Anda di halaman 1dari 23

BPH

ASUHAN PASIEN BPH

BAB I
KONSEP DASAR

A. ANATOMI FISIOLOGI

Prostat adalah kelenjar berbentuk seperti buah kenari yang terletak

tepat di bawah kandung kemih. Sewaktu perangsangan seksual, prostat

mengeluarkan cairan seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion

ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula

seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu

mengendap di dalam vagina wanita, cairan ini menetralkan sekresi vagina

yang bersifat asam karena motalitas sperma akan berkurang dalam lingkungan

dengan pH rendah (Corwin, 2000).

B. DEFINISI

Menurut Doenges (1999) Benigna Prostat Hiperplasi merupakan

pembesaran progresif dari kelenjar prostate (secara umum pada usia lebih dari

50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan

aliran urinarius. Brunner & Suddarth (2001) mendefinisikan BPH sebagai

pembesaran kelenjar prostate yang memanjang ke atas ke dalam kandung

kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra.


Sedangkan menurut Loong (1996) BPH adalah pembesaran adenomatous dari

kelenjar prostate.

Berdasarkan pendapat dari beebrapa sumber di atas dapat disimpulkan

bahwa BPH merupakan pemebsaran kelenjar prostate yang terjadi secara

perlahan dan menyebabkan obstruksi uretral dan bersifat jinak.

C. ANGKA KEJADIAN

Secara epidemiologi, dikatakan 50 persen kaum lelaki akan

mengalami pembesaran prostat jinak ini. Mayoritas penanganannya adalah

dengan pembedahan. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan, prosedur

pembedahan bisa ditekan. Terakhir diketahui bahwa 60 persen kasus

pembesaran prostat jinak bisa diatasi dengan pengobatan medikamentosa dan

hanya 15 persen saja yang berakhir dengan pembedahan. BPH sering terjadi

pada pria dengan usia lebih dari 50 tahun (Asmara, 2007).

D. PENYEBAB

Menurut Nugroho (1995) penyebab dari BPH secara pasti tidak

diketahui tetapi tampak berkaitan dengan perubahan usia lanjut yang lazim

terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan perubahan derajat hormon yang

dialami oleh pria pada proses usia lanjut. Pada usia lanjut adanya

ketidakseimbangan sekresi estrogen dan teestosteron menyebabkan jumlah sel

majemuk kelenjar prostate meningkat sehingga terjadi BPH.


E. PATOFISIOLOGI

Prostate merupakan kelenjar berkapsul beratnya ± 20 gr yang

melingkari uretra dibawah liner kandung kemih. Perubahan patologi anatomi

dari prostate mengakibatkan penyakit hiperplasi kelenjar uretral yang lebih

dekat ke uretral. Adanya perubahan usia lanjut pada pria yang usianya lebih

dari 50 tahun menyebabkan ketidakseimbangan hormone estrogen dan

testosterone. Dalam hal ini hormone estrogen meningkat menyebabkan

hiperplasi sel prostate. Kemudian terbentuk adenoma yang membesar

menyebabkan sumbatan dan letaknya tersebar dan mendesak jaringan prostate

yang normal ke arah tepi dan menyebabkan penyempitan uretra. Kemudian

menimbulkan dorongan sampai di bawah basis fesika urinaria.

Untuk mengatasi tahanan tersebut vesika urinari berkontraksi lebih

kuat sehingga menyebabkan mikturisi yang tidak efisien sehingga urin yang

dikeluarkan menjadi sedikit dan menyebabkan urin sisa karena urin stasis

sehingga menyebabkan refluks urin ke ginjal dan bisa terjadi hidronefrosis dan

apabila terjadi penurunan hormone testosterone menyebabakan DHT

(Dehidros Testosteron) kompleks, oleh karena itu mempengaruhi RNA dan inti

sel yang menyebabkan proliverasi prostate dan akhirnya menjadi BPH.

Teori yang dianut untuk menjelaskan proses BPH ini adalah teori

hormon dihydrosteron (DHT). Kadar DHT pada usia lanjut meningkat karena

peningkatan kadar enzim 5 alfa reduktase yang mengkonversi testosteran


menjadi DHT. DHT ini yang dianggap menjadi pendorong hiperplasi kelenjar,

otot, dan stroma prostat

F. PATHWAY
Bertambahnya usia Testosteron Meningkat

Estrogen Meningkat Estrogen & Testosteron tak


seimbang DHT komplek

Glandula mbtk jar hiperplasi


RNA & inti sel

Sel majemuk prostat BPH


meningkat Profilerasi sel prostat

Takut dioperasi
Wajah tegang Pre operasi
Mendesak jar.prostat ke perifer Prostatektomi

Uretra pars prostatika menyempit MK : Cemas


Prostatektomi

Tekanan di bawah VU

Luka Post Dispneu,batuk, Penggunaan Alat


VU berkontraksi lebih kuat Operasi penumpukan Invasif (infuse,
sekret kateter, drain)

Urin meningkat

MK: MK: MK:


Hiperplasi Nyeri Potensial Resiko Infeksi
otot VU Resiko Infeksi ketidakefektifan
Defisit perawatan bersihan jalan nafas
diri
Penurunan
eliminasi urin MKo:
Perdarahan
Tromboplebitis

Refluk MK:
urin ke Obstruksi Nyeri
ginjal eliminasi urin Perubahan
eliminasi urin

Hidronefrosis Retensi Urin

MK:gagal ginjal

G. TANDA DAN GEJALA


Kompleks gejala obstruktif dan iritatif (prostatisme) mencakup
peningkatan frekuensi berkemih disertai hambatan sewaktu memulai berkemih
dan penurunan gaya tekanan arus urin (Corwin, 2000). Berkemih terasa
anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urin tidak lancer, dribbling (urin terus menetes
setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik,
retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urin tetap berada dalam kandung
kemih setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada
akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan
gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu yang besar. Gejala
generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, serta rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik yang mencakup pemeriksaan rectal digital dan
serangkaian uji diagnostic mungkin dilakukan untuk menentukan tingkat
pembesaran prostate, adanya segala perubahan pada dinding kandung kemih,
dan efisiensi fungsi ginjal. Pemeriksaan ini dapat mencakup urinalisis dan
urodinamis untuk mengkaji segala obstruksi dalam pola aliran urin.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan. Karena hemoraghi merupakan
komplikasi utama pasca oeratif, semua defek pembekuan harus diatasi. Karena
presentasi klien dengan BPH yang mengalami komplikasi jantung dan
pernafasan, atau keduanya, karena usia mereka sangat tinggi; maka, fungsi
jantung dan pernafasan juga harus dikaji, Penyakit lain yang juga
menimbulkan gejala serupa mencakup striktur uretra, kanker prostate,
kandung kemih neurogenik, dan atau batu kandung kemih (Brunner &
Suddarth, 2002).

Menurut Doenges (2000) pemeriksaan diagnostik yang perlu dilakukan pada


klien dengan gangguan hiperplasi prostate yaitu :
1. Urinalisa: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah);
penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi); bacteria,
SDP, SDM mungkin ada secara mikroskopis.
2. Kultur urin: dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, Pseudomonas, atau Escerchia coli.
3. Sitologi urin: untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
4. BUN/kreatinin: meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi.
5. Asam fosfat serum/antigen khusus prostatik: peningkatan Karena
pertumbuhan seluler dan pengaruh hormonal pada kanker prostate (dapat
mengindikasikan metastase tulang).
6. SDP: mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila klien
tidak imunosupresi.
7. Penentuan kecepatan aliran urin : mengkaji derajat obstruksi kandung
kemih.
8. IVP dengan film pasca berkemih: menunjukkan pelambatan pengosongan
kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan
adanya pembesaran prostate, divertikuli kandung kemih dan penebalan
abnormal otot kandung kemih.
9. Sistouretrografi berkemih: digunakan sebagai ganti IVP untuk
memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan
kontras lokal.
10. Sistogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untu
mengidentifikasi disfungsi yang tidak berhubungan dengan BPH.
11. Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostate dan
perubahan dinding kandung kemih (kontraindiaksi pada adanya ISK akut
sehubungan dengan resiko sepsis gram negatif).
12. Sistometri: mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
13. Ultrasound transrektal : mengukur ukuran prostate, jumlah residu urin,
melokalisasi lesi yang tak berhubungan dengan BPH.
I. PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan
kondisi klien. Tindakan yang dilakukan pada klien dengan BPH menurut
Brunner & Suddarth (2002) adalah sebagai berikut.
1. Kateterisasi
Kateterisasi dilakukan bila klien masuk rumah sakit dalam keadaan
darurat karena tidak dapat berkemih. Kateteter yang lazim digunakan
mungkin terlalu lunak dan lemas untuk dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih. Untuk mengatasi hal ini kabel kecil yang disebut
stylet dimasukkan oleh ahli urologi ke dalam kateter untuk mencegah
kateter kolaps ketika menemui tahanan. Pada kasus berat digunakan kaeter
logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke
dalam kandung kemih (sistotomi suprapubik) untuk drainase yang
adekuat.
2. Watch-ful waiting
Watch-ful waiting adalah pengobatan yang sesuai bagi banyak klien
karena kecenderungan progresi penyakit atau terjadinya komplikasi tidak
diketahui. Klien dipatau secara periodic terhadap keparahan gejala, temuan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji urologi diagnostik.
3. Penyekat reseptor alfa-1-adrenergik.
Penyekat reseptor alfa-1-adrenergik (missal terazosin) melemaskan
otot halus kolum kandung kemih dan prostate. Preparat ini dapat
menurunkan gejala prostate pada banyak klien.
4. Inhibitor 5-α-reduktase
Inhibitor 5-α-reduktase adalah metode pengobatan hiperplasi
prostatik jinak dengan metode manipulasi hormonal menggunakan
preparat antiandrogen seperti finasteride (Proscar). Pada penelitian klinis,
inhibitor 5-α-reduktase terbukti efektif dalam mencegah perubahan
testosterone menjadi hidrotestosteron. Menurunnya kadar hidrotestosteron
menunjukkan supresi aktivitas sel glandular dan penurunan ukuran
prostate. Efek samping dari medikasi ini adalah ginekomastia, disfungsi
erektil, dan wajah kemerahan.
5. Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
Insisi Prostat Transuretral (TUIP) merupakan prosedur lain
menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostate dan kapsul prostate untuk
mengurangi tekanan prostate pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. TUIP diindikasikan ketika kelenjar prostate berukuran kecil (30 gr
atau kurang) dan akan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.
Prosedur ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan danmempunyai angka
komplikasi yang lebih rendah disbanding prosedur bedah prostate lainnya
(AHCPR, 1994).
6. Prostatektomi
Prostatektomi adalah reseksi bedah bagian prostate yang
memotong uretra untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan
retensi urin akut (Junadi, 1982). Pilihan prosedur pembedahan bergantung
pada ukuran kelenjar, keparahan obstruksi, usia klien, kondisi klien, dan
adanya penyakit yang berkaitan. Prosedur yang digunakan untuk
mengangkat bagian prostate yang mengalami hiperplasi antara lain reseksi
transurethral prostate, prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal,
dan prostatektomi retropubik. Pada prosedur ini dokter bedah mengangkat
semua jaringan yang mengalami hiperplasi dan hanya meninggalkan
bagian kapsul prostate.
a. Reseksi Transuretral (TUR atau TURP)
Merupakan prosedur paling umum dan dapat dilakukan dengan
endoskopi. Instrumen bedah dan optikal dimasukkan secara langsung
melalui uretra ke dalam prostate. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil
dengan loop pemotong listrik.
b. Prostatektomi Suprapubik
Salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostate
diangkat dari atas. Kerugian metode ini adalah menyebabkan
kehilangan banyak darah dan merupakan prosedur berbahaya karena
insisi di abdomen.
c. Prostatektomi Perineal
Prosedur praktis yang dilakukan dengan mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum. Kerugian metode ini adalah luka
bedah mudah terkontaminasi, dapat timbul inkontinensia, impotensi,
dan cedera rektal.
d. Prostatektomi Retropubik
Metode ini digunakan dengan cara membuat insisi abdomen rendah
mendekati kelenjar prostate, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini dipakai untuk
kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang
hilang lebih dapat dikontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk
dilihat, infeksi dapat cepat terjadi di ruang retropubis.
7. Kemoterapi
µ
a. Penghambat satu adrenergik. Obatnya adalah terazosin, doxazosin,
dan tanzulosin. Bagian dinamik dari prostat adalah otot polos yang
µ
didominasi oleh reseptor satu, yang mengatur tonus dan
kontraksinya. Bila serangan prostatisme memuncak menjurus kepada
retensio urine, ini adalah petanda bahwa tonus otot polos prostat
meningkat atau berkontraksi, sehingga pemberian obat ini sangat
rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi. ESO dari obat ini
sangat mengganggu, berupa hipotensi postural, palpitasi, astenia
vertigo, dan lain-lain, sehingga obat ini tidak dapt dipakai untuk jangka
panjang. Obat ini lebih fungsional pada terapi tahap awal. Bila respons
baik maka ini merupakan indikator untuk masuk ke dalam tahap
perawatan "watch and wait". Pada tahapan ini, dapat digunakan 5 alfa
reduktase atau Serenoa repens ± Pumpkin seeds. Dalam berbagai
literatur dinyatakan bahwa kedua kelompok obat ini dapat
mengecilkan pembesaran BPH sampai dengan ± 20%
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktase. Preparat yang ada ialah finastride.
Efek farmakologi obat ini menurunkan kadar dihydrotestosteron
(DHT) dengan cara menghambat aktivitas enzim 5 alfa reduktase yang
mengubah testosteran menjadi DHT. Semakin besar volume BPH, obat
ini semakin efektif6. Diperlukan waktu yang panjang sampai dengan 3
bulan atau lebih. ESO: penurunan libido sampai dengan impotensi
8 Fitoterapi
a. Saw Palrnetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah
obat tradisional Indian. Catatan empirik tentang manfaat tumbuhan ini
untuk gangguan urologis sudah ada sejak 1900. Isu back to nature
memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.
Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak
mencatat efektivitas dan keamanannya. Dalam Current Medical
Diagnosis and Treatment (2001), dinyatakan bahwa SPB dalam 18
RCT (randomized clinical trial) dengan 2939 subjek adalah superior
terhadap plasebo dan efektivitasnya sama dengan finastride. ESO
berupa disfungsi ereksi = 1,1% dan finastride = 4,9%7. Dalam Life
Extension Update8 dimuat dari 32 publikasi studi terdapat catatan
bahwa ekstrak SPB secara signifikan menunjukkan perbaikan klinis
dalam hal:
1) Frekuensi nokturia berkurang
2) Aliran kencing bertambah lancar
3) Volume residu dikandung kencing berkurang
4) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan, tetapi diduga kuat
menghambat aktivitas enzim 5 alfa reduktase dan memblokir reseptor
androgen, serta bersifat antiinflamasi dan anti-udem dengan cara
menghambat aktivitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxigenase.

b. Pumpkin seeds (cucurbitae peponis semen). Testimoni empirik


tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak abad
ke-16 untuk gangguan "urinoir". Belakangan ini ekstraknya dipakai
untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH dalam konteks
farmakoterapi maupun uji klinik kombinasi dengan ekstraks Serenoa
repens9 .

J. KOMPLIKASI
Komplikasi operasi dapat terjadi karena keadaan umum yang buruk,
arteriosklerosis, infark jantung dan sebagainya. Komplikasi ini dapat berupa
impotensi karena kerusakan N. pudendus karena tindakan operasi, hemoragi
pasca bedah, fistula, striktur pasca bedah dan inkontinensia urin (Junadi,
1982)(kapita selekta kedokteran ed 2 Media aesculapius FKUI Jakarta).
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi bergantung pada jenis
pembedahan dan mencakup hemoraghi, pembentukan bekuan, obstruksi
kateter, dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan
impotensi. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali
dalam 6 sampai 8 minggu, karena saat tersebut fossa prostatik telah sembuh.
Untuk mencegah komplikasi berupa penyebaran infeksi dari uretra prostatik
melalui vas deferens ke dalam epididimis maka perlu dilakukan vasektomi.
Setelah prostatektomi total (biasanya untuk kanker), hamper selalu terjadi
impotensi. Bagi klien yang tidak ingin untuk kehilangan aktivitas seksualnya,
implant prostetik penis mungkin perlu dilakukan untuk membuat penis
menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual (Brunner & Suddarth, 2002).
Komplikasi yang dapat muncul dari Benigna Prostat Hiperplasi adalah :
a. Retensi urin akut
b. Urinary blockage
c. Hydronephrosis
d. Urinary Tract Infections
e. Cystitis
f. Bladder damage
g. Kidney damage
h. Pyelonephritis
i. Bladder diverticula
j. Bladder stones
k. Urinary stones
l. Urinary incontinence

K. PROGNOSIS
Prognosis dari Benigna Prostate Hyperplasia biasanya merujuk pada
efek / komplikasi dari BPH sendiri. Termauk prognosis Benign Prostate
Hyperplasia antara lain durasi dari Benigna Prostate Hyperplasia, perubahan
komplikasi Benign Prostate Hyperplasia, proses recovery yang kurang baik,
lamanya recovery.

L. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan BPH menurut Doenges (2000)
adalah sebagai berikut.
1. Sirkulasi
Tanda : Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).
2. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/dorongan aliran urine; tetesan.
Keragu-raguan pada berkemih awal.
Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih.
Nokturia, disuria, hematuria.
Duduk untuk berkemih.
ISK berulang, riwayat batu (stasis urinaria).
Konstipasi (protrusi prostate ke dalam rectum).
Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih), nyeri tekan kandung kemih.
Hernia inguinalis; hemoroid (mengakibatkan peningkatan
tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung
kemih mengatasi tahanan).
3. Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia; mual, muntah.
Penurunan berat badan.
4. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul, ataupunggung; tajam, kuat (pada
prostatitis akut).
Nyeripunggung bawah.
5. Keamanan
Gejala : Demam.
6. Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksual.
Takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim.
Penurunan kekuatankontraksi ejakulasi.
Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostate.
7. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensif atau antidepresan, antibiotik
urinaria atau agen antibiotik, obat yang dijual bebas untuk
flu/alergi obat mengandung simpatomimetik.
Pertimbangan Rencana Pemulangan
DRG mennunjukkan rerata lama dirawat 2,2 hari, memerlukan
bantuan dengan manajemen terapi, contoh kateter.
M. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan NANDA yang mungkin muncul pada BPH:
1. Retensi urine (akut/kronik) b.d. obstruksi mekanik; pembesaran prostate,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
NOC
a. Urinary continence
b. Urinary elimination
NIC
a. Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
b. Tanyakan klien tentang inkontinensia stress.
c. Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
d. Awasi kemudian catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan
penurunan haluaran urine dan perubahan berat jenis.
e. Perkusi/palpasi area suprapubik.
f. Dorong masukkan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi
jantung, bila diindikasikan.
g. Awasi tanda vital dengan ketat. Observasi hipertensi, edema
perifer/dependen, perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan
pemasukkan dan pengeluaran akurat.
h. Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal.
j. Berikan privasi untuk eliminasi.

2. Nyeri (akut) b.d. iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
NOC :
a. Comfort level.
b. Pain control.
c. Pain : disruptive effect
d. Pain level
NIC :
a. Kaji tentang nyeri mengenai lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau nyeri hebat, dan faktor pencetus
nyeri.
b. Observasi penyebab perasaan tidak nyaman, khususnya pada klien
dengan gangguan komunikasi.
c. Pastikan klien mendapatkan analgesik yang tepat.
d. Gunakan strategi komunikasi teraputik untuk mengetahui pengalaman
nyeri dan terima respon nyeri dari klien.
e. Pertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri.
f. Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu
klien melakukan posisi yang nyaman; mendorong penggunaan
relaksasi /latihan nafas dalam; aktifitas teraputik.

3. Kurang volume cairan, resiko tinggi b.d. kehilangan volume cairan ecara
aktif pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang
terlalu distensi secara kronis.
NOC :
a. Keseimbangan cairan
NIC :
Manajemen cairan
a. Monitor berat badan / hari.
b. Pertahankan intake dan out put yang akurat.
c. Monitor tatu hidrasi.
d. Monitor hasil laboratorium berhubungan dengan retensi cairan
(peningkatan BUN, penurunan hematokrit dan peningkatan tingkat
osmolalita urin).
e. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP.
f. Monitor vital sign.
g. Monitor indikasi kelebihan cairan (edema, peningkatan JVP dan
asites).
h. Kaji lokasi edema.
i. Monitor status nutrisi.
j. Monitor intake dan out put.

4. Ketakutan/ansietas b.d. perubahan status kesehatan:kemungkinan prosedur


bedah/malignasi, malu/hilang martabat sehubungan dengan pemajanan
genital sebelum, selama dan sesudah tindakan; masalah tentang
kemampuan seksualitas.
NOC :
a. Agresion control
b. Anxiety control
c. Coping
d. Impulse control
e. Self-mutilation restraint
f. Social interaction skills
NIC :
a. Gunakan pendekatan yang menenangkan.
b. Nyatakan dengan jela harapan terhadap pelaku klien.
c. Jelakan emua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur.
d. Temani klien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut.
e. Berikan informasi aktual mengenai diagnosis, tindakan prognois.
f. Dengarkan dengan penuh perhatian.
g. Bersikap humor pada klien.
h. Identifikasi tingkat kecemasan.
i. Bantu klien mengenal situasi yang menimbulkan kesemasan.
j. Instruksikan klien untuk teknik relaksasi.

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis, dan kebutuhan pengobatan


b.d. kurang terpajan/mengingat, slah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi, maslah tentang area sensistif.
NOC :
a. Knowledge : disease process
b. Knowledge : health behavior
c. Repiratory status : ventilatory
d. Vital Sign
NIC :
Teaching diease process :
a. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fiiologi dengan tepat.
b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit.
c. Monitor adanya kelelahan dari otot pernafasan.
d. Monitor adanya kegagalan respirasi.
e. Lakukan pengaturan monitor ventilasi secara rutin.
f. Monitor adanya penurunan dan peningkatan tekanan inspirasi.

Diagnosa keperawatan NANDA yang mungkin muncul pada prostatektomi:


1. Nyeri akut b.d. agen injury
NOC :
a. Comfort level
b. Pain control
c. Pain : diruptive effect
d. Pain level
NIC :
a. Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri klien.
d. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
f. Evaluasi klien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan control
nyeri masa lampau.
g. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
h. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi,
dan interpersonal).
i. Tingkatkan istirahat
j. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.

2. Resiko infeksi b.d. peningkatan paparan lingkungan pathogen, tidak


adekuat pertahanan tubuh primer (trauma jaringan).
NOC :
a. Dialysis acces integrity
b. Immobility Conquences: Phsyiological
c. Knowledge: infection control
d. Nutrition status
e. Tissue integrity: Skin & Mucous Membranes
f. Wound healing : Primary intention
g. Wound healing: Secondary intention
NIC :
Infection control (Kontrol infeksi) :
a. Bersihkan lingkungan secara tepat setelah digunakan klien.
b. Ganti peralatan klien setiap setelah tindakan.
c. Batasi jumlah pengunjung.
d. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu.
e. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat.
f. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan.
g. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
h. Lakukan perawatan antiseptik pada semua jalur I.V.
i. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat.
j. Tingkatkan asupan nutrisi.
k. Anjurkan asupan cairan.
l. Anjurkan istirahat.
m. Berikan terapi antibiotik.
n. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala infeksi.
o. Ajarkan klien dan keluarga bagaimana cara mencegah infeksi.

Nutrition Management (Manajemen Nutrisi)


a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan klien.
c. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake Fe.
d. Anjurkan klien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
e. Berikan substansi gula.
f. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi.
g. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

Perawatan luka :
a. Buka balutan dan lakukan debridemen.
b. Catat karakteristik luka.
c. Catat karakteristik drainase.
d. Bersihkan luka dengan NaCl.
e. Berikan perawatan daerah luka.
f. Masase area sekitar luka untuk meningkatkan sirkulasi.
g. Pertahankan teknik steril dalam perawatan luka.
h. Inspeksi luka setiap melakukan dressing.
i. Laporkan adanya perubahan pada luka.
j. Atur poisisi untuk mencegah tekanan pada daerah luka.
k. Ajarkan klien dan keluarga tentang prosedur perawatan luka.
3. Kurang pengetahuan b.d. keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap
informasi yang salah, kurangya keinginan untuk mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-sumber informasi.
NOC :
a. Pengetahuan tentang proses penyakit
Indikator :
a. Familiar dengan proses penyakit.
b. Mendeskripsikan proses penyakit, faktor penyebab, faktor resiko, efek
penyakit, tanda dan gejala, perjalanan penyakit, tindakan untuk
menurunkan progresifitas, komplikasi, tanda dan gejala dari
komplikasi, tindakan pencegahan untuk mencegah komplikasi.
NIC :
Mengajarkan proses penyakit :
a. Mengobservasi kesiapan klien untuk mendengar (mental, kemampuan
untuk mendengar, nyeri, kesiapan emosional, bahasa dan budaya).
b. Menentukan tingkat pengetahuan klien sebelumnya.
c. Menjelaskan proses penyakit (pengertian, etiologi, tanda dan gejala)
transmisi, dan efek jangka panjang.
d. Diskusikan perubahan gaya hidup yang bisa untuk mencegah
komplikasi atau mengontrol proses penyakit.
e. Diskusikan tentang pilihan terapi atau perawatan.
f. Jelaskan secara rasional tentang pengelolaan terapi atau perawatan
yang dilakukan.
g. Berikan dorongan kepada klien untuk mengungkapkan pendapat.
PUSTAKA

Asmara, Iwan, 2007, Pembesaran prostat jinak : gangguan kesehatan lelaki usia
di atas 50, Sinar Harapan, Dilihat tanggal 23 Deember 2007 dari
http://www.sinarharapan.co.id/tajuk/index.html">Tajuk.

Carpenito, L,J, 2000, Diagnosa keperawatan, EGC, Jakarta.

Corwin, Elizabeth J 2001, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta.

Diagnostic Tests for Benign Prostate Hyperplasia,Wrong Diagnose. Dilihat 24


Desember 2007, dari http://www.wrongdiagnosis.com/css/stylesheet.css"
type=text/cs.

Doenges, Marylinn E, 2000, Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan klien, vol.2, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara, 1999, Rencana asuhan keperawatan medical bedah, EGC,


Jakarta.

Johnson, Maas, & Moorhead, 2000, IOWA Nursing Outcomes Classification


(NOC), 2nd ed, Moby-Year Book, Inc.

Mc Closkey & Bulechek, 2000, IOWA outcomes project : Nursing Intervention


Clasification (NIC), 2nd ed, Mosby-Year Book,Inc.

Nasution, n.d., ’Tinjauan pustaka : Pendekatan farmakologis pada benign prostatic


hyperplasia (BPH)’, Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK Undip,
Semarang, Dilihat tanggal 29 September 2007, dari
http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-3.htm.

Prognosis of Benign Prostate Hyperplasia n.d. WD. Dilihat 24 Desember 2007,


dari http://www.wrongdiagnosis.com/css/stylesheet.css" type=text/css.

Santosa,B n.d. Panduan diagnosa keperawatan NANDA 2005-2006: definisi dan


klaifikasi, Prima Medika

Syamoehidayat, R & Jong, W,D, 1997, Buku ajar ilmu bedah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai