 ml/hari.Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam
kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi
primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air
dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap,

3
yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya
80-90%.(Albert et al, 2016).
Menurut Albert et al, 2016 empedu melakukan dua fungsi penting
yaitu:
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi
ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga
membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga
pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain
kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf
yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung
empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum
terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak
tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung
buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan,
normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar
1 jam.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan

4
berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme
umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau
diperlukan.(Albert et al, 2016)

2.3 Definisi Kolesistitis


Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan
etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu
kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang
timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi
inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-
lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan
sangat minimal dan tidak menonjol (Sudoyo,2006).

2.4 Etiologi Kolesistitis


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu,
sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu
empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu.

2.5 Patofisiologi Kolesistitis


Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh
batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran

5
darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan
nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi
(Wilson, 2006).
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan
susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan
batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu
kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol.
Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan
cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi
atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu (Wilson,
2006).
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas,
beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya
penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu
dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis
lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu
akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per
oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak
adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain
itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari
tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada
pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah

6
mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang
pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di
lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran
empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus (Wilson, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan
kemampuan endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan,
penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai
dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan
respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan
stasis kandung empedu.
2.6 Manifestasi Klinis Kolesistitis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen
bagian atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka
mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien
kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan
adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada
beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang
nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran
kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik,
nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada
kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas.
Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi
mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul (Vogt,
2002).
2.7 Diagnosis Kolesistitis

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran


kanan atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi
kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman
yang berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini
disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal
dan demam.

7
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP).
Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase
(AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah


ultrasonografi (USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan
skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu,
penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan
tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran
kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.

Gambar 2. Pemeriksaan USG pada kolesistitis

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid
mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan
juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus
tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo, 2006).

8
Gambar 3. Koleskintigram normal

Gambar 4. Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya


pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk


kolesistitis adalah:

 Gejala dan tanda lokal


 Tanda Murphy
 Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
 Massa di kuadran kanan atas abdomen

9
 Gejala dan tanda sistemik
 Demam
 Leukositosis
 Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
 Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan


hasil USG atau skintigrafi yang mendukung.

2.8 Penatalaksanaan Kolesistitis


Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya
dan ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat
diterapi rawat jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan
tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan
infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi
mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena,
koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena.
Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal
spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan:
 Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada
kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan
imipenem/cilastatin.
 Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
 Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
 Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin
intravena.
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat
jalan dengan syarat:
 Tidak demam dan tanda vital stabil
 Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
 Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.

10
 Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
 Analgesik yang diberikan harus adekuat.
 Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
 Pasien harus kembali lagi untuk follow up.

Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

 Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.


 Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
 Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.


Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan
kolesistitis. Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi
laparoskopik, waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

 Resiko tinggi untuk anestesi umum


 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis,
atau fistula

11
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan,


drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase
kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan
antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu
terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis
akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi.


Metode endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan
endoscopic retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan
anatomi kandung empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan
mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-guided
transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam
terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada
penelitian tentang endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh
Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan
terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24
pasien.

2.9 Komplikasi Kolesistitis


Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin
dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya
empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara
laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di
ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.

12
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme
penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus
(28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi,
diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari
15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.

2.10 Prognosis Kolesistitis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung


empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi.
Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut
berkembang menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu,
fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan
bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek
di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah (Sudoyo,
2006).

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan
penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis kalkulus dan akalkulus.
Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi kolesistitis akut dan kronik. Diagnosis
kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan Tokyo guidelines.
Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak,
pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi pembedahan
berupa kolesistektomi. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan
dalam mencegah terjadinya komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema,
emfisema, perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.

14
DAFTAR PUSTAKA

Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. 2016. Functional Anatomy and Pysiology


.A guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer:1-13

Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. 2007.


Flowchart for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14;. p.
27-34
Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Vol 1. Edisi keempat. Jakarta: EGC.
Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;. Hal 477-478.
Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
Vogt DP. 2002. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12)
Winslow T. 2015. Bile Duct Cancer Treatment Patient version U.S Govt.

15

Anda mungkin juga menyukai