Anda di halaman 1dari 25

IKT 6

LAPORAN SKENARIO 4

Disusun Oleh: Kelompok 4 A

NO. NAMA NPM

1. Ni Nyoman Ayu Tri Kartika Manik 16700051


2. Asmy Dzuhrufi Sari 16700053
3. Gigih Maduta Rohman 16700055
4. Ketut Ayesha Eidelwise Prayoga 16700057
5. Satya Yudhayana 16700059
6. Lia Ervina 16700063
7. Putu Gede Aditya Prasetya Sujana 16700065
8. Putu Dea Prayascita Aisuarya 16700067
9. Alwy Ramdhan 15700090
10. Eko Arif Suharjito 15700082

PEMBIMBING TUTOR: dr. Muzaijadah Retno Arimbi, SpP.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2019

i
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI

BAB I (SKENARIO 4) .......................................................................................... 1

BAB II (KATA KUNCI) ....................................................................................... 2

BAB III (PROBLEM) ............................................................................................ 3

BAB IV (PEMBAHASAN) ................................................................................... 4

BAB V (HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)) ...................... 14

BAB VI (ANALISIS DIAGNOSIS) .................................................................... 15

BAB VII (HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSA)) ................................................. 18

BAB VIII (MEKANISME DIAGNOSIS) ........................................................... 19

BAB IX (STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH) ................................. 20

BAB X (PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI) .................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23

ii
BAB I
SKENARIO 4

Anda sedang bertugas diklinik pribadi, datang seorang laki-laki mengeluh demam 3
hari disertai nyeri otot terutama tungkai bawah.

1
BAB II
KATA KUNCI

1. Demam 3 hari
2. Zoonosis
3. Nyeri otot terutama tungkai bawah

2
BAB III
PROBLEM

1. Bagaimana anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang pasien tersebut?


2. Apa diagnosa dan diagnosa banding pada pasien tersebut?
3. Bagimana penatalaksanaan pasien tersebut?
4. Bagaimana diagnose dan monitoring?

3
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Epidemiologi Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan dan digolongkan sebagai zoonosis. Leptospirosis adalah zoonosis bakterial
berdasarkan penyebabnya, berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena
tidak memerlukan vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur
penularan dapa dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Penularan leptospirosis pada manusia
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira
adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok
unggas serta beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar
utama adalah roden. Kuman leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan
dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil seperti pada
gambar berikut:

Gambar 4.1 Siklus Penularan Leptospirosis

Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu:

a. Penularan secara langsung dapat terjadi:

4
1. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk
kedalam tubuh pejamu.
2. Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang
merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan,
atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual
pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar
plasenta dan air susu ibu.

b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui:

1. Genangan air.
2. Sungai atau badan air.
3. Danau.
4. Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

Gambar 4.2 Penularan Penyakit Leptospirosis


Sumber: CDC 2018

c. Faktor resiko Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau
terpajan air atau rawa yang terkontaminasi yaitu:

1. Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
2. Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
3. Mencuci atau mandi disungai atau danau.

5
4. Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
5. Petani tanpa alas kaki di sawah.
6. Pembersih selokan.
7. Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
8. Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan
bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
9. Pekerja tambang.
10. Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
11. Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
12. Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain, trilomba
juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung. Infeksi leptospirosis di Indonesia
umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus norvegicus (tikus selokan), Rattus
diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu murinus (cecurt).

4.2 Etiologi Penyakit

Yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini,
disebabkan oleh Leptospira interrogansdengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi
lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing,
lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan
sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang
luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih
binatang yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).

6
Gambar 4.3 Bakteri Leptospira Menggunakan Mikroskop Elektron Tipe Scanning.

Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans,
dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan
hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-
masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat
ini telah ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat
menginfeksi manusia di antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni,
L. canicola, L ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis, L.
andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.

Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan dapat
berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati dengan gejala
yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya.

Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah


L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L.
pomona dengan reservoirnya sapi dan babi.

4.3 Patofisiologi Leptospira

Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut
aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti
serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang
berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui.
Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi
tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh
neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui
peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis.

Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut


disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun
aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis
hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien
dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan

7
endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga
disebabkan oleh toksin.

Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria
dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus.
Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan
ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat
menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun
nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.

Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor
pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan
penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu
pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal.
Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel
tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang
yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan
oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal
menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal
karena perdarahan pada kelenjar adrenal. (Poerwo, 2002).

4.4 Gejala Klinis

Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat kontak terhadap


binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin binatang, disertai dengan gejala akut
demam, menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah. Selain
itu penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan riwayat adanya
kontak dengan air sebelumnya.

Gambaran klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril umum dan tidak
cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase
leptospiremi/ septikemia dan fase imun.

1. Fase leptospiremi atau septikemia

8
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata 10 hari. Untuk
beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari atau bahkan bisa memanjang sampai
30 hari.10 Fase ini ditandai adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil,
sakit kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan tampak lemah.
Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum mengalami penurunan suhu
tubuh. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3
atau ke-4 sakit. Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan serebrospinal
penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif sampai setidaknya 5 hari setelah
onset gejala. Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali
kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya penurunan jumlah
platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi
kliren kreatinin biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau
glomerulonefritis.

2. Fase imun

Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan dengan timbulnya
antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus yang ringan (mild case) fase kedua ini
berhubungan dengan tanda dan gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat
(severe case) ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang
dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang ditandai dengan
sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis
sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai
komplikasi, antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer. Pada kasus
yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul
demam tinggi segera disertai jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan
paru. Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal
ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas
penderita.

Pada hewan ternak ruminansia dan babi yang bunting, gejala abortus, pedet lahir mati
atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis. Pada sapi, muncul demam dan penurunan
produksi susu sedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi. Pada kuda, terjadi
keratitis, conjunctivitis, iridocyclitis, jaundice sampai abortus (Swan Et Al., 1981).
Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik; gejala klinis yang

9
muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice (Hartman Et Al., 1986). Gejala klinis
leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan, infeksi yang tidak tampak,
sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan kematian. Infeksi akut paling sering terjadi
pada pedet/ sapi muda (Hudson, 1978) Berat ringannya gejala klinis tergantung dari serovar
Leptospira yang menginfeksi dan species hewan yang terinfeksi. Leptospira interrogans
serovar pomona pada sapi menyebabkan demam, depresi, anemia akut, haemorrhagis, dan
redwater; serovar hardjo biasanya pada sapi bunting atau laktasi menyebabkan demam,
penurunan produksi susu dan abortus (Ellis Et Al., 1986).

4.5 Manifestasi klinik

Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu:

a. Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier
mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis
untuk sementara.
b. Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis bervariasi
dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan
hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
c. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala
klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot,
ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta
splenomegali.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini
menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.

a. Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau
tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia.

10
Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-
orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri
ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian
besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk
membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien
kadangkadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh
sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan
nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash
macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan
iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan
serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya
antibodi (fase imun). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak
berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini
dapat sembuh sendiri (self - limited) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang
dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit
demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis
anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di
daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of
unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis
banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus
seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis
virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam
tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
b. Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal
ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun
menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya
fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang
menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh
terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut. (Poerwo,
2002).

11
4.6 Teknik Diagnosis

Keberadaan Leptospira di dalam darah dan susu dari hewan yang memperlihatkan
gejala klinis, menunjukkan leptospirosis akut. Mengisolasi Leptospira dari darah sering tidak
berhasil karena fase bakteremia telah lewat atau darah diambil setelah pasien diobati dengan
antibiotika. Adanya Leptospira di organ saluran genital, ginjal atau urin dari pasien yang
memperlihatkan gejala klinis dapat digunakan untuk mendiagnosa leptospirosis. Mengisolasi
Leptospira dengan cara membiakkan bakteri adalah metode yang sangat sensitif, namun
sering sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama. Polymerase chain reaction (PCR)
juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan leptopsira di jaringan tubuh atau cairan tubuh.
Teknik deteksi ini cukup sensitif tetapi tidak dapat mengidentifikasi sampai serovar
(Woodward Et Al., 1991).

