BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS merupakan suatu keadaan
yang serius, dan penyakit yang mengancam hidup. AIDS adalah sekumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh menerunnya kekebalan tubuh akibat
terinfeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. (Djoerban Z, 2006).
Walaupun sudah ada penanganan untuk HIV dan AIDS, penyakit ini belum bisa
disembuhkan.
AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala atau
infeksi yang terjadi karena rusaknya system kekebalan tubuh manusia sebagai
akibat terserang infeksi virus HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang
sudah berlangsung lama. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus. (Kaplan & saddock , 2005).
HIV dahulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus III)
atau Lymphadenophaty Associated Virus (LAV). Virus ini di temukan oleh
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pestteur, Paris 1983), yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga
pada waktu itu di namakan Lymphadenophaty Associated Virus (LAV).
Kelompok virus ini adalah dikenal dengan latensi, viremia, persisten, menginfeksi
sistem saraf dan melemahkan respons imun. HIV merupakan virus single -
stranded ribonucliec acid (RNA) yang secara selektif menginfeksi sel-sel imun,
terutama limfosit T dan makrofag.
2.1.2 klasifikasi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA :
Famili : Retroviridae
Sub famili : Lentivirinae
Genus : Lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)
Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)
HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya. Terdapat
dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua
tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik
(evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada deretan gen
env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New
atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri dari 11
subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-
F. Kebanyakan kasus HIV di seluruh dunia, adalah disebabkan oleh HIV-1.
(Jawetz, 2001).
2.1.3 Patogenesis
Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar satu
dekade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ
limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian.
Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi penyakit klinis rata-rata sekitar
10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun
setelah onset gejala. Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi
mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12
minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti
organ limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar
secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3
bulan setelah terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali
meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna, dan selsel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid. Masa laten
klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini banyak terjadi
replikasi virus. Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan
baru yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4,
merupakan target utama yang bertanggung jawab memproduksi virus. Virus HIV
secara langsung dan tidak langsung akan merusak sel T-CD4, padahal sel ini
dibutuhkan agar sistem kekebalan tunuh berfungsi secara baik. Jika virus HIV
membunuh sel T-CD4 sampai kurang dari 200 sel T-CD4 per mikroliter darah,
maka kekebalan seluler akan hilang.
Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang
nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Infeksi oportunistik adalah
infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini timbul kerana
mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah
ada dalam tubuh manusia dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh.
Tahap virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut. HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut,
biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan
pada awal infeksi (Jawetz, 2001).
2.1.4 Stadium
Definisi untuk menyatakan stadium-staduim penyakit HIV dan saat timbulnya
AIDS telah mengalami revisi berulang kali. Revisi terakhir dilakukan pada tahun
1993 oleh Centers of Disease Control and – Prevention (CDC) berdasarkan
kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit.
Terdapat dua demensi dari klasifikasi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan
derajat immunosupresinya yang dilambangkan dalam hitung CD4+ limfosit T.
Keadaan klinis yang berhubungan dengan HIV ini dibagi menjadi 3 kategori (lihat
tabel 1). Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat
immunosupresinya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan
CD4+ limfosit T < 200/mm didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan
klinisnya. (Fauci AS, Lane HC , 2001).
CD4
Kategori Klinis A Kategori Klinis B Kategori Klinis
Total
(Asimtomatik) (Simtomatik) (AIDS)
(/ml) %
≥ 500
A1 B1 C1
≥29
200-499 A2 B2 C2
14-28
<200 A3 B3 C3
<14
Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara penularan yang
paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang dengan seringkali terinfeksi melalui
pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi, dimana insidensi yang tinggi
terinfeksi HIV pada pengguna obat-obat (drug users) Paramedis dapat terinfeksi
HIV oleh goresan jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi relatif
lebih sedikit. (Jawetz, 2001). Prevelensi HIV pada intravenous drug users (IDU)
rata-rata nasional adalah 41.6% dan bagi pemakaian needle sticks (0.3%). (
Depkes RI. 2008).
Anak-anak dapat terinfeksi in utero atau melalui air susu ibu jika ibunya terinfeksi
HIV. Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada
wanita yang tidak diobati. Tanpa penularan melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi
terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran. Data menunjukkan bahwa
sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI.
Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6 bulan pertama setelah
kelahiran.
Tidak ditemukan bukti-bukti bahwa HIV dapat tertular melalui kontak biasa,
seperti tinggal bersama-sama dirumah atau kelas dengan orang yang terinfeksi
HIV, walaupun kontak langsung maupun tidak langsung dengan cairan tubuh
orang yang terinfeksi, seperti darah dan semen, harus dihindari. (Jawetz, 2001).
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok
kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya 2 tahun. Setelah
masa tanpa gejala, akan diikuti infeksi oportunistik dan selanjutnya memasuki
stadium AIDS. ( Djoerban Z, 2006).
Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular
eruption))
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis ditujukan pada kedua hal, yaitu terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis
pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan
laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku
resiko tinggi individu tertentu.
a). Diagnosis klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem
stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi
HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang
berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi
kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk
mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat.
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5ºC) lebih dari satu
bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenofati meluas
Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi
pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
Infeksi
Infeksi jamur Kandidosis oral*
Dermatitis seboroik
Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu
dermatom)*
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan Batuk lebih dari satu bulan
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1.Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi.ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes
sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik).
Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang
(ELISA atau rapid tes).Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil
positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma
dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji
cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase
virus atau untuk antigen spesifik virus.
