Anda di halaman 1dari 13

KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM

Dalam ekonomi konvesional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat
perubahan-perubahan dalam system pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan
government expenditure). Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan,
yang didefenikan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan
spiritual manusia. Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efesian, stabilitas ekonomi,
pertumbuha, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang memengaruhi anggaran pendapatan dan belanja suatu Negara (APBN).
Kebijakan moneter dan perdangangan, diperlukan untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat
jalannya roda perekonomian.

A. POSISI KEBIJAKAN FISKAL


Biasa dikatakan, kebijakan fiskal memengang peranan penting dalam system ekonomi islam bila dibandingkan
dengan kebijakan moneter, adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan
tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Larangan bunga yang
diberlakukan pada tahun hijriah ke empat telah mengakibatkan system ekonomi islam yang dilakukan oleh nabi
terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, negera islam yang dibangun oleh nabi tidak
mewarisi harta sebagai mana layaknya dalam pendirian suatu negera.

Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelah, kaum muslimin cukup berpengalaman dalam menerapkan beberapa
instrument sebagai kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga baitulmal(nasional treasuri). Dalam
berbagai macam instrument pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak khusus muslim), tanah kharaj, dan
ushur(cukai) atas barang impor dari Negara yang mengenakan cukai terhadap pedangang kaum muslimin, sehingga
tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.

Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani
umat. Kemudian dilihat dari bagaimana islam memecahkan problematika ekonomi. Maka berdasarkan kajian fakta
permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana
distribusi harta dan jasa ditengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah
bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT. Mengingatkana kita tentang
betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya :
“… supaya harta itu jangan hanya beredar antara orang-orang kaya saja diantara kamu…”(QS. Al-Hasyr:7)
Juga dalam hadist nabi Muhammad SAW:
“jika pada suatu pagi suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka”,
dalam kesempatan lain ” tidak beriman lagi pada-ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu
tetangganya kelaparan.”(Hadis Qudsi).
B. ZISWA SEBAGAI KOMPONEN KEBIJAKAN FISKAL ISLAMI
Dalam islam kita kenal adanya konsep zakat infaq, sedekah, wakaf, dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan
kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah islam
guna diberikan kepada berbagai unsure masyarakat yang telah ditetapka dalam syariah islam. Sementara infaq,
sedakah, wakaf merupakan pengeluaran sukarela yang juga sangat dianjurkan dalam islam. Dengan demikian
ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat
wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela.
Sebagai salah satu kebijakan fiskal dalam islam, ZIKWA merupakan salah satu sendi utama dari system ekonomi
islam yang kalau mampu dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa. Diharapkan
system ekonomi islam ini mampu menjadi alternatif bagi system pasar yang ternyata menunjukan berbagai masalah
didalam pelaksanaannya. Jelas ini memerlukan kerja keras dari berbagi unsur keahlian untuk mewujudkannya apa
yang dimakan dengan system ekonomi islam.

