Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epistaksis merupakan kondisi klinis yang dapat terjadi pada semua umur dengan
berbagai penyebab. Epistaksis bisa disebabkan karena kelainan lokal maupun sistemik.
Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, benda asing, tumor, dan pengaruh
udara. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi
sistemik, kelainan hormonal, kelainan kongenital, dan perubahan tekanan atmosfir.
Perdarahan hidung adalah masalah yang sangat umum ditemukan, dokter atau perawat
harus mampu mengatasinya. Bila epistaksis sumbernya dari bagian anterior hidung
hampir 90% dapat ditanggulangi dengan menekan pembuluh darah yang mengalami
perdarahan. (Mangunkusumo & Wardhani, 2007).
Petruson (dikutip dari Djojodiharjo, 1986) melaporkan survey di
Skandinavia sebanyak 60% masyarakat pernah epitaksis, 4% epitaksis berulang,
6% pergi berobat kedokter, 15% epistaksis pada anak, 1% epistaksis berobat pada
dokter. Dalam menangani epistaksis harus dicari etiologi. Epistaksis biasanya ringan pada
usia muda. Epistaksis tambah berat dengan meningkatnya usia.
Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia 11-14 tahun melaporkan
bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis dan penanganan epistaksis
bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan. Kebanyakan kasus epistaksis (80%-
90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik dalam Bidasari 2007). Penanganan pasien
epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien. Riwayat penyakit yang teliti
dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. Pemeriksaan
fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan. (Wormald dikutip dalam
Budiman 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian retrosepktif yang telah dilakukan
terhadap penderita epistaksis periode Januari 2010 – Desember 2012 di poliklinik
THTKL BLU RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado, ditemukan 1048 penderita
epistaksis dari 12.981 pasien. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahun 2010
menunjukkan distibusi frekuensi penderita terbanyak pada bulan Juli 36 kasus (8,16%)

1
2

sedangkan pada bulan Desember 10 kasus (5,15%). Pada tahun 2011, bulan Oktober
terjadi 50 kasus (13,74%) sedangkan bulan Februari 20 kasus (5,49%). Tahun 2012 hasil
yang didapat terbanyak pada bulan Oktober 37 kasus (9,87%) sedangkan pada bulan
Desember 11 kasus (2,98%). Berdasarkan data yang ada terlihat adanya perbedaan pada
beberapa bulan, ada yang tinggi dan ada pula yang rendah.
Peran perawat pada saat penatalaksanaan epitaksis adalah menghentikan perdarahan
pada pertolongan pertama dan untuk penatalaksanaan lebih lanjut ditangani oleh dokter.
Pasien yang pernah dijumpai pada pasien epistaksis dan dilakukan tamponade
epinephrine rata – rata dengan trauma di wajah. Perawat di Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta menggunakan tamponade epineprine untuk mengatasi perdarahan berulang
dengan alasan epinephrine sebagai vasokontriksi pada pembuluh darah, dan juga dengan
harga yang ekonomis.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi pasien dengan epistaksis
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada psien dengan epitaksis

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran mengenai pasien epistaksis di lingkungan sekitar dan
pelayanan kesehatan serta memahami tindakan yang akan dilakukan saat menemukan
pasien dengan epistaksis.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep epistaksis
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien epistaksis
3

C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Bagi peneliti.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti
dalam melakukan penelitian secara baik dan benar.

2. Bagi keilmuan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam bidang
pendidikan khususnya di bidangkedokteran.

3. Bagi masyarakat.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat
tentang epistaksis.
4

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Epistaktis
Epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan spontan patologis yang
sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan salah satu pembuluh superfisial mukosa
dekat dengan tepi septum hidung yang keluar melalui lubang hidung ataupun
kebelakang (koana). Perdarahan dari hidung tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari
kelainan lokal ataupun kelainan sistemik ( Callaham 1997 ).
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung.
Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan
suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi di hidung
adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Kebanyakan ringan dan sering
berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,
walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak segera
ditangani (Endang & Retno, 2008).
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti
dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya (Iskandar & Supardi, 1993).

B. Anatomi Dan Fisiologi Hidung


Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung luar
berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi),
kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang
rawan. Tulang terdiri dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan
lamina prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum
dan kolumela. Sedangkan hidung bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan
vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu konka suprema, superior, media, dan
inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media, dan inferior (
Schlosser dalam Budiman 2011 ).

4
5

Gambar 1. Gambar 2.

Pembuluh darah di daerah septum nasi Pembuluh darah di dinding lateral

Perdarahan Hidung

Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian
depan dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri
tersebut merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Bagian
bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina, merupakan
cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri
fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatine mayor,
yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (Little’s area).

Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
6

Persarafan Hidung

Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian
hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina.
Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan persarafan
vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris
dari nervus maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus. Fungsi penghidu berasal dari nervus
olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaltorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung. ( Schlosser dalam Budiman 2011 ).

C. Etiologi
Menurut Soepardi tahun 2000 , Epitaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi
akibat sebab lokal dan umum atau (kelainan sistemik ).

a. Etiologi lokal epistaksis dapat berupa:


1. Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada
anak dan remaja.
2. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial
3. ritasi , epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia udara
panas pada mukosa hidung.
4. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai
ingus yang berbau busuk.

b. Etiologi sistemik epistaksis antara lain:


1. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti
ateroklerosis, sirosis hepatis, sifilis dan nefritis kronis.
2. Kelainan darah, misalnya leukemia, trombositopenia, dan hemofilia.
3. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, mobili, demam
7

tifoid.
4. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause.

D. Manifestasi Klinik Epistaksis


1. Darah yang berwarna merah cerah yang keluar dari lubang hidung, berasal dari
hidung anterior
2. Darah yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian belakang tenggorokan,
berasal dari hidung posterior (umumnya disalah artikan sebagai hemoptisis karena
adanya ekspektorasi)
3. Pusing, dan sedikit sulit bernapas
4. Perembesan dibelakang septum nasal, ditelinga tengah dan di sudut mata
5. Hemoragi parah (berlangsung lebih dari 10 menit setelah ditekan) : hipotensi, denyut
nadi cepat, dispnea, dan pucat, darah yang hilang bisa mencapai 1 L/jam pada orang
dewasa.

E. Patofisiologi

Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri
karotis eksterna. Arterikarotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui
percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan
salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke
nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris
interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan :
arteri alveolaris posterior superior, arteri palatina desenden, arteri infraorbitalis,
arteri sfenopalatina, pterygoid canal dan arteri pharyngeal. Arteri palatina desenden
turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian
kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai
darah ke septum anterior. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung.
Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan
memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita
melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga
orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis
8

optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior,
lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan
untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum. Pleksus kiesselbach yang
dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan
lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior.

Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini.


Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior
inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini
menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada
pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti
menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya
trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini
terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi
akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.
9
10

F. Komplikasi
Komplikasi dari epistaksis adalah sebagai berikut :
1. Sinusitis ; Sinusitis adalah peradangan pada dinding sinus yang merupakan rongga
kecil berisi udara dan terletak pada struktur tulang wajah
2. Septal hematoma (bekuan darah pada sekat hidung)
3. Deformitas (kelainan bentuk hidung)
4. Aspirasi (masuknya cairan keseluruh napas bawah)
5. Kerusakan jaringan hidung
6. Infeksi

G. Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan


perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada
syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
1. Menghentikan perdarahan
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan pengisap untuk membersihkan hidung
dan alat bekuan darah kemudian tampon kapas yang telah dibasahi adrenalin
1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung.
Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. ( Soepardi 2002 ).
2. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat langsung dari epistaksis sendiri sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi
syok dan anemia. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media
dan bahkan septikemia. (Soepardi 2002)

H. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan :


1. pemeriksaan darah tepi lengkap
2. fungsi hemostasis
3. uji faal hati dan faal ginjal.
11

4. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal & nasofaring.


5. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda
asing dan neoplasma.

Jika diperlukan pemeriksaan radiologi hidung, sinus paranasal dan nasofaring


dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi. (Soepardi et al.2000 )

I. Konsep Askep Epitaksis

A. PENGKAJIAN :

1. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,


2. Riwayat Penyakit sekarang :

 Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan terasa


penuh.

3. Riwayat penyakit dahulu :

 Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
 Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
 Pernah menedrita sakit gigi geraham

4. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu
yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
5. Riwayat spikososial

 Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0


 Interpersonal : hubungan dengan orang lain.

6. Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat


12

 Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa


memperhatikan efek samping

b. Pola nutrisi dan metabolisme :

 biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung

c. Pola istirahat dan tidur

 selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek

d. Pola Persepsi dan konsep diri

 klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun

e. Pola sensorik

 daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus
menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).

7. Pemeriksaan fisik
a. status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
13

B. Analisa Data
Data Senjang
DS : - Mengeluh badan lemas
- Kesulitan bernafas

DO: - Perdarahan pada hidung

- Gelisah

- Penurunan tekanan darah

- Peningkatan denyut nadi

- Anemia

- cemas

C. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan bersihan jalan nafas tidak
efektif.
2. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita
3. Nyeri akut berhubungan dengan imfeksi saluran nafas atas maupun pengeringan
mukosa hidung
14

D. Intervensi Keperawatan
No. Dx NOC NIC
1. Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
keperawatan selama … x …
1. Kaji bunyi atau kedalaman
diharapkan Bersihan jalan nafas
pernapasan dan gerakan dada.
menjadi efektif
2. Catat kemampuan mengeluarkan
Ditandia dengna : mukosa/batuk efektif
3. Berikan posisi fowler atau semi
1. Frekuensi nafas normal,
fowler tinggi
2. tidak ada suara nafas
4. Bersihkan sekret dari mulut dan
tambahan,
trakea
3. tidak menggunakan otot
5. Pertahankan masuknya cairan
pernafasan tambahan,
sedikitnya sebanyak 250 ml/hari
4. tidak terjadi dispnoe dan
kecuali kontraindikasi
sianosis

Kolaborasi
1. Berikan obat sesuai dengan indikasi
mukolitik, ekspektoran, bronkodilato
2. Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
keperawatan selama … x … 1. Kaji tingkat nyeri klien
diharapkan nyeri berkurang atau 2. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada
hilang. klien serta keluarganya
3. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
Ditandai dengan :
4. Observasi tanda tanda vital dan keluhan
klien
1. Klien mengungkapakan
nyeri yang dirasakan
Kolaborasi dengan tim medis
berkurang atau hilang
2. Klien tidak menyeringai - Terapi konservatif : obat
kesakitan Acetaminopen; Aspirin, dekongestan
hidung
15

3. Setelah dilakukan tindakan Mandiri :


keperawatan selama … x …
1. Menentukan tindakan selanjutnya
diharapkan Cemas klien
2. Memudahkan penerimaan klien
berkurang/hilang
terhadap informasi yang diberikan
3. Meningkatkan pemahaman klien
Ditandia dengan :
tentang penyakit dan terapi untuk
1. Klien akan
penyakit tersebut sehingga klien
menggambarkan tingkat
lebih kooperatif
kecemasan dan pola
4. Dengan menghilangkan stimulus
kopingnya
yang mencemaskan akan
2. Klien mengetahui dan
meningkatkan ketenangan klien.
mengerti tentang penyakit
5. Mengetahui perkembangan klien
yang dideritanya serta
secara dini.
pengobatannya

Kolaborasi :

1. Obat dapat menurunkan tingkat


kecemasan klien

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian akhir dari suatu tindakan dan respon yang diberikan
oleh pasien, dimana pada tahap ini tindakan dinyatakan teratasi atau belum teratasi.
Setelah dilakukannya tindakan pada pasien dengan kasus epitaksis diharapkan hasil
yang didapatkan berupa tidak ada komplikasi yang terjadi pada pasien dan masalah
teratasi semua setelah diberi tindakan oleh perawat.
16

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Epistaksis merupakan kondisi klinis yang dapat terjadi pada semua umur dengan
berbagai penyebab. Epistaksis bisa disebabkan karena kelainan lokal maupun sistemik.
Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, benda asing, tumor, dan pengaruh
udara. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi
sistemik, kelainan hormonal, kelainan kongenital, dan perubahan tekanan atmosfir.
Perdarahan hidung adalah masalah yang sangat umum ditemukan, dokter atau perawat
harus mampu mengatasinya. Bila epistaksis sumbernya dari bagian anterior hidung
hampir 90% dapat ditanggulangi dengan menekan pembuluh darah yang mengalami
perdarahan. (Mangunkusumo & Wardhani, 2007).
Penyebab diantaranya dikarenakan Infeksi local, Selaput lendir yang kering
pada hidung yang mengalami cedera, Penyakit kardiovaskuler, Infeksi iskemik
dan Kelainan darah sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti infeksi,
deformitas, dan kerusakan jaringan. Epistaksis dapat menyebabkan kematian
apabila darah masuk ke telinga bagian tengah dan sudut mata yang memengaruhi
detak jantung dan menimbulkan kematian.

B. Saran
1. Bagi perawat lebih peka atau cepat tanggap dalam mengahadapi kasus – kasus yang
terjadi, khusunya pada pertolongan pertama pada penatalaksanaan epistaksis.
2. Bagi institusi pendidikan, dapat dijadikan bahan acuan dalam mata kuliah gawat
darurat dalam penanganan kasus dengan epistaksis
3. Bagi pembacaa, diharpkan menjadi pedoman dalam melakukaan tugas-tugas yang
berhubungan dengan kasus epitaksis dan dapat dijadikan referensi.

16
17

DAFTAR PUSTAKA

Price,Sylvia A. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.Jakarta: EGC.

Endang, Retno. 2008. Buku saku prosedur klinis keperawatan edisi 5. Jakarta: EGC.

Mangunkusumo, Wardhani. 2007. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru. Jakarta

Doengoes, Marilyn, et al, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

http://www.wartamedika.com/mimisan-atau-epistaksis.html

Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000.Nursing Outcome Classification(NOC).Mosby.


Philadelpia

MC. Closky J. dan Bulaceck G. 2000.Nursing Interventions Classification (NIC). Mosby.


Philadelpia.

Anda mungkin juga menyukai