Anda di halaman 1dari 39

Abdurrahman al-Khaddami

Fiqih Khilafah
dalam
Tinjauan

Madzhab Syafi’i

Penerbit Quwwah
2019
ii | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i


Penulis : Abdurrahman al-Khaddami
Penyunting : Abu Fursan
Desain : Haryo
Penerbit : Penerbit Quwwah
Cetakan Pertama : Syawwal 1440 H/Juli 2019 M
Ukuran : A5 (14,5 x 21)
Jumlah halaman : xxii + 186
ISBN :
Rasulullah  bersabda:

َ َ ً َ َ ُ ُ َ َّ ُ
‫ثم ثكىن ِخَلفة على‬
ُّ ‫م ْن َهاج‬
َّ‫الن ُبى ِة‬
ِ ِ ِ
“Kemudian akan ada Khilâfah ‘alâ Minhâj al-Nubuwwah
(Khilafah berdasarkan metode Kenabian)”

(HR. Ahmad, al-Bazzar, Abu Daud ath-Thayalisi, dan al-Baihaqi)


iv | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

KATA PENGANTAR KIYAI UTSMAN ZAHID AS-SIDANY

MEMAHAMI KONSEP NASHBUL IMAM DI DALAM KITAB-KITAB


FUQAHA

Utsman Zahid as-Sidany


Mudir dan Pengajar Fiqih madzhab Syafi’i KMI Nahdlotul Muslimat
Surakarta

Sudah sejak sangat lama kaum Muslim kehilangan pemahaman


dan gambaran tentang sistem pemerintahan dan politik di dalam
Islam. Tentu termasuk bentuk sistem pemerintahannya. Sementara
itu, para fuqaha di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas tentang
fiqih secara umum, mulai pembahasan Thaharah hingga Imamah
(kepemimpinan) tidak atau kurang memberikan perhatian terhadap
persoalan ini. Mereka memfokuskan pada pembahasan pengangkat-
an Imam/Khalifah (nashb al-Imâm aw al-Khalifah); dan tidak mem-
berikan perhatian yang cukup terhadap bentuk sistem pemerintah-
an dan pilar-pilarnya, di mana Imam atau Khalifah tersebut diangkat
untuk menjalankan roda pemerintahannya.
Sementara itu, kitab-kitab siyâsah syar'iyyah seperti al-Ahkâm as-
Sulthâniyyah, karya al-Mawardi maupun karya al-Farra` dirasa juga
kurang tajam dalam menyorot bentuk sistem pemerintahan dan
pilar-pilarnya. Hal ini wajar belaka, mengingat pada saat kitab-kitab
tersebut, sistem Khilafah masih tegak meski telah mengalami pe-
nyimpangan pada beberapa aspek, khususnya buruknya praktik
baiat. Di sinilah para fuqaha lebih fokus menyorot tentang hal-hal
cabang dari sistem pemerintahan ini.
Inilah yang membuat generasi modern terpalingkan dari pema-
haman yang benar tentang arti mengangkat seorang pemimpin
(nashb al-Imâm), di mana mereka tidak pernah melihat sistem pe-
merintahan Islam (Khilafah) ini tegak dan dijalankan, dan saat yang
Kata Pengantar |v

sama mereka justru terpukau dengan kemajuan Barat dengan sis-


tem khasnya, termasuk sistem pemerintahannya. Akibatnya, mereka
melepaskan hukum dari konteksnya dan membangun pemahaman
tidak pada asasnya. Mereka memahami bahwa dengan mengangkat
seorang pemimpin dalam sistem apapun, telah mewujudkan sebuah
hukum Islam yang dinyatakan para fuqaha sebagai fardhu kifayah
dan termasuk kewajiban terpenting (min ahammil wâjibât).
Padahal tidak akan ada nashb al-Imâm dengan makna yang se-
sungguhnya, sesuai yang dimaksud Nabi  di dalam hadis-hadis
baiat dan juga sesuai yang dikatakan oleh para fuqaha –terlepas
adanya perbedaan rincian– kecuali dalam konteks sistem Khilafah.
Artinya, ketika sistem Khilafah ada atau masih ada, kemudian
khalifahnya meninggal, termakzulkan, atau yang sejenis, maka di
sinilah konteks nashb al-Imâm yang ditulis oleh para fuqaha.
Adapun jika sistem Khilafah belum ada atau sudah tidak ada,
maka tidak mungkin dapat mengamalkan dan menerapkan konsep
nashb al-Imâm yang ditulis oleh para fuqaha di dalam kitab-kitab
mereka itu. Sebab, ketika mereka membahas dan mengkonsep nashb
al-Imâm adalah dalam konteks sistem Khilafah, bukan yang lain.
Maka, mengartikan dan memaknai nashb al-Imâm sebagai
pengangkatan pemimpin, apapun sistem politiknya, ini bisa
dikatakan telah membajak istilah nashb al-Imâm yang ditulis oleh
para fuqaha, dan jelas keluar dari konteks bahasan para fuqaha.
Oleh sebab itu, jika kita mengutip maqâlah dari para ulama
terkait nashb al-Imâm, lalu diarahkan kepada wajibnya iqâmah al-
Khilâfah (menegakkan Khilafah), adalah sebuah keniscayaan. Sebab,
tidak mungkin dapat mengaplikasikan konsep nashb al-Imâm
sebagaimana ditulis oleh para fuqaha kecuali dalam wadah Khilafah.
Tegasnya, memang beda antara nashb al-Imâm dengan iqamah al-
Khilâfah. Tapi tidak ada nashb al-Imâm dengan makna yang
sebenarnya, sebagaimana hadis-hadis yang menjadi landasan fuqaha
dalam mengonsep wajibnya nashb al-Imâm kecuali jika ada sistem
Khilafah. Artinya, nashb al-Imâm merupakan hukum yang menyatu
vi | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

dengan dan tak dapat dipisahkan dari sistemya, Khilafah. Tegasnya,


konsep nashb al-Imâm tidak dapat –sekali lagi tidak dapat– diartikan
sembarang mengangkat pemimpin, terserah apa sistemnya, meski
Anda menambahkan embel-embel "yang penting menerapkan
Syariah", karena sistem pemerintahan, dalam hal ini Khilafah,
merupakan bagian Syariah yang juga harus diwujudkan oleh sang
pemimpin.
Siapa saja yang mengartikan nashb al-Imâm dengan sembarang
kepemimpinan, misalnya dibawa kepada sistem republik, monarki,
kerajaan, atau yang lain, sesungguhnya dialah yang telah membajak
aqwâl fuqaha tersebut. Dialah yang telah menyimpangkan konsep
nashb al-Imâm dari konteksnya. Dan ini dapat dikategorikan sebagai
tadhlîl (penyesatan), penipuan, ghissy, atau pemalsuan data. Dan
buku yang ditulis oleh saudara saya, guru saya, Ustadz
Abdurrahman al-Khaddami ini, Insya Allah memberikan gambaran
yang cukup dan menyelamatkan anda dari kesalahpahaman
terhadap konsep nashb al-Imâm dan sistem pemerintahan dalam
Islam. Semoga.

Surakarta, 26 Jumadil Ula 1440 H/ 01 Februari 2019 M


K a t a P e n g a n t a r | vii

KATA PENGANTAR USTADZ YAN S PRASETIADI


KHILAFAH AJARAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Yan S. Prasetiadi, M.Ag


Mudir Ma’had Darul Ulum Purwakarta

Pada masa kini sangat penting bagi kita yang bermadzhab Ahlus
Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) untuk kembali pada ulama-ulama
Aswaja dalam memahami isu-isu terkini, termasuk hakikat Khilafah
Islamiyah. Sebab jangan sampai kita menjadi asing dengan ajaran
Aswaja itu sendiri, apalagi terpengaruh ajaran transnasional yang
berbahaya seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.
Aswaja sendiri saya kira sangat clear mengenai fikih siyasah ini.
Dalam al-Farqu baina al-Firâq, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w.
429 H) menyebut 15 prinsip Aswaja, di mana prinsip ke-12 adalah
kewajiban adanya Khilafah-Imamah.

‫ولاٌىا يف اٌسوٓ اٌثاىن ػشس ادلضاف اىل اخلالفح و اإلِاِح إْ اإلِاِح‬


‫فسض واجة ػًٍ األِح ألجً إلاِح االِاَ يٕصة ذلُ اٌمضاج‬
ُ‫واألِٕاء ويضثط ثغىزهُ ويغصي جيىشهُ ويمسُ اٌفيء تيٕه‬
ُ‫ويٕرصف دلظٍىِهُ ِٓ ظادله‬
“Rukun ke-12 disandarkan pada Khilafah dan Imamah, bahwa
Imamah adalah fardhu kewajiban bagi umat; keberadaannya
untuk menegakkan Imam, mengangkat para qadhi dan
pejabat yang amanah, menjaga perbatasan, mengatur
viii | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

pasukan, distribusi fai, dan menghentikan kezaliman yang


dilakukan pelakunya.” 1
Dalam referensi Aswaja modern, semisal al-Imȃmah al-‘Uzhma
‘inda Ahl as-Sunnah wal Jamȃ’ah, juga dijelaskan keterangan me-
madai mengenai keunikan istilah tersebut.

‫وهىرا أخرخ اإلِاِح ِؼىن اصطالحيا إسالِيا فمصد تاإلِاَ خٍيفح‬


‫ادلسٍّني وحاوّهُ و ذىصف اإلِاِح أحيأا تاإلِاِح اٌؼظًّ أو‬
‫اٌىربي متييصا ذلا ػٓ اإلِاِح يف اٌصالج ػًٍ أْ اإلِاِح إذا أطٍمد‬
َ‫فإهنا ذىجه إىل اإلِاِح اٌىربي أو اٌؼاِح وّا أوضح ذٌه اتٓ حص‬
‫زمحه اهلل‬
“Demikianlah Imamah menjadi istilah yang Islami. Imam
artinya Khalifah dan penguasa kaum muslim. Kadang disebut
Imâmah ‘Uzhmâ atau Kubrâ, sebagai pembeda dengan istilah
Imamah dalam shalat. Imamah jika disebut tanpa atribut mak-
sudnya adalah Imâmah Kubrâ atau kepemimpinan umum,
sesuai penjelasan Ibnu Hazm .”2

Tentu yang tak kalah penting, sebagai kaum Aswaja, perlu meng-
ingat kembali eksistensi Khilafah sejatinya termasuk ijmak yang
wajib dihormati dan diamalkan. Karena itu wajar jika Ibnu Khaldun
(w. 1332 H) angkat bicara mengenai wajibnya mengangkat seorang
Imam.

1
Al-Farqu Baina al-Firaq, Maktabah Ibnu Sina, h. 300
2
Sulaiman ad-Dumaiji, al-Imȃmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wal Jamȃ’ah, Dar
at-Thayyibah, h. 32
K a t a P e n g a n t a r | ix

‫إْ ٔصة اإلِاَ واجة لد ػسف وجىته يف اٌشسع تإمجاع اٌصحاتح‬


‫و اٌراتؼني ألْ أصحاب زسىي اهلل صًٍ اهلل ػٍيه وسٍُ ػٕد وفاذه‬
ُ‫تادزوا إىل تيؼح أيب تىس زضي اهلل ػٕه وذسٍيُ إٌظس إٌيه يف أِىزه‬
ِٓ ‫وورا يف وً ػصس ِٓ تؼد ذٌه ومل ذرسن إٌاض فىضً يف ػصس‬
َ‫األػصاز واسرمس ذٌه إمجاػاً داالً ػًٍ وجىب ٔصة اإلِا‬
“Mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah kewajiban.
Kewajiban tersebut dalam syariat yang diketahui berdasarkan
ijmak sahabat dan tabi’in. Sebab, ketika Rasul  wafat, para
sahabat segera membaiat Abu Bakar  dan menyerahkan
pertimbangan berbagai urusan mereka kepadanya. Demikian
pula yang dilakukan kaum muslim pada setiap masa, dan
manusia tidak dibiarkan kacau tanpa Imam. Kenyataan
semacam ini merupakan Ijmak yang menunjukkan adanya
kewajiban mengangkat seorang Imam (Khalifah).”3

Sebagai pengikut ajaran Aswaja yang baik, tentu kita tidak boleh
mengabaikan penjelasan dan maqâlah para ulama mengenai
Imamah atau Khilafah tersebut. Karena ulama adalah pewaris para
nabi. Dari para ulama-lah kita bisa memahami aktivitas para
Sahabat, terutama empat Sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali , dalam menjalankan sistem Khilafah. Dan dari para
Sahabat-lah kita bisa memahami syariah Islam yang disampaikan
Baginda Nabi  dalam berbagai aspek kehidupan.
Walhasil, Khilafah dan Aswaja memiliki keterkaitan yang sangat
erat, sebab kaum Aswaja sangat menaruh hormat pada para Sahabat

3
Muqaddimah Ibn Khaldun, Dar Ya’rib: Damaskus, 2004, juz I, h. 366
x | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

, serta masalah Khilafah ini masuk dalam bagian tradisi masyhur


yang tidak bisa diabaikan perannya dalam penyebaran ajaran Islam
ke seluruh dunia. Melalui peran para Khalifah sepanjang sejarah
peradaban Islam, beragam madzhab fikih terutama Ahlus Sunnah
wal Jamaah bisa tersebar secara luas di seantero dunia Islam.
Sehingga dengan hadirnya buku ini, kaum Aswaja kembali
diingatkan warisan fikih siyasah yang sangat berharga. Tidak hanya
itu, buku ini pun mengulas secara teliti isu mengenai kemungkinan
pengamalan sistem Khilafah ala Minhaj Nubuwwah dalam konteks
Aswaja. Semoga dengan hadirnya buku ini, akan bisa membuka
cakrawala dan menambah khazanah keilmuan Islam di negeri
dengan mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Selamat membaca!

Purwakarta, 10 Jumadil Akhirah 1440 H/15 Februari 2018 M


K a t a P e n g a n t a r | xi

KATA PENGANTAR USTADZ YUANA RYAN TRESNA, M.Ag


KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN
RASULULLAH

Yuana Ryan Tresna, M.Ag.


Mudir Ma’had Darul Hadis Khadimus Sunnah Bandung

Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad  adalah


Khilafah. Nabi bersabda:

َ
‫ان َع ْب ًدا َح َب ِش ًّيا ف ِإ َّه ُه‬ َ ‫اعة َوإ ْن َك‬ َّ َ ْ َّ َ
َ ‫الط‬ ‫و‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫الس‬ ‫و‬ ‫هللا‬ ‫ي‬ ‫ى‬َ ‫ُأوص ْي ُك ْم ب َت ْق‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ َ َ َ ًَ ْ َ ُ ْ َ ْ َ
‫ش ِم ْنك ْم َب ْع ِدي ف َس َي َري اخ ِتَلفا ك ِث ًيرا ف َعل ْيك ْم ِب ُس َّن ِتي َو ُس َّن ِة‬ ‫من ٌ ِع‬
‫الن َى ِاج ِذ‬ ُّ ‫الزاشد ًْ َن ْاْلَ ْهد ًّ ْي َن َف َت َم َّس ُك ْىا ب َها َو َع‬
َّ ‫ض ْىا َع َل ْي َها ب‬ ََُ ْ
ِ ِ ِِ ِ ِ َّ ‫الخلف ِاء‬
ٌ َ َ َ َ ْ َّ ُ َ ٌ َ ْ َ َ ْ ُ َّ ُ َّ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َّ َ
‫ضَلل ِة‬ ‫ات لْامى ِر ف ِإن ك ِل محدث ٍة ِبدعة وكل ِبدع ٍة‬ ِ ‫وِإًاكم ومحدث‬
“Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu
bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin)
sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya
siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang
teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.
Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid‟ah dan setiap bid„ah adalah kesesatan.”
(HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Walid


bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari
xii | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya


berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadh bin Sariyah. Lalu al-
‘Irbadhi berkata, "Suatu hari Rasulullah  mengimami kami shalat
subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati
kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata
bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, 'Wahai
Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang
engkau wasiatkan kepada kami?' Beliau bersabda, “Aku
mewasiatkan kepada kalian...”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang
lain, Ibnu Majah, Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam
Shahîh Ibni Hibbân, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash- Shahîhain
(ia berkomentar, “Hadis ini sahih”), dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan
al-Baihaqiyy al-Kubrâ.”
Maknanya, Rasul  berpesan, “Aku mewasiatkan kepada kalian,
hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya
takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, di mana saja dan kapan
saja.
Kemudian Beliau bersabda, “Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah
(jalan/jejak langkah) Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.
Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi
geraham.”
Kata sunnah dalam hadis ini menggunakan makna bahasanya,
yaitu tharîqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadis ini, Nabi 
memerintahkan kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan
jejak langkah Beliau dan Khulafaur Rasyidin. Perintah ini mencakup
masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadis
ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya, hadis ini merupakan
perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekan-
kan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar
K a t a P e n g a n t a r | xiii

kita menggigitnya dengan gigi geraham. Para ulama juga telah


mengulas masalah ini secara global.
Istilah khilafah diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah
imamah, yakni al-imâmah al-’uzhmâ. Keduanya bentuk sinonim
(mutarâdif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan
dalam Islam.
Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan:

‫اإلِاِح ِىضىػح خلالفح إٌثىج يف حساسح اٌديٓ وسياسح اٌدٔيا ته‬


“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah
dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.”4

Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,

ٓ‫ وشػاِح ذرؼٍك تاخلاصح واٌؼاِح يف ِهّاخ اٌدي‬،‫اإلِاِح زياسح ذاِح‬


‫واٌدٔيا‬
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan
kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun
dunia.”5

Imam al-Ramli al-Syafi’i juga mengatakan,

ٓ‫ ىف حساسح اٌدي‬،‫ اٌمائُ خبالفح إٌثىج‬،ُ‫اخلٍيفح هى اإلِاَ األػظ‬


‫وسياسح اٌدٔيا‬

4
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5
5
Al-Haramain, Ghiyats al-Umam fil Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15
xiv | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan


khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengatur-
an urusan dunia.”6

Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,

َ‫اٌفصً اٌثاين يف وجىب اإلِاِح وتياْ طسلها ال تد ٌألِح ِٓ إِا‬


‫يُميُ اٌديٓ ويٕصُس اٌسٕح ويٕرصف ٌٍّظٍىِني ويَسرىيف احلمىق‬
… ‫ لٍد ذىيل اإلِاِح فسض وفايح‬.‫ويضَؼها ِىاضؼَها‬
“…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan
mengenai metode untuk mewujudkannya. Adalah suatu ke-
harusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas me-
negakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang
dizalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada
tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah
itu adalah fardhu kifayah.”7

Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para


ulama lainnya– mengumpamakan dîn dan kekuasaan (kepemimpin-
an) sebagai saudara kembar8, lalu Al-Ghazali menegaskan:

ُ‫اٌدّيٓ أض وَاٌسٍُّْطَاْ حازض فََّا ال أض ٌَهُ فّهدوَ َوَِا ال حازض ٌَه‬


‫فضائغ‬

6
Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarhu al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam al-
Syafi’i, Juz 7, hlm. 289
7
Al-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz III, hlm. 433.
8
Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128.
K a t a P e n g a n t a r | xv

”Ad-Dîn itu asas, sedangkan penguasa itu penjaganya. Apa-


apa yang tidak ada asasnya, maka ia akan roboh; dan apa-apa
yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”9

Itu semua terkait dengan kewajiban mengangkat seorang


khalifah dan adanya sistem khilafah. Adapun terkait dengan konsep
negara yang memiliki wilayah yang di atasnya diterapkan hukum
Islam dan kontradiksinya dengan wilayah yang tidak menerapkan
Islam, para ulama membahas dalam bahasan ad-Dâr.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, di
dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi  bersabda:

َُُّ‫أُ ِدػُهُُِ ِإًٌَ اإلِسِالََِ َفإِْْ أَجَـاتُىنَ فأَلْثًِْ ِِِٕهُُِ و وُفَّ ػَِٕهُُِ ث‬
ِْْ‫أُ ِدػُهُُِ ِإًٌَ َّاٌرحَىّيِ ِِٓ دَازِهُِِ اىل دَازِادلُهَاجِسِيَِٓ و َأخِثِسِهُُِ أََّٔهُُِ إ‬
َِٓ‫َفؼٍَُىا َذٌِهَ فٍََهُُِ َِــا ٌٍُِّْهَاجِسِيَِٓ َو ػٍََيِهُِِ َِـا ػًٍََ اٌْ ُّهَـاجِسي‬
.”.. Serulah mereka kepada Islam. Maka apabila mereka
menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperang-
an atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari
negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam
yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada
mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu,
maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana
yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang
sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”

9
Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi, Imam al-
Qal’i al-Syafi’i, Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi, dan lainnya.
xvi | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

Istilah Dâr al-Islâm dan Dâr al-Kufri telah dituturkan di dalam


Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan
sebuah riwayat dar Nabi , bahwasanya beliau bersabda:

”Semua hal yang ada di dalam Dâr al-Islâm menjadi ter-


larang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam
Dâr al-Syirk telah dihalalkan.”10

Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dâr al-Islâm, harta


dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dâr al-Islâm tidak boleh
dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan
yang syar'i. Sedangkan penduduk Dâr al-Kufri, maka harta dan da-
rahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'i yang mewajibkan
kaum Muslim melindungi harta dan darahnya11.
Di dalam kitab al-Kharâj karya Abu Yusuf dituturkan bahwasa-
nya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada pen-
duduk Hirah. Di dalam surat itu tertulis, “….Aku telah menetapkan
bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah);
yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat,
atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus
ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya
dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi
nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum Muslimin, selama mereka
masih bermukim di Dâr al-Hijrah dan Dâr al-Islâm. Jika mereka
berpindah ke negeri lain yang bukan Dâr al-Hijrah, maka tidak ada
kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mencukupi nafkah mereka.."12
Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa kata Dâr
al-Islâm adalah istilah syar’i yang ditujukan untuk menunjukkan
realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan

10
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthâniyyah, hlm. 60.
11
Muhammad Khair Haikal, al-Jihâd wa al-Qitâl, juz 1, hlm. 661
12
Abu Yusuf, al-Kharaj, hlm. 155-156.
K a t a P e n g a n t a r | xvii

hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dâr
al-Islâm dan Dâr al-Kufri.
Para fuqaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam
kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fuqaha tersebut, kita
dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu
negara hingga absah disebut negara Islam.
Al-Kasa’i di dalam kitab Badâ`i’ al-Shanâ`i', mengatakan:

”Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha kami, bahwa Dâr al-


Kufri (negeri kufur) bisa berubah menjadi Dâr al-Islâm dengan
tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda
pendapat mengenai Dâr al-Islâm; kapan ia bisa berubah
menjadi Dâr al-Kufri? Abu Hanifah berpendapat: Dâr al-Islâm
tidak akan berubah menjadi Dâr al-Kufri kecuali jika telah
memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlaku-
kannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta
perlindungan kepada Dâr al-Kufri. Ketiga, kaum Muslim dan
dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya
keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan
keamanan dari kaum Muslim.” Sedangkan Abu Yusuf dan
Muhammad berpendapat, ’Dâr al-Islâm berubah menjadi Dâr
al-Kufri jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum
kufur.’”13

Di dalam Hâsyiyah Ibnu ’Âbidîn atas kitab Ad-Durr al-Mukhtâr


Syarhu Tanwîr al-Abshâr disebutkan: ”Dâr al-Islâm tidak akan
berubah menjadi Dâr al-Harbi… (karena) misalnya, orang kafir
berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad
kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-
hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk

13
Al-Kasa’i, Bada’i' al-Shana’i', juz 7, hlm. 130.
xviii | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka


dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Dâr al-
Islam berubah menjadi Dâr al-Harbi jika telah memenuhi tiga syarat.
Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat: cukup dengan
satu syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu,
dan ini adalah qiyas.."14
Dengan demikian Dâr al-Islâm adalah negara yang menerapkan
hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan
kaum Muslim. Dâr al-Kufri adalah negara yang menerapkan syariat
kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.
Konsep Dâr al-Islâm tersebut sulit dibayangkan jika bukan dalam
bentuk negara sebagaimana dimaksud dalam konsep tatanegara
moderen. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa
Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan
peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain
adalah:
1. Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa
ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta`min, atau
kafir harbi, jika ada batas wilayah negara yang jelas.
2. Hukum jihad fî sabîlillah. Adanya negara dan batas negara yang
jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfâl []: 39.
3. Hukum perjanjian antar-negara. Al-Quran telah menyitir dan
menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dâr
al-Islâm dengan Dâr al-Kufri (lihat QS. At-Taubah [9]:4).
4. Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya nega-
ra dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan
dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara.
(Lihat QS. Ali Imran: 200)
5. Hukum hijrah. Imam Ahmad dan an-Nasa’i meriwayatkan
sebuah hadis, bahwa Rasulullah bersabda: “Hijrah itu tidak ada
putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” Imam
14
Hasyiyyah Ibnu 'Abidin, juz 3, hlm. 390
K a t a P e n g a n t a r | xix

Bukhari meriwayatkan hadis, bahwa Bunda ‘Aisyah pernah


ditanya tentang hijrah, beliau menjawab: “Hari ini tidak ada
hijrah lagi. Yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari
agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.”
Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah
Dâr al-Islâm.

Menariknya, buku yang ada di hadapan pembaca ini, Fiqih


Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i karya Ustadz Abdurrahman
al-Khaddami, menjawab keraguan sebagian pihak bahwa konsep
khilafah tidak memiliki rumusan atau manhaj yang jelas di kalangan
ulama. Atau dugaan sebagian pihak bahwa para ulama madzhab
tidak memberikan rincian yang detail terkait konsep bernegara
warisan Nabi Muhammad tersebut. Bagi para pengkaji Islam dengan
bermanhaj kepada ulama dan terikat dengan madzhab tertentu,
buku ini menjawab keraguan-keraguan tersebut. Terlebih bagi para
pengikut madzhab Syafi’i, buku ini menjawab rasa penasaran,
sekaligus mengobati dahaga para pengikut madzhab bahwa ternyata
Fiqih Khilafah tidak sebatas nilai, tetapi mencakup sistem pemerin-
tahan dan administrasi. Keunggulan lain buku karya sahabat saya ini
adalah berhasil merangkai hubungan Syafi’iyyah dengan proses
islamisasi dan realitas kesultanan di Nusantara. Kepada para pem-
baca, selamat menikmati buku ini.

Bandung, 01 Jumadil Akhirah 1440 H/06 Februari 2019 M


xx | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

KATA PENGANTAR PENULIS


ُ‫تسُ اهلل اٌسمحٓ اٌسحي‬

Segala pujian hanya milik Allah . Berkat rahmat dan pertolong-


an-Nya, akhirnya buku ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Sayyid Para Rasul, Penutup
Para Nabi, Kekasih Allah dan Khalil-Nya, Sang Terpilih, Rasulullah
Muhammad , beserta keluarga dan sahabat beliau, para tabi’in, pa-
ra tabi’it tabi’in, serta umatnya yang senantiasa menjaga dan melan-
jutkan risalah yang dibawanya.
Buku ini berisi tentang kajian fiqih seputar Khilafah sebagai
Sistem Pemerintahan Islam dalam perspektif madzhab Syafi’i. Kajian
ini terutama ditujukan supaya menjadi solusi praktis bagi problema-
tika masyarakat yang dihadapi Dunia Islam secara umum dan
Nusantara secara khusus. Diharapkan siapapun yang menelaah kar-
ya ini, selain mampu mengambil faidah dari ilmu fiqih yang diwaris-
kan para ulama Syafi’iyyah, juga membantu memahami relevansinya
dalam konteks kehidupan modern saat ini.
Semoga karya sederhana ini bisa memenuhi harapan pembaca,
sekaligus dicatat sebagai amal shalih bagi penulisnya.
‫احلّد هلل زب اٌؼاِني‬

Purwakarta, Jumâdâ al-Ûlâ 1440 H/Januari 2019 M

Abdurrahman al-Khaddami
D a f t a r I s i | xxi

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KIYAI UTSMAN ZAHID AS-SIDANY ........................ iv
KATA PENGANTAR USTADZ YAN S PRASETIADI ................................... vii
KATA PENGANTAR USTADZ YUANA RYAN TRESNA, M.Ag .................. xi
KATA PENGANTAR PENULIS ........................................................................ xx
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xxi
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
BAB I NUSANTARA DAN MADZHAB SYAFI’I .............................................. 4
A. Syafi’iyyah dan Islamisasi Nusantara ............ Error! Bookmark not
defined.
B. Syafi’iyyah dan Kesultanan Nusantara ......... Error! Bookmark not
defined.
C. Syafi’iyyah dan Silsilah Ulama Nusantara.... Error! Bookmark not
defined.
BAB II MENGENAL FIQIH MADZHAB SYAFI’I ........ Error! Bookmark not
defined.
A. Hubungan Ilmu Fiqih dan Hukum Syariah .. Error! Bookmark not
defined.
B. Ijtihad dan Taqlid Dalam Pengambilan Hukum Syariah ....Error!
Bookmark not defined.
C. Mengenal Madzhab Fiqih Syafi’i ...... Error! Bookmark not defined.
1. Biografi Pendiri madzhab Syafi’i ................. Error! Bookmark not
defined.
2. Ushul Fiqih Madzhab Syafi’i ........ Error! Bookmark not defined.
3. Peristilahan Madzhab Syafi’i ...... Error! Bookmark not defined.
4. Panduan Taqlid dalam Madzhab Syafi’i .... Error! Bookmark not
defined.
5. Para Ulama Madzhab Syafi’i ....... Error! Bookmark not defined.
xxii | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

BAB III KONSEPSI KHILAFAH PERSPEKTIF SYAFI’IYYAH ............Error!


Bookmark not defined.
A. Definisi Khilafah (Imamah) .............. Error! Bookmark not defined.
B. Kewajiban Menegakkan Khilafah (Imamah) ..... Error! Bookmark
not defined.
C. Ijmak Sahabat Mengenai Khilafah (Imamah) .... Error! Bookmark
not defined.
D. Pelaksanaan Fardhu Kifayah Terkait Khilafah (Imamah) Error!
Bookmark not defined.
E. Fungsi Khilafah (Imamah) ................. Error! Bookmark not defined.
F. Syarat Khalifah/Imam ........................ Error! Bookmark not defined.
G. Darul Imam dan Darul Islam ............ Error! Bookmark not defined.
BAB IV SISTEM PEMERINTAHAN DALAM PANDANGAN SYAFI’IYYAH
............................................................................... Error! Bookmark not defined.
A. Khilafah (Imamah) Sebagai Sistem Pemerintahan Islam ..Error!
Bookmark not defined.
B. Kaidah Pokok Pemerintahan IslamError! Bookmark not defined.
1. Kedaulatan Syariah ......................... Error! Bookmark not defined.
2. Kekuasaan Umat .............................. Error! Bookmark not defined.
3. Kewajiban Pemimpin Tunggal ... Error! Bookmark not defined.
4. Hak Khusus Pengadopsian Hukum ............. Error! Bookmark not
defined.
BAB V DISKURSUS SEPUTAR KHILAFAH Error! Bookmark not defined.
A. Khilafah dan “Pemerintahan Darurat” ......... Error! Bookmark not
defined.
1. Deskripsi Masalah ........................... Error! Bookmark not defined.
2. Pendapat Ulama Syafi’iyyah ....... Error! Bookmark not defined.
B. Khilafah dan Realitas Nation-State . Error! Bookmark not defined.
1. Deskripsi Masalah ........................... Error! Bookmark not defined.
2. Pendapat Ulama Syafi’iyyah ....... Error! Bookmark not defined.
C. Khilafah dan Pemerintahan Ideal ... Error! Bookmark not defined.
D a f t a r I s i | xxiii

1. Deskripsi Masalah ........................... Error! Bookmark not defined.


2. Pendapat Ulama Syafi’iyyah ....... Error! Bookmark not defined.
D. Khilafah dan Potensi Konflik ............ Error! Bookmark not defined.
1. Deskripsi Masalah ........................... Error! Bookmark not defined.
2. Pendapat Ulama Syafi’iyyah ....... Error! Bookmark not defined.
E. Khilafah dan Administrasi Modern Error! Bookmark not defined.
1. Deskripsi Masalah ........................... Error! Bookmark not defined.
2. Pendapat Ulama Syafi’iyyah ....... Error! Bookmark not defined.
PENUTUP ........................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 180
TENTANG PENULIS........................................................................................ 185
1

PENDAHULUAN

Dunia Islam secara umum dan Nusantara secara khusus meng-


alami banyak problematika dalam berbagai aspek kehidupan, baik
politik-pemerintahan, ekonomi, sosial-budaya, maupun pendidikan.
Bahkan sebagian pengamat menyebutkan bahwa problematika ter-
sebut telah menjadi krisis multidimensi. Para penguasa negeri Islam
termasuk di Indonesia dan Malaysia lebih mendahulukan arahan
negara “sahabat” dibandingkan aspirasi dan kebutuhan umat yang
diurusnya. Berbagai persoalan diurusi secara parsial tanpa pernah
menyentuh akar pemasalahan, sehingga terjadi krisis silih berganti
namun tanpa penanganan serius dan sistematis. Solusi-solusi yang
diterapkan cenderung “apa adanya” dan tanpa program yang jelas.
Demikian pula dalam penerapan hukum-hukum mengenai politik
dan pemerintahan. Indonesia dengan pilihannya berupa republik
beserta segala dinamikanya (liberal, terpimpin, orde baru, refor-
masi) maupun Malaysia dengan pilihannya berupa monarki konsti-
tusional, belum sepenuhnya “merdeka” dari penjajahan kaum kafir.
Berbagai problematika tersebut di era arus informasi yang
semakin mudah diakses telah meningkatkan kesadaran umat. Apa
yang dinamakan dengan “kebangkitan umat” terjadi di dunia Islam,
termasuk di Nusantara. Di antara bukti mengenainya ialah
perkembangan jamaah dakwah yang diminati kalangan pemuda,
penerimaan opini Islam yang tadinya asing (misal: syariah, Khilafah,
Liwa` dan Rayah, dsb), serta peningkatan penampakan hukum Islam
di ruang publik (misal: jilbab syar’i, muamalah non-ribawi,
pendidikan berbasis Islam, dll). Namun, seiring dengan semakin
meningkatnya penerimaan umat Islam terhadap ajaran Islam,
termasuk pemikiran “Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam”,
ditemukan ada sebagian pihak berpendapat bahwa Khilafah yang
diopinikan kelompok tertentu tidak dapat dipastikan “mewakili”
hukum syariah secara mutlak/absolut, sehingga boleh saja ada
pihak lain yang tidak setuju terhadap opini (pendapat hukum)
2 | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

mengenainya. Oleh karena itu, penyebaran opini yang bersifat terus-


menerus dalam “skala besar” dan “intensitas tinggi” dianggap meng-
klaim kebenaran tunggal serta memaksakan pendapat kepada pihak
lain.
Pada intinya, perlu ada kesepahaman apakah realitas/fakta
kehidupan masyarakat saat ini terkategori mengalami problematika
yang mendasar, yakni sejak asas kehidupan dan sudut pandangnya,
sehingga meniscayakan adanya perubahan total; ataukah sekedar
problematika “biasa”, semisal kekeliruan individual dan kesalahan
teknis, yang cukup diselesaikan dengan perbaikan parsial. Jika “titik
awal” problematika dapat dipahami bersama, maka berikutnya ialah
mempertimbangkan solusi yang ditawarkan berupa pemikiran “Khi-
lafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam.” Pemikiran mainstream
Madzâhibul Arba’ah, terutama madzhab Syafi’i, dapat digunakan, se-
hingga menegasikan tuduhan adanya klaim kebenaran dan pemak-
saan pendapat.
Dalam perjalanan sejarah, umat Islam di Nusantara selama bebe-
rapa abad mengalami kehidupan yang adil dan menyejahterakan.
Kondisi demikian terjadi di era Kesultanan yang menerapkan hu-
kum-hukum syariah menurut madzhab Syafi’i. Secara umum, Ulama
dan Sultan berhasil membangkitkan berbagai kabilah/suku di
Nusantara hingga menghilangkan dominasi dari keyakinan dan
ajaran sebelum Islam, semisal Hindu, Budha, dan Animisme. Dengan
demikian, perlu dikaji bagaimanakah konsepsi pemerintahan Islam
dalam perspektif madzhab Syafi’i, termasuk yang dinukil langsung
dari Nâshir as-Sunnah Imam asy-Syafi’i sendiri. Hal tersebut menjadi
penting karena setelah era penjajahan fisik berakhir, berbagai pemi-
kiran asing yang berasal dari kaum kafir penjajah cukup “membi-
ngungkan” umat Islam dalam menentukan pandangan dan sikapnya
berkenaan dengan politik dan pemerintahan. Padahal menemukan
keberadaan ulama mujtahidin tidaklah mudah. Jika bukan dengan
mekanisme ijtihad sahih, maka solusinya ialah memilih taqlid syar’i,
yang secara praktis bisa dilakukan dengan memilih madzhab terten-
Pe nda hu lu a n|3

tu sesuai kecenderungan penduduk negeri, yakni Madzhab Fiqih


madzhab Syafi’i.
Oleh karena itu, pada Bab I dari buku ini dibahas hubungan
Nusantara dengan madzhab Syafi’i, sejak awal dakwah Islam, era
kesultanan, hingga pembentukan silsilah ulama di era Utsmaniyyah
akhir. Pada Bab II dibahas pengenalan madzhab Syafi’i dari sisi
ushul fiqih, peristilahan, panduan bermadzhab, dan tokoh-tokohnya.
Pada Bab III dibahas konsepsi Khilafah perspektif Syafi’iyyah, me-
liputi definisi Khilafah dan khalifah, hukum menerapkan Khilafah,
fungsi Khilafah, syarat kelayakan Khalifah, dan konsepsi Darul Islam.
Adapun pada Bab VI dibahas sistem pemerintahan dalam pandang-
an Syafi’iyyah, yakni kaidah-kaidah pokok terkait sistem pemerin-
tahan Islam. Terakhir, pada Bab V dibahas diskursus seputar Khila-
fah, yang mengupas beberapa “keraguan” yang mencoba mengha-
langi penerapan Khilafah. Wallâhu A’lam.
4

BAB I
NUSANTARA DAN MADZHAB SYAFI’I

Nusantara Islam adalah negeri kepulauan yang meliputi Indone-


sia, Malaysia, Brunei, Sulu dan Mindanau di Filipina, serta Pattani di
Thailand. Sebagian besar penduduknya adalah kaum muslimin. Di
masa lalu, negerinya dikenal dengan al-Jawah dan orangnya disebut
al-Jawiyyun. Dakwah Islam di Nusantara merupakan fenomena “u-
nik” karena masyhur dilaksanakan “tanpa perang”, namun mampu
mendominasi masyarakat hingga berpengaruh dalam semua aspek
kehidupan, termasuk politik dan ekonomi. Terlepas adanya perde-
batan tentang kapan dan dari mana Islam mulai berkembang di Nu-
santara –apakah abad ke-7 M, ke-10 M, ataukah ke-13 M; apakah
berasal dari Arab, Persia, India, ataukah Cina–, setidaknya dapat
disepakati bahwa dakwah Islam itu memanfaatkan jalur perdagang-
an laut dunia pada masanya, sehingga perkembangan Islam dimulai
dari Sumatera dan Jawa, selanjutnya ke pulau yang lainnya, hingga
ke Semenanjung Malaya, Pattani, serta Sulu dan Mindanau.
Kajian mengenai sejarah bersandar pada 3 (tiga) sumber, yakni
catatan/dokumen tertulis, artefak/benda peninggalan, dan riwa-
yat/tradisi lisan. Begitupun penelitian tentang dakwah Islam di Nu-
santara. Namun, perlu diketahui, terdapat perbedaan “besar” antara
manhaj para ulama tarikh (sejarah Islam) dengan metode penulisan
Barat. Para ulama berpendapat bahwa riwayat/tradisi lisan lebih
kuat dibandingkan catatan/dokumen tertulis, sedangkan menurut
ilmuwan Barat sebaliknya. Selain itu, terdapat perbedaan dalam me-
nentukan kriteria seorang penutur “sumber lisan”, sehingga penu-
kilan Ibnu Bathuthah dianggap rujukan penting bagi para Ulama, se-
dangkan bagi ilmuwan Barat, laporan Tome Pires adalah referensi
utama.
Hanya saja, problem utama dari kajian tarikh di Nusantara ialah
tidak sedikit dari dokumen tertulis itu hilang, rusak, atau disimpan
Belanda atau Turki; penulisan dokumen dipengaruhi subjektivitas
180

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Nuh. Ringkasan Sejarah Wali Songo. Teladan: Surabaya.


Abdul Wahhab Khalaf. as-Siyâsah asy-Syar’iyyah fî asy-Syu`ûn ad-
Dustûriyyah wa al-Khârijiyyah wa al-Mâliyyah. Dâr al-Qalam.
Abu Syuja’. Matnu Abî Sujâ’ (at-Taqrîb). Mathba’ah Karya Toha
Putra: Semarang.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushûl al-Fiqhi. Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Abu Zahrah, Muhammad. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî as-
Siyâsah wa al-‘Aqâ`id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah. Dar
al-Fikr al-‘Arabi.
Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Târîkh al-Islâm. Dar al-Gharb
al-Islami.
Al-Amidi, Ali bin Abu Ali. al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. al-Maktab al-
Islami: Beirut
Al-Amidi, Ali bin Abu Ali. Ghâyah al-Marâm fi ‘Ilm al-Kalâm. al-Majlis
al-A’la li asy-Syu`un al-Islamiyyah: Kairo.
Al-Anshari. Zakariya bin Muhammad. Manhaj ath-Thullâb. Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.
Al-Anshari. Zakariya bin Muhammad. Fathu al-Wahhâb Syarhu
Manhaj ath-Thullâb. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.
Al-Ardabili, Yusuf bin ibrahim. al-Anwâr li A’mâl al-Abrâr. Dar adh-
Dhiya`: Kuwait.
Al-Baidhawi, Abdullah bin Umar. Anwâr at-Tanzîl wa Asrar at-Ta`wîl.
Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi: Beirut.
Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husain. Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsar.
Jami’ah ad-Dirasah al-Islamiyyah: Pakistan.
Al-Bajuri, Ibrahim. Tuhfah al-Murîd Syarhu Jauhar at-Tauhîd.
Mathba’ah Karya Toha Putra: Semarang.
Al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad. Hâsyiyah al-Bujairimî ‘ala al-
Khathîb. Dar al-Fikr.
Al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad. Hâsyiyah al-Bujairimî ‘ala
Syarhu al-Manhaj. Mathba’ah al-Halabi.
D a f t a r P u s t a k a | 181

Al-Fadani, Muhammad Yasin. al-‘Iqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânîd.


Dar as-Saqqaf: Surabaya.
Al-Haddad, Alawi bin Thahir. ‘Uqûd al-Almâs. Mathba’ah al-Madani.
Al-Haramain, Abdul Malik bin Abdullah. Ghiyâts al-Umam. Maktabah
Imam al-Haramain.
Al-Haitami, Ibnu Hajar. ash-Shawâ’iq al-Muhriqah. Muassasah ar-
Risalah: Lebanon.
Al-Haitami, Ibnu Hajar. Tuhfah al-Muhtâj fi Syarhu al-Minhâj. Dar
Ihya` at-Turats al-‘Arabi: Beirut.
al-‘Idrus, Hasan. Asyraf Hadhramaut (alih bahasa oleh Ali Yahya).
Dikutip dalam http://as-
sadah.blogspot.com/2011/12/asyraf-hadhramaut-dan-
peranan-mereka_5033.html
Al-Iraqi, Abdurrahim bin al-Husain dan Abu Zur’ah. Tharh at-Tatsrîb.
Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi: Beirut.
Al-Kattani, Abdul Hayyi. at-Tarâtîb al-Idâriyyah. Dar al-Arqam:
Beirut.
Al-Khathib al-Baghdadi. al-Faqîh wa al-Mutafaqqih. Dar bin al-Jauzi:
Saudi.
Al-Khathib asy-Syarbini. Mughnî al-Muhtâj ila Ma’rifah Ma’ânî Alfazh
al-Minhâj. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Khaththabi, Hamd bin Muhammad. Ma’âlim as-Sunan. Al-
Mathba’ah al-‘Ilmiyyah: Halab.
Al-Malibari, Zainuddin Ahmad. Fathu al-Mu’în Syarhu Qurrah al-‘Ain.
Dar Ibn Hazm.
Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. al-Hâwî al-Kabîr. Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah: Beirut.
Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. al-Ahkâm as-Sulthâniyyah. Dar al-
Hadis: Kairo.
Al-Munawi, Abdurra’uf. Faidh al-Qadîr Syarhu al-Jâmi’ ash-Shaghîr.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân.
Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi: Beirut.
182 | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

An-Nabhani, Taqiyyuddin bin Ibrahim. ad-Daulah al-Islâmiyyah. Dar


al-Ummah: Beirut.
An-Nabhani, Taqiyyuddin bin Ibrahim. asy-Syakhshiyyah al-
Islâmiyyah al-Juz`u ats-Tsânî. Dar al-Ummah: Beirut.
An-Nabhani Taqiyyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr. Dar al-Ummah:
Beirut.
An-Nabhani, Yusuf bin Ism’ail. al-Ahâdîts al-Arba’în fî Wujûb Thâ’ah
Amîr al-Mu`minîn. Mathba’ah al-Adabiyyah: Beirut.
An-Nabhani, Yusuf bin Ism’ail. Hujjah Allâh ‘ala al-‘Âlamîn fî Mu’jizât
Sayyid al-Mursalîn. Mathba’ah al-Adabiyyah: Beirut.
An-Nabhani, Yusuf bin Ism’ail. Syawâhid al-Haqq fi al-Istighâtsah bi
Sayyid al-Khalq. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Minhâj ath-Thâlibîn wa Umdah al-
Muftîn. Dar al-Fikr.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Raudhah ath-Thalibîn wa Umdah al-
Muftîn. al-Maktab al-Islami: Beirut.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Syarhu Shahîh Muslim (al-Minhâj). Dar
Ihya` at-Turats al-‘Arabi: Beirut.
Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad. Ghâyah al-Bayân Syarhu Zubad
Ibn Ruslân. Dar al-Ma’rifah: Beirut.
Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad. Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarhu al-
Minhâj. Dar al-Fikr: Beirut.
Ar-Razi, Muhammd bin Umar. Mafâtîh al-Ghaib. Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah: Beirut.
Ar-Razi, Muhammd bin Umar. al-Mahshûl. Muassasah ar-Risalah.
As-Sainuri, Abu al-Fadhl. Ahla al-Musâmirah fi Hikâyah al-Auliyâ` al-
Asyrah. Majlis at-Ta`lif wa al-Khutthath: Tuban.
As-Samfuri, Ahmad Bakri. Cempaka Dilaga. Majlis Ta’lim al-‘Idrus:
Jakarta.
As-Samfuri, Ahmad Bakri. Idhâh al-Karâthaniyyah. tp.
As-Samfuri, Ahmad Bakri. Tanbîh al-Muftarîn. tp.
As-Subki, Tajuddin. Jam’u al-Jawâmi’. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah:
Beirut.
D a f t a r P u s t a k a | 183

As-Subki, Tajuddin. Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. al-Maktabah


asy-Syamilah.
As-Suyuthi, Abdurrahim bin Abu Bakar. Taqrîr al-Istinâd fî Tafsîr al-
Ijtihâd. Dar ad-Da’wah: Iskandariyyah
As-Suyuthi, Abdurrahim bin Abu Bakar. Tadrîb ar-Râwî. Dar ath-
Thayyibah: Riyadh.
As-Suyuthi, Abdurrahim bin Abu Bakar. Târîkh al-Khulafâ`.
Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz.
Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris. al-Umm. Dar al-Fikr: Beirut.
Asy-Syahrastani, Nihâyah al-Iqdâm fi ‘Ilmi al-Kalâm. Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah: Beirut.
Asy-Syairazi, Ibrahim bin Alli. al-Luma’ fî Ushûl al-Fiqhi. Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah: Beirut.
Asy-Syairazi, Ibrahim bin Alli. at-Tanbîh. Mathba’ah Mushthafa al-
Halabi: Mesir.
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-
Fiqhi. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.
Az-Zuhaili, Muhammad. al-Mu’tamad fi al-Fiqhi asy-Syâfi’iyy. Dar al-
Qalam: Damaskus.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu al-Islâmiyy wa Adillatuhu. Dar al-Fikr:
Damaskus.
Ba’alawi, Abdurrahman bin Muhammad. Bughyah al-Mustarsyidîn.
Dar al-Fikr.
Hamka, Sejarah Umat Islam, dikutip dalam
http://azizulmanal.blogspot.com/2009/12/sejarah-
masuknya-islam-dan-peranan_2947.html
Husain Abdullah, Muhammad. al-Wâdhih fî Ushûl al-Fiqhi. Dar al-
Bayariq: Beirut.
Ibn ‘Abdissalam. Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.
Ibn Bathuthah, Muhammad bin Abdullah. Rihlah Ibnu Bathûthah.
Dar asy-Syarq al-‘Arabi.
184 | Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i

Ibn Hajar, Ahmad bin Ali al-Asqalani. Fathu al-Bârî. Dar al-Ma’rifah:
Beirut.
Ibn Katsir, Ismail. al-Bidâyah wa an-Nihâyah. Dar Ihya` at-Turats al-
‘Arabi: Beirut.
Ibn Katsir, Ismail. Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm. Dar ath-Thayyibah:
Riyadh.
Ibn Mundzir, Muhammad bin Ibrahim. al-Isyrâf ‘alâ Madzâhib al-
‘Ulamâ. Maktabah Makkah ats-Tsaqafiyyah: Ra`s al-Khaimah.
Ibn Ruslan, Ahmad bin Husain. az-Zubad. Dar al-Ma’rifah: Beirut.
Mushthafa al-Bugha, dkk. al-Fiqhu al-Manhajiyy‘ alâ Madzhab al-
Imâm asy-Syâfi’î. Dar al-Qalam: Damaskus.
Muhammad Thariq. al-Madzhab asy-Syâfi’i. al-Faruq: Damaskus.
Mamduh, Mahmud Sa’id. Tasynîf al-Asmâ’ bi Syuyûkh al-Ijâzah wa as-
Samâ’. tp.
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo: Bandung.
Nawawi al-Jawi, Syarhu Safînah an-Najâ. Mathba’ah Karya Toha
Putra: Semarang.
Nawawi al-Jawi, Tîjân ad-Durârî Syarhu ‘ala Risâlah al-Bâjûrî.
Mathba’ah Karya Toha Putra: Semarang.
N. Anafah. Legislasi Hukum Islam di Kerajaan Demak (Studi Naskah
Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam).
Jurnal IAIN Walisongo Semarang.
Zallum, Abdul Qadim bin Yusuf. Kaifa Hudimat al-Khilâfah. Dar al-
Ummah: Beirut.
TENTANG PENULIS

Ahmad Abdurrahman al-Khaddami al-Jawi asy-Syafi’i adalah


nama pena dari Arif Noor Dhaiman. Dilahirkan di Purwakarta pada
19 Ramadhan 1411 H/ 04 April 1991 M. Menempuh pendidikan
formal di SDN Bayangkara II Purwakarta (2004), SMPN 1 Purwa-
karta (2006), SMAN 3 Purwakarta (2009), dan menyelesaikan
program Sarjana (S1) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Bhakti
Persada Bandung, Jurusan Tarbiyyah, Prodi Manajemen Pendidikan
Islam (2015). Saat bersamaan menempuh talaqqi dan mulazamah
kepada para ulama di Purwakarta, semisal al-Ustadz Zezen Zainud-
din, al-Ustadz Asep Mahmud, al-Ustadz Ahmad Toha Bakri, al-Ustadz
Agus Kholilurrohman, al-Ustadz Mashum Mahfuddin, al-Ustadz Afuz
Saepudin, dan al-Ustadz Cecep Abdul Basith hafizhahumullâh.
Melalui mereka penulis mendapatkan sanad muttashil kepada al-
‘Allamah Syaikhuna Tubagus Ahmad Bakri bin Saida as-Samfuri al-
Bantani asy-Syafi’i , dengan berbagai jalur: Purwakarta, Karawang,
dan Bandung. Selain itu, terdapat sanad lain yang muttashil kepada
al-‘Allamah al-Qadhi Syaikhuna Yusuf bin Isma’il an-Nabhani al-
Azhari asy-Syafi’i .
Saat ini berkhidmah kepada umat di bidang dakwah dan
pendidikan, mengajar Nahwu dan Hadis di Ma’had Mafatih Wana-
yasa, Purwakarta; mengajar PAI di SMK Bhakti Praja Purwakarta;
dan menulis beberapa buku, diantaranya Jalan Kebahagiaan,
Pelayanan Umat, Pemikiran-Pemikiran Terkait Pendidikan (Studi
Islam dan Manajemen), Manajemen Kurikulum pada Masa Khilafah
Abbasiyyah, Studi Pemikiran dan Hukum: Kehidupan Keluarga dalam
Islam, dan bersama al-Ustadz Yan S. Prasetiadi, M.Ag. menyusun
Ilmu Hadis Perspektif Ideologis, serta beberapa artikel di media
online, di antaranya: Penentuan Hilal Syar’i dan Kesatuan Khilafah
(Studi Pemikiran Fiqih Madzhab Syafi’i), Hadis Kuraib dan Hadis Amir
Makkah (al-Harits bin Hathib) tentang Hilal dalam Pandangan Ulama
Hadis Syafi’iyyah, Dakwah Rasulullah Sebelum Hijrah (Analisis
Riwayat as-Sirah an-Nabawiyyah), Pemikiran dan Sikap Politik
Sahabat Rasulullah, serta Liwa dan Rayah dalam Kajian Hadis dan
Fiqih.
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
Buku Fiqih Khilafah dalam Tinjauan Madzhab Syafi’i ini dan buku-
buku produk Penerbit Quwwah yang lain bisa dipesan dengan
menekan www.pesan.link/bukuqu atau hubungi admin Penerbit
Quwwah 0899-9912-109.

Atau hubungi agen-agen kami di kabupaten/kota terdekat dengan


daerah Anda.

Makassar 0821-9263-6807
Cirebon 0838-2357-9341
Bekasi (Kota) 0812-1924-5005
Bekasi (Kabupaten) 0857-7777-3920
Bogor 0857-1621-1137
Bandung 0856-4803-3033
Dompu 0853-3376-6996
Yogyakarta 0859-2629-6001
Banjarmasin 0858-2825-0533
Palembang 0812-7379-236
Serang 0853-6007-9888
Sukoharjo 0812-2668-2284
Surabaya 0852-3266-5525
Bantul 1 0877-3831-8796
Bantul 2 0856-2579-717

Anda mungkin juga menyukai