Metode biakan, PCR, dan immunuofluorescence merupakan metode yang sensitif


untuk mendeteksi Leptospira serovar hardjo pada urin sapi, tetapi kurang sensitif apabila
hanya menggunakan salah satu metode tersebut (Wagenaar Et Al., 2000). Uji serologis di
laboratorium sering digunakan untuk konfirmasi diagnosa klinik, menentukan prevalensi
kelompok dan melakukan studi epidemiologi. Antibodi leptospira muncul beberapa hari
setelah infeksi dan bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan dan pada kasus
tertentu sampai beberapa tahun. Namun titer antibodi dapat turun hingga tidak terdeteksi,
biasanya pada hewan yang menderita leptospirosis kronik. Ada dua uji serologis yang biasa
digunakan yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) dan Enzyme-Linked Immuno
sorbent Assay (ELISA). MAT merupakan uji serologis yang banyak digunakan. Uji ini
digunakan pada seroinvestigasi leptospirosis pada sapi (Ebrahimi Et Al., 2004; Rocha, 1998)
dan pengujian sera manusia (Darodjat Dan Ronohardjo, 1989) serta menentukan
seroprevalensi sera manusia dan hewan (Ratnam Et Al., 1994).

Pada MAT digunakan antigen hidup dan diperlukan banyak serogrup sebagai antigen
untuk hasil yang optimum. Sensitivitas uji ini dapat lebih baik apabila menggunakan isolat
lokal daripada galur referens, tetapi galur referens sangat membantu dalam interpretasi hasil
antar laboratorium. Spesifisitas MAT sangat baik, karena tidak ada reaksi silang dengan
antibodi anti bakteri lain. Tetapi, reaksi silang antar serovar Leplospira seringkali terjadi
walaupun pada tingkat rendah. Sebagai catatan, hewan yang divaksin Leptospira serovar
tertentu akan mempunyai antibodi terhadap serovar tersebut. Untuk itu, sangat penting untuk

12
menyertakan riwayat vaksinasi hewan yang akan diuji serumnya (Office International Des
Epizooties, 2000).

ELISA untuk mengukur IgG dan IgM anjing telah dikembangkan oleh Hartman Et
Al.(1984) Dan Hartman Et Al .(1986). Dengan ELISA, anti-leptospira IgM dapat terdeteksi
pada satu minggu setelah infeksi. Antibodi IgG dapat terdeteksi mulai 2 minggu setelah
infeksi dan bertahan sampai waktu yang lama. Anjing penderita leptospirosis akut
mempunyai titer antibodi IgM yang lebih tinggi dibanding IgG. Anjing yang divaksin atau
mengalami infeksi yang sudah lama memiliki antibodi IgG yang lebih tinggi daripada IgM.
Mendeteksi antibodi terhadap Leptospira interrogans serovar hardjo dari sera sapi sehat dan
belum divaksin Leptospira menggunakan ELISA lebih sensitif dibandingkan menggunakan
MAT (Kocabiyik Dan Cetin, 2003).

13
BAB V

HIPOTESIS AWAL

1. Leptospirosis
Penyakit infeksi atau zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira.
Manifestasi klinis yang sering terjadi ialah demam, menggigil, sakit kepala,
meningismus, anoreksia, mialgia, konjungtival suffusion, mual, muntah, nyeri otot,
ikterus, hepatomegali, ruam kulit, trombositopenia.

2. Dengue Fiver
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam kulit,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.

3. Chikungunya
Suatu penyakit infeksi virus yang di tularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
memiliki gejala klinis sebagi berikut : Demam, nyeri otot, nyeri sendi, ruam kulit,
sakit kepala, mudah lelah, mual dan muntah.

14
BAB VI
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

 Viral Hepatitis
Jalur dimana virus hepatic menyebabkan hepatitis virus paling baik dipahami dalam
kasus hepatitis B dan C. Virus tidak secara langsung menyebabkan apoptosis
(kematian sel). Sebaliknya, infeksi sel-sel hati mengaktifkan lengan bawaan dan
adaptif dari sistem kekebalan tubuh yang mengarah ke respon peradangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan kematian. Bergantung pada kekuatan respon imun,
jenis sel imun yang terlibat dan kemampuan virus untuk menghindari pertahanan
tubuh, infeksi dapat mengarah pada pembersihan (penyakit akut) atau kegigihan
(penyakit kronis) dari virus. virus di dalam sel-sel hati menghasilkan berbagai
gelombang peradangan, cedera dan penyembuhan luka yang lama kelamaan
menyebabkan jaringan parut atau fibrosis dan berujung pada karsinoma hepatoseluler.
Individu dengan gangguan respon imun berisiko lebih tinggi terkena infeksi kronis.
Sel pembunuh alami adalah pendorong utama respon bawaan awal dan menciptakan
lingkungan sitokin yang menghasilkan rekrutmen sel T-helper CD4 dan sel T
sitotoksik CD8. Interferon tipe I adalah sitokin yang menggerakkan tanggapan
antivirus. Pada Hepatitis B dan C kronis, fungsi sel pembunuh alami terganggu.

 Dengue H. Fever
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika
tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den -, ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk yang terinfeksi, khususnya nya- muk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Masa inkubasi virus dengue dalam
manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul,
gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa
inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.
 Chikungunya
Chikungunya (CHIK) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari genus
Alphavirus, famili Togaviridae, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

15
aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi oleh virus tersebut. Penyakit ini
pertama kalinya dilaporkan oleh Robinson dan Lumsden setelah terjadinya
wabah di lembah Makonde tahun 1952. Seperti halnya dengan malaria dan
dengue, penyakit ini telah menjadi endemis di negara-negara di Afrika dan
Asia. dan telah menimbulkan wabah di tempat-tempat tersebut. CHIK ditandai
oleh adanya tiga gejala khas (trias) yaitu demam, nyeri sendi (arthralgia) dan
ruam kulit (rash). CHIK adalah penyakit yang bersifat dapat sembuh sendiri
(self-limiting) dan tidak ada pengobatan yang spesifik untuk demam CHIK.
Upaya pengobatan hanya bersifat simtomatis, oleh karena itu pengendalian
vektor merupakan usaha yang tepat pada pencegahan penyakit.

 Typoid Fever
Typhoid fever adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhii dan
bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular (Cahyono, 2010). Demam
typhoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhii. Typhoid
fever ( typhus abdominalis ,enteric fever ) adalah infeksi sistemik yang disebabkan
kuman salmonella enterica, khususnya varian varian turunanya, yaitu salmonella
typhi, Paratyphi A, Paratyphi B, Paratyphi C. Kuman kuman tersebut menyerang
saluran pencernaan, terutama di perut dan usus halus. Typhoid fever sendiri
merupakan penyakit infeksi akut yang selalu ditemukan di masyarakat (endemik)
Indonesia. Penderitanya juga beragam, mulai dari usia balita, anak- anak, dan dewasa

 Yellow Fever
Penyakit yellow fever atau demam kuning adalah suatu penyakit demam akut yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk. Gejala berat pada penyakit yellow fever adalah
ikterus, proteinuria, dan perdarahan. Penyakit ini endemik di Amerika Selatan dan
Afrika, serta India, di Indonesia belum ditemukan kasus penyakit demam kuning.

 Ricketsiosis
Rickettsias adalah gram-negatif intraseluler obligat, genom kecil (1,1-1,5 Mb), bakteri
yang menginfeksi beberapa jenis sel dalam host artropoda atau dalam sel endotel
mamalia. Efek fisiopatologis terbesar dari infeksi rickettsia terdiri dari vaskulitis
pembuluh kecil sebagai akibat dari infeksi langsung sel-sel endotel. Anggota genus ini

16
telah diklasifikasikan ke dalam empat kelompok: kelompok tipus (GT), yang
termasuk R. prowazekii ditularkan oleh kutu dan menyebabkan epidemi tipus, dan
Rickettsia typhi, ditularkan oleh kutu rambut dan menyebabkan tipus endemik;
kelompok Spotted fever (GFM), yang mencakup lebih dari 20 spesies, sebagian besar
ditularkan melalui kutu (Rickettsia rickettsii di Amerika, Rickettsia conorii di Europa,
dan Rickettsia africae di Afrika). Spesies lain yang diidentifikasi baru-baru ini seperti
R. akari, R. felis, dan R. australis, berbagi karakteristik GFM dan TG milik kelompok
transisi (GTR)

17
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR DIAGNOSIS

Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat kontak terhadap


binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin binatang, disertai dengan gejala akut
demam, menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah. Selain
itu penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan riwayat adanya
kontak dengan air sebelumnya.

Keberadaan Leptospira di dalam darah dan susu dari hewan yang memperlihatkan gejala
klinis, menunjukkan leptospirosis akut. Mengisolasi Leptospira dari darah sering tidak
berhasil karena fase bakteremia telah lewat atau darah diambil setelah pasien diobati dengan
antibiotika. Adanya Leptospira di organ saluran genital, ginjal atau urin dari pasien yang
memperlihatkan gejala klinis dapat digunakan untuk mendiagnosa leptospirosis. Mengisolasi
Leptospira dengan cara membiakkan bakteri adalah metode yang sangat sensitif, namun
sering sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama. Polymerase chain reaction (PCR)
juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan leptopsira di jaringan tubuh atau cairan tubuh.
Teknik deteksi ini cukup sensitif tetapi tidak dapat mengidentifikasi sampai serovar
(Woodward Et Al., 1991).

Metode biakan, PCR, dan immunuofluorescence merupakan metode yang sensitif


untuk mendeteksi Leptospira serovar hardjo pada urin sapi, tetapi kurang sensitif apabila
hanya menggunakan salah satu metode tersebut . Uji serologis di laboratorium sering
digunakan untuk konfirmasi diagnosa klinik, menentukan prevalensi kelompok dan
melakukan studi epidemiologi. Antibodi leptospira muncul beberapa hari setelah infeksi dan
bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan dan pada kasus tertentu sampai
beberapa tahun. Namun titer antibodi dapat turun hingga tidak terdeteksi, biasanya pada
hewan yang menderita leptospirosis kronik. Ada dua uji serologis yang biasa digunakan yaitu
Microscopic Agglutination Test (MAT) dan Enzyme-Linked Immuno sorbent Assay
(ELISA). MAT merupakan uji serologis yang banyak digunakan. Uji ini digunakan pada
seroinvestigasi leptospirosis pada sapi dan pengujian sera manusia serta menentukan
seroprevalensi sera manusia dan hewan

18
BAB VIII

MEKANISME DIAGNOSIS

IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN FISIK:


- Kesadaran Umum : sakit sedang, kesadaran
Nama : Nn. Iva composmentis(GCS 4-5-6)
Usia : 25 Tahun - Status vital : Tensi 110/70 mmHg, Nadi 90x/mnt,
Jenis Kelamin : Wanita isi kuat, teratur, RR : 24x/mnt, suhu 39,6 C
Alamat : Jakarta - Kepala : Mata : konjungtival suffusion, ikterik
Status : Belum Menikah ringan, lain-lain normal
Pendidikan terakhir : SLTP - Thorax : jantung normal, paru : rhonci kasar diparu
tengah, suara nafas bronchovesikuler kedua paru
- Abdomen : liver span 13 cm, teraba 2 cm bawah
ANAMNESA arcus costa padat kenyal, tepi tumpul permukaan
Keluhan Utama: Demam rata, nyeri ringan(SN 2-3) lain lain dalam batas
Riwayat Penyakit Sekarang: normal
- Demam sejak 5 hari, mendadak tinggi, - Ekstremitas : nyeri pada Gastrocnemius, terdapat
turun sesaat setelah minum obat bodrex, ptechiae di pretibial kedua tungkai, kekuatan
namun tidak lama demam muncul lagi, motoric normal.
kadang sampai menggigil. Disertai nyeri
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
kepala berat dan nyeri otot terutama sekitar
betis dan punggung, mual muntah dan diare
- DL : Hb 13,2 g/dl, leukosit 13.300/cmm,
tidak lebih 4x/hari cair tanpa lender/darah, trombosit 87.000/cmm, PCV 41%, MCV 82 fl,
nafsu makan turun, mata tampak merah tapi MCH 30,5 pg, MCHC 34%
tidak keluar kototran atau tidak - Tes fungsi hati : AST 80 U/L, ALT 102 U/L,
terasa”ngeres”, batuk batuk 2 hari terakhir
bilirubin total 2,45 mg/dl, direct 1,75 mg/dl
sedikit ada darah berupa busa kemerahan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Tes fungsi ginjal : BUN 46 mg/dl, kreatinin 1,4
- Tidak pernah sakit seperti sekarang mg/dl
- Pernah terserang demam berdarah waktu - Urinalisis : albumin (++), bilirubin (+)
kelas 6 sd Interpretasi Data :
Riwayat Penyakit Keluarga : - Darah rutin : lekositosis dan trombositopenia
- Tes fungsi hati : peningkatan ALT > AST,
- Tidak ada yang sakit seperti pasien
- Tidak terdapat penyakit menurun dalam sesuai dengan keadaan inflamasi akut,
keluarga parenkimatous jaundice.
- Ibu meninggal usia 60 tahun karena - Tes fungsi ginjal : Azotemia dengan
komplikasi DM dan serangan jantung
albuminuria
Riwayat Kebiaasaan sosial :
- Pasien adalah asistem rumah tangga, baru
bekerja 8 bulan dirumah majikan kota
Jakarta. Rumah majikan berupa toko
kelontong sekaligus gudang penyimpanan
barang. Terdapat hewan peliharaan anjing
dan beberapa ekor burung merpati serta DIAGNOSIS AKHIR
banyak berkeliaran tikus di area gudang Leptospirosis
- 1 minggu sebelumnya rumah kebanjiran 19
dan pasien membersihkan gudang yang
sempat terendam banjir.
- Kaki banyak retak dikulit sela sela jari.
BAB IX

STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

9.1. Penatalaksanaan
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diduga diagnosis
leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah onset penyakit. Umumnya dokter
mengobati dengan antibiotik tanpa menunggu timbulnya penyakit. Uji serologik tidak
menjadi positif sampai sekitar seminggu setelah onset penyakit, dan kultur tidak dapat
menjadi positif selama beberapa minggu.10 Kesulitan melihat hasil pengobatan ialah bahwa
umumnya leptospira merupakan penyakit self limiting dengan prognosis yang cukup baik.

Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penicillin G, amoxicillin,


ampicillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat
diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun
sefalosporin.

Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun diingat
bahwa antibiotika bermanfaat apabila leptosipra masih terdapat dalam darah (fase
leptospiremia). Sebagai terapi alternatif dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga dan
fluorokuinolon (ciprofloxacin) 2 x 200-400mg dimana penetrasi ke jaringan baik. Penelitian
di Thailand tentang pemberian ceftriaxon dibandingkan peniccilin G pada leptospirosis berat
menunjukkan tidak adanya perbedaan.

20
Terapi suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
Keseimbangan cairtan akibat diare dan muntah-muntah memerlukan infus, anemia berat
diperbaiki dengan transfuses darah.Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan
membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan
tindakan hemodialisa temporer. Selama perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, suhu,
denyut nadi, dan respirasi secara berkala tiap jam atau 4 jam serta pemantauan jumlah urin.

Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang
timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Bila terjadi uremia berat sebaiknya dilakukan
dialisis.

Penanganan pada kondisi khusus seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hipertensi,


gagal jantung, kejang dan perdarahan. Hiperkalemia dapat menyebabkan cardiac arrest,
dapat diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa-insulin (10-20 unit regular insulin
dalam dektrosa 40 %). Asidosis metabolik diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat.
Pada hipertensi dapat diberikan obat hipertensi. Kejang dapat timbul karena hiponatremia,
hipokalsemia atau hipertensi ensefalopati dan karena uremia, hal terpenting adalah mengatasi
penyebab dasar serta diberikan obat anti konvulsi. Perdarahan dapat timbul karena
trombopati.

21
BAB X
PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik dan pasien dapat sembuh total dari leptospirosis. Pada
beberapa pasien, pemulihan dapat berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun. Pada
anak angka kematian lebih rendah dibandingkan dewasa.2 Gejala sisa mungkin terjadi,
termasuk kelelahan kronis dan gejala neuropsikiatri lainnya seperti sakit kepala, paresis,
kelumpuhan, perubahan suasana hati, dan depresi.
Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat mengalami nyeri
kepala periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis leptospirosis mengalami kehilangan
ketajaman penglihatan dan pandangan yang kabur. Leptospirosis selama kehamilan dapat
menyebabkan kematian janin, aborsi, atau lahir mati.
Tingkat fatalitas kasus di berbagai belahan dunia telah dilaporkan berkisar dari <5%-
30%. Angka ini tidak terlalu dapat dipercaya karena di banyak daerah terjadinya penyakit ini
tidak terdokumentasi dengan baik. Selain itu, kasus ringan mungkin tidak terdiagnosis
sebagai leptospirosis. Penyebab penting kematian termasuk gagal ginjal, gagal jantung-paru,
dan perdarahan luas. Gagal hati jarang menjadi penyebab, meskipun timbul ikterik. Perbaikan
prognosis leptospirosis berat akhir-akhir ini terjadi karena penggunaan hemodialisis sebagai
sarana penunjang gagal ginjal reversibel yang mungkin terjadi dalam beberapa kasus dan
diberikannya perawatan suportif yang agresif.
Mortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering disebabkan
karena gagal ginjal, perdarahan masif atau ARDS. Fungsi hati dan ginjal akan kembali
normal, meskipun terjadi disfungsi berat, bahkan pada pasien yang menjalani dialisis. Sekitar
sepertiga kasis yang menderita meningitis aseptik dapat mengalami nyeri kepala secara
periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis leptospirosis mengalami kehilangan
ketajaman penglihatan dan pandangan yang kabur.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Tanda dan Gejala leptospirosis. https://dokudok.com/daftarpenyakit/tanda-


dan-gejala-leptospirosis/. Diakses pada tanggal 13 Juni 2019 pukul 07.30

Garishah, Fadel Muhammad. 2010. Demam Tifoid.


https://fadelmuhammad.files.wordpress.com/2010/01/garishah-fm- demam-tifoid.pdf.
Diakses pada tanggal 13 Juni 2019 pukul 08.00

Infectious Disease Information Center. 2005. Leptospirosis-weil's disease- sewerman's


fluswineherd's disease-Milker's disease. http.://www.Leptospirosis-weil's
disease.htm. Diakses pada tanggal 13 Juni 2019 Pukul 07.00 WIB

Rampengan, N. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3,


November 2016, hlm. 143-150.

Setadi B, Setiawan A, Effendi D. Leptospirosis. Sari pediatri. 2013;15: 163-7.

Terpstra WJ, Adler B, Ananyina B, AndreFontaine G, Ansdell V, Ashford DA, et al. Human
leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva; World
Health Organization/ International Leptospirosis Society, 2003; p. 1-9; 21-3.

23

Anda mungkin juga menyukai