2.1.8. Pencegahan
Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya.Pencegahan
primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit.Pencegahan sekunder
meliputi modifikasi perjalanan penyakit.Semua orang dengan tiap risiko untuk
infeksi HIV harus diinformasikan tentang praktek seks yang aman dan perlu
menghindari menggunakan bersama-sama jarum hipodermik yang
terkontaminasi.Strategi pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai sosial yang
kompleks disekitar tindakan seksual, orientasi seksual, pengendalian kelahiran
dan penyalahgunaan zat.Kondom telah terbukti merupakan strategi pencegahan
yang cukup aman dan efektif untuk melawan infeksi HIV. (Fauci AS, Lane HC,
2001).
2.1.9. Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan penderita dengan HIV/AIDS terdiri atas beberapa
jenis yaitu, yang pertama adalah pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV
dengan obat antiretroviral (ARV).Antiretroviral (ARV) adalah obat yang
menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).(DepKes, 2007).
Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi
kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit,
memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan cara
menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan
kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi
oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan
yang akhirnya mendorong ke arah kematian.obat anti retroviral terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nleotide
reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan
inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan anti retroviral yang dianjurkan
WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa regimen yang dapat
dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-masing.Kombinasi ARV
lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).
Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin Evafirenz*
Lamivudin + didadosin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + zidovudin Nevirapin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didadosin
2.2. Depresi
2.2.1 Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.(Kaplan, 2010).
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan
oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter
(noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP (terutama pada
sistem limbik).(Maslim, 2002).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai
oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan
berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresapdari seseorang, dan
bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu .(Kaplan, 2010).
Depresi terjadi pada berbagai umur. Studi yang disponsori NIMH memperkirakan
bahawa di Amerika Serikat 6% berumur 9-17 tahun dan hampir 10% warga
Amerika dewasa diusia 18 tahun atau lebih, mengalami depresi setiap tahun.
(Vaidya SA, 2008). Umur onset untuk gangguan depresi berat sekitar 40 tahun,
dengan 50% dari seluruh penderita memiliki onset antara usia 20-50 tahun.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Indonesia menjumpai bahawa
94% penduduk Indonesia menghidap depresi mulai dari tingkat berat hingga
ringan. (Depkes RI. 2007).
Gangguan depresi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disoder IV (DSM) tergolong dalam gangguan suasana perasaan (mood) atau
suasana hati karena melibatkan keadaan emosi, efek positif dan negative
mendalam, dan cenderung menjadi malasuai selama periode tertentu sedikitnya
dua minggu. Gangguan mood tersebut terjadi mulai dari depresi sampai mania.
Depresi umumnya digolongkan menjadi dua yaitu depresi unipolar, yaitu ganggan
depresi yang dicirikan oleh suasana perasaan depresif saja dan depresi bipolar,
yaitu gangguan depresi yang dicirikan oleh pergantian suasana perasaan depresif
dan mania. Depresi meliputi perasaan sedih dan kepatahan hati yang luar biasa,
2.2.2 Etiologi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.(Kaplan, 2010).
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH
(5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epinefrin.Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah.Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenic. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin yang
terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenic.Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal (HPA) yang sangat fundamental pada pasien depresi.Hipersekresi yang
terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator
yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.Emosi
seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur
oleh sistem limbik.Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH.
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi
umum.Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot.
Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya
disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam
menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan
seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai.Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial
meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim,
penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik.
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan
stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai
bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam
onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan.Stressor psikososial yang bersifat
akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya
kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal,
ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti
kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi
untuk terjadinya depresi.Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
2.2.3 Klasifikasi
Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth
edition) Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori, yaitu:
1. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder).
Didapatkan 5 atau lebih simptom depresi selama 2 minggu. Kriteria terebut
adalah:suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh
subjek ataupun observasi orang lain (pada anak-anak dan remaja perilaku yang
biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya), kehilangan interes atau
perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas
sehari-hari, berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru
ada kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau hipersomnia berkelanjuta,
agitasi atau retadasi psikomotorik, letih atau kehilangan energi, perasaan tak
gangguan depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai
lebih banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus
asa, mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga
diri yang rendah , dan tidak patuh. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik
(Bipolar affective illness or cyclothymic disorder). Kriteria: kemunculan (atau
memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau
lebih; kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu
episode hipomania; tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode
campuran; gejala-gejala suasana perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi
gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak
disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis
secara umum; distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
Sedangkan menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi depresi
pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder. Tipe primer: bila tidak ada
gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe sekunder : bila gangguan yang sekarang
mempunyai hubungan dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan
depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih
banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa,
mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga diri
yang rendah , dan tidak patuh.
b) Gejala Psikis
1. Kehilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang dengan depresi cenderung
memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri.
2. Sensitif. Orang dengan depresi suka mengaitkan sesuatu dengan sirinya.
Perasaanya sensitif sekali sehingga sering peristiwa yang terjadi dipandang
berbeda oleh mereka dan bahkan salah diartikan. Akibatnya mudah
tersinggung, mudah marah, curiga akan maksud orang lain, mudah sedih,
murung dan lebih suka menyendiri.
3. Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna muncul kerana mereka
merasa menjadi orang yang gagal terutama di bidang atau lingkungan yang
seharusnya mereka kuasai
4. Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam permikiran
orang dengan depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa
dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka
menjalankan tanggungjawab yang dilaksanakan.
5. Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas
kesusahan yang dialaminya. Mereka merasa terbeban kerana merasa terlalu
dibebani tanggungjawab yang berat.
c) Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari sendiri pada akhirnya mempengaruhi
lingkungannya. Orang dengan depresi merasa tidak mampu bersikap terbuka
dansecara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.