Anda di halaman 1dari 24

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS merupakan suatu keadaan
yang serius, dan penyakit yang mengancam hidup. AIDS adalah sekumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh menerunnya kekebalan tubuh akibat
terinfeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. (Djoerban Z, 2006).
Walaupun sudah ada penanganan untuk HIV dan AIDS, penyakit ini belum bisa
disembuhkan.
AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala atau
infeksi yang terjadi karena rusaknya system kekebalan tubuh manusia sebagai
akibat terserang infeksi virus HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang
sudah berlangsung lama. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus. (Kaplan & saddock , 2005).
HIV dahulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus III)
atau Lymphadenophaty Associated Virus (LAV). Virus ini di temukan oleh
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pestteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga
pada waktu itu di namakan Lymphadenophaty Associated Virus (LAV).
Kelompok virus ini adalah dikenal dengan latensi, viremia, persisten, menginfeksi
sistem saraf dan melemahkan respons imun. HIV merupakan virus single -
stranded ribonucliec acid (RNA) yang secara selektif menginfeksi sel-sel imun,
terutama limfosit T dan makrofag.

2.1.2 klasifikasi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA :
Famili : Retroviridae
Sub famili : Lentivirinae

Universitas Sumatera Utara


6

Genus : Lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)
Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)
HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya. Terdapat
dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua
tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik
(evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada deretan gen
env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New
atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri dari 11
subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-
F. Kebanyakan kasus HIV di seluruh dunia, adalah disebabkan oleh HIV-1.
(Jawetz, 2001).

2.1.3 Patogenesis
Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar satu
dekade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ
limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian.
Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi penyakit klinis rata-rata sekitar
10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun
setelah onset gejala. Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi
mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12
minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti
organ limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar
secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3
bulan setelah terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali
meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna, dan selsel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid. Masa laten
klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini banyak terjadi
replikasi virus. Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan
baru yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4,
merupakan target utama yang bertanggung jawab memproduksi virus. Virus HIV

Universitas Sumatera Utara


7

secara langsung dan tidak langsung akan merusak sel T-CD4, padahal sel ini
dibutuhkan agar sistem kekebalan tunuh berfungsi secara baik. Jika virus HIV
membunuh sel T-CD4 sampai kurang dari 200 sel T-CD4 per mikroliter darah,
maka kekebalan seluler akan hilang.
Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang
nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Infeksi oportunistik adalah
infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini timbul kerana
mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah
ada dalam tubuh manusia dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh.
Tahap virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut. HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut,
biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan
pada awal infeksi (Jawetz, 2001).

2.1.4 Stadium
Definisi untuk menyatakan stadium-staduim penyakit HIV dan saat timbulnya
AIDS telah mengalami revisi berulang kali. Revisi terakhir dilakukan pada tahun
1993 oleh Centers of Disease Control and – Prevention (CDC) berdasarkan
kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit.
Terdapat dua demensi dari klasifikasi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan
derajat immunosupresinya yang dilambangkan dalam hitung CD4+ limfosit T.
Keadaan klinis yang berhubungan dengan HIV ini dibagi menjadi 3 kategori (lihat
tabel 1). Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat
immunosupresinya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan
CD4+ limfosit T < 200/mm didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan
klinisnya. (Fauci AS, Lane HC , 2001).

Universitas Sumatera Utara


8

CD4
Kategori Klinis A Kategori Klinis B Kategori Klinis
Total
(Asimtomatik) (Simtomatik) (AIDS)
(/ml) %
≥ 500
A1 B1 C1
≥29
200-499 A2 B2 C2
14-28
<200 A3 B3 C3
<14

Table 2. Klasifikasi CD4 penderita HIV berdasarkan kategori Centers for


Disease Control and Prevention (CDC)
Dikutip dari: Fauci AS, et al, eds. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Vol.II. 15th ed. New York : McGraw-Hill ; 2001. P. 1852

