Anda di halaman 1dari 5

Desa Tenganan

Desa Tenganan berada di Kabupaten Karangasem. Letaknya sendiri kurang lebih sejauh 60
kilometer dari arah timur Denpasar. Baca juga : Asyik! Ada Kapal Cepat Rute Banyuwangi-
Denpasar Bali dan Lombok Di desa yang memiliki luas sekitar 917,2 hektar ini, Anda dapat
menemukan bagaimana Bali saat masih tradisional dengan penduduk Bali Mula. Ada keunikan
tersendiri dari desa ini, yakni masyarakat begitu memegang teguh aturan adat dari leluhur.
Masyarakat Tenganan mempunyai peraturan yang biasa disebut dengan awig-awig. Seperti
halnya tidak boleh ada poligami atau pun perceraian.

Namun, desa adat ini pun sangat terbuka dengan hal baru nan modern, seperti listrik, alat
komunikasi dan transportasi. Anak-anak di sana juga sangat didorong untuk mendapatkan
pendidikan yang tinggi. Selain itu, ada pula aturan untuk mengatur sistem pemerintahan, hak
tanah dan hak sumber daya alam, perkawinan, pendidikan, dan upacara adat. Meski demikian,
masyarakat memiliki talenta luar biasa, salah satunya adalah mereka terbiasa menenun sendiri
kain gringsing yang memang hanya diproduksi di desa ini.

elain kain tenun, Anda juga dapat menemukan kerajinan ukir atau lukis daun lontar. Tidak hanya
berkunjung, Anda pun bisa sekedar berbincang dengan penduduk di sana mendengarkan cerita kearifan
lokal di sana. Lalu juga dapat melihat upacara adat yang biasanya diselenggarakan pada bulan Januari,
Febuari, Juni, dan Desember. Namun, perlu diketahu, wisatawan tidak dapat bermalam di Desa
Tenganan.
Pencaharian

Penenun kain di Desa Tangenan.

Umumnya, penduduk desa Tenganan bekerja sebagai petani padi, namun ada pula yang
membuat aneka kerajinan. Beberapa kerajinan khas dari Tenganan adalah anyaman bambu,
ukiran, dan lukisan di atas daun lontar yang telah dibakar.[7] Di desa ini pengunjung bisa
menyaksikan bangunan-bangunan desa dan pengrajin-pengrajin muda yang menggambar
lontar-lontar. Sejak dulu, masyarakat Desa Tenganan juga telah dikenal atas keahliannya dalam
menenun kain gringsing. Cara pengerjaan kain gringsing ini disebut dengan teknik dobel ikat.
Teknik tersebut merupakan satu-satunya di Indonesia dan kain gringsing yang dihasilkan
terkenal istimewa hingga ke mancanegara.[4] Penduduk Tenganan masih menggunakan sistem
barter dalam kehidupan sehari-harinya.[8

Adat Istiadat

Perang pandan atau duri, salah satu acara adat Tenganan.


Perang pandan.

Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum
tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842.[8] Rumah adat Tenganan
dibangun dari campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari
tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama,
dengan ciri khas berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri
lain adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.[7]

Penduduk desa ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya
melalui prosesi adat mesabar-sabatan biu (perang buah pisang). Calon prajuru desa dididik
menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan
semacam tes psikologis bagi calon pemimpin desa. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut
sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik
berupa mageret pandan (perang pandan). Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan
bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Walaupun
akan menimbulkan luka, mereka memiliki obat antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan
diolesi pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut
untuk melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta
mental yang kuat. Penduduk Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa
Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang.[9]

Masyarakat Tenganan mengajarkan dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep
dalam ajaran Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita
Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri
Hita Karana terdiri dari Perahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan),
Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan
(hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya).[10]
Desa Panglipuran
Di tengah era modern, Bali masih mempertahankan budaya dan adat yang tertuang di Desa
Penglipuran. Nuansa kebersamaan sangat kental jika traveler berkunjung ke desa yang ditunjuk
sebagai contoh pertama desa wisata sejak 1995 silam. Sebelumnya, Desa Adat Penglipuran ini
hanya ramai dikunjungi wisatawan mancanegara. Namun sejak menjadi lokasi syuting salah
satu FTV di Indonesia, kunjungan ke desa ini makin meningkat, tak hanya oleh turus asing tapi
juga lokal.

Lokasi Desa Adat Penglipuran

Bagi traveler yang bosan dengan wisata pantai setiap kali datang ke Pulau Dewata, sowan ke
Desa Adat Penglipuran bisa menyingkirkan rasa jenuh. Desa adat ini berada di Kubu, Kabupaten
Bangli. Mungkin banyak diantara pelancong yang tak tahu posisi persis Kabupaten Bangli ini.
Tapi jika kamu pernah berkunjung ke Kintamani atau Gunung Batur, di sinilah wilayah
Kabupaten Bangli.

Untuk memasuki Desa Penglipuran ini, pengunjung dipungut biaya Rp 7.500 untuk wisatawan
lokal, sementara buat turis mancanegara lebih mahal Rp 2.500 dari turis domestik. Biaya parkir
per kendaraan hanya dipatok Rp 5.000 saja. Murah bukan?
Merasakan kentalnya nuansa Bali di Desa Adat Penglipuran

Traveler tidak diperbolehkan membawa kendaraan, baik motor maupun mobil masuk ke desa
ini. Untuk itu, disediakan areal parkir yang sangat luas sebelum memasuki gerbang Desa Adat
Penglipuran. Suasana sejuk dan asri langsung terasa saat menginjakkan kaki di sini. Maklum,
Desa Adat Penglipuran terletak di ketinggian 600-700 meter dari permukaan laut.

Pasti banyak yang bingung kegiatan apa yang bisa dilakukan di sini. Buat pelancong yang ingin
merasakan suasana Bali yang sebenarnya, kedatangan kamu ke Desa Adat Penglipuran sudah
sangat tepat.

Yup, desa yang menurut sejarah telah berdiri sejak abad sembilan ini bakal membuat kagum
para pelancong dengan bentuk rumah yang sama persis bagi setiap penduduknya. Kamu bisa
dengan jelas melihat kemiripan tiap-tiap rumah mulai dari pintu gerbang, atap, dinding yang
menggunakan bambu hingga angkul-angkul. Angkul-angkul adalah jenis pintu khas Bali yang
hanya cukup untuk satu orang dewasa. Tak cuma bentuk bangunan dari luar, pembagian
ruangan di dalam rumah pun sama persis.

Saat ini, desa seluas 112 hektar ini memuat 76 kavling, dan salah satu diantaranya diprediksi
sudah berusia 270 tahun! Namun tidak semua lahan di desa digunakan untuk perumahan,
kurang lebih 40% dimanfaatkan sebagai lahan bambu.

Meski kelihatannya luas, pelancong tidak akan terlalu lelah mengitari desat adat ini. Berjalan
kaki dengan suasana sejuk sambil menikmati keindahan Desa Adat Penglipuran bakal
memberikan sensasi berbeda saat kamu plesiran ke Pulau Seribu Pura.

Para pelancong tak hanya dibuat kagum oleh penataan desa yang apik, tapi kebersihan yang
sangat terjaga. Meski banyak pepohonan di kawasan ini, kamu tidak akan menemukan sampah
sepanjang mengelilingi desa. Di setiap sudut desa disediakan tempat sampah, supaya semua
pengunjung bisa ikut sama-sama menjaga kebersihannya.

Anda mungkin juga menyukai