Anda di halaman 1dari 21

BAB I

KONSEP IDIOPHATIC RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

A. Pengertian
IRDS (Idiopatic Respiratory Distress Syndroma) dikenal juga sebagai
Respirasi Distress Syndroma (RDS) yang idiopatic. Rds atau Sindrom Distres
Pernapasan adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Malloy, 2000).
Sindrom Distres Pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai hyalin membrane diseaser (Suriadi dan Yulianni, 2006).
Sindrom Distres Pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis,
dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit
pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara
diantara usaha napas (Bobak, 2005).
Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS
adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel
untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.

B. Anatomi Fisiologi Paru


Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak
sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh
karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan
pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain dalam mediastinum.
Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-
paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke
mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks
yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas
klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu
lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk
membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru

1
kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu
lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura
oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior.
Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang
bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan
bronkus. Proses ini terus berlanjut terus berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar
usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus akan sepenuhnya
berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas
sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidak matangan paru –paru akan
mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24 minggu
yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan alveolus, ketidakmatangan sistem
kapiler paru –paru dan tidak mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan
pertama seorang bayi berfungsi untuk:
1. Mengeluarkan cairan dalam paru.
2. Mengembangkan jaringan alveolus paru –paru untuk pertama kali.
Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan
aliran darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan
dan jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang sekitar 30 -34 minggu
kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu
untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir
pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap
pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini
memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai
peningkatan ini menyebabkan steress pada bayi yang sebelumnya sudah
terganggu.
Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru –parunya. Pada
saat bayi melalui jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas
keluar dari paru –paru. Pada bayi yang dilahirkan melalui seksio sesaria
kehilangan keuntungan dari kompresi rongga dada dapat menderita paru- paru
basah dalam jangka waktu lebih lama. Dengan sisa cairan di dalam paru –paru

2
dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu limfe dan darah. Semua alveolus
paru –paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan perjalanan waktu.

C. Etiologi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:
1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.
4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
6. Bayi prematur atau kurang bulan.
Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai
sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin
besar pula kemungkinan terjadi RDS.

D. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,
pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi
surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada
alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari
normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi
hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah

3
diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar
alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi
udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan
tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya
atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema
interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari
epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik
karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan
kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan
mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

E. Manifestasi klinis
1. Sesak nafas atau pernafasan cepat
2. Frekuensi nafas > 60 x/menit
3. Pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
4. Retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
5. Sianosis dan pernafasan cuping hidung
6. Grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
7. Takikardi (170 x/menit). (Suryanah, 1996).

4
Evaluasi gawat nafas menurut skor down
Pembeda 0 1 2 Keterangan
Frekuensi < 60 x/menit 60-80 > 80 x/menit Skor < 4
nafas x/menit tidak gawat
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat nafas
Sianosis Tida sianosis Hilang Menetap Skor 4-7
dengan O2 walaupun gawat nafas
diberikan O2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada
bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk
Merintih atau Tidak Terdengar Terdengar Skor > 7
grunting merintih dengan tanpa alat ancaman
stetoskop bantu gawat nafas

F. Klasifikasi
Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :
1. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru,
edema interstisial atau elveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis, dan
kerusakan pada sel alveolar tipe I (Somantri, 2009).
2. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan
tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru, hipoksemia, penurunan
fungsi kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan peningkatan ruang rugi
ventilasi (Somantri, 2009).
Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
1. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara

5
2. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
air broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan jantung hampir tidak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
4. Stadium 4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung tidak dapat
terlihat. (Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).

G. Tanda dan Gejala


1. Pernapasan cepat
2. Pernapasan terlihat parodaks
3. Cuping hidung
4. Apnea
5. Murmur
6. Sianosis pusat

H. Komplikasi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) komplikasi yang kemungkinan
terjadi pada RDS yaitu:
1. Komplikasi jangka pendek
a. Kebocoran Alveoli. Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstitial), pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana
tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

6
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

2. Komplikasi jangka panjang


Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan
oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang
sering terjadi yaitu:
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada
bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya
volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD
meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
b. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.

I. Penatalaksanaan Medis
1. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan
berbagai efek pada sistem kardiopulmonal.
Tujuan :
Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan
optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired
oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.

7
Indikasi :
1) Indikasi absolut
a) prolonged apnea
b) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan
oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten
d) Bayi yang menggunakan anestesi umum
2) Indikasi relatif
a) Frequent intermittent apnea
b) Bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas
c) Pada pemberian surfaktan. (Effendi & Firdaus, 2010).
2. Terapi surfaktan
Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan
sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari
bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam
setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang
berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah
dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30%
atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan
menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT
memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer
paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan
lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan
nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan
postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).
Nama produk surfaktan Dosis Dosis tambahan
Galfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali
pemberian dengan interval tiap 12
jam.

8
Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam,
sampai total 4 dosis dalam 48 jam.
Colfosceril 5 ml/KgBB Diberikan dalam 4 menit Dapat
diulang setelah 12 dan 24 jam.
Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat
diberikan tiap 12 jam.
3. Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)
Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu
alat untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus
selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan
efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada neonatus. Penggunaan CPAP
yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi
ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan
kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan
mecegah kollaps paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan episode sianotik.
Kontra indikasi :
a. Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan
support ventilator
b. Respirasi yang irreguler
c. Adanya anomali kongenital
d. Hernia diafragmatika
e. Fistula tracheo-oeshophageal
f. Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan
pemasangan nasal prong
g. Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila mendapatkan
support ventilator. (Effendi & Ambarwati, 2014).
4. Extracorporeal Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang
menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane
oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah
dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta

9
(venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari
tekanan tinggi ventilator.
(Effendi & Firdaus, 2010).
Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress
syndrome adalah :
a. Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan
mengadakan pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama
pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara jantung, mempertahankan kepatenan
jalan nafas, memmantau reaksi terhadap pemberian atau terapi medis, serta
pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan
eksogen sesuai indikasi.
b. Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti
turgor, membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami
kepanasan berikan selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai
indikasi.
c. Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition
dengan memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula
darah dengan memantau gejala komplikasi adanya hipoglikemia,
mempertahankan intake dan output, memantau gejala komplikasi
gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan lain-lain.
d. Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan
mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir
sesuai kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.
e. Pemberian antibiotik. Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu
mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan
penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100
mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari. (Hidayat,
2008).

10
J. Konsep Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Respiratory distress sindrome merupakan suatu sindrom yang sering
ditemukan pada neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat
lahir rendah (BBLR). Sindrom ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama
yang lahir pada masa gestasi < 28 minggu (Tobing, 2004).
b. Keluhan utama
Adanya dispnea yang akan diikuti dengan takipnea, pernafasan cuping
hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis (Tobing, 2004).
c. Riwayat kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang
Pada bayi yang mengalami respiratory ditress sindrome adalah sesak nafas
atau pernafasan cepat, frekuensi nafas > 60 x/menit, pernafasan cepat dan
dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir, retraksi interkostal, epigastrium,
atau suprasternal pada inspirasi, sianosis dan pernafasan cuping hidung,
grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi), dan
takikardi (170 x/menit) (Suryanah, 1996).
b) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu prematuritas dan masa
kehamilan bayi (Tobing, 2004)..
c) Riwayat penyakit keluarga
Faktor – faktor risiko yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan
terjadinya respiratory distress sindrome adalah riwayat kehamilan sebelumnya,
bedah caesarea, diabetes, ketuban pecah lama, penyakit ibu (Tobing, 2004).
d. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan mendengkur,
retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat,
hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada
awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran
udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan

11
anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi
dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1). Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare,
dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal
kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada
hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya
keadaan klinik.
2). Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung,
retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan
penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi
memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
3). Warna kulit/ membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
4) Pemeriksaan fisik (B1-B6)
B1 (Breathing)
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik, frekuensi nafas yang
sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi
SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.Meningkatnya usaha
nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang
sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan
kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi
gangguan mekanik usaha pernafasan (Adun, 2012).

12
B2 (Blood)
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan
aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekuat dan tidak teraba pada satu sisi
menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada
daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya
bercak, pucat dan sianosis (Adun, 2012).
B3 (Brain)
Terjadi immobilitas, kelemahan, kesadaran lethargi, penurunan suhu
tubuh (Adun, 2012).
B4 (Bladder)
Pada ginjal terjadi penurunan produksi atau laju filtrasi glomerulus (Somantri,
2009).
B5 (Bowel)
Pasien biasanyan mual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena
dan statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan
(Somantri, 2009).
B6 (Bone)
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin
(Adun, 2012).

e. Pemeriksaan Penunjang
a) Tes Kematangan Paru
1) Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid
dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok
ukur kematangan paru.
2) Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan
amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung
oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan

13
asam lemak bebas. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih
dari 2 kali ( cairan amnion : ethanol ) merupakan indikasi maturitas paru janin.
Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan
resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
b) Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan
dengan hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over
distensi jalan napas terminal.
c) Radiografi Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran
ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru
yang jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus
yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau
membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes
maternal , patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan.
Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik
yang adekuat. (Warman et al., 2012).

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dari RDS yang muncul menurut Suriadi dan
Yulianni (2006) yaitu:
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada
atau kurangnya jumlah cairan surfaktan.
b. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi atau
pemasangan intubasi trakea yang kurang tepat dan adanya secret pada jalan
napas.
c. Tidak efektif pola napas berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, dan posisi bantuan bentilator yang kurang tepat.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang
tanpa disadari (IWL).

14
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, motilitas gastrik menurun, dan penyerapan.

3. Perencanaan
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada
atau kurangnya jumlah cairan surfaktan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pola nafas efektif.
Kriteria hasil:
a) Jalan nafas bersih
b) Frekuensi jantung 100-140 x/menit
c) Pernapasan 40-60 x/menit
d) Takipneu atau apneu tidak ada
e) Sianosis tidak
Intervensi:
a) Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi
telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam
posisi ’mengendus’.
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b) Hindari hiperekstensi leher.
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
c) Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan, kenali
tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah
terjadinya distres pernafasan.
d) Lakukan penghisapan mukus.
Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea,
dan selang endotrakeal.
e) Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan.
Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih.
f) Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan.

15
Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar.
g) Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h) Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan
oksigen.
Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai
dengan: dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk
dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan: Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang
jernih dan ronchi (-).
Kriteria hasil:
a) Pasien bebas dari dispneu
b) Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
c) Memperlihatkan tingkah laku dan mempertahankan jalan nafas.
Intervensi:
a) Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya.
Rasional: Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat
meningkatkan usaha dalam bernafas.
b) Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitu.
Rasional: Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan
dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus.

c) Catat karakteristik dari suara nafas.


Rasional: Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang
tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan
lain dari saluran nafas.
d) Catat karakteristik dari batuk

16
Rasional: Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada
penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam
jumlah yang banyak, tebal dan purulent.
e) Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan
bila perlu.
Rasional: Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten.
f) Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan
suction bila ada indikasi.
Rasional: Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi
perkembangan atelektasis dan infeksi paru.
g) Peningkatan oral intake jika memungkinkan.
Rasional: Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif.
h) Berikan oksigen, cairan IV; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi.
Rasional: Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen.
i) Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi.
Rasional: Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan
sekret.
j) Berikan fisiotherapi dada misalnya: postural drainase, perkusi dada/ vibrasi
jika ada indikasi.
Rasional: Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi
penggunaan otot-otot pernafasan.
k) Berikan bronchodilator misalnya: aminofilin, albuteal dan mukolitik.
Rasional: Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan
viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi.
c. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas
bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator
yang kurang tepat.
Tujuan: Pola nafas efektif
Kriteria Hasil: Mempertahankan pola pematasan efektif.
a) Irama nafas, kedalaman nafas normal.

17
b) Oksigenasi adekuat.
Intervensi:
a) Analisa Monitor serial gas darah sesuai program.
Rasional: Mempertahankan gas darah optimal dan mengetahui perjalanan
penyakit.
b) Gunakan alat bantu nafas sesuai intruksi.
Rasional: Memudahkan memelihara jalan nafas atas.
c) Pantau ventilator setiap jam
Rasional: Mencegah turunnya konsentrasi mekanik dan kemungkinan
terjadinya komplikasi.
d) Berikan lingkungan yang kondusif
Rasional: Supaya bayi dapat tidur dan memberikan rasa nyaman.
e) Auskultasi irama jantung, suara nafas dan lapor adanya penyimpangan.
Rasional: Mendeteksi dan mencegah adanya komplikasi.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang
tanpa disadari.
Tujuan: mempertahankan cairan dan elektrolit
Kriteria Hasil:
a) Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan
Intervensi:
a) Pertahankan cairan infus 60- 10 ml /kg/hari atau sesuai protokol yang ada.
Rasional: Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah
ketidakseimbangan.
b) Tingkatkan cairan infus 10 ml/ kg, tergantung dari urin output, penggunaan
pemanas dan jumlah fendings.
Rasional: mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien,
penggunaan pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, motilitas gerak menurun dan penyarapan.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi adekuat.

18
Kriteria hasil:
a) Mencapai status nutrisi normal dengan berat hadan yang sesuai.
b) Mencapai kadar gula darah normal.
c) Mencapai keseimbangan intake dan output.
d) Bebas dari adanya komplikasi Gl.
e) Lingkar perut stabil.
f) Pola eliminasi nonnal
Intervensi:
a) Timbang helat badan tiap hari.
Rasional: Mendeteksi adanya penurunan atau peningkatan berat badan.
b) Berikan glukosa 5-10% banyaknya sesuai umur dan berat badan.
Rasional: Diperlukan keseimbangan cairan dan kehutuhan kalori secara
parsiasif.
c) Monitor adanya hipoglikemi.
Rasional: Masukkan nutrisi inadekuat menyebabkan penurunan glukosa
dalam darah.
d) Monitor adanya komplikasi GI:
(1) Disstres
(2) Konstipasi / diare.
(3) Frekwensi muntah.
Rasional: Mempertahankan nutrisi cukup energi dan keseimbangan
intake dan output.

19
BAB II
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik.

20
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Evan. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS),


diakses pada tanggal 10 September 2011
<http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-keperawatan-pasien-
respiratory-distress-syndrome-rds.html>.

Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician.


2007;76:987-94.

Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan


Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).

Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC.

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta :
CV Sagung Seto.

http://www.academia.edu/31795947/ASUHAN_KEPERAWATAN_ANAK_DEN
GAN_RDS_RESPIRATORY_DISTRESS_SIMDROME.

21

Anda mungkin juga menyukai