Umair Bin Sa
Umair Bin Sa
‘Umair bin Sa’ad masuk Islam dalam usia yang sangat muda, kira-kira
sepuluh tahun lebih sedikit. Ketika itu Iman telah mantap dalam hatinya
yang masih segar, lembut dan polos. Karena itu Iman melekat pada
dirinya dengan kokoh. Dan Islam mendapatkan jiwanya yang bersih dan
halus, bagaikan mendapatkan tanah subur. Dalam usia seperti itu ‘Umair
tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah di belakang Rasulullah.
Ibunya senantiasa diliputi kegembiraan setiap melihat anaknya pergi atau
pulang dari masjid, kadang-kadang bersama-sama suaminya dan kadang-
kadang anaknya seorang diri.
Kehidupan ‘Umair bin Sa’ad di waktu kecil berjalan lancar, senang dan
tenang, tidak ada yang mengeruhkan dan mengotori. Sehingga tiba
masanya Allah menghendaki untuk mengembangkan jiwa anak kecil yang
akan meningkat remaja ini dengan suatu latihan berat, dan mengujinya
dengan ujian yang jarang dilalui anak-anak sebaya dia.
Tetapi tatkala kaum munafik yang sengaja berlalai-lalai dan acuh tak acuh
ini mendengar cerita ‘Umair yang dikiranya akan membangkitkan
semangat juang dan pengorbanan mereka, malah sebaliknya ‘Umair
menerima jawaban berupa kata-kata yang sungguh-sungguh
membingungkan pemuda cilik yang mu’min ini. Mereka berkata,
“Seandainya apa yang dikatakan Muhammad tentang kenabian itu benar
adanya, tentulah kami lebih buruk daripada keledai.”
‘Umair sungguh bingung mendengar ucapan itu. Dia tidak menyangka
sedikit juapun kata-kata seperti itu justru keluar dari mulut orang dewasa
yang cerdas, Julas bin Suwaid, bapak tiri yang mengasuh dan
membesarkannya selama ini; kata-kata yang nyata-nyata mengeluarkan
orang yang mengucapkannya dari Iman dan Islam, beralih menjadi kafir
seketika itu juga, melalui pintu utama yang paling lebar.
Anak kecil itu merasa dia harus berani mengambil keputusan segera;
melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya atau diam seribu bahasa.
Dia memilih melapor. Lalu dia berkata kepada Julas, “Demi Allah, hai
Pak Julas! Tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih saya cintai selain
dari Muhammad Rasulullah. Bahkan dia lebih saya cintai dari Bapak
sendiri. Bapak memang sangat berjasa kepada saya, karena telah turun
tangan membahagiakan saya. Tetapi Bapak telah mengucapkan kata-kata
yang jika saya laporkan pasti akan memalukan Bapak. Sebaliknya jika
saya diamkan berarti saya mengkhianati amanah yang akan
mencelakakan diri serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad
hendak melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah,
dan Bapak akan menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri.
Kata yang lain, “Tidak! Dia anak yang ta’at kepada Allah. Wajahnya
cantik dan elok memancarkan cahaya iman, menunjukkan dia benar.”
Rasulullah menoleh kepada ‘Umair. Kelihatan oleh beliau wajah anak itu
merah padam. Air matanya jatuh berderai di pipinya. Kata ‘Umair
mendo’a, “Wahai Allah! Turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu, bahwa aku
benar.”
Julas telah kembali ke dalam Islam dan menjadi muslim yang baik. Para
sahabat telah sama mengetahui bagaimana besarnya jasa baik Julas
mengasuh dan membesarkan ‘Umair selaku anak tiri. Dia bertanggung
jawab penuh sebagai layaknya bapak kandung ‘Umair. Setiap kali orang
menyebut nama ‘Umair di hadapannya, dia berkata dengan tulus,
“Semoga Allah membalasi ‘Umair dengan segala kebajikan, karena dia
telah membebaskan saya dari kekafiran dan dari api neraka.”
Kisah yang kita ceritakan ini, belum merupakan gambaran puncak dari
kehidupan ‘Umair, melainkan baru merupakan gambaran kehidupannya
waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya yang lebih
gemilang dan indah di waktu mudanya.
Barusan telah kita lihat dengan jelas bentuk kehidupan sahabat yang
mulia, ‘Umair bin Sa’ad, waktu dia masih kanak-kanak. Sekarang marilah
kita lihat bentuk kehidupannya yang cemerlang saat dia telah diewasa.
Anda akan menyaksikan kehidupannya tahap kedua ini tidak kurang
gemilangnya dari tahap pertama, agung dan megah.
Karena itu Khalifah Umar mencari seorang yang tidak bercacat, dan yang
namanya belum pernah rusak untuk menjadi Gubernur di sana. Lalu
beliau sebar pembantu-pembantunya melihat-lihat orang yang paling
tepat. Maka tidak diperolehnya orang yang lebih baik, selain dari Umair
bin Sa’ad. Tetapi sayang, ‘Umair ketika itu sedang bertugas memimpin
pasukannya berperang fi sabilillah di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia
berhasil membebaskan beberapa kota, menghancurkan beberapa benteng,
mendudukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri
yang dilaluinya.
Jawab ‘Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat dan ‘afiat.
Alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua
tanduknya.”
Tanya Khalifah Umar, “Dunia manakah yang Anda bawa?” (Khalifah
menduga, dia membawa uang setoran pajak untuk Baitul Maal).
Jawab ‘Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk
bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudhu’, untuk
membasahi kepala dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya
bawa. Yang Iain-lain tidak saya perlukan.”
Jawab, “Tidak! Mereka tidak memberi saya, dan saya tidak pula
memintanya dari mereka.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab, “Sejak saya mulai tiba di Himsh, saya kumpulkan penduduk yang
baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan
pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya
bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan, dan
bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.”
Kata ‘Umair, “Ma’af, Khalifah! Saya tidak menghendaki jabatan itu lagi.
Mulai sa’at ini, saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk
orang lain sesudah anda, ya Amirul Mu’minin.”
Kata ‘Umair, “Wahai Allah, tolonglah ‘Umar. Saya tahu sungguh, dia
sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al Harits menjadi tamu ‘Umair selama tiga malam. Tiap malam Harits
hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga,
seorang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda
telah menyusahkan ‘Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa
selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih
mementingkan Anda, walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika
Anda tidak keberatan, sebaiknyalah Anda pindah ke rumah saya menjadi
tamu saya.”
Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, uang itu mungkin hanya tinggal
satu dirham saja lagi untuknya.”
Khalifah ‘Umar menulis surat kepada ‘Umair, katanya, “Bila surat ini
selesai Anda baca, maka janganlah Anda letakkan sebelum datang
menghadap saya.”
Tanya khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu, hai ‘Umair?”
Jawab ‘Umair, “Apa maksud Anda menanyakan, sesudah uang itu Anda
berikan kepadaku?”
Jawab ‘Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya yang menonjol di
universitas Muhammad bin ‘Abdullah sendiri, dan akan saya
manfa’atkan nanti pada suatu hari, ketika harta dan anak-anak tidak
bermanfa’at lagi, yaitu hari kiamat.”
Semoga Allah meredhai ‘Umair bin Sa’ad, dan semoga dia senang dalam
keredhaan-Nya. Dia telah menempuh cara yang diambilnya sendiri di
antara sekian banyak orang. Dan dia adalah bekas mahasiswa