Anda di halaman 1dari 20

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE

CORONARY SYNDROME (ACS)


DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup

spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut,

diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan

kebutuhannya (Dipiro et al., 2009). ACS dapat diklasifikasikan menurut perubahan

electrocardiographic (ECG) yaitu mulai dari Non ST-Elevasi Miocard Infraction

(NSTEMI), ST-Elevasi Miocard Infraction (STEMI) sampai ke unstable angina

(UA). ACS merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK)

dan saat ini telah menempati angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007 di Indonesia.

Walaupun angka prevalensi PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit

infeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di

Indonesia (Kementrian Kesehatan, 2008).

Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009, penyakit

jantung dan pembuluh darah yang merupakan penyakit kardiovaskular menunjukan

dominasi kematian mencapai 80%. Penyakit kardiovaskular menempati urutan

teratas dari penyebab kematian dan jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga

semakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan status ekonomi,

perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi (Anonim, 2012).

Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute

Coronary Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary Syndrome (ACS)

meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan
1
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 2
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

wanita > 55 tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor

risiko yang dimodifikasi. Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi,

hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan merokok (Huffman et

al., 2010).

Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan

penderita ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara terus – menerus memonitor

terapi yang diterima pasien agar pengobatan serta penatalaksanaan pasien ACS

berlangsung secara optimal, efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman atau

standar terapi yang telah ditetapkan (Muchid et al., 2006).

Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi, keefektifan,

keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan pengobatan atau drug related

needs tersebut tidak tercapai, maka hal tersebut didefinisikan sebagai drug related

problems (DRPs). DRPs merupakan kejadian atau pengalaman tidak

menyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan

terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi

pasien (Cipolle et al., 1998).

Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs adalah pilihan

yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang tenaga kesehatan bekerjasama

untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis yang optimal. Proses

pengobatan juga diharapakan dapat berjalan sesuai dengan standar pelayanan

profesi dan kode etik yang telah ditetapkan (Muchid et al., 2006).
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 3
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Suatu penelitian menunjukan bahwa pasien dengan penyakit kardiovaskular

mendapatkan sejumlah besar kejadian DRPs yang sebenarnya dapat dicegah dengan

intervensi farmasis. DRPs lebih sering terjadi pada pasien hipertensi, penyakit

jantung koroner dan gagal jantung kongestif. Review pengobatan yang dilakukan

farmasis menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien

dengan penyakit kardiovaskular (Abraham, 2013).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2013) ditemukan kejadian

DRPs yang tinggi pada penggunaan obat kardiovaskular yaitu kategori obat

antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan, antihiperlipidemia, dan antiulcer. DRPs

yang sering terjadi antara lain; interaksi obat (46,19%), dosis obat terlalu tinggi

(17,26%), duplikasi obat (11,17%) dan dosis obat terlalu rendah (10,41%). DRPs

ditemukan sebanyak 71 kejadian (18,02%) pada pasien penyakit jantung koroner.

Manajemen DRPs merupakan proses yang menjamin terapi obat kepada

pasien yang aman, efektif dan ekonomis. Manajemen DRPs meliputi identifikasi

masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs baik yang potensial maupun aktual,

mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah terjadinya DRPs yang potensial.

Implikasi dari manajemen DRPs terjadi optimalisasi peran apoteker dan terciptanya

komunikasi bersama antara apoteker, pasien, dan tenaga kesehatan lain dengan

tujuan yang sama yaitu untuk kesembuhan pasien (Muchid et al., 2006).
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 4
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana gambaran terapi pada pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) yang

menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

2. Berapa angka kejadian DRPs dan apa saja jenis DRPs pada terapi Acute Coronary

Syndrome (ACS)?

C. PENTINGNYA PENELITIAN DIUSULKAN

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak rumah sakit untuk melihat

gambaran drug related problems (DRPs) pada terapi pasien Acute Coronary

Syndrome (ACS) sehingga farmasis di rumah sakit dapat mengatasi dan mencegah

kejadian DRPs tersebut dikemudian hari. Selain itu, dengan adanya penelitian ini,

penulis mengharapkan dapat mendukung pengembangan penerapan farmasi klinik

di Indonesia.

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui gambaran terapi pada pasien Acute Coronary Syndrome (ACS)

yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Mengetahui angka kejadian DRPs dan mengetahui jenis DRPs pada terapi

Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta.
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 5
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS)

a. Definisi

Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup

spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut,

diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan

kebutuhannya. Berbeda dengan angina stabil, ACS berasal dari berkurangnya aliran

darah pada miokard akibat adanya total oklusif atau subtotal oklusif trombus arteri

koroner. ACS dapat diklasifikasikan berdasarkan perubahan gambaran

electrocardiographic (ECG) yaitu : (1) ST-segment-elevation ACS (STE ACS atau

STEMI) dan (2) Non-ST-segment-elevation ACS (NSTE ACS), yang termasuk di

dalamnya non-ST-segment-elevation myocardial infraction (NSTE MI) dan

unstable angina (UA) (Dipiro et al., 2009).

b. Epidemiologi

Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute

Coronary Syndrome (ACS) (Huffman et al., 2010). Di Inggris sekitar 114 ribu

pasien masuk rumah sakit dengan acute coronary syndrome (ACS) dan lebih dari

5,5 juta pasien di Amerika Serikat masuk UGD dengan gejala nyeri dada atau gejala

lain yang mengarah kepada ciri – ciri ACS (Peters dkk., 2007). WHO mencatat

bahwa kejadian iskemik yang merupakan salah satu tanda dari ACS mengalami

peningkatan angka yang signifikan sebagai penyebab kematian tertinggi. Tercatat

bahwa pada tahun 2012, angka kematian mencapai 7,4 juta per tahun sedangkan

pada tahun 2000 menempati angka 6 juta per tahun (WHO, 2015). Di Indonesia
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 6
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sendiri prevalensi dari penyakit jantung koroner termasuk ACS mencapai angka

7,2% dari total populasi (Kementrian Kesehatan, 2008).

c. Patofisiologi

Patofisiologi yang mendasari ACS adalah iskemia miokard yang

disebabkan karena ketersediaan oksigen yang tidak mencukupi (inadekuat) dengan

kebutuhan oksigen miokard. Kebutuhan oksigen pada miokard ditentukan oleh

denyut jantung, afterload, kontraktilitas dan ketegangan otot jantung. Aliran

oksigen yang tidak adekuat tersebut diakibatkan adanya penyumbatan pembuluh

darah arteri karena aterosklerosis. Biasanya penurunan aliran darah koroner tidak

menyebabkan gejala iskemik pada saat istirahat sampai penyumbatan di pembuluh

arteri melebihi 95%. Namun gejala iskemik dapat muncul karena peningkatan

aktivitas fisik yang mampu meningkatkan jumlah kebutuhan oksigen pada miokard

dengan sedikitnya 60% penyumbatan di pembuluh arteri (Diop and Aghababian,

2001).

Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan

miokardium mengalami nekrosis (infark mioard). Infark miokard tidak selalu

disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang

disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat juga menyebabkan terjadinya iskemia

dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Beberapa faktor ekstrinsik juga dapat

menjadi pencetus terjadinya ACS pada pasien yang telah mempunyai plak

aterosklerosis, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardi (PERKI,

2015).
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 7
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

d. Tanda dan Gejala

Gejala yang khas pada ACS adalah adanya nyeri dada (chest pain) yaitu

dada terasa terbakar dan tertekan, nyeri ditempat lain pada tubuh seperti lengan atas

bagian kiri atau bagian rahang, mual (nausea), muntah (vomiting), nafas menjadi

pendek (dyspnea), dan keringat dingin (diaphoresis) (Mayo Clinic Staff, 2013).

e. Diagnosis

Diagnosis pada ACS dapat menggunakan :

1). Electrocardiography (ECG)

Pasien dengan gejala ACS pemeriksaan ECG pada saat istirahat memiliki

peranan yang sangat penting. Pada ACS, perubahan morfologi dapat terjadi

pada gelombang T, segmen ST, komplek QRS dan bahkan segmen PR (Kurz

et al., 2008)

2). Chest Radiography

Biasanya diperoleh pada saat awal penerimaan pasien sehingga pasien dapat

dievaluasi untuk penyebab lain dari nyeri dada dan dilihat adanya kongesti

paru, yang menunjukan prognosis buruk (Kurz et al., 2008).

3). Petanda Biokimia Jantung

Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai

nilai prognostik yang lebih baik daripada CKMB. Troponin ini merupakan

petanda biokimia primer untuk sindrom koroner akut. Bila kadar troponin

negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6 – 12 jam setelah onset nyeri dada

(Kemenkes, 2006).
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 8
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4). Kondisi Klinis

Pada ACS yang paling umum diamati adalah adanya nyeri dada disertai

dengan rasa terbakar atau rasa tertekan. Terkadang nyeri tidak dirasakan pada

dada, tetapi bisa pada leher, rahang bawah sampai ke bahu (Kumar dan

Canon, 2009).

5). Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan intensitas nyeri,

irama jantung (heart rate), pemeriksaan tekanan darah, anemia, stenosis aorta

berat, kardiomiopati dan kondisi lain seperti penyakit paru (Kemenkes, 2006).

f. Klasifikasi (PERKI,2015)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram

(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Acute Coronary Syndrome (ACS) dibagi

menjadi:

1). Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI: ST segmen elevation

myocardial infraction)

2). Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST (NSTEMI: Non ST

segmen elevation myocardial infraction)

3). Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)

Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST akut (STEMI) merupakan

indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini

memerlukan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi

miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau

secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer (PCI). Diagnosis STEMI


IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 9
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST

yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana

revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkata marka jantung (PERKI,

2015)

Diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina

pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang

bersebelahan. Sedangkan UAP dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian

infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung

yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CKMB. Bila hasil pemeriksaan

biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi

NSTEMI. Pada UAP, marka jantung tidak meningkat secara bermakna (PERKI,

2015).

Tabel I.Spektrum Klinis ACS (Kemenkes, 2006)

Jenis Nyeri Dada EKGEnzim


Jantung
UAP Angina pada waktu Depresi segmen T > 0,05 Tidak
istirahat/aktivitas ringan. mV meningkat
Hilang dengan nitrat Inversi gelombang T >
0,2 mV
Tidak ada gelombang Q
STEMI Lebih berat dan lama Hiperakut T Meningkat
(>30 menit). Elevasi segmen T minimal 2
Tidak hilang dengan Gelombang Q kali batas
nitrat, perlu opium Inversi gelombang T > atas normal
0,2 mV
NSTEMI Lebih berat dan lama Inversi gelombang T > Meningkat
(>30 menit). 0,2 mV minimal 2
Tidak hilang dengan Depresi segmen ST kali batas
nitrat, perlu opium atas normal
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 10
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

g. Tata Laksana Terapi Acute Coronary Syndrome

Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2014, sasaran terapi

dari Acute Coronary Syndrome adalah :

1). Mengurangi nekrosis miokard yang terjadi pada pasien dengan acute miokard

infraction (AMI) sehingga dapat menjaga fungsi ventrikel kiri, mencegah

kegagalan jantung dan membatasi komplikasi kardiovaskular lainnya.

2). Mencegah Major Adverse Cardiac Events (MACE) : kematian, non fatal MI

dan kebutuhan revaskularisasi yang mendesak.

Perlakuan pada kondisi akut meliputi perlakuan yang mengancam jiwa pada

ACS seperti fibrilasi ventrikel (FV), takikardi dari nadi ventrikel, takikardi yang

tidak stabil dan menunjukkan gejala bradikardi, edema pulmonal, shock

kardiogenik, serta komplikasi mekanik pada AMI. Setelah pelaksanaan medis

segera, pemeriksaan penunjang dan terapi selanjutnya ditentukan oleh apakah

pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jantung lebih lanjut. Faktor

– faktor yang berkaitan dengan risiko tinggi diantaranya : 1) depresi segmen ST

pada EKG saat datang dan /atau kenaikan kadar troponin (10 kali atau lebih dari

batas yang terdeteksi). 2) episode nyeri dada rekuren. 3) diabetes, AMI sebelumnya,

gangguan fungsi ventrikel kiri, gagal jantung. 4) pasien tanpa faktor – faktor ini,

dengan gejala nyeri dada menghilang, dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa.

Jika tetap timbul nyeri, harus dilakukan EKG saat latihan. Terjadi iskemia yang

diinduksi (depresi segmen ST > 2 mm atau angina) pada beban kerja yang rendah,

termasuk ke dalam pasien berisiko tinggi (Davey, 2006).


IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 11
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

h. Standar Terapi dalam Penanganan Acute Coronary Syndrome

Menurut American Heart Association (AHA) 2014 Guidline for the

Management of Patients With NSTEMI dan American Heart Association (AHA)

2013 Guidline for the Management of Patients With STEMI :

Terapi standar untuk pasien yang menunjukan ACS, termasuk gejala

kambuhan, perubahan ECG, atau troponin yang positif, adalah termasuk dalam

manajemen terapi rawat inap. Tujuan dari terapi adalah menghilangkan iskemia dan

mencegah Myocard Infark (MI) dan kematian. Pasien direkomendasikan diobati

dengan antiiskemik, antiplatelet dan antikoagulan.

1). Rekomendasi terapi analgesik

Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2

– 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama

untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI maupun UA/NSTEMI. Morfin

dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok

jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini

biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg (O’Gara et al., 2013).

2). Rekomendasi terapi oksigen kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)

Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen

arteri< 90%, gangguan pernafasan atau faktor risiko lain dari hipoksemia. Pada

pasien UA/NSTEMI dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama setelah

diketahui bahwa pemberiaannya aman dan dapat mengurai hipoksemia

(Amsterdam et al., 2014). Begitu pula pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi

dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama (O’Gara et al., 2013).


IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 12
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)

a) Nitrat

Pasien dengan nyeri iskemik yang berlanjut sebaiknya mendapat

nitrogliserin (NTG) sublingual 0,3 mg – 0,4 mg tiap 5 menit dengan total tiga dosis,

kemudian penilaian sebaiknya dilakukan terhadap perlunya NTG intravena jika

tidak kontraindikasi. NTG intravena diindikasikan terhadap pasien UA/NSTEMI

maupun STEMI untuk pengobatan iskemia persisten, gagal jantung atau hipertensi

(Amsterdam et al., 2014).

b) Beta-Adrenergik Blocker

Terapi beta-blocker oral sebaiknya diinisiasi dalam 24 jam pertama untuk

pasien yang tidak memiliki beberapa kondisi berikut: 1) tanda – tanda gagal

jantung, 2) bukti terdapat kondisi output jantung rendah, 3) peningkatan risiko syok

kardiogenik, atau 4) kontraindikasi terhadap beta blocker (interval PR >0,24 detik,

blok jantung derajat 2 atau 3, asma aktif, atau penyakit saluran nafas reaktif)

(Amsterdam et al., 2014). Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5 mg

setiap 2-5 menit sampai total tiga dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir

dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam

dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (O’Gara et al., 2013).

c) Calcium-Channel Blocker (CCB)

CCB nondihidropiridin (verapamil atau diltiazem) sebaiknya diberikan

sebagai terapi awal jika pasien UA/NSTEMI yang kontraindikasi terhadap beta

blocker, tidak ada disfungsi ventrikel kiri yang signifikan secara klinik atau
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 13
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kontraindikasi lain pada pasien dengan iskemia berulang atau berlanjut (Amsterdam

et al., 2014).

d) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor

Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) sebaiknya diberikan

kepada pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <0,04 dengan

tidak adanya hipotensi (<100 mmHg/ <30 mmHg) atau kontraindikasi yang

diketahui terhadap kelas obat tersebut (Amsterdam et al., 2014). ACEI dapat

diberikan pada 24 jam pertama (O’Gara et al., 2013). Angiotensin receptor blocker

(ARB) sebaiknya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI dan

memiliki tanda – tanda gagal jantung baik secara klinik atau radiologik atau fraksi

ejeksi ventrikel kiri <0,04 (Amsterdam et al., 2014).

4). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIa (manfaat melebihi risiko)

a) Beta-Adrenergik Blocker

Terapi beta blocker dapat dilanjutkan pada pasien yang memiliki fungsi LV

yang normal pada UA/NSTEMI (Amsterdam et al., 2014). Pemberian beta blocker

secara intravena (i.v.) dapat digunakan pada pasien STEMI yang tidak ada

kontraindikasi (O’Gara et al., 2013).

b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor

ARB dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang

intoleran terhadap pemberian ACEI (Amsterdam et al., 2014).

5). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)

a) Nitrat
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 14
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Nitrat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang telah mendapat

fosfodiesterase inhibitor dalam 24 jam penggunaan sildenafil atau 48 jam

penggunaan tadalafil (Amsterdam et al., 2014).

b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor

Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) dapat digunakan pada

pasien dengan penyakit kardiovaskular (Amsterdam et al., 2014).

6). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya)

a) Beta-Adrenergik Blocker

Pemberian beta blocker secara intravena potensial menimbulkan bahaya

pada pasien UA/NSTEMI yang punya faktor risiko syok (Amsterdam et al., 2014).

b) Calcium-Channel Blocker (CCB)

Pemberian nifedipin (immediate-relase) sebaiknya tidak diberikan pada

pasien UA/NSTEMI yang tidak diberikan beta blocker (Amsterdam et al., 2014).

Sedangkan pemberian nifedipin adalah kontraindikasi untuk pasien STEMI karena

efek hipotensi dan aktivasi refleks simpatis dengan takikardi (O’Gara et al., 2013).

7). Rekomendasi terapi antiplatelet kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)

Aspirin chewable (162 mg – 325 mg) sebaiknya diberikan seawal mungkin

ada pasien UA/NSTEMI yang tidak kontraindikasi setelah masuk rumah sakit dan

diteruskan dengan dosis terapi (81 mg/hari – 325 mg/hari) (Baigent et al., 2009).

Pada pasien yang tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas atau

intoleransi saluran GI mayor, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan yang

diikuti dengan dosis maintenance (Gollapudi et al., 2004 ).


IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 15
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Klopidogrel atau tikagrelor (P2Y12 Receptor Inhibitor) sebaiknya

ditambahkan pada aspirin dan terapi antikoagulan seawal mungkin setelah masuk

rumah sakit dan diberikan sampai 12 bulan pada pasien yang akan menjalani

strategi awal konservatif (noninvasif) (James et al.,2011).

Pilihan regimen dosisnya : i) Klopidogrel 300 mg – 600 mg sebagai dosis

muatan dan diikuti dosis maintenance 75 mg per hari (Yusuf et al.,2001), ii)

Tikagrelor 180 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis maintenance 90 mg dua

kali sehari (Wallentin et al., 2009). Dosis muatan P2Y12 Receptor Inhibitor

sebaiknya diberikan untuk pasien STEMI segera mungkin. Pilihan regimen

dosisnya: i) Klopidogrel 600 mg, ii) Prasugrel 60 mg, iii) Tikagrelor 180 mg

(O’Gara et al., 2013).

8). Rekomendasi terapi antiplatelet kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)

Klopidogrel dapat digunakan dengan dosis muatan 600 mg dan diikuti dosis

maintenance yang lebih tinggi yaitu 150 mg per hari selama 6 hari kemudian 75 mg

per hari pada pasien yang tidak ada risiko tinggi perdarahan pada pasien yang

menjalani PCI sebagai bagian dari strategi awal invasif (Mehta et al., 2010).

9). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)

Terapi antikoagulan sebaiknya ditambahkan pada terapi antiplatelet pada

pasien UA/NSTEMI se awal mungkin setelah masuk rumah sakit. Rejimen

menggunakan enoksaparin, atau unfractioned heparin (UFH), atau fondaparinuks

memiliki efikasi yang telah terbukti pada pasien yang akan menjalani strategi

konservatif. Fondaparinuks lebih disarankan pada pasien yang akan menjalani

strategi konservatif yang memiliki risiko perdarahan yang meningkat (Amsterdam


IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 16
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

et al., 2014). Untuk pasien STEMI rejimen yang direkomendasikan bisa dengan

unfractioned heparin (UFH) atau bivalirudin. UFH diperlukan untuk

mempertahankan terapi aktivasi level waktu pembekuan darah. Bivalirudin

digunakan dengan atau tidak terapi utama (UFH) (O’Gara et al., 2013).

10). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas IIa (manfaat melebihi risiko)

Pemberian enoksaparin atau fondaparinuks lebih disarankan daripada UFH

sebagai terapi antikoagulan kecuali coronary artery bypass grafting (CABG)

direncanakan dalam 24 jam pada pasien yang akan menjalani strategi awal

konservatif (Amsterdam et al., 2014). Pada pasien STEMI yang memiliki risiko

tinggi perdarahan, perlu digunakan bivalirudin (monoterapi) atau direferensikan

kombinasi dengan UFH (O’Gara et al., 2013).

11). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas III (tidak bermanfaat atau

berbahaya)

Pemberian Fondaparinuks tidak dianjurkan sebagai antikoagulan untuk

mendukung PCI karena risiko pembekuan darah pada kateter (O’Gara et al., 2013).

12). Rekomendasi Manajemen Lipid kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)

Terapi menggunakan golongan statin perlu diinisiasi atau diteruskan untuk

pasien UA/NSTEMI maupun STEMI yang tidak kontraindikasi (Amsterdam et al.,

2014).

13). Rekomendasi Manajemen Lipid kelas IIa (manfaat melebihi risiko)

Perlu untuk didapatkan kadar lipid puasa pada pasien UA/NSTEMI maupun

STEMI, sebaiknya dalam waktu 24 jam setelah muncul gejala (Amsterdam et al.,

2014).
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 17
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

i. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) Terapi ACS

Efek samping obat dan parameter yang harus dipantau dan diwaspadai

selama pemberian obat – obat untuk penanganan UA/NSTEMI maupun STEMI

antara lain:

1). Nitrat (nitrogliserinm, ISDN) : hipotensi, takikardi

2). Morfin : hipotensi, bradipnea, penurunan kesadaran

3). Beta-blocker (atenolol, bisoprolol) : aritmia, bradikardia, hipotensi

4). Calcium-channelnblocker (CCB) dihidropiridin (amlodipin, nifedipin,

nikardipin) : takikardi, hipotensi, edema perifer

5). Calcium-channelnblocker (CCB) nondihidropiridin (verapamil, diltiazem)

: hipotensi, bradikardia, aritmia

6). Aspirin : perdarahan, nyeri lambung

7). Klopidogrel : perdarahan

8). Heparin : anemia, penurun hematokrit, perdarahan, trombositopenia

9). Enoksaparin : trombositopenia, perdarahan

10). Fondaparinuks : trombositopenia, peningkatan kreatinin, perdarahan

11). Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor (kaptopril, lisinopril,

ramipril) : batuk, peningkatan BUN, hiperkalemia, peningkatan kreatinin,

hipotensi. (Corbett et al., 2014)

2. PHARMACEUTICAL CARE

Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu praktik

di mana farmasis bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug related needs)

pasien. Pelayanan kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil terapi yang
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 18
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

positif untuk pasien. Praktik profesi pelayanan kesehatan dibentuk untuk

menemukan kebutuhan obat pasien dengan cara mengidentifikasi, menyelesaikan

dan mencegah drug related problems. Pelayanan kefarmasian ini dimaksudkan

untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem perawatan kesehatan yang timbul karena

beberapa resep pada tiap individu pasien, ledakan produksi serta promosi obat di

pasaran, peningkatan kompleksitas terapi obat dan masih tingginya biaya yang

dikeluarkan pasien karena kesalahan obat (Cipolle et al., 1998).

Dalam pharmaceutical care yang dilakukan apoteker dengan melibatkan

pasien dan tenaga profesional kesehatan lainnya dalam merancang, melaksanakan

dan memantau hasil terapi dari pasien. Hal ini melibatkan tiga fungsi utama yaitu :

1). mengidentifikasi drug related problems yang potensial dan aktual, 2).

menyelesaikan drug related problems yang aktual, dan 3). mencegah drug related

problems yang potensial ( Hepler et al., 1990).

Pharmaceutical care adalah elemen penting dari pelayanan kesehatan dan

harus berintegrasi dengan elemen kesehatan lainnya. Pharmaceutical care

bagaimanpun disediakan untuk dapat memberikan manfaat langsung kepada pasien

dan farmasis bertanggungjawab langsung kepada pasien mengenai kualitas

pelayanan kesehatan yang diberikan. Farmasis memiliki kesempatan yang besar

dalam pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah memberikan pelayanan

terapi obat yang aman dan efektif ( Hepler et al., 1990).


IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 19
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3. DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS)

Tabel II. Jenis – jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi (Cipolle et al.,2004)

Drug Related Problems (DRPs) Kemungkinan kasus pada DRPs


Terapi obat yang tidak perlu a. Terapi tidak sesuai dengan kondisi saat ini
(unnecessary drug therapy) b. Menggunakan multiple drugs therapy untuk kondisi
yang seharusnya cukup dengan single drug therapy
c. Kondisi pengobatan yang lebih baik diobati tanpa terapi
obat (nondrug therapy)
d. Pasien dengan terapi obat tertentu untuk mencegah efek
samping obat lain
Memerlukan terapi tambahan a. Pasien dengan kondisi membutuhkan terapi obat
(need for additional drug b. Membutuhkan terapi untuk mencegah risiko munculnya
therapy) kondisi medis baru
c. Kondisi kesehatan yang membutuhan kombinasi
farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau
potensiasi
Obat tidak efektif a. Obat yang diberikan bukanlah obat yang paling efektif
(Ineffective drug) untuk masalah kesehatan tersebut
b. Menerima obat yang tidak efektif untuk indikasi
pengobatan
c. Bentuk sediaan dari obat tersebut yang tidak tepat
Dosis terlalu rendah a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
(Dosage too low) menimbulkan respon
b. Interval dosis yang terlalu jarang untuk menghasilkan
respon
c. Durasi pemberian obat terlalu singkat untuk
menghasilkan respon
d. Interaksi obat yang mengurangi jumlah obat aktif dalam
tubuh
Dosis terlalu tinggi a. Dosis yang diberikan terlalu tinggi
(Dosage too high) b. Frekuensi pemberian terlalu singkat
c. Dosis obat meningkat terlalu cepat
d. Durasi pemberian obat terlalu panjang
e. Adanya interaksi obat yang menghasilkan reaksi
keracunan
Reaksi yang tidak dikehendaki a. Obat menyebabkan reaksi yang tidak
(Adverse drug reaction) dinginkan/permasalahan lain yang tidak terkait dengan
dosis
b. Obat yang lebih aman dibutuhkan karena adanya faktor
risiko
c. Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak terkait dengan dosis
d. Regimen dosis yang diberikan berubah terlalu cepat
e. Obat yang menyebabkan reaksi alergi
f. Obat yang dikontraindikasikan karena adanya faktor
risiko
Ketidakpatuhan pasien a. Pasien yang tidak mengerti mengenai aturan pakai
(Noncompliance) b. Pasien lupa untuk mengambil obat
c. Obat yang terlalu mahal untuk pasien
d. Pasien tidak dapat menelan atau tidak dapat
menggunakan obatnya sendiri dengan tepat
e. Obat tidak tersedia untuk pasien
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ACUTE
CORONARY SYNDROME (ACS) 20
DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
KURNIA RAHMAWATI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

DRPS merupakan kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan

yang dialami pasien, melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan

secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien. DRPs aktual

adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang

diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem yang diperkirakan akan

terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien

(Cipolle et al., 1998).

F. KETERANGAN EMPIRIS

Dalam penggunaan obat, pasien membutuhkan terapi yang tepat, efektif,

aman, rasional sehingga dapat mencapai outcome pengobatan yang diinginkan.

Terkait dengan hal tersebut, bentuk kepedulian farmasi dalam pengobatan

dilakukan melalui farmasi klinik dengan praktek pharmaceutical care. Praktek

pharmaceutical care salah satunya melalui mengidentifikasi, mencegah, dan

menyelesaikan masalah terkait obat (DRPs)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran jenis dan jumlah dari

setiap kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada penggunaan obat untuk

penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai