SKRIPSI
DIPA ALAM VEGANTARA
Kata-kata kunci : limbah cair tapioka, kotoran sapi perah, fermentasi anaerob
ii
ABSTRACT
The objective of this research was to study the effect of dairy manure on tapioca
wastewater characteristics such as total solid (TS), pH, chemical oxygen demand
(COD) and cyanide prepared using anaerobic digester system for 30 days. The waste
and dairy manure were combined in the ratios 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%,
70%:30% and 60%:40%. The result showed that dairy manure addition in cassava
wastewater influenced pH, COD and TS but did not Cyanide. When inoculated with
dairy manure, tapioca wastewater obtained indicated increasing on TS and COD.
Overall results indicated that the best treatment in this research is combination
between waste and dairy manure in the ratio 70% tapioca wastewater and 30% dairy
manure to process tapioca wastewater before release at water area.
iii
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN
KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK
Oleh
DIPA ALAM VEGANTARA
D14051853
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc
v
RIWAYAT HIDUP
vi
KATA PENGANTAR
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .......................................................................................... ii
ABSTRACT ............................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
DAFTAR TABEL .................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xii
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
Latar Belakang.............................................................................. 1
Tujuan .......................................................................................... 2
METODE ................................................................................................. 12
Lokasi dan Waktu ......................................................................... 12
Materi ........................................................................................... 12
Kotoran Sapi ..................................................................... 12
Limbah Tapioka ................................................................ 12
Instalasi Anaerobik ............................................................ 12
Rancangan .................................................................................... 13
Prosedur ........................................................................................ 14
Persiapan ........................................................................... 14
Pengamatan ....................................................................... 14
Pengukuran Peubah ........................................................... 15
viii
Halaman
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 17
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai pH ..... 17
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai
Chemical Oxygen Demand (COD) ................................................ 19
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Total
Solid (TS) ..................................................................................... 20
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Sianida
(HCN)........................................................................................... 22
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka .......................... 8
2. Rataan Perubahan Nilai pH Selama Proses Fermentasi Anaerob .. 18
3. Rataan Penurunan Kandungan COD Selama Proses Fermentasi
Anaerob ........................................................................................ 20
4. Rataan Penurunan Kandungan TS Selama Proses Fermentasi
Anaerob ........................................................................................ 21
5. Rataan Penurunan Kandungan CN Selama Proses Fermentasi
Anaerob ........................................................................................ 23
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Proses Produksi Industri Tapioka....................................... 5
2. Tahapan Pembentukan Gas Bio..................................................... 7
3. Desain Rangkaian Unit Bioreaktor Sistem Batch........................... 13
4. Nilai pH Selama Proses Fermentasi .............................................. 17
5. Nilai COD Selama Proses Fermentasi ........................................... 19
6. Nilai TS Selama Proses Fermentasi ............................................... 21
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Analisis Sidik Ragam pH Selama Masa Fermentasi ............. 31
2. Hasil Analisis Sidik Ragam COD Selama Masa Fermentasi .......... 31
3. Hasil Analisis Sidik Ragam TS Selama Masa Fermentasi ............. 31
4. Hasil Analisis Sidik Ragam Sianida Selama Masa Fermentasi ...... 31
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air limbah industri mengandung zat-zat atau kontaminan yang dihasilkan dari
sisa bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian
dan pembilasan peralatan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan perlu
adanya suatu pengolahan lebih lanjut secara cermat dan terpadu agar dapat
meminimalkan volume limbah dan juga konsentrasi kontaminannya sehingga limbah
tersebut dapat memenuhi standar baku mutu air yang telah ditetapkan karena apabila
tidak ditangani lebih lanjut akan berdampak negatif terhadap lingkungan terutama
bagi kesehatan manusia.
Industri tapioka menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang sangat banyak
yang berasal dari proses pencucian dan pengendapan yang mengandung bahan
organik yang berpotensi sebagai sumber pencemaran lingkungan apabila tidak
diolah. Kualitas tepung tapioka yang dihasilkan suatu industri tapioka selain
ditentukan oleh kualitas bahan bakunya juga ditentukan oleh banyak atau tidaknya
volume air yang digunakan dalam proses pembuatan tepung tapioka, semakin banyak
air yang digunakan maka semakin tinggi pula kualitas tepung tapioka yang
dihasilkan.
Pengusaha industri tapioka terutama industri kecil dan menengah jarang
melakukan pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan. Selama ini limbah cair
tapioka yang dihasilkan langsung dibuang ke perairan tanpa adanya pengolahan
terlebih dahulu sehingga berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama di sekitar
industri. Kurangnya informasi serta besarnya biaya investasi dalam pembuatan
fasilitas instalasi pengolahan limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL)
menjadi masalah utama bagi industri kecil dan menengah dalam mengolah
limbahnya.
Salah satu cara pengolahan limbah cair adalah dengan menggunakan IPAL
atau UPL sistem pencerna anaerob (anaerob digester). Sistem pengolahan ini tidak
memerlukan tempat yang luas serta memiliki biaya investasi yang lebih rendah,
selain itu gas metan yang terbentuk selama proses fermentasi dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi baik sebagai bahan bakar ataupun dikonversi ke energi listrik.
Akan tetapi karakteristik dari limbah tapioka yang asam dan beracun (sianida) akan
1
menghambat proses perombakan bahan organik oleh bakteri, sehingga perlu
dilakukan penetralan dengan penambahan bakteri yang dapat mendegradasi sianida
sebelum limbah cair diolah. Kotoran sapi perah merupakan salah satu bahan yang
dapat ditambahkan pada limbah cair tapioka sebelum diolah secara anaerobik.
Tujuan
2
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah
Limbah pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu
sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum
mempunyai nilai ekonomis. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu limbah
yang berbentuk cair (limbah cair), limbah yang berbentuk padat (limbah padat) dan
limbah yang berbentuk gas (limbah gas). Limbah dapat terbuang di tanah, di perairan
atau di udara. Besar tidaknya dampak limbah yang terbuang terhadap lingkungan
tergantung dari sifat dan jumlah limbah serta daya dukung atau kepekaan lingkungan
yang menerimanya (Murtadho dan Said, 1988).
Air limbah dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain rumah tangga,
kota, industri, pertanian dan sebagainya. Air limbah dapat menyebabkan kematian
organisme air. Bahan buangan yang beracun menyebabkan kematian semua spesies
atau perubahan kemampuan reproduksi, pertumbuhan dan resistensi terhadap
penyakit (Sutrisno dan Suciastuti, 1991).
Limbah Peternakan
3
Limbah Tapioka
Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu
dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal dari negara
Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar,
India dan Tiongkok. Ketela pohon diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun
1852. Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : M. utilissima Pohl., M. esculenta Crantz sin. (Hambali et al., 2007)
Tjokroadikoesoemo (1986), menyebutkan kegunaan ubi kayu sebagai bahan
pokok pangan sudah dikenal orang sejak zaman bangsa Maya di Amerika Selatan
sekitar 2000 tahun yang lalu, atau bahkan zaman sebelumnya. Ubi kayu dapat
dimakan dalam berbagai bentuk masakan. Di Indonesia ubi kayu dimakan setelah
dikukus, dibakar, digoreng, diolah menjadi berbagai macam penganan, atau
diragikan menjadi tapai.
Industri pengolahan tapioka menghasilkan limbah cair dari proses pencucian,
ekstraksi dan pengendapan. Limbah cair industri tapioka yang masih baru berwarna
putih kekuningan, sedangkan limbah yang sudah busuk berwarna abu-abu gelap.
Kekeruhan yang terjadi pada limbah disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti
pati yang terlarut, jasad renik dan koloid lainnya yang tidak dapat mengendap dengan
cepat. Limbah cair tapioka dari hasil pengendapan memiliki nilai BOD sebesar
1450,8–3030,3 mg L-1 dengan rata-rata 2313,54 mg L-1, COD sebesar 3200 mg L-1
dan padatan terlarut 638,0–2836,0 mg L-1 serta kandungan sianida (CN) sebesar
19,58–33,75 mg L-1. Sebanyak 1000 kg ubi kayu yang telah bersih dan terkupas
kulitnya (kandungan bahan kering 35%) dapat menghasilkan limbah cair sebesar 514
kg (Tjokroadikoesoemo, 1986). Secara garis besar proses pengolahan ubi kayu
menjadi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 1.
4
SINGKONG
Pengupasan
Pencucian
Pemarutan
Ekstraksi
Pengendapan
Penjemuran
Penggilingan
Pengayakan
TEPUNG TAPIOKA
5
Fermentasi Anaerob
Kondisi anaerob adalah kondisi dalam ruangan tertutup (kedap udara) dan
tidak memerlukan oksigen (Stafford et al., 1980). Menurut Barnett et al. (1978),
fermentasi anaerob adalah proses perombakan bahan organik secara mikrobiologis
dalam keadaaan anaerob, dimana dihasilkan gas bio berupa campuran gas dimana
CH4 dan CO2 merupakan gas yang dominan. Secara sederhana reaksi fermentasi
anaerobik tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut (Buswell and Mueller, 1952
dalam Tjokroadikoesoemo, 1986) :
Banyaknya gas yang dihasilkan secara teoritis dapat dihitung berdasarkan kenyataan
bahwa tiap 1 kg karbon yang terkandung di dalam substrat akan menghasilkan 1/12
kmol gas atau 1,867 m3 gas pada suhu dan tekanan standar. Fermentasi anaerob
terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap asetogenik (pembentukan asam)
dan tahap metanogenik (Gambar 2).
Tahap Hidrolisis
6
karbon dioksida, air dan panas sedangkan pada suasana anaerob akan dihasilkan
karbon dioksida, etanol dan panas (Hadiwiyoto, 1983).
Selulosa
Glukosa
etanol
Metanogenik
Metan + CO2
Tahap Asetogenik
7
Golongan bakteri pembentuk asam bersifat fakultatif aerob, artinya pada
suasana aerob pun bakteri ini masih dapat hidup dan aktif mengadakan perombakan
(Hadiwiyoto, 1983). Bakteri ini akan memecah struktur organik kompleks menjadi
asam asam volatil (struktur kecil). Protein dipecah menjadi asam asam amino.
Karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana. Lemak dipecah
menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan dipecah lebih
jauh menjadi asam asarn volaid. Bakteri asetogenik juga dapat melepaskan gas
hidrogen dan gas karbondioksida (Firdaus, 2003).
Tahap Methanogenik
Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit,
kadar dan beban pencemaran. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang kelingkungan hidup. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi
yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. Beban pencemaran
maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No:
03/MENLH/1998).
8
Baku mutu limbah industri tapioka yang dipersyaratkan hanya limbah cairnya
saja (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-
1/MenLH/10/1995) dengan karakteristik tersaji pada Tabel 1.
Nilai pH
9
Chemical Oxygen Demand (COD)
Total Solid (TS) merupakan bahan yang tertinggal sebagai residu pada
penguapan dan pengeringan pada suhu 103-105oC. Total solid terdiri atas bahan
terlarut (dissolved solid) dan tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Adanya
residu dalam air menyebabkan kualitas air tidak baik, menimbulkan berbagai reaksi
dan mengganggu estetika. Pengukuran total solid dengan cara pengeringan sampel
pada temperatur tertentu kemudian perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah
proses pengeringan menunjukkan konsentrasi solid dalam air (Sutrisno dan
Suciastuti, 1991).
Adanya padatan dalam air mempengaruhi tingkat kekeruahan air, semakin
tinggi muatan padat tersuspensi yang bervariasi dalam ukuran koloid sampai dispersi
kasar maka akan semakin keruh. Padatan-padatan (total solid, suspended solid dan
disolved solid), serta kondisinya sebagai fraksi volatil dan fixed dapat digunakan
untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses
(Siregar, 2005).
10
Sianida (HCN)
11
METODE
Materi
Kotoran Sapi
Kotoran sapi perah diperoleh dari lokasi kandang blok A, Bagian Perah
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Kotoran sapi perah yang diambil
merupakan kotoran segar.
Limbah Tapioka
Limbah cair tapioka yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan air
limbah yang diperoleh setelah tahap pengendapan pati. Limbah tapioka diperoleh
dari Usaha Kecil Menengah (UKM) pengolahan tepung tapioka di Desa Cikeas
Kecamatan Sukaraja, Bogor.
Instalasi Anaerobik
Instalasi Anaerobik terdiri dari dua komponen yaitu bioreaktor dan tempat
penampungan gas. Bioreaktor terbuat dari jerigen plastik berkapasitas 20 liter yang
dikondisikan anaerob, sedangkan tempat penampungan gas terdiri dari dua buah
wadah plastik yang berbeda ukurannya serta diberi kran. Bioreaktor dan tempat
penampungan gas dihubungkan dengan selang plastik. Tempat penampungan air
yang digunakan untuk menampung air yang keluar akibat tekanan gas, air yang
keluar volumenya sama dengan volume gas yang menekan. Model instalasi
Anaerobik tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
12
Keterangan :
A : Bioreaktor
B : Penampung Gas
C : Penampung Air
D : Lubang pemasukan
E : Tempat pengambilan sampel dan pengukuran
F : Selang penyalur gas
G : Kran
Rancangan
13
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Keterangan :
Yij = Nilai Pengamatan
µ = Nilai Rataan
αi = Pengaruh Perlakuan ke-i (T100S0, T90S10, T80S20, T70S30, dan T60S40).
βj = Pengaruh Kelompok ke-j (kelompok hari pengambilan sampel)
εij = Galat Perlakuan ke-i, kelompok ke-j
i = Perlakuan ke-i
j = Kelompok ke-j
Prosedur
Persiapan
Instalasi Anaerobik yang digunakan sebelumnya dibersihkan dan diuji
kebocorannya terlebih dahulu, dengan cara mengisinya dengan air dan didiamkan
selama 24 jam. Instalasi yang mengalami kebocoran ditandai dengan berkurangnya
volume air. Pengujian ini bertujuan untuk menjamin kondisi anaerob dalam instalasi
selama proses fermentasi serta tidak keluarnya gas yang telah terbentuk.
Kotoran sapi perah yang dicampurkan sebelumnya telah dibersihkan dari
bahan-bahan lain seperti potongan rumput, pasir dan sebagainya. Sebelum
dimasukkan ke dalam bioreaktor, campuran kotoran sapi perah dan limbah cair
tapioka dihomogenkan terlebih dahulu. Perbandingannya antara lain 100% limbah
tapioka (T100S0), 90 % limbah cair tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80 % limbah
cair tapioka : 20% kotoran sapi (T80S20), 70 % limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi
(T70S30) dan 60 % limbah cair tapioka : 40% kotoran sapi (T60S40). Masing-masing
perlakuan memiliki empat ulangan.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari untuk pengukuran pH selama 30 hari.
Sedangkan untuk peubah lainnya seperti kadar COD, BOD, sianida dan TS hanya
dilakukan tiga kali pengambilan sampel yaitu pada awal limbah dimasukkan (H0),
pertengahan penelitian (H17) dan saat akhir penelitian (H30).
14
Pengukuran Peubah
1. Nilai pH diperoleh dengan cara mengukur limbah cair dengan menggunakan
kertas lakmus universal.
2. Kadar COD diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20 th
5220 C, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998).
a. Bahan-bahan :
Amonium Ferro Sulfat 0,1 N, Amonium Ferro II Sulfat 0,25 N, K2Cr2O7
0,25 N, asam sulfat dan indikator ferroin.
b. Alat yang digunakan :
Alat destilasi, kondensor dan erlemeyer.
c. Prosedur kerja :
Sampel diambil sebanyak 20 ml, dimasukkan ke dalam labu didih 300 ml,
ditambahkan K2Cr2O7 0,25 N; 0,4 gr H2SO4;40 ml asam sulfat yang
mengandung silver sulfat dan batu didih. Selama 10 menit dipanaskan dan
didihkan dengan direflux menggunakan kondensor. Kemudian dinginkan dan
cuci dengan menggunakan 50 ml air suling. Didinginkan kemudian
ditambahkan 2 tetes indikator ferroin dan titrasi dengan amonium ferro sulfat
0,25 N hingga terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi merah
kecoklatan. Kemudian mencatat volume yang digunakan. Indikasikan sebagai
(B).
Dengan melakukan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap
blangko air suling sebanyak 20 ml dengan menggunakan 0,25 amonium ferro
sulfat. Indikasikan sebagai (A).
Perhitungan :
3. Total Solid diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20 th
5540 C, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998).
15
a. Alat yang digunakan :
Cawan porselen, silica gel, steam-bath, desikator, oven bersuhu 103-
105oC, timbangan analitik, stirrer magnetik dan pipet.
b. Prosedur kerja:
Cawan porselen yang bersih dikeringkan di dalam oven bersuhu 103-
105oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator, setelah beberapa saat ditimbang.
Indikasikan sebagai (B).
Sampel sebanyak 200 mg, dimasukkan ke dalam cawan porselen, lalu
dipanaskan dan keringkan di dalam oven bersuhu 103-105oC selama 1 jam.
Kemudian dimasukkan ke dalam desikator, simpan hingga suhu dan beratnya
seimbang. Indikasikan sebagai (A).
c. Perhitungan :
4. Kadar sianida diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20 th
3500 CN-, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998).
a. Bahan-bahan:
Buffer CN (138g NaH2PO4.H2O dalam 1 liter air suling), chloramin T 1%,
asam barbiturat-piridin (3 g asam barbiturat ditambah 15 ml piridin dan 3 ml
37% HCL dan ditambahkan aquades hingga volumenya 50 ml).
b. Metode :
Sampel sebanyak 0,1 ml ditambahkan aquades sebanyak 1,9 ml,
ditambahkan 2 ml buffer CN dan 0,5 ml chloramin T 1%. Dihomogenkan
menggunakan vortex dan didiamkan selama 2 menit setelah itu ditambahkan
0,5 ml larutan asam barbiturat-piridin, dihomogenkan dan dibaca pada
spektrofotometer dengan panjang gelombang 578 nm.
FP : faktor pengencer
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu karakteristik limbah cair tapioka diantaranya adalah memiliki nilai
pH yang kecil atau rendah. pH limbah tapioka yang digunakan dalam penelitian ini
berkisar pada angka 5. Setelah ditambahkan dengan kotoran sapi perah, pH limbah
cair tapioka semakin menuju kondisi netral. Semakin besar persentase penambahan
kotoran sapi perah maka nilai pH yang dihasilkan semakin mendekati netral (Gambar
4). Selama masa fermentasi selama 30 hari, pH pada setiap perlakuan mengalami
peningkatan (Tabel 2). Kenaikan terbesar dialami oleh perlakuan T60S40 dan T70S30
yaitu berturut-turut sebesar 16,97% dan 15,52%. Meskipun kecil terdapat
peningkatan nilai pH pada perlakuan T80S20, T90S10 dan T100S0.
Menurut Ginting (2007), air buangan yang memiliki pH tinggi atau rendah
menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh mikroorganisme air. pH
limbah cair tapioka yang rendah atau asam mengakibatkan tidak seluruh
mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya, melainkan hanya
beberapa mikroorganisme tertentu saja yang dapat bertahan. Nilai pH yang optimal
bagi sebagian besar mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang adalah antara
6,0 - 8,0. Kotoran sapi merupakan salah satu contoh medium yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme, hal ini dikarenakan pH-nya yang relatif mendekati
netral.
8.5
8.0
7.5
7.0
Nilai pH
6.5
6.0
5.5
5.0
4.5
4.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Hari
Derajat keasaman yang rendah akan mempengaruhi karakteristik gas bio yang
dihasilkan. Uzodinma dan Ofoefule (2008) serta Anunputtikul dan Rodtong (2004)
melaporkan bahwa limbah cair tapioka murni tanpa penambahan bahan apapun akan
menghasilkan pH yang rendah. Sehingga dalam mengolah limbah cair tapioka
mereka menambahkan beberapa jenis bahan dan inokulum sebelum limbah diolah.
Beberapa peneliti lain menggunakan berbagai macam jenis inokulum lainnya
sebelum mengolah limbah cair tapioka secara anaerob. Razif et al. (2006)
menggunakan ragi Candida utilis. Anunputtikul dan Rodtong (2004) menggunakan
kotoran sapi dan diinkubasi selama 3 bulan. Hanifah et al. (2001) menggunakan EM
(Effective Microorganisms). Penambahan inokulum ini selain untuk memperbaiki pH
limbah juga untuk memperbaiki rasio C/N, menambah bahan nutrisi serta menambah
jenis dan jumlah mikroorganisme yang akan merombak bahan organik limbah cair
tapioka.
18
Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai Chemical Oxygen
Demand (COD)
Limbah cair tapioka yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak memenuhi
persyaratan baku mutu limbah industri tapioka yang sudah beroperasi dalam SK
MENLH KEP-51/MENLH/I0/1995 karena kadar COD limbah cair tapioka lebih
besar dari pada 300 mg L-1 yaitu sebesar 1822 mg L-1. Selama masa fermentasi
selama 30 hari nilai COD dalam limbah berkurang menjadi 546 mg L-1, sehingga
belum dapat memenuhi persyaratan baku mutu.
Penambahan kotoran sapi perah ke dalam limbah cair tapioka akan
meningkatkan nilai COD, karena di dalam kotoran sapi perah juga mengandung
bahan-bahan organik yang sulit dirombak oleh mokroorganisme sehingga dapat
memperbesar kadar COD dalam limbah cair tapioka. Hasil sidik ragam menunjukkan
adanya perbedaan sangat nyata pada nilai COD setiap perlakuan (P<0,01) dan setelah
di uji lanjut (Uji Duncan) didapatkan bahwa penambahan kotoran sapi perah sampai
pada taraf 20% (T80S20) tidak mempengaruhi nilai COD limbah cair tapioka, akan
tetapi pemberian lebih dari itu (30-40%) akan mempengaruhi nilai COD limbah cair
tapioka (Tabel 3).
8000
7000
6000
5000
mg L-1
4000
3000
2000
1000
0
H0 H17 H30
19
pada tiap perlakuan memiliki persentase yang tidak jauh berbeda (Tabel 3).
Persentase penurunan terbesar terdapat pada P5 sebesar 70,03%, kemudian berturut-
turut P2 (66,29%), P1 (59,40%), P4 (46,14%) dan P3 (27,89%).
Total solid atau padatan total merupakan bahan terlarut (dissolved solid) dan
tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Limbah cair tapioka berwarna putih
dikarenakan adanya partikel-partikel pati yang sangat halus dari proses ekstraksi
(Bapedal, 1996). Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka akan
menambah kandungan TS, hal ini dikarenakan di dalam kotoran sapi perah juga
terdapat padatan baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut.
20
Hasil sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antar
perlakuan (P<0,01), berarti penambahan kotoran sapi perah mempengaruhi nilai TS
limbah cair tapioka. Uji lanjut menunjukkan perbedaan tersebut pada setiap
perlakuan meskipun antara T90S10 dan T80S20 tidak terdapat perbedaan (Tabel 4).
Semakin besar kotoran sapi perah yang diberikan maka nilai TS akan semakin besar
dibandingkan nilai TS limbah cair tapioka murni tanpa penambahan kotoran sapi
perah.
Total Solid yang dimiliki oleh limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran
sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0.54% yang berarti limbah
tersebut menurut SK MENLH KEP-51/MENLH/I0/1995 belum layak apabila
langsung dilepaskan ke perairan lepas, yaitu lebih besar dari pada 100 mg L -1 atau
0,01%. Proses fermentasi selama 30 hari telah mendegradasi TS yang terdapat dalam
limbah. Perombakan TS oleh mikroorganisme telah mengakibatkan penurunan nilai
TS (Gambar 6). Proses fermentasi selama 30 hari ternyata belum mampu
menurunkan nilai TS hingga memenuhi syarat, meskipun persentasi penurunan pada
perlakuan T100S0 merupakan persentase terbesar dibandingkan perlakuan lainnya.
5
Persen (%)
0
H0 H17 H30
Total Solid dapat berupa karbohidrat, lemak, protein, mineral dan lain
sebagainya baik bahan organik maupun bahan anorganik, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh mikroorganisme dalam proses metabolisme. Pemanfaatan ini
21
mengakibatkan perubahan bentuk dari rantai yang kompleks menjadi rantai yang
lebih sederhana serta timbulnya hasil sampingan seperti CO 2, H2S dan CH4.
Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka mengakibatkan perbedaan
persentase penurunan TS. Setiap perlakuan memiliki besaran penurunan yang
berbeda. Persentase terbesar dimiliki perlakuan T 100S0 yaitu sebesar 48,15%,
kemudian diikuti secara berturut-turut T70S30 (46,70%), T80S20 (39,70%), T60S40
(28,87%) serta T90S10 (26,74%) yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Kadar maksimum sianida yang diperbolehkan dalam baku mutu air limbah
industri tapioka yang sudah beroperasi menurut SK MENLH KEP-
51/MENLH/I0/1995 adalah sebesar 0,3 mg L-1 dengan beban pencemaran
maksimum 0,009 kg/ton produk. Sutrisno dan Suciastuti (1991) menyebutkan adanya
sianida dalam perairan dapat membunuh biota yang ada di perairan tersebut,
konsentrasi sebesar 0,2 mg L-1 akan bersifat letal bagi ikan tawar untuk kontak
selama 2 hari. Kadar sianida limbah cair tapioka yang digunakan pada penelitian ini
telah memenuhi syarat baku mutu tersebut yaitu sebesar 0,162 mg L-1.
Data hasil penelitian diuji menggunakan uji sidik ragam dan didapatkan
bahwa data tidak berbeda nyata (P>0,05), yang artinya kadar sianida sepenuhnya
berasal dari limbah cair tapioka sehingga penambahan kotoran sapi perah sebesar
apapun pada limbah cair tapioka tidak mempengaruhi kadar sianida pada masing-
masing perlakuan. Selama 30 hari masa fermentasi kadar sianida pada tiap perlakuan
mengalami perubahan (Tabel 5).
Peningkatan nilai sianida terutama pada pertengahan masa fermentasi
dikarenakan sebagian besar bahan organil yang terkandung dalam limbah cair seperti
selulosa, lemak, protein dan lain sebagainya telah terdegradasi oleh mikroorganisme,
akan tetapi sianida belum terombak seluruhnya. Degradasi sianida dapat terjadi
dalam kondisi anaerob dan menghasilkan asam format dan amonia, secara garis besar
reaksinya adalah sebagai berikut :
Proses perombakan sianida tergantung pada kadar sianida yang terkandung dalam
limbah serta jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses perombakan
22
(Abrar, 2001). Sianida merupakan bahan beracun bagi mikroorganisme sehingga
tidak setiap mikroorganisme dapat mendegradasi sianida. Kadar sianida yang tetap
sedangkan kadar bahan organik limbah sebagian besar telah berkurang akan
meningkatkan konsentrasi sianida dalam limbah.
23
Meskipun memiliki persentase penurunan terbesar baik untuk TS dan COD,
perlakuan T100S0 tidak dapat menurunkan nilai sianida. Selain itu pH yang masih
rendah membuat perlakuan T100S0 tidak dapat secara langsung dilepaskan ke perairan
lepas. Mikroorganisme yang bekerja pada perlakuan T100S0 sebagian besar adalah
bakteri asidogenik. Haryanti (2006) menyebutkan bahwa di dalam digester gas bio
terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yaitu bakteri asidogenik dan bakteri
metanogenik. Keberadaan kedua bakteri ini harus berada dalam kondisi berimbang
terutama dalam memproduksi gas bio. Hal ini lah yang mengakibatkan pada
perlakuan T100S0 gas bio yang dihasilkan sangat sedikit dan tidak dapat dibakar
karena masih banyak mengandung gas karbondiokasida (CO2).
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka berpengaruh pada
pH, COD dan TS, tetapi penambahan tersebut tidak mempengaruhi kadar sianida
pada limbah cair tapioka. Penambahan kotoran sapi perah kurang dari taraf 20%
tidak mempengaruhi nilai COD. Semakin besar persentasi pemberian kotoran sapi
perah maka semakin besar pula nilai TS yang dihasilkan. Penambahan kotoran sapi
perah dapat mengubah pH limbah menjadi lebih mendekati netral.
Tanpa penambahan kotoran sapi perah, limbah cair tapioka dapat terdegradasi
dengan baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase penurunan nilai COD dan
TS limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah selama 30 hari
difermentasi anaerob. Akan tetapi penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan
kadar sianida dalam limbah serta pH yang masih rendah. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan dengan perbandingan 30% kotoran sapi perah dan 70%
limbah cair tapioka merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dalam
mengolah limbah cair tapioka.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sistem kontinu serta
dengan menggunakan jenis inokulum lainnya. Selain itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan mengenai sludge yang dihasilkan.
25
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Hariyadi, S, Suryadiputra dan B. Widigdo. 1992. Limnologi Metoda Penelitian
Kualitas Air. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hartomo, A. J. dan M. C. Widiatmoko. 1994. Teknologi Membran Pemurnian Air.
Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Haryati, T. 2006. Biogas : limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif.
Wartazoa Vol. 16 No.3.
Junus, M. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gasbio. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV
Rajawali, Jakarta.
Mercel, J. A. 1981. Managing Livestock Waste. The AVI Publishing Company, Inc,
Westport.
Mulyanto, A. and Titiresmi. 2000. Implementation of anaerobic process on
wastewater from tapioca starch industries. Puspiptek Serpong, Tangerang.
Murtadho, D dan E. G. Said,. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat.
Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Petrie, A and P. Watson. 1999. Statistics for Veterinary and Animal Science.
Blackwell Science, London.
Price, E. C. and P. N. Cheremisinoff. 1981. Biogas Production and Utilization. Ann
Arbor Science Publisher, Inc, Michigan.
Razif, M., V. E. Budiarti and S. Mangkoedihardjo. 2006. Appropriate fermentation
process for tapioca’s wastewater in Indonesia. J. Applied Sci. 6 (13): 2846-
2848.
Saeni, M. S. 1996. Kimia Lingkungan. Departemen P dan K, Dirjen Pendidikan
Tinggi. PAU Ilmu Hayat IPB 151p.
Sahidu, S. 1983. Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi. Dewaruci Press, Jakarta.
Siregar, S. A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/I0/1995.
Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta.
Stafford, D. A., D. L. Hawkes and R. Horton. 1980. Methane Production from Waste
Organic Matter. CRC Press Inc, Florida.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan
Bambang Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
28
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sutrisno, C. T. dan E. Suciastuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka
Cipta, Jakarta.
Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia,
Jakarta.
Uzodinma, E. O and A. U. Ofoefule. 2008. Effect of abattoir cow liquor waste on
biogas yield of some agro-industrial waste. Sci. Res. Essays Vol.3 (10). pp.
473-476.
Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Ed. III.
Penerbit Andi, Yogyakarta.
29
LAMPIRAN
30
Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam pH Selama Masa Fermentasi
31