Anda di halaman 1dari 20

REMUNERASI BERBASIS KINERJA DAN MUTU PELAYANAN DI RS DAERAH

29 Mei 2017 18:07 Diperbarui: 22 Juni 2017 18:38 8199 1 1


Oleh: Anastasia Sari Kusumawati, S.Kep., Ns. dan DR. Hanny Handiyani, SKp., M.Kep.

Penghargaan dari organisasi kepada karyawannya akan berdampak positif terhadap motivasi
karyawan sehingga mempengaruhi produktivitas. Gaji seharusnya diberikan tidak sama untuk
setiap karyawan dikarenakan mereka memiliki kinerja yang berbeda. Evaluasi kinerja
memberikan informasi sebagai dasar bagi semua kegiatan penting organisasi.

REMUNERASI merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium,
insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun bagi pegawai di rumah sakit.

Harapan dari pemberian remunerasi:


1) remunerasi sebagai tanda penghargaan dan imbalan atas kinerja pegawai;
2) remunerasi dapat meningkatkan etos kerja pegawai yang pada akhirnya meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit.

Terdapat isu mengenai ketidakefektifan pelaksanaan sistem remunerasi. Sering ditemui keluhan
mengenai masih adanya pegawai yang tidak disiplin kerja, bekerja dengan santai walaupun
mereka telah menerima gaji dan remunerasi. Di sisi lain, banyak yang menilai remunerasi yang
diterima oleh pegawai rumah sakit belum setara dengan apa yang layak didapatkan.

Rendahnya nilai remunerasi di era asuransi kesehatan oleh program Jaminan Kesehatan Nasional
dikhawatirkan menimbulkan moral hazard pada pelayanan pasien. Hal ini menjadi masalah
penting yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah harus menerapkan metode terbaik
mengenai pengelolaan remunerasi agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Saat ini belum terdapat peraturan perundangan yang spesifik memberikan standar baku
komponen-komponen inti yang dimaksudkan ke dalam penilaian kinerja, semisalnya baku
Indikator Kinerja, secara setara bagi pegawai.

Remunerasi di RS daerah di Indonesia diterapkan dengan kebijakan beragam sehingga terjadi


kesenjangan antara sistem remunerasi RS pusat dan daerah. Kesenjangan remunerasi tersebut
mengakibatkan ketidakpuasan dari perawat yang pada akhirnya dapat menurunkan kinerja
perawat serta kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien, sehingga remunerasi
justru menjadi permasalahan baru pada RS daerah.
Masing-masing wilayah pemerintahan daerah membangun kebijakan tersendiri mengenai sistem
remunerasi pegawai dengan status BLUD. Kebijakan ini tertuang umumnya dalam bentuk
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/ Walikota tentang sistem remunerasi yang berlaku di
rumah sakit daerah yang kemudian diturunkan dalam surat keputusan Direktur RS.
Kritik untuk kebijakan remunerasi di rumah sakit daerah yaitu ketika rumah sakit telah diberikan
hak mengelola remunerasi, maka rumah sakit selayaknya juga memiliki kewenangan dalam
menentukan besaran remunerasi yang diterima pegawainya berdasarkan suatu baku mutu
standar. Ketika golongan remunerasi yang berbasis pay for position dan pay for people
merupakan sesuatu yang telah dinilai standar dan ‘berkeadilan’ berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku, namun tidak demikian halnya dengan yang berbasis pay for
performance.
Muncul celah perbedaan standar remunerasi berbasis kinerja antara pegawai dengan status
Pegawai Negeri Sipil dan Badan Layanan Umum. Semisalnya, satu sisi menerapkan Sasaran Kerja
Pegawai (SKP) dan Perilaku Kerja, sementara sisi satunya menerapkan Indikator Kinerja Individu
& Indikator Kinerja Utama.
Penerapan indikator kinerja tertentu di luar ketentuan, atau upaya menyinergikan sejumlah baku
penilaian remunerasi, terutama yang berbasis kinerja, belum memiliki payung hukum yang kuat
bagi rumah sakit yang berkehendak untuk menerapkannya. Sementara masih terdapat RS daerah
yang menggunakan sistem fee for service yang berisiko terhadap berlebihannya prosedur/
pelayanan yang diberikan kepada pasien.

Nilai remunerasi pay for performance selayaknya memiliki penghitungan yang standar di
pelbagai rumah sakit. Dalam hal ini tentunya adalah komponen-komponen yang menjadi tolok
ukur penilaian kinerja. Saat ini belum terdapat peraturan perundangan yang spesifik memberikan
standar baku komponen-komponen inti yang dimaksudkan ke dalam penilaian kinerja. Hal ini
menjadikan belum tentu semua rumah sakit kemudian menerapkan penilaian kinerja yang baku,
dan menjadikan remunerasi yang bersifat penilaian kinerja menjadi sesuatu yang abstrak dalam
upaya meningkatkan kualitas kerja dan pelayanan pegawai rumah sakit.

Pilihan kebijakan yaitu Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Kelebihannya terletak pada Bagian Kedua, Pasal 30, Ayat 1b mengenai ketentuan bahwa rumah
sakit memiliki hak menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan
penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kekurangannya, kebijakan ini belum memiliki turunan dalam mengatur sistem remunerasi
berbasis kinerja atau tunjangan kinerja yang standar di pelbagai rumah sakit yaitu mengenai
komponen inti standar baku secara setara bagi pegawai dengan status PNS maupun dengan
status BLU.
Rekomendasi kebijakan: Rumah sakit diharapkan dapat memberikan remunerasi yang layak bagi
pegawainya, sedemikian hingga pegawai diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas
pelayanan rumah sakit.
Usulan rekomendasi ditujukan kepada Pemangku kebijakan remunerasi di rumah sakit daerah
yaitu agar mendorong pemerintah dalam hal ini: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil
Negara dan Reformasi Birokrasi, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah DaerahKabupaten/
Kota untuk merumuskan turunan dari Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit berupa produk hukum terkait tunjangan kinerja pegawai rumah sakit daerah yang
mendeskripsikan baku/ standar setara dalam menentukan capaian kinerja dari setiap tenaga
kesehatan; mendorong rumah sakit pemerintah daerah untuk berperan serta secara aktif dalam
perumusan perundangan terkait tunjangan kinerja.
REMUNERASI DAN JASA PELAYANAN RS PEMERINTAH DI ERA JKN
13 Juni 2015 pukul 12.34

Sebelum terbitnya UU 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, seringkali kita mendengar nada-nada
"sumbang" dari pegawai yang bekerja di luar RS terhadap pegawai RS. Suara-suara minor
tersebut menyatakan bahwa seharusnya pegawai RS tidak boleh mendapat apa-apa lagi selain
gaji pegawai dikarenakan statusnya sama-sama PNS. Kenapa pegawai di SKPD/OPD lain hanya
mendapat gaji PNS, tapi pegawai di RS selain mendapat gaji memperoleh juga Jasa Pelayanan?

Namun sejak terbitnya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan jelas tertulis di Pasal
30 Ayat (1) tentang Hak Rumah Sakit pada huruf b yang berbunyi : "menerima imbalan JASA
PELAYANAN serta menentukan REMUNERASI, insentif, dan penghargaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan". Pasal inilah yang kemudian menjadi payung hukum
legalitas pemberian jasa pelayanan.

Sebelum terbitnya UU ini sebenarnya Mendagri sudah menerbitkan Permendagri Nomor 61


Tahun 2007 tentag PPK-BLUD yang pada Pasal 50 Ayat (1) menyebutkan bahwa : "Pejabat
pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD dapat
diberikan REMUNERASI sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme
yang diperlukan."

Begitupula dengan KMK Nomor 625 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Sistem
Remunerai pegawai BLU Rumah Sakit disebutkan bahwa : BLU Rumah Sakit WAJIBmenyusun
dan menetapkan sistem REMUNERASI berdasarkan kerangka berpikir, prinsip-prinsip dan
ketentuan dasar sebagaimana dalam pedoman ini, dengan menyesuaikan kondisi dan
kemampuan keuangan masing-masing rumah sakit. Sehingga sudah sangat jelas bahwa pegawai
di RS berhak untuk mendapatkan jasa pelayanan.

A. PENGERTIAN REMUNERASI
Banyak pihak berpendapat bahwa remunerasi itu identik dengan jasa pelayanan atau insentif, ini
tentu suatu pendapat yang kurang tepat karena insentif yang berasal dari Jasa Pelayanan (JP) ini
hanya merupakan salah satu komponen dalam sistem remunerasi yang jauh lebih luas dari
sekedar insentif tersebut.

Dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang PPK-BLUD Pasal 50 Ayat (2) : REMUNERASI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji,
tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun.

Pun demikian menurut KMK Nomor 625 Tahun 2010, pengertian REMUNERASI adalah
pengeluaran biaya oleh BLU Rumah Sakit, sebagai imbal jasa kepada pegawai, yang manfaatnya
diterima pegawai dalam bentuk dan jenis komponen-komponen perhargaan dan perlindungan.
Sehingga insentif hanya merupakan sebagian kecil dari sistem remunerasi yan luas.
Berdasarkan pedoman pada KMK Nomor 625 Tahun 2010,, maka KOMPONEN REMUNERASI
terbagi menjadi 3 yaitu

1. Pay for Position (P1). Biasanya berupa gaji PNS, honorarium, tunjangan jabatan atau
tunjangan fungsionalnya sesuai dengan ketentuan. Komponen P1 ini bersifat tetap atau flat
dalam setiap bulannya berdasarkan Job Grade.

2. Pay for Performance (P2). Komponen ini berupa insentif, bersifat tunai berupa pendapatan
langsung bersumber dari Jasa Pelayanan yang diberikan rutin secara periodik dan besarannya
tergantung pada pendapatan rumah sakit pada bulan tersebut.

3. Pay for People (P3). Diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan yang sifatnya
individu, INSIDENTIL, berupa tunjangan lainnya seperti merit, bonus, THR, asuransi, santuan
pensiun, santuan kematian dan mungkin (jika ada) remunerasi ke-13.

Dari ketiga komponen diatas, maka yang sering ramai diperbincangkan adalah komponen ke-2
yaitu Pay for Performance (P2). Karena pada poin inilah diskursus tentang nomenklatur
INSENTIF atau JASA PELAYANAN terjadi. Insentif menggambarkan sebuah kinerja individu atau
dalam bahasa sederhananya adalah kontribusi pemberi pelayanan terhadap pendapatan rumah
sakit. Karena P1 sudah jelas dan baku aturan pemberiannya serta P3 merupakan pendapatan
tambahan yang bersifat insidentil dan individual, maka yang akan dibahas disini adalah
kompone Pay for Performance (P2 ) saja.

B. INSENTIF
Dalam KMK Nomor 625 Tahun 2010, INSENTIF ini termasuk dalam kategori Pay for
Performance (P2) yang bersumber dari Jasa Pelayanan. Terdapat perbedaan mendasar
mekanisme pembagian insentif antara RS vertikal milik Kemenkes yang berdasarkan KMK Nomor
625 Tahun 2010 tersebut dengan RSUD milik pemerintah propinsi atau kabupaten/kota yang
menggunakan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 sebagai acuan. Perbedaannya terletak pada :

1. Penyusunan indek performance yang dalam KMK tersebut membagi menjadi Indek Kinerja
Individu (IKI) dan Indek Kinerja Unit (IKU), namun bagi RSUD berdasarkan ketentuan Permendagri
Nomor 61 Tahun 2007 yang mengatur indikator penilaian berdasarkan indek dasar, indek
kompetensi, indek resiko, indek emergensi, indek posisi dan indek kinerja.

2. Sesuai Kepmenkes diatas, maka tidak dikenal insentif langsung dan tidak langsung. Namun
sebagian besar RSUD, meskipun tidak diatur dalam Permendagri tersebut menerapkan
mekanisme pembagian insentif menjadi insentif langsung dan insentif tidak langsung.

Dalam tulisan ini akan dikupas mekanisme pembagian insentif pada RSUD (milik Pemprov atau
Pemkab/Pemkot) yang sudah menerapkan PPK-BLUD. Secara garis besar, terdapat 3 sistem
pembagian insentif di RSUD yang sudah menerapkan PPK-BLUD di era program JKN sekarang ini,
yaitu : 1). Sistem Fee For Services; 2) Sistem Proporsional (Metode Konversi); dan 3). Sistem
Flat.
B.1. Fee For Services
Sistem pembagian insentif secara fee for services bisa dijalankan jika pendapatan
keseluruhan (Gross Income) rumah sakit terdapat selisih positif (surplus) antara pendapatan jika
dihitung menggunakan tarif rumah sakit dengan jumlah pembayaran klaim dari BPJS. Metode
pembagian secara fee for services ini menggunakan ketentuan pembagian jasa pelayanan
berdasarkan tarif rumah sakit. Akan tetapi harus dilakukan perhitungan terlebih dahulu proporsi
jasa pelayanan berdasarkan tarif RS secara keseluruhan. Jika proporsi jasa pelayanan tidak kurang
dari 30% dan tidak melebihi dari 50% dari total pendapatan maka masih memenuhi standar yang
telah ditetapkan oleh Menkes yaitu proporsi jasa pelayanan ditetapkan antara 30% - 50% dari
jumlah keseluruhan pembayaran klaim dari BPJS.

Dengan menggunakan metode ini maka akan sangat dirasakan subsidi silang insentif terhadap
seorang pemberi jasa layanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit (Revenue Centre).
Seorang Dokter X melakukan sebuah layanan dan ternyata memberi kontribusi selisih negatif
(defisit) terhadap rumah sakit antara pembayaran klaim BPJS dengan tarif RS, namun Dokter X
tersebut juga berhasil menyumbang selisih positif (surplus) untuk jenis pelayanan yang lainnya.
Maka terjadi subsidi silang menuju titik kesetimbangan (balance) yaitu jumlah insentif yang
diterima dengan berdasarkan pada tarif rumah sakit, BUKAN berdasarkan jumlah pembayaran
klaim BPJS. Metode ini tentu saja memiliki sisi kelebihan dan kekurangannya, yaitu :

Kelebihan :
1. Dokter atau penyumbang pendapatan lainnya tidak merasakan adanya penurunan penerimaan
jasa pelayanannya dengan adanya BPJS, sehingga tidak terjadi penolakan (resistensi) terhadap
program JKN ini.
2. Prinsip fee for services dan no services no pay membuat kinerja dokter tidak menurun.
3. RS mendapat peningkatan pendapatan dari Jasa Sarana (JS) yang akan dialokasikan untuk biaya
operasional dan pemeliharaan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanan-pelayanan atau menambah jumlah TT dengan adanya
"Surplus" Jasa Sarana tadi.

Kekurangan :
1. Dokter yang memberikan kontribusi terhadap "selisih negatif (defisit)" tidak akan merasakan
dampaknya karena tetap akan tersubsidi silang oleh dirinya sendiri pada pelayanan lainnya atau
dari dokter lain yang memberikan kontribusi berupa "selisih positif (surplus)".
2. Timbul "kecemburuan" sosial antara dokter yang sudah efisien melayani pasien dengan dokter
yang masih "jor-joran" atau relatif "boros" dalam memberikan pelayanan karena tidak
berpengaruh terhadap besaran insentif yang diterima sehingga seolah-olah tidak ada "sanksi"
terhadap dokter yang "boros" tersebut.
3. RS tidak mampu menaikkan posisi tawar (bergaining position) kepada dokter / penghasil
pendapatan lain yang cenderung in-efisien terhadap penggunaan sumber daya.
4. Prinsip kendali mutu dan kendali biaya tidak akan tercapai.
Ilustrasi :
Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan
pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-.
Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS
sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-.
Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa Pelayanan adalah 47 %. Maka
jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :

Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan pembayaran klaim BPJS seharusnya
dokter X tersebut "hanya" menghasilkan JP sebesar Rp 560.000,-, namun RS tetap membagikan
JP sebesar Rp 700.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS.

Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi
pendapatan kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun
jumlah pembayaran dari BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi "surplus" sebesar Rp
250.000,-, dengan ketentuan yang sama maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan
(JP) sebesar :

Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa "seharusnya" JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut adalah
Rp 1.292.500,-, (lebih besar dari JP yang dihitung dengan tarif RS), akan tetapi RS tetap
membagikan JP sebesar Rp 1.175.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS.
Inilah yang disebut sistem Fee-For-Services, karena JP dihitung