1. ZAKAT
Dalam hal pengelolaan keuangan public, dunia islam dewasa kehilangan minimal dua hal yaitu menghilangnya spirit
religiositas dan kehilangan meknisme teknik yang bermanfaat. Pertama , menghilangnya spirit regiliositas dalam
penemuhan dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme yang melanda dunia islam,
hal ini menyebabkan dunia islam kehilangan daya dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak digunakannya
berbagai mekanisme yang berbau islam , justru dunia islam kehilangan metode menyejahterakan rakyatnya.
Sebagai contoh , tidak diadopsikannya zakat dalam system ketatanegaraan, ini menyebabkan dunia islam kehilangan
kekuatan untuk menjalankan program welfare. Program kesejahteraan untuk memecahkan masalah kemiskinan dan
bencana yang meliputi kesehatan, pangan, balita, dan manula tidak dikenal dengan standar yang memuaskan
diseluruh dunia islam. Menghilangnya regiliositas dari panggung ketatanegaraan dengan serta-merta mengadopsi
sekularisme dan materialism yang tidak dipahami mendorong moralitas yang bobrok.
Tujuan utama dari kegiatan zakat berdasarkan suduk pandang system ekonomi pasar adalah menciptakan distribusi
pendapatan menjadi lebih merata dan tidak ada unsur zakat didalam anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah(APBN), karena memang kegiatan zakat belum termasuk dalam catatan statistic resmi pemerintah.
Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin menyucikan hartanya.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa system zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus muslim dengan
pihak defisit muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit
muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit(mustahik) menjadi surplus(muzaki). Zakat merupakan
komponen utama dalam system keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam system ekonomi
islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat islam walaupun demikian masih komponen
lainnya yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan Negara sebagai mana yang terlah
diuraikan diatas.
Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mat a untuk tujuan duniawi, seperti distribusi pendapatan,
stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi mempunyai implikasi untuk kehidupan diakhirat hal ini yang membedakan
kebijakan fiskall dalam islam dengan kebijakan fiskal dalam system ekonomi pasar. Coba perhatikan QS. At-taubah
ayat 103 yang artinya sebagai berikut :
“ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan₂ dan menyucikan₃ mereka dan
berdoalah untuk”

₂maksudnya : zakat memberikan sebagian harta mereka dari kekikiran dan cinta berlebih-lebihan kepada harta
benda.
₃maksudnya : zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda
mereka.
Mereka. Sesungguhnya doa kamu itu(menjadi)ketenteraman jiwa bagi mereka Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Sementara itu dampak untuk pengeluaran – pengeluaran lainnya seperti sedekah dan lain-lain, coba perhatikan QS.
Al-baqarah ayat yang artinya :

“perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas(karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”

Zakat sesungguhnya merupaka instrument fiskal islami yang sangat luar biasa potensinya, namun sayang, perhitung-
perhitungan potensi zakat yang ada saat ini masih bersifat perkiraan yang kasar. Sebagaian besar perhitunganyang
telah dilakukan hanya sebatas pada perhitungan potensi yang minimal. Angka yang terkecil yang diperoleh dari
beberapa perhitungan yang telah lakukan adalah sebesar Rp.5,1 triliun (informasi dari dewan syariah dompet duafa,
panduan zakat praktis, tahun 24). Selanjutanya, disusun satu formula untuk menghitung potensi zakat penghasilan
atau profesi sebagai berikat :

Z = k rm Yk

Dimana :
Z = jumlah zakat penghasilan/profesi
k = konstanta kadar zakat penghasilan/profesi = 0,025
rm = persentase penduduk muslim Indonesia
Yk = total penghasilan pekerja Indonesia yang penghasilannya di atas nisab.

Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat penghasilan, maka nisabnya
adalah penghasilan minimal per bulan yang membuat seseorang menjadi wajib zakat(muzaki). Dari sudut kadar
zakat, dianologikan dengan zakat emas, dan uang, karena memang gaji, honorarium, upah dan yang lainnya, pada
umumnya diterima dalam bentuk uang, karena itu kadar zakatnya adalah sebesar rub’ul usyri atau 2,5%, dan
dikeluarkan setiap bulan bagi karyawan yang menerima gaji bulanan (sama seperti zakat pertanian yang dikeluarkan
pada setip panen).

Setelah dilakukan analisis data untuk tahun 2004, maka diperoleh hasil bahwa dari jumlah total tenaga kerja di
Indonesia yang berjumlah 93.722.040 orang, terdapat 16,91% atau 15.847.072 orang yang memiliki penghasilan
lebih besar dari Rp.1.460.000,- per bulannya. Sementara dari jumlah total penghasilan tenaga kerja di Indonesia
yang sebesar Rp.1.302.913.160,926,190,-, terdapat 43% atau Rp.557.954.119.104.025,- merupakan jumlah total
penghasilan tenaga kerja yang berpenghasilan lebih besar dari Rp.1.460.000,- per bulannya. Dengan asumsi rasio
penduduk Indonesia jumlah muslin (88%) sama dengan rasio tenaga kerja muslim di Indonesia, maka diketahui
zakat penghasilan/profesi yang dapat digali dari tenaga kerja muslim di Indonesia dalam satu tahun adalah sebesar
Rp.12.274.990.620.289,- berdasarkan penelitian pada tahun 2004.

