TR Kolesistitis
TR Kolesistitis
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah
nodus atau sekelompok nodus.
Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada
vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik
dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik
simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal
dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena
portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang
nervus vagus (Welling & Simeone, 2009).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati
sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.(Albert et al, 2016)
3
yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya
80-90%.(Albert et al, 2016).
Menurut Albert et al, 2016 empedu melakukan dua fungsi penting
yaitu:
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi
ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga
membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga
pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain
kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf
yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung
empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum
terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak
tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung
buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan,
normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar
1 jam.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan
4
berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme
umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau
diperlukan.(Albert et al, 2016)
5
darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan
nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi
(Wilson, 2006).
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan
susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan
batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu
kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol.
Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan
cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi
atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu (Wilson,
2006).
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas,
beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya
penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu
dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis
lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu
akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per
oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak
adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain
itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari
tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada
pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah
6
mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang
pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di
lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran
empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus (Wilson, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan
kemampuan endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan,
penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai
dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan
respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan
stasis kandung empedu.
2.6 Manifestasi Klinis Kolesistitis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen
bagian atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka
mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien
kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan
adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada
beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang
nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran
kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik,
nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada
kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas.
Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi
mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul (Vogt,
2002).
2.7 Diagnosis Kolesistitis
7
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP).
Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase
(AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.
8
Gambar 3. Koleskintigram normal
9
Gejala dan tanda sistemik
Demam
Leukositosis
Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan
Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
10
Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
Analgesik yang diberikan harus adekuat.
Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
Pasien harus kembali lagi untuk follow up.
11
Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.
12
Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme
penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus
(28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi,
diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari
15% pasien.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan
penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis kalkulus dan akalkulus.
Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi kolesistitis akut dan kronik. Diagnosis
kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan Tokyo guidelines.
Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak,
pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi pembedahan
berupa kolesistektomi. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan
dalam mencegah terjadinya komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema,
emfisema, perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.
14
DAFTAR PUSTAKA
15