2.1.5. HIV dan Penularannya.


HIV ditemukan didalam darah, semen, sekresi serviks dan vagina, dan dalam
jumlah yang lebih kecil, didalam saliva, air mata, air susu ibu dan cairan
serebrospinalis dari orang yang terinfeksi. HIV dapat ditularkan dalam 3 cara,
yaitu: melalui hubungan seksual (baik homoseksual atau heteroseksual) ; melalui
darah ; dari ibu ke anaknya (selama kelahiran, atau melalui air susu ibu) (Maj M,
1997).
Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya
penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko
penularan seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan
membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak pertama kali HIV
ditemukan, aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor resiko utama
tertularnya penyakit ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya jumlah
pertemual seksual dengan pasangan yang berbeda. Rute seksual (risiko transmisi
adalah 0.3% dari pria-ke-pria, 1.2% pria ke wanita, 0.1% dari wanita ke pria).
(Lippincot Williams & Wilkins, 2008).

Universitas Sumatera Utara


9

Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara penularan yang
paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang dengan seringkali terinfeksi melalui
pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi, dimana insidensi yang tinggi
terinfeksi HIV pada pengguna obat-obat (drug users) Paramedis dapat terinfeksi
HIV oleh goresan jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi relatif
lebih sedikit. (Jawetz, 2001). Prevelensi HIV pada intravenous drug users (IDU)
rata-rata nasional adalah 41.6% dan bagi pemakaian needle sticks (0.3%). (
Depkes RI. 2008).
Anak-anak dapat terinfeksi in utero atau melalui air susu ibu jika ibunya terinfeksi
HIV. Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada
wanita yang tidak diobati. Tanpa penularan melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi
terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran. Data menunjukkan bahwa
sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI.
Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6 bulan pertama setelah
kelahiran.
Tidak ditemukan bukti-bukti bahwa HIV dapat tertular melalui kontak biasa,
seperti tinggal bersama-sama dirumah atau kelas dengan orang yang terinfeksi
HIV, walaupun kontak langsung maupun tidak langsung dengan cairan tubuh
orang yang terinfeksi, seperti darah dan semen, harus dihindari. (Jawetz, 2001).

2.1.6. Gejala Klinis


Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Hingga 70% pasien dengan terinfeksi HIV primer berkembang menjadi acute
mononucleosis-like syndrome setelah infek si awal. Dikenal juga sebagai acute
retroviral syndrome (ARS), tanda dan gejala ini terjadi sebagai hasil dari infeksi
awal dan penyebaran dari HIV, dan meliputi sindroma klinis atipikal. Manifestasi
yang paling umum meliputi demam, rasa lemah, nyeri otot, ruam kulit,
limfadenopati, nyeri kepala dan nyeri tenggorokan. Gejala ”flu” seperti ingusan
atau hidung tersumbat tidak menonjol membantu untuk membedakan ARS dari

Universitas Sumatera Utara


10

influenza atau kondisi-kondisi respiratori viral lainnya. Lamanya keadaan ini


adalah biasanya kurang dari 14 hari tetapi dapat menjadi lebih lama, dalam
beberapa minggu bahkan bulan.

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok
kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya 2 tahun. Setelah
masa tanpa gejala, akan diikuti infeksi oportunistik dan selanjutnya memasuki
stadium AIDS. ( Djoerban Z, 2006).

Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HIV


Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai
infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien
yang terinfeksi dengan virus HIV-1. Sistem ini kemudian telah diperbaharui pada
tahun 2008 seperti yang diperlihatkan pada table 3.

Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular
eruption))
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang

Universitas Sumatera Utara


11

Penurunan berat badan > 10%


Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi
neurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi
ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

Tabel 3. Stadium klinik HIV


[Sumber : WHO, 2008]

Universitas Sumatera Utara


12

2.1.7. Diagnosis
Diagnosis ditujukan pada kedua hal, yaitu terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis
pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan
laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku
resiko tinggi individu tertentu.
a). Diagnosis klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem
stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi
HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang
berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi
kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk
mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat.
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5ºC) lebih dari satu
bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenofati meluas
Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi
pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
Infeksi
Infeksi jamur Kandidosis oral*
Dermatitis seboroik
Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu
dermatom)*
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan Batuk lebih dari satu bulan

Universitas Sumatera Utara


13

pernafasan Sesak nafas


TB
Pnemoni kambuhan
Sinusitis kronis atau berulang
Gejala Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak
neurologis jelas
penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif
* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Tabel 4. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
[Sumber : Depkes, 2007]

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode :


1. Langsung: isolasi virus dari sampel, umumnya dengan pemeriksaan
mikroskop electron atau deteksi antigen virus, misalnya dengan Polymerase
Chain Reaction (PCR)
2. Tidak langsung : dengan melihat respons zat anti spesifik, misalnya dengan
Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Westerm Blot,
Immunofluorescent Assay (IFA) atau Radio Immuno Precipitation Assay
(RIPA).

