Anda di halaman 1dari 31

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................ 3


Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 5
2.1 Tujuan Penulisan ................................................................................. 5
Bab 2 Tinjauan Pustaka...................................................................................... 6
2.1 Definisi .................................................................................................. 6
2.2 Epidemiologi.......................................................................................... 6
2.3 Etiologi................................................................................................ 7
2.4 Faktor Resiko ........................................................................................ 7
2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 8
2.6 Klasifikasi............................................................................................... 9
2.7 Diagnosis.... ........................................................................................ 12
2.7.1 Anamnesis ...................................................................................... 12
2.7.2 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 13
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 13
2.7.4 Alur Diagnosis................................................................................ 14
2.8 Penatalaksanaan ............. ..................................................................... 15
2.9 Komplikasi……… ............................................................................... 20
2.10 Prognosis….... ................................................................................... 21
Bab 3 Penutup ................................................................................................. 22
Daftar Pustaka ................................................................................................. 24

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti
serangan. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum
Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai
gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang
didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi
yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara
maju ditemukan sekitar 50:100,000 sementara di negara berkembang
mencapai 100:100,000. Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti
tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan
penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem
Kesehatan Nasional., karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya
aspek medik dan psikososial, maka epilepsi tetap merupakan masalah
kesehatan masyarakat sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis
lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.2,3
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan
dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai
diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi
tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat
dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi
berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat
diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan
penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah
melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang
mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan

2
pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah
dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan
diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan
kejang dan sindrom epilepsi.4,5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
3
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang
manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi
merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan
(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan
berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali
saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional
provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.21,22,23
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya
bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi.24 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi
klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).25
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus, kronisitas.
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
3
berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial.
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan
di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis,
biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau
kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya
bangkitan kejang. 4
2.2 Epidemiologi
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per

4
100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi dinegara
berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal,
serta post natal.
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta
jiwa. Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada
kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU
dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada
anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -
10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi
prevalensi epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan
sampel 1 wilayah. Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per
1000 penduduk.

2.3 Etiologi
ETIOLOGI (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang
umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak
yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan
metabolik dan kelainan neurodegeneratif.

5
2.4 Faktor Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
factor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya factor genetik lebih berperan
pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor
penyebabnya disebut epilepsi simtomatik.
Beberapa factor resiko terjadinya epilepsy antara lain :
1. Faktor Prenatal
a. Usia ibu saat hamil
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
c. Kehamilan primipara / multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2. Faktor Natal
a. Afiksia
b. BBL
c. Kehamilan premature / postmatur
d. Partus lama
e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC )
f. Perdarahan intrakranial
3. Faktor Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Epilepsy akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4. Faktor keturunan
5. Kelainan Genetik

2.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,

6
dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel
openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalm hal
inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.2,3
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus,
yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas
kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian
memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara
klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah
neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai
aktifitas listrik di dalam otak.2,6

7
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat.2,3
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :2,7
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding
orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi
hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang
bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita
epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki
sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.2,3
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.2,3

8
1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
(GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara
itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital,
hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.2,3
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain
di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus
asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan
tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dn anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.

9
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau
kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron
glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma,
infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam
hal ini faktorgenetik dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
petit mal serta benigne centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

2.6 Klasifikasi
KLASIFIKASI ILAE 1981
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven,
Ozuna 2005).
Serangan parsial
 Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
 Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
 Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
 Serangan umum.
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
10
 Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus


 Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy“.
 Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
 Kriptogenik

Umum
 Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
 Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik

11
- Epilepsi absans mioklonik
 Simptomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
 Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
 Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan
12
sesudahserangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
 Pola / bentuk serangan
 Lama serangan
 Gejala sebelum, selama dan paska serangan
 Frekwensi serangan
 Faktor pencetus
 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia saat serangan terjadinya pertama
 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi
1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-
anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang
biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti
stroke atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
13
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien
dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara
mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”
dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari
sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara
dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang
berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah
pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai
dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan
kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan
kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?
Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah
tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari
lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi
kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus
temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan
mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan
kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post

14
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik
pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis
di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat obat anti kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut
yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

15
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi
tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka
ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga
dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.


Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi
yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan
serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu
untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun
proses persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory
distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah
serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang
demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang
disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis.

16
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi
dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk
bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).
1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi
mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut
dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat
dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan
kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh
waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja
dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko,
tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan
pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang
jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak
membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan
epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan
kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini
bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa
negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang
mengemudikan kendaraan bermotor.

17
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien
merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi
wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti
epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi
oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang
sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk
mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko
terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-
minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi
dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah
minum alkohol .

Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada
sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan
faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh
“Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign
rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai
kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).

Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas
karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena
efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat pengobatan.

18
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa
lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.
(Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.


Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed,
Spencer 2004)

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak - anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang


dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien
yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk
mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak
kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah
ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma”

19
pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual
fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “
( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah
ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat
oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures”
yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed,
Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf


kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di
area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.”
Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan
gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan
adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan
2000).

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
20
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal:


1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).

b. Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan
pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

21
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum
elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” ,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat
berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila
dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan
stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan
laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa
alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang
spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan

22
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan
dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam
serangan kejang parsial atau serangan kejan

PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,
atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan
terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70%

23
dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi
(Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk
2003).

PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

24
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal
terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat
menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.6
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar
tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat
antiepilepsi. 6
Prinsip pengobatan epilepsi: 6
1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom
epilepsi
2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi
3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang
pertama gagal
4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang.
OAE pilihan pertama dan kedua : 6
1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
2. Serangn tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II : Etosuksimid
5. Serangan tonik, klonik, atonik
Semua OAE kecuali etosuksinid
Syarat penghentian obat anti epilepsi: 6

25
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan utama
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling
sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan
dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah
mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah
minum obat teratur.
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe
kejang, umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks
akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia
awal terjadinya kejang, remisi lebih sering terjadi.6
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan
faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan
tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 6

Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom

26
Mekanisme kerja OAE

Obat epilepsi untuk anak

27
2.8 Komplikasi
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan
terjadi kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat
irreversible dan jika sering terjadi dengan jangka waktuyang lama sering sekali
membuat pasien menjadi cacat.

2.9 Prognosis
Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap
intesitas terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi
dengan cara menghindari factor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari –
hari. Penanganan pada kasus epilepsi saat serangan merupakan factor penting
penentuan prognosis.

28
BAB 3
PENUTUP

Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap


orang di seluruh dunia.1Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius
dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami
kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang
Bila serangan epilepsi tidak ditangani dengan baik dan berlangsung lama
dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem otak dan syaraf anak tersebut hingga
dapat mengakibatkan kematian.
Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap
intesitas tejadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan
cara menghindari faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.

29
Penanganan pada kasus asma saat serangan merupakan faktor penting penentuan
prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum


Mengenai Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta
Neurologi. Edisi-2. Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007: h.119-
133.
2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam
Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang:
Binarupa Akasara; 2009: h. 100-102.
3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim,
Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 1999: h.190-197.
4. Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma .
5. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
30
6. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi.
Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1.
Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S,
edisi 11. Jakarta: Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-6
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.
2005
9. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses
Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
12. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
13. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
14. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics.
Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)

31

Anda mungkin juga menyukai