Realisasi zakat yang dikeluarkan oleh masyarakat muslim di Indonesia belum dapat diketahui secaara pasti,
mengingat tradisi masyarakat kita dalam membayarkan zakatnya banyak secara langsung dibayar kepada mustahik.
Dari hasil survey PIRAC 2004 hanya sebesar 12,5% masyarakat muslim yang menyalurkan zakatnya melalui
lembaga resmi badan amil zakat (BAZ), lembaga amil zakat atau yayasan amal lainnya, ada pun data yang tercatat
pada departemen agama, realisasi zakat pada tahun 2004 sebesar Rp.199,3 milyar. Jadi jika dibandingkan antara
realisasi zakat yang terhimpun pada berbagai lembaga pengelola zakat dengan potensi zakat profesi, ternyata
realisasinya hanya sekitar 1.6 persen dari potensi. Ini bisa dipahami Karena apabila dibandingkan dengan zaman
Rasulullah maka ada beberapa system manajemen yang tidak dilakukan oleh pengelola zakat pada saat ini. Pada
zaman Rasulullah, system manajemen zakat dilalukan oleh amil zakat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

v Katabah, petugas untuk mencatat para wajib zakat.


v Hasabah, petugas untuk menafsir, menghitung zakat.
v Jubah, petugas untuk menarik, mengambil zakat dari para muzaki.
v Kahazanah, petugas untuk menghimpun dan memelihara harta zakat.
v Qasamah, petugas untuk menyalurkan zakat kepada mustahik

Bila mencontoh manajemen zakat Rasulullah, bukan mustahil angka-angka potensi di atas bisa terwujudkan. Jika itu
terjadi, maka zakat akan benar-benar berfungsi sebagai instrument fiskal islami, yang akan sangat membantu
keuangan Negara.

2. WAKAF
Wakaf merupakan satu instrument ekonomi islam yang belum diberdayakan secara optimal di Indonesia. Padahal
sejumlah Negara lain, seperti mesir dan banglades, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi
sumber pendanaan yang tiada habis-habisnya bagi pembangunan ekonomi umat, dalam kondisi keterpurukan
ekonomi seperti yang tengah dialami Indonesia saat ini, alangkah baiknya bila kita mempertimbangkan
pengembangan instrument wakaf ini(masyita, 2003).

Wakaf memang tidak jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi ada beberapa ayat yang dapat dijadikan
dasar hokum wakaf. Salah satunya adalah firman Allah berikut ini, “ kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan(yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sungguhnya Allah mengetahuinya”(QS.ali imran[3];92). Begitu pula dalam sebuah hadist,
Rasulullah bersabda,”apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari 3 yaitu
shadaqah jariyah(sedekah yang pahalanya tetap mengalir), ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan do’a anak yang
saleh”. Beberapa ahli berpendapat, yang termasuk sedekah jariyah dalam hadist itu, salah satunya, harta yang
diwakafkan, dalam hokum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama(zatnya) kepada
seseorang atau nadzir(penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya
digunakan sesuai syariat islam.

Diantara instrument ZIKWA, untuk kasus wakaflah yang paling terbelakang kemajuannya, padahal sesungguhnya,
wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat islam sejak agama islam masuk keindonesia. Wakaf juga telah
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan islam di Indonesia, maklum karena lahan yang
digunakan untuk sekolah islam atau mesjid umumnya berasal dari wakaf.

Memang itulah kenyataan di Indonesia, kalau kita bicara masalah wakaf, maka yang terbayang adalah lahan dan
mesjid, pesantren, sekolahan dan tak kalah seringnya untuk tanah makan. Data dari departemen agama menunjukan,
sampai tahun 2001 lalu luas tanah wakaf di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 8.000 hektar. Kalau tanah seluas
itu dikelola secara produktif, tentu akan sangat bermakna bagi perekonomian umat. Seperti apa yang bisa dilihat di
Negara muslim lainnya semacam Saudi Arabia, mesir, turki, yordania, lembaga wakaf berkembang sangat maju, dan
memberikan manfaat yang besar pada umat dinegeri itu, bahkan termasuk pula umat di negeri lain.

Di samping wakdaf produktif, misalnya berupa lahan perkebunan seperti contoh di mesir, kini juga senang
berkembang wacana baru yakni wakaf tunai, yaitu wakaf dengan uang tunai. Wakaf tunai lebih bersifat fleksibel
dari pada wakaf tanah/banguanan dan pendistribusiannya tidak mengenal batsa wilayah , memang di Indonesia baru
bersifat wanca, namun sesungguhnya wakaf tunai. telah lama dikenalkan dan ditemukan pada era ottoman dan di
mesir (masyita.2003)

Diera modern ini wakaf tunai dipopulerkan oleh Prof. Dr. M. A.Mannann dengan medirikan suatu badan yang
bernama SIBL(social investment bank limited) di bangladesh. SIBL memperkenalan produk sertifikasi wakaf
tunai(cas waaf certifcatei) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya
untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miksin. Jika melihat pengalaman Negara lain,
maka sebenarnya lembaga wakaf dapat difungsikan untuk meningkatkan kesajahteraan umat. Untuk mencapai itu.
Tentu cara pandang masyarakat harus diluruskan dulu. Jangan lagi memandang wakaf hanyalah untuk peruntukan
peribadatan atau social semata.

Sebelum melihat praktik pengelolaan wakaf di Negara lain. Tidak ada salahnya kita menengok ke masa lalu, yakni
masa kejayaan islam. Abad ke-8 dan ke-9 hijriah dipandang zaman keemasan perkembangan wakaf. Ketika itu
wakaf meliputi berbagai aset semacam masjid, musholla, sekolah, tanah pertanian, tempat perniagaan, pasar, rumah,
toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung beras, tempat pemandian, dan lain-lain (uswatun hasanah 2001:13
dari hasan langgulung 1991:173). Tempat peribadatan dan pendidikan memang ada, namun hanya sebagian kecil
dari jenis-jenis aset yang diwakafkan. Ketikan itu sultan memang selalu mendorong perkembangan zakatnya secara
terus menerus sehingga menjadi sumber pendapatan yang tak habis-habis. Dengan demikian guru-guru dapat bekerja
dengan baik karena nafkahnya tercukupi, siswa pun dapat belajar dengan tenang karena tidak lagi pusing dengan
bisa sekolahnya. Semua kebutuhan itu, baik gaji guru maupun jaminan hidup siswa di tanggung oleh dana yang
dikembangkan dari wakaf tersebut.

Hasil dari pengembangan wakaf secara garis besar dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin,
anak yatim, pedagang kecil, dan kaum dhuafa lainnya. Juga meningkatkan kesehatan masyarakat, mendirikan rumah
sakit, dan menyediakan obat-obatan bagi masyarakat. Selain itu digunakan pula mendirikan dan memelihara masjid,
dan sekolah. Dan tak kala pentingnya adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sesungguhnya cara semacam ini telah diterapkan oleh sejumlah pengelola yayasan yang bermaksud memobilisasi
dana masyarakat. Sebidang tanah seluas 500 meter persegi misalnya hendak dibeli oleh satu yayasan untuk lokasi
pembangunan mesjid. Harga tanah itu Rp.300.000 per meter. Mereka menerbitkan seftifikat infak(umumnya
memang tidak menyebut wakaf, karena mungkin belum tahu) dengan nilai nominal setiap lembarnya Rp.300.000,-
sertifikat tersebut diterbitkan atas nama dermawan yang menyumbang uang sebesar kelipatan RP.300.000,- biasanya
yayasan itu menyelenggarakan acara yang hadiri oleh para dermawan, terserah mau mengambil berapa lembar.

Ini sekedar menunjukkan bahwa di masyarakat telah berkembang inovasi-inovasi yang cerdas. Tinggal sekarang
bagaimana mensosilisasikan kepada masyarakat yang lebih luas tentang sertifikat wakaf tunai ini, tentang
manfaatnya dan bagaimana operasionalnya.

C. KEBIJAKAN PENDAPATAN EKONOMI ISLAM


Islam telah menentukan sector-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj,
shadaqah, dan lain-lain. Jika diklarifikasi maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti : zakat, jizyah,
kharaj, ushr, infak dan shadaqah. Seperti pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti : ghanimah,
fa.i dan harta yang tidak ada pewarisnya.
Secara umum ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf (1999) berpendapat
sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya
dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat adanya kebijakan pungutan pajak (ter-lepas dari ikhtilaf ulama
mengenai pajak).

1.Kaidah syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Zakat

Ajaran islam dengn rinci telah menentukan, syarat, kategori harta yang harus dikelurkan zakatnya, lengkap dengan
besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif
yang telah ditentukan. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan Para Sahabat telah memberi contoh
mengenai fleksibilitas, Nabi pernah menagguhkan zakat pamannya Abbas karenakrisis yang dihadapinya. Selain
fleksibilitas diatas kaidah lainnya fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai.

2.Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan yang Berasal dari Aset Pemerintah

Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat dibagi dalam 2 katagori: (a) pendapatan dari aset
pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau
masyarakat. (b) pendapatan dari aset yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasarkan kaidah syar’iyah
yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam dan yang semisalnya. Kaidah ini dalam
konteks pemerintah modern adalah sarana-sarana umum yang sangat dibutuhkan masyarakat.

3.Kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak

prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang
kaya secara paksa (undang-undang dalam konteks ekonomi modern). Sesulit apapun kehidupan Rasulullah SAW.
Di madinah beliau tidak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak. Seandainya pungutan pajak tersebut di
perbolehkan dalam islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalahdan kaidah dharurah yaitu
pungutan tersebut hanya bagi orang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul-betul sangat diperlukan dan
pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.

D. KEBIJAKAN BELANJA EKONOMI ISLAM

Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum ang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadist dalam
memandu kebijakan belanja pemerintah. Diantara kaidah (Chapra: 1995, 288-289) tersebut adalah:
1.Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skalaumum.
4.Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian
dan pengorbanan dalam skala umum.

5.Kaidah Al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapaatkan manfaat harus siap
menanggung beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).
6.Kaidah Ma la yatimmu al waajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa suatu hal yang wajib
di tegakkan dan tanpa ditunjang oleh factor penunjang lainnya tidak dapat di bangun, maka menegakkan factor
penunjang tersebut wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah
dalam islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan
dalam pemerintahan islam:

a) Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.


b) Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
c) Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d) Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e) Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam system ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1).Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.


2).Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3).Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut system pendanaannya.

Adapun kaidah syariyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasiaonal pemerintah yang rutin adalah
mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan pada:
1 Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan
seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2 Kaidah atau prinsip efisiensi dalam rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang
semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu pemerintahan yang jauh dari sifat mubazir dan kikir di samping
alokasinya pada sector-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3 Tidak berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti
kasus “al-Hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukan bagi kepentingan umum.
4 Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah,
dan menjauhi yang haram.
5 Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib,sunah, mubah atau dharruroh, hajjiyat
dan kamaliayah

.
Pos penerimaan baitulmal dari porsi fai dan kharaj harus dikeluarkan Negara untuk pos pengeluaran dar al-Khalifah
(rumah tangga khalifah), mashalihad-daulah (kepentingan Negara), santunan jihad , ath-Thawaari (urusan darurat
/bencana alam), dan al-muwazanah al-ammah (anggaran belanja Negara), al-muhasabah al-Ammah (pengendali
umum), al-muraqabah (badan penguasa). Kemudian pos penerimaan dari sector public harus dikeluarkan untuk
jihad, penyimpanan pemilikan umum dan urusan darurat/bencana alam. Sedangkan pos penerimaan dari bagiaan
shadaqah harus dikeluarkan hanya untuk penyimpanan dana zakat dan jihad.

Kebijakan fiscal dalam Islam tidak lepas dari kendali politik ekonomi (as-siyasatu al-iqtishadi) yang bertujuan,
sebagaimana yang dikemukan Abdurrahman Al-Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan -kebutuhan primer
(al-hajat al-asasiyah/basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu diantara mereka
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuannya.

Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer kategori pertama adalah jaminan akan sandang, pangan, papan
dan merupakan jaminan secara langsung terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan, tetapi tidak
mencukupi untuk memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarga.

Jaminan juga diberikan terhadap setiap individu yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah
kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya.Kebijakan ini termasuk kebijakan transfer payment karena Negara
memberikan secara cuma-cuma harta berupa uang atau barang kepada seseorang.Jaminan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan primer kategori kedua meliputi keamanan, pendidikan, dan kesehatan.

E. KEBIJAKAN FISKAL MASA RASULULLAH


Segala kegiatan yang dilakukan oleh rasulullah dalam awal masa pemerintahan dilakukan berdasarkan keikhlasan
sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala
kegiatan dalam dakwah tersebut.
Dengan adanya perang badar pada abad ke-2 Hijrah, Negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima
perampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai dengan firman Allah dalam QS.al-Anfaal (8)
ayat 41:

Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperelima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibu-ibu sabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu
dihari bertemunya dua pasukan, dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Dalam ayat tersebut Allah SWT, menjelaskan bahwa bagian 1/5 adalah hak Allah, rasul, dan kerabatnya, golongan
yatim golongan miskin, dan ibnu sabil. Sedangkan 4/5 sisanya adalah milik para pejuang yang berhak atas rampasan
perang tersebut. Dengan demikian, bagian yang 1/5 dibagi menjadi 5 bagian yaitu: bagian untuk Allah, untuk
rasulnya, untuk para kerabat beliau, para anak yatim, para fakir miskin, dan bagian bagi ibnu sabil (Qadhy,). Hal ini
berlangsung selama masa rasulullah, sedangkan setelah beliau wafat maka khulafa’ Ar Rasyidin membagi bagian
yang 1/5 itu kepada 3 bagian dengan menghapuskan saham rasul dan kerabatnya.

Pada masa rasulullah juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak yang dibayar oleh orang nonmuslim khususnya ahli
kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Besarnya
jizyah satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utamanya adalah kebersamaan
dalam membangun beban Negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan, dan tempat tinggal bagi
mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah merupakan hak Allah yang
diberikan kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Pihak yang
wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab
seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan komunis yang telah menjadi warga Negara Islam.

Jizyah tidak wajib bagi wanita, anak-anak, dan orang gila. Jizyah juga tidak wajib jika orang kafir yang
bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kekafiran atau kemiskinannya.
Firman-Nya: “ Pergilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberkan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS.at-Taubah: 29).

Pengertian kharaj (pajak tanah) adalah kebijakan fiscal yang diwajibkan atas tanah pertanian di Negara-negara islam
yang baru berdiri. Para fuqaha menetapkan bahwa Al-Kharaj adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kaum
Mualimin karena kemenangan atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharaj dilaksanakn setiap satu tahun sekali.
Sedangkan ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan
hanya berlaku bagi barang yang nilainya kebih dari 200 dirham.

Para fuqaha menetapkan bahwa Al- kharraj rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin kerena dalam
kemenangan atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharraj dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Firman Allah
dalam Al-Qur’an :

“apa saja harta rampasan(fai-i)yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya berada diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al-Hasyr:7)
Zakat dan ushr adalah pendapatan yang paling utama bagi Negara pada masa Rasulullah hidup. Kedua pendapatan
ini berbeda dengan pajak dan tidak di perlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agam dan
termasuk salah satu pilar islam. Dalam Al-Quran disebutka kewajiban zakat sebagai berikut: “ Dirikan lah shalat dan
tunaikan lah zakat “ (QS.Al-Baqarah ayat 43, 83, 110, dan lain-lain).

Sedangkan ketentuan pengeluaran dan zakat tercantum dalam surat at- Taubah (QS. 9 ayat 60): “ Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanya lah untuk orang-orang kafir, orang-orang kafir, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk ( memerdekakan ) budak. Orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui dan
Mahabijaksana.

Dasar-dasar kebijakan fiskal menyangkut penentuan subjek dan objek kewajiban membayar kharaz, zakat, ushr,
jizyah, dan kafarat, termasuk penentuan batas minimal terkena kewajiban (nisab). Umur objek ter kena kewajiban
(haul), dan tarifnya. Karena membayar zakat merupakan ibadah wajib untuk umat islam , maka menghitung berapa
besar zakat yang harus dibayar dapat dilakukan sendiri dengan penuh kesadaran iman dan taqwa.

Begitulah Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berlandaskan keadilan, sejak masa awal
pemerintah islam. Setelah Rasulullah wafat, kebijakan fiskal itu dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh para
penerusnya.

F. KEBIJAKSANAAN FISKAL MASA SAHABAT


1. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq (51SH-13 H/573-634 M)
Langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi Islam:
· Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat yang dikatakan anas (seorang amil) bahwa: Jika seseorang yang
harus membayar unta betina ber umur satu tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk
memberikan seekor unta betina berumur dua tahu, hal tersebut dapat diterima. Kolektror zakat akan mengembalikan
20 dirham atau dua ekor kambing padanya (sebagai kelebihan pembayaran). Dalam kesempatan lain Abu Bakar juga
mengintruksikan kepada amil yang sama, kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung atau kekayaan
dari orang yang berbeda yang tidak bias di pisahkan (dikhawatirkan akan kelebihan pembayaran atau kekurangan
penerimaan zakat).
· Pengembangan pembangunan baitulmal dan penanggung jawab baitulmal (Abu Ubaida).
· Menerapkan konsep balance bubget policy pada baitulmal.
· Melakukan penegakkan hokum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak.
· Secara individu Abu bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.
2. Khalifah Umar Bin Khatab (40 SH-23 H/ 584-644 M)
Kontribusi yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam:
· Reorganisasi baitulmal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengan al-Divan (sebuah
kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pension dan tunjangan-tunjangan
lain.
· Pemerintah bertanggung jawab pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warga Negaranya.
· Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat tehadap karet di Semenanjungkan Yaman), tariff zakat (misalnya
mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).
· Pengembangan ushr (pajak) pertanian (misalnya perbebanan sepersepuluh hasil pertanian).
· Undang-undang perubahan pemilikan tanah (land reform).
· Pengelompokan pendapatan Negara dalam 4 bagian:

SUMBER PENDAPATAN PENGELUARAN


Zakat dan ushr Pendistribusian untuk local jika berlebihan disimpan
Khums dan Shadaqah Fakir miskin dan kesejahteraan
Kharaj, fay, jizyah, ushr sewa Dana pension, Dana pinjaman (allowance)
tetap
Pendapatan dari semua sumber Pekerja, pemeliharan anak terlantar dan dana sosial

3. Khalifah Usman Bin Affan (47SH-35H/577-656 M)


Pada awal pemerintahan Usman mencoba melanjutkan dan mengembangkan kebijaksanaan yang dijalankan
khalifah Umar. Pada enam tahun kepemimpinannya hal-hal yang dilakukan:
Ø Pembangunan pengairan.
Ø Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan.
Ø Pembangunan gedung pengadilan guna penegakkan hukum.
Ø Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan bila
dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta dirham.
Ø Selama enam tahun terakhir dari pemerintahan Usman situasi politik Negara sangat kacau. Kepercayaan terhadap
pemerintahan Usman mulai berkurang dan puncaknya rumah Usman dikepung dan mulai di bunuh dalam usia 82
tahun.
4. Khalifah Ali Bin Abi Talib (23SH-40H/600-661 M)
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan dan administrasi umum. Konsep ini
dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harith, dimana surat tersebut
mendeskripsikan tugas kewajiban dan tanggung jawab penguasa menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi
terhadap keadilan, control terhadap pejabat tinggi dan staf, menguraikan pendapat pegawai administrasi dan
pengadaan bendahara.
Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali antara lain:
1. Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitulmal berbeda dengan Usmar yang menyisihkan untuk
cadangan.
2. Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.
3. Adanya kebijakan pengetatan anggaran.

G. FORMULASI KEBIJAKSANAAN FISKAL ISLAMI DI ERA MODERN


Kebijaksanaan fiscal tidak hanya menaruh perhatian pada pendapatan dan pembelanjaan Negara, tetapi juga pada
pilihan berbagai instrument kebijakan perpajakan dan pola pembelanjaan Negara. Cara yang berbeda dalam
menaikan dan pembelanjaan anggaran memiliki dampak ekonomi yang berbeda.
Pandangan bahwa fungsi dan tanggung jawab sebuah Negara islam memiliki fleksibelitas yang luas didasarkan pada
premis bahwa islam bertujuan untuk kesejahteraan umum masyarakat, sehingga sebuah Negara islami dapat
mendefinisikan apa pun fungsinya dalam mencapai sasaran tersebut. Menurut Siddiqi (1983), mengklasifikasikan
fungsi Negara islam dalam 3 kategori:
1. Fungsi yang diamanahkan syariah secara permanen, meliputi:
a. Pertahanan.
b. Hukum dan ketertiban.
c. Keadilan.
d. Pemenuhan kebutuhan.
e. Dakwah.
f. Amar maruf nahi munkar.
g. Administrasi sipil.
h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban social (furud kifayah) jika sector swasta gagal memenuhinya.
2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi social dan ekonomi pada waktu tertentu,
meliputi 6 fungsi:
a. Perlindungan lingkungan,
b. Penyediaan sarana kepentingan umum.
c. Penelitian umum.
d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi,
e. Penyediaan subsidi pada kegiatan swasta tertentu, dan
f. Pembelanjaan yang diperlukan untuk stabilisasi kebijakan.

3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah (syuraa), meliputi semuakegiatan
yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses syuraa. Inilah yang menurut siddiqi terbuka dan berbeda pada
setiap Negara tergantung pada keadaan masing-masing.
Pandangan berbeda tentang fungsi dan tanggung jawab Negara banyak disampingkan pemikiran lain. Kahf (1983)
menyatakan Negara tidak bebas menentukan prioritas politik dan ekonomi, ataupun memaksakan pola pembelanjaan
Negara, politik dan ekonomi yang membatasi kebebasan dan hak inividu yang diberikan Tuhan.
Lebih lanjut khaf , menyatakan sasaran utama Negara Islami melindungi agama dan supremasi kalimattullah.
Negara harus membantu kaum muslimin melaksanakan kewajiban agamanya. Selanjutnya Negara Islam harus
bertanggung jawab menyampaikan kalimatullah ke kalangan nonmuslim melalui dakwah.

Anda mungkin juga menyukai