Untuk diagnosis HIV yang lazim digunakan pertama-tama adalah pemeriksaan


ELISA kerana memiliki sensitivitas yang tinggi (98-100%). Akan tetapi,
spesifisitas kurang sehingga hasil tes ELISA yang positif harus dikonfirmasi
dengan Wesrerm Blot yang spesifisitasnya tinggi (99,6-100%). Sedangkan
pemeriksaan PCR biasanya dilakukan pada bayi yang masih memiliki zat anti
maternal sehingga menghambat pemeriksaan secara serologis dan pada kelompok
risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi
dalam dua kelompok yaitu :

Universitas Sumatera Utara


14

1). Uji Imunologi


Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan
sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –linked
immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western
blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat
hasil reaktif dari test skrining.
Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan
untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

Deteksi antibodi HIV


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA
dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan
hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada
tanggal berikutnya.Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik
dan gejala dari sindrom retroviral yang akut.Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan
transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia
kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum
anak dianggap mengidap HIV-1.

Universitas Sumatera Utara


15

Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1.Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi.ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.

Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes
sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik).
Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang
(ELISA atau rapid tes).Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil
positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.

Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)


Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan
fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika
slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

2). Uji Virologi


Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi
asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan
asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen
virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24).

Universitas Sumatera Utara


16

Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma
dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji
cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase
virus atau untuk antigen spesifik virus.

NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)


Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin
berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel.Pengujian RNA dan DNA
virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk
mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif
penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk
memantau efektivitas terapi antivirus.

Uji antigen p24


Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam
keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1.Pada umumnya
uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA
HIV karena kurang sensitif.Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan
teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24.

2.1.8. Pencegahan
Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya.Pencegahan
primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit.Pencegahan sekunder
meliputi modifikasi perjalanan penyakit.Semua orang dengan tiap risiko untuk
infeksi HIV harus diinformasikan tentang praktek seks yang aman dan perlu
menghindari menggunakan bersama-sama jarum hipodermik yang
terkontaminasi.Strategi pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai sosial yang
kompleks disekitar tindakan seksual, orientasi seksual, pengendalian kelahiran
dan penyalahgunaan zat.Kondom telah terbukti merupakan strategi pencegahan

Universitas Sumatera Utara


17

yang cukup aman dan efektif untuk melawan infeksi HIV. (Fauci AS, Lane HC,
2001).

2.1.9. Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan penderita dengan HIV/AIDS terdiri atas beberapa
jenis yaitu, yang pertama adalah pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV
dengan obat antiretroviral (ARV).Antiretroviral (ARV) adalah obat yang
menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).(DepKes, 2007).
Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi
kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit,
memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan cara
menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan
kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi
oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan
yang akhirnya mendorong ke arah kematian.obat anti retroviral terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nleotide
reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan
inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan anti retroviral yang dianjurkan
WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa regimen yang dapat
dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-masing.Kombinasi ARV
lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).

Universitas Sumatera Utara


18

Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin Evafirenz*
Lamivudin + didadosin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + zidovudin Nevirapin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didadosin

Lamivudin + zidovudin Nelvinafir


Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didadosin
*Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang
berpotensi tinggi untuk hamil
Table 5. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007)
Pengobatan yang kedua adalah pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
dan infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Dan pengobatan yang
ketiga adalah pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama, pola tidur yang baik dan menjaga kebersihan dengan baik. Dengan
pengobatan yang teratur dan lengkap, angka kematian dapat diturunkan dan
harapan hidup menjadi lebih baik dan angka kejadian infeksi oportunistik akan
berkurang (Djoreban Z, 2006).
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal.Sekitar 75% pasien yang didiagnosis
AIDS meninggal tiga tahun kemudian.Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien
terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis (Widoyono, 2008).

Universitas Sumatera Utara


19

2.2. Depresi
2.2.1 Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.(Kaplan, 2010).
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan
oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter
(noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP (terutama pada
sistem limbik).(Maslim, 2002).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai
oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan
berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresapdari seseorang, dan
bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu .(Kaplan, 2010).
Depresi terjadi pada berbagai umur. Studi yang disponsori NIMH memperkirakan
bahawa di Amerika Serikat 6% berumur 9-17 tahun dan hampir 10% warga
Amerika dewasa diusia 18 tahun atau lebih, mengalami depresi setiap tahun.
(Vaidya SA, 2008). Umur onset untuk gangguan depresi berat sekitar 40 tahun,
dengan 50% dari seluruh penderita memiliki onset antara usia 20-50 tahun.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Indonesia menjumpai bahawa
94% penduduk Indonesia menghidap depresi mulai dari tingkat berat hingga
ringan. (Depkes RI. 2007).
Gangguan depresi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disoder IV (DSM) tergolong dalam gangguan suasana perasaan (mood) atau
suasana hati karena melibatkan keadaan emosi, efek positif dan negative
mendalam, dan cenderung menjadi malasuai selama periode tertentu sedikitnya
dua minggu. Gangguan mood tersebut terjadi mulai dari depresi sampai mania.
Depresi umumnya digolongkan menjadi dua yaitu depresi unipolar, yaitu ganggan
depresi yang dicirikan oleh suasana perasaan depresif saja dan depresi bipolar,
yaitu gangguan depresi yang dicirikan oleh pergantian suasana perasaan depresif
dan mania. Depresi meliputi perasaan sedih dan kepatahan hati yang luar biasa,

Universitas Sumatera Utara


20

sedangkan mania dikarakterisikkan sebagai perasaan bergairah (euphoria) yang


mendalam dan tidak realistik.

2.2.2 Etiologi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.(Kaplan, 2010).

a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH
(5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epinefrin.Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah.Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenic. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin yang
terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenic.Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal (HPA) yang sangat fundamental pada pasien depresi.Hipersekresi yang
terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator
yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.Emosi
seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur
oleh sistem limbik.Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH.

Universitas Sumatera Utara


21

b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi
umum.Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot.
Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya
disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam
menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan
seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai.Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial
meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim,
penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik.
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan
stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai
bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam
onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan.Stressor psikososial yang bersifat
akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya
kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal,
ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti
kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi
untuk terjadinya depresi.Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).

Universitas Sumatera Utara


22

Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang


dicintai dapat menimbulkan depresi. Dalam upaya untuk mengerti depresi,
Sigmud Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan
melankolia Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya
bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi
dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri
yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri,
sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.
Faktor kognitif.Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan
distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang
negatif, pesimisme dan keputusasaan.Pandangan yang negatif tersebut
menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).
Terdapat consensus bahwa faktor etiologinya adalah multiple dan mungkin
saling berinteraksi dengan cara yang kompleks dan pemahaman terbaru mengenai
gangguan ini menghendaki adanya pemahaman yang pintar terhadap hubungan
factor-faktor ini.(Fauci AS, Lane HC, 2001). Seperti penyakit-penyakit serius
lainnya seperti kanker, penyakit jantung ataupun stroke, depresi juga sering
menyertai HIV/AIDS.

2.2.3 Klasifikasi
Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth
edition) Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori, yaitu:
1. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder).
Didapatkan 5 atau lebih simptom depresi selama 2 minggu. Kriteria terebut
adalah:suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh
subjek ataupun observasi orang lain (pada anak-anak dan remaja perilaku yang
biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya), kehilangan interes atau
perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas
sehari-hari, berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru
ada kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau hipersomnia berkelanjuta,
agitasi atau retadasi psikomotorik, letih atau kehilangan energi, perasaan tak

Universitas Sumatera Utara


23

berharga atau perasaan bersalah yang eksesif, kemampuan berpikir atau


konsentrasi yang menurun, pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha
bunuh diri yang muncul berulang kali, distres dan hendaya yang signifikan secara
klinis, tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.

2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder)


adalah suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti suatu episode
depresi berat (dahulu disebut depresi neurosis). Kriteria DSM-IV untuk gangguan
distimik: perasaan depresi selama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun
(atau 1 tahun pada anak-anak dan remaja); selama depresi, paling tidak ada dua
hal berikut yang hadir: tidak nafsu makan atau makan berlebihan, insomnia atau
hipersomnia, lemah atau keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah,
atau sulit membuat keputusan, perasaan putus asa; selama 2 tahun atau lebih
mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala selama 2 bulan; tidak ada
episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak ditemukan;
gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib kondisi obat
atau medis; signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam
fungsi.
3.Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or
cyclothymic disorder). Kriteria: kemunculan (atau memiliki riwayat pernah
mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau lebih; kemunculan (atau
memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode hipomania; tidak
ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran; gejala-gejala suasana
perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan
lain seprti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis
dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum; distres atau hendaya
dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
Sedangkan menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi depresi
pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder. Tipe primer : bila tidak ada
gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe sekunder : bila gangguan yang
sekarang mempunyai hubungan dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada

Universitas Sumatera Utara


24

gangguan depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai
lebih banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus
asa, mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga
diri yang rendah , dan tidak patuh. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik
(Bipolar affective illness or cyclothymic disorder). Kriteria: kemunculan (atau
memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau
lebih; kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu
episode hipomania; tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode
campuran; gejala-gejala suasana perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi
gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak
disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis
secara umum; distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
Sedangkan menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi depresi
pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder. Tipe primer: bila tidak ada
gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe sekunder : bila gangguan yang sekarang
mempunyai hubungan dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan
depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih
banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa,
mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga diri
yang rendah , dan tidak patuh.

2.2.4 Gambaran Klinis


a) Gejala fisik
Menurut beberapa ahli, gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan
dan variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami.
Namun secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relative mudah
dideteksi (Lumongga, 2009) Gejalanya adalah :
1. Gangguan pola tidur. Misalnya sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sikit
tidur.
2. Menurun tingkat aktivitas. Pada umumnya orang dengan depresi menunjukkan
perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang yidak melibatkan orang lain.

Universitas Sumatera Utara


25

3. Menurunnya efisiensi kerja. Penyebab jelas, orang yang mengalami depresi


akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada suatu pekerjaan.
4. Menurunnya produktivitas kerja. Orang dengan depresi akan kehilangan
sebahagian atau seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya ia tidak lagi bisa
menikmati dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya.
5. Mudah merasa letih dan sakit jelas saja, depresi merupakan perasaan negative.
Jika seseorang menyimpan perasaan negative, maka jelas akan membuat letih
kerana membebani fikiran dan perasaanya.

b) Gejala Psikis
1. Kehilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang dengan depresi cenderung
memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri.
2. Sensitif. Orang dengan depresi suka mengaitkan sesuatu dengan sirinya.
Perasaanya sensitif sekali sehingga sering peristiwa yang terjadi dipandang
berbeda oleh mereka dan bahkan salah diartikan. Akibatnya mudah
tersinggung, mudah marah, curiga akan maksud orang lain, mudah sedih,
murung dan lebih suka menyendiri.
3. Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna muncul kerana mereka
merasa menjadi orang yang gagal terutama di bidang atau lingkungan yang
seharusnya mereka kuasai
4. Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam permikiran
orang dengan depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa
dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka
menjalankan tanggungjawab yang dilaksanakan.
5. Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas
kesusahan yang dialaminya. Mereka merasa terbeban kerana merasa terlalu
dibebani tanggungjawab yang berat.
c) Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari sendiri pada akhirnya mempengaruhi
lingkungannya. Orang dengan depresi merasa tidak mampu bersikap terbuka
dansecara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

Universitas Sumatera Utara


26

2.2.5. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)


Merupakan salah satu dari berbagai instrumen untuk menilai depresi. Dalam
penyusunannya Max Hamilton (1960) memperoleh dari berbagai literatur dan
pengalaman klinik yang sering ditemukan. Penelitian yang membandingkan
HDRS dengan skor depresi lain didapatkan konsistensi. Realbilitas antara
pemeriksa pada umumnya cukup tinggi. Demikian juga halnya reabilitas oleh satu
pemeriksa yang dilakukan pada waktu yang berbeda.

2.3. Hubungan Depresi dengan HIV


Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang sangat
kompleks, di satu sisi depresi dapat timbul kerana penyakit HIV/AIDS itu sendiri,
di sisi lain depresi yang timbul akan memperberatkan perjalanan penyakit
HIV/AIDS itu sendiri. Depresi akan memperberat perjalanan HIV/AIDS melalui
perubahan prilaku seperti perasaan bersalah , kurangnya minat berkomunikasi,
berkurangnya kepatuhan makan obat serta keinginan untuk bunuh diri dan juga
gangguan sistem imun. Berbagai gejala pada depresi seperti gangguan
neurovegetatif (gangguan tidur, nafsu makan berkurang, disfungsi seksual),
gangguan kognitif (pelupa, susah berkonsentrasi) juga akan memperberat
perjalanan penyakitnya. ( Penzak SR, 2000).
Depresi yang timbul pada penderita HIV/AIDS dapat disebabkan oleh
beberapa hal seperti ; ( Chandra PS , 2005)
1. Invasi virus HIV ke susunan saraf pusat (SSP), dimana adanya perubahan
neuropatologis pada basal ganglia, thalamus, nukleus batang otak yang
menyebabkan disfungsi dan akhirnya menyebabkan gangguan mood dan
motivasi.
2. Efek samping penggunaan obat-obat retroviral.
3. Komplikasi HIV seperti infeksi opportunistik dan tumor intrakranial.
4. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita penyakit
tersebut, biasanya penderita mengalami reaksi penolakan dari pekerjaan,
keluarga maupun masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


27

Kriteria depresif mayor menunjukkan bahwa simtom-simtom ini seharusnya


diperhitungkan sebagai bagian dari depresi jika simtom-simtom secara jelas bukan
akibat masalah fisik yang komorbid. Beragam solusi telah diajukan oleh Cohen-
Cole, yang menyarankan 4 pendekatan yang mungkin.( Maj M , 1997) :
1. Pendekatan etiologikal, yang mengikuti kriteria Diagnostic and statistical
manual of mental disorder (DSM) yang memerlukan penilaian terdahulu
untuk memasukkan simtom/ tanda tertentu bukan hasil dari gangguan fisik
yang melarbelakanginya.
2. Pendekatan inklusif, dimana seluruh simtom-simtom dihitung tanpa
memperhatikan penyebab yang mungkin.
3. Pendekatan eksklusif yang tidak mengizinkan setiap simtom-simtop fisik
untuk dimasukkan pada diagnosis. .( Maj M , 1997)
4. Pendekatan substitusi, yang mana empat kriteria psikologikal / kognitif yang
baru disubstitusi untuk dipindahkan / dihilangkan.

Tinjauan selanjutnya memisahkan pendekatan ini ke 2 pendekatan yaitu


eksklusif dan inklusif. Pendekatan eksklusif secara diagnostik yang paling murni
dan menjadi pilihan yang terbaik untuk tujuan penelitian. Namun pendekatan
inklusif, meskipun diagnosis depresi memungkinkan, menunjukkan yang terbaik
untuk manejemen klinikal kerana pasiennya tidak melaporkan simtom-simtom
psikologik depresi akibat stigma kultural dan perlindungan terbaik terhadap
pasien dari resiko depresi yang tidak terdiagnosis. Pendekatan ini
merekomendasikan bahwa klinisi memperhitungkan setiap simtom-simtom
depresif yang relevan meskipun bila terdapat alasan untuk meyakini simtom
mungkin bukan bagian dari sindrom depresif tapi mungkin sekunder terhadap
perjalanan penyakit atau pengobatannya. ( Creed F, 1997).
Penatalaksanaan penderita depresi dengan HIV/AIDS secara garis besar dapat
dibagi menjadi 2 bagian yaitu penatalaksanaan terhadap penyakit HIV/AIDS dan
penatalaksanaan terhadap depresinya. Penatalaksanaan terhadap penyakit
HIV/AIDS sendiri telah cukup berkembang dengan ditemukannya obat-obat anti
retrovirus. Penatalaksanaan yang baik terhadap depresinya akan memperbaiki

Universitas Sumatera Utara


28

kualitas hidup, memperbaiki kepatuhan terhadap pengobatan, dan memperpanjang


angka harapan hidup penderita HIV/AIDS ( Cruess DG, Douglas SD, et al. 2005)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai