Pendahuluan Rhinitis
Pendahuluan Rhinitis
A. LATAR BELAKANG
Rhinitis alergi dianggap salah satu faktor berbahaya asma, karena sangat sering
berdampingan dengan asma pada pasien yang sama menurut temuan penelitian epidemiologi.
Alergi rhinitis (AR), juga dikenal sebagai demam, disebabkan oleh reaksi yang berlebihan
dari system kekebalan tubuh untuk alergen udara .
Penyakit alergi pernapasan (asma / rhinitis) merupakan salah satu penyakit yang mutlak
paling sering terjadi, dan prevalensinya masih meningkat di seluruh dunia , baru-baru ini
digaris bawahi dalam studi epidemiologi GEIRD (Gene Environment Interactions in
Respiratory Diseases). Dampak dari alergi pernapasan adalah relevansi khusus saat
mengingat biaya , baik langsung ( pengeluaran untuk obat , rawat inap , akses ke perawatan
medis ) atau tidak langsung (absensi, presenteism, menurun sekolah / performa kerja). Gejala
kardinal AR adalah hidung gatal, bersin, rhinorrhea dan obstruksi. Juga poliposis dan
gangguan tidur, terjadi di tidak kurang dari 10% dari subyek.
Meskipun demikian, AR masih dianggap sebagai penyakit "sepele", yang dapat dengan
mudah dikelola oleh pasien sendiri atau dengan penyedia layanan kesehatan selain dokter.
Dalam konteks ini, apoteker biasanya kontak lini pertama untuk pasien AR, juga karena,
beberapa obat (yaitu, oral / antihistamin lokal dan dekongestan) yang tersedia "Over the
counter". Oleh karena itu, apoteker dengan persiapan yang memadai dapat mewakili sumber
daya kesehatan penting, dalam menengahi kontak antara pasien dan dokter. Hal ini terutama
berlaku bila pendekatan diagnostik yang lebih rinci diperlukan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, kami sebagai mahasiswa farmasi merasa perlu untuk mendalami pengetahuan
tentang rhinitis alergi, sehingga disusunlah makalah ini untuk memudahkan kami dalam
mempelajari penyakit rhinitis alergi (Lumbardi et al, 2015).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian penyakit rinitis alergi ?
2. Bagaimana penyebaran penyakit rinitis alergi ?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit rinitis alergi ?
4. Bagaimana klasifikasi penyakit rinitis alergi ?
5. Bagaimana tanda dan gejala penyakit rinitis alergi ?
6. Bagaimana diagnosis penyakit rinitis alergi ?
7. Apa terapi farmakologi dan non farmakologi penyakit rinitis alergi ?
8. Bagaimana monitoring penyakit rinitis alergi ?
9. Bagaimana KIE penyakit rinitis alergi ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit rinitis alergi
2. Untuk mengetahui penyebaran penyakit rinitis alergi
3. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit rinitis alergi
4. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit rinitis alergi
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit rinitis alergi
6. Untuk mengetahui diagnosis penyakit rinitis alergi
7. Untuk mengetahui terapi farmakologi dan non farmakologi penyakit rinitis alergi
8. Untuk mengetahui monitoring penyakit rinitis alergi
9. Untuk mengetahui KIE penyakit rinitis alergi
BAB II
PEMBAHASAN
a. Reaksi awal terjadi ketika allergen di udara memasuki hidung selama inhalasi dan
kemudian diproses oleh limfosit, yang menghasilkan antigen spesifik IgE. Hal ini
menyababkan sensitisasi pada orang yang secara genetic rentan terhadap allergen tersebut.
Pada saat terjadi paparan ulang melalui hidung, IgE yang berikatan dengan mast berinteraksi
dengan allergen dari udara, dan memicu mediator inflamasi.
b. Reaksi segara terjadi dalam hitungan menit, yang menyebabkan pelepasan cepat mediator
yang terbentuk sebelumnya serta mediator yang baru dibuat melalui jalur asam arakidonat.
Mediator hipersensitivitas segera meliputi histamine, leukotrien, prostaglandin, triptase dan
kinin. Mediator ini menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, dan
produksi sekresi nasal. Histamin menyebabkan rinorea, gatal, bersin dan hidung tersumbat.
c. Dari 4 hingga 8 jam setelah paparan terhadap allergen pertama kali, dapat terjadi reaksi
fase lambat, yang diperkirakan disebabkan oleh sitokin yang dibebaskan terutama oleh sel
mast dan limfosit helper yang berasal dari timus. Respon inflamasi ini dapat menjadi
penyebab gejala kronik yang menetap termasuk kongesti hidung (ISO Farmakoterapi)
Klasifikasi rhinitis alergi menurut guideline ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma) :
Klasifikasi
-Persisten
Lebih dari 4 hari seminggu, atau lebih dari 4 minggu setiap saat kambuh
-Ringan
Tidak mengganggu tidur, aktivitas harian, olahraga, sekolah, atau pekerjaan
Tidak ada gejala yang mengganggu
· Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
· Pemeriksaan rinoskopi anterior
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak.
1. Pemeriksaan naso endoskopi
2. Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil 5 sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
· Uji kulit
Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point tetration/SET (uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji
gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan
alergen) dan provocative neutralization test atau intracutaneus provocative food test (IPFT)
untuk alergi makanan (ingestan alergen).
C. Terapi Farmakologi
1. Antihistamin
Antihistamin mengantagonis permeabilitas permeabilitas kapiler, pembentukan bengkak dan
rasa panas, serta gatal. Mengantuk adalahb efek samping yang paling sering terjadi namun
menguntungkan pada pasien yang sulit tidur jarena rinitis alergi. Antihistamin oral dapat
dibagi menjadi ua kategori utama : nonselektif (generasi pertama atau antihistamin sedasi)
dan selektif perifer (generasi kedua atau histamin nonsedasi).
Obat
Dosis dan Interval
Dewasa
Anak
<6th:tidakdirekomendasi
Klemastin fumarat
Difenhidramin Hidroklorida
Loratadin
10 mg sekali sehari
Feksofenadin
6-11 th : 30 mg 2x sehari
Setirizin
5-10 mg sekali sehari
2. Dekongestan
Merupakan zat simpatomimetik yang bekerja pada reseptor adrenergic pada mukosa hidung
menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki
pernafasan
Obat
Dosis Dewasa
Dosis anak
Pseudoefedrin
Pseudoefedrin sustained-release
Tidak direkomendasi
3. Kortikosteroid nasal
Kortikosteroid intranasal secxara efektif meredakan bersin, rinorea, ruam dan kongesti nasal
dengan efek samping yang minimal. Obat ini mereduksi inflamasi dengan menghambat
pembebasan mediator, penekanan kemotaksis neutrofil, menyebabkan vasokonstriksi, dan
menghambat reaksi lambat yang diperantarai oleh sel mast
Obat
Dosis dan Interval
Beklometason dipropionate
>12 th : 1 inhalasi (42 mcg) per lbang hidung 2-4x sehari (maks 336 mcg/hr)
6-12 th : 1 inhalasi per lubang hidung (42 mcg) dimulai 2 kali sehari
Budenosid
>6 th : 2 semprot (64 mcg) per lubang hidung pagi dan petang atau 4 semprot per lubang
hidung pagi (maks 256 mcg)
Flunisolid
Dewasa : 2 semprot (50 mcg) per lubang hidung 2x sehari (maks 400 mcg), Anak : 1 semprot
per lubang hidung 3x sehari
Fluticasone
Dewasa : 2 semprot (100 mcg) per lubang hidung sekali sehari, setelah beberapa hari
turunkan jadi 1 semprot per lubang hidung (maks 200 mcg per hari)
Mometasone furoat
Triamsinolon asetonida
>12 th : 2 semprot (110 mcg) per lubang hidung sekali sehari (maks 440 mcg/hr)
Adalah penstabil sel mast, tersedia sebagai obat bebas dalam bentuk semprot hidung untuk
pencegahan gejala dan penanganan terhadap rinitis alergik. Zat ini mencegah degranulasi sel
mast yang dipicu oleh antigen dan pelepasan mediator, termasuk histamin. Dosis pakai (umur
≥ 2 th) adalah satu semprotan pada tiap nostril 3-4 x sehari dengan interval normal.
5. Ipratropium bromide
Merupakan zat antikolinergik yang berguna dalam rhinitis alergik parennial. Zat ini bersifat
antisekretori ketika diberikan secara local dan meredakan gejala rinorea yang berkaitan
dengan alergi dan bentuk lain rhinitis kronis. Kadar 0,03 % diberikan sebanyak 2 semprotan
2-3 kali sehari.
6. Montelukast
Merupakan antagonis reseptor leukotrien untuk penanganan rhinitis alergik musiman. Dosis
untuk dewasa dan remaja lebih dari 15 tahun adalah satu tablet 10 mg per hari. Anak-anak 6-
14 tahun 1 tablet kunyah 4 mg.
Monitoring terhadap gejala yang menyertai rhinitis alergi, jika gejalanya terkontrol tetapi
efek samping tidak dapat diterima maka dosis dapat disesuaikan atau diganti dengan obat lain
yang masih satu golongan terapi.
Jika gejala tidak terkontrol amati kepatuhan pasien terhadap terapi.
Dilakukan monitoring terhadap penggunaan obat selama 3-5 hari. Monitoring gejala dan
ESO.
Memberikan informasi tentang obat kepada keluarga dan pasien, memberikan pengertian
kepada pasien untuk menghindari alergen (debu, bulu binatang, serbuk bunga) agar rhinitis
alergi tidak terjadi.
Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi obat dan
efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.
RHINITIS
A. Pendahuluan
1. Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro,
2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi
dua:
a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung
dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat
mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin
dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan
oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.
2. Epidemologi
• Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit rhinitis
alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di
Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun
dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat
berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama.
Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua
menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila
kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya
(PERSI,2007).
• Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rhinitis alergi agak sulit berkisar 4 – 40%
• Ada kecenderungan peningkatan prevalensi rhinitis alergi di AS dan di seluruh dunia
• Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya ada kaitan dengan meningkatnya polusi
udara, Populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dll.
B. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya
segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari
bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan
dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar
alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan,
eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang
menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC
melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan
IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk terutama histamin.
Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah,
sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual.
Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi
namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik
(protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu
yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang
ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE
khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika
protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat
berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari
sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase,
kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-mediator lain,
termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam,
pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal,
kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa
dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat,
menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan.
Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat
muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau
segera.
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan
pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan
makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada
respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal
berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat
ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang
sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan
limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel
mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular,
sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan.
Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel, bulu binatang.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya susu, telur,
coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
C. Etiologi
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika.
Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama
penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan
terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon
oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir
ini telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
D.Gambaran Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya
bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika
berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
E. Diagnosis
1. Amnesis
Gejala khas yang bisa didapatkan adalah sebagai berikut :
serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab
didahului rasa gatal di hidung, mata, atau kadang pada pallatum molle
bersin-bersin paroksismal (dominan) : > 5kali/serangan, diikuti produksi sekret yg encer
danhidung buntu gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang disertai sakit kepala
tidak didapatkan tanda infeksi (mis : demam) mungkin didapatkan riwayat alergi pada
keluarga
2. Pemeriksaan Fisis
konka edema dan pucat, secret seromucinou
3. Pemeriksaan Penunjang
• Tes kulit “prick test”
• Eosinofil sekret hidung. Positif bila ≥25%
• Eosinofil darah. Positif bila ≥400/mm3
bila diperlukan dapat diperiksa
• IgE total serum (RIST & PRIST). Positif bila > 200 IU
• IgE spesifik (RAST)
• X-foto Water, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis
F.Pelaksanaan
1. Medis
• Simtomatik :
Intermiten ringan : anti histamin (2minggu) dan dekongestan (pseudoefedrin 2x30mg)
• Anti histamin pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4mg. Untuk yang non sedatif
dapat dipakai loratadin, setirizin (1 x 10 mg) atau fleksonadine (2x60mg). Desloratadine
adalah turunan baru loratadine yang punya efek dekongestan. Anti histamin baru non sedatif
cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
• Intermiten sedang berat, persisten ringan : steroid topikal, cromolyn (mast cell stabilisator),
B2 adrenergik (terbutaline). Kortikosteroid (deksametasone, betametasone) untuk serangan
akut yang berat, ingat kontra indikasi. Dihentikan dengan tappering off
• Dekongestan lokal : tetes hidung, larutan efedrine 1%, atau oksimetazolin 0.025% -
0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu. Dipakai kalau sangat perlu
agar tidak menjadi rhinitis medikamentosa
• Dekongestan oral : pseudoefedrine 2-3 x 30-60mg sehari. Dapat dikombinasi dengan
antihistamin (triprolidin + pseudoefedrine, setirizin + pseudoefedrine, loratadine +
pseudoefedrine)
• R.A persisten sedang berat : bisa digunakan steroid semprot hidung
• Pembedahan : apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi), polip hidung, atau
komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah
2. Asuhan Keperawatan
• Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan
prognosis kesehatan
• Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
• Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama
oleh pecinta binatang
• Membersihkan kasur secara rutin.
G. Prognosis
1. Sinusitis kronis (tersering)
2. Poliposis nasal
3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan
sensitive terhadap aspirin)
4. Asma
5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
6. Hipertropi tonsil dan adenoid
7. Gangguan kognitif
Daftar Pustaka
1. Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
2. Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
3. Peralmuni. Terapi Imun Alergen Spesifik Pada Rinitis Alergi: Kajian
4. Mekanisme Biomolekuler, Indikasi, Efektivitas. Online. 2011. Available from URL:
http://www.peralmuni.medindo.com/
5. Mohammad. Rhinitis alergika. Online. 2011 Available from URL: http:// www.nn-
no.facebook.com/topic.php?uid=100064742713&topic=9732
6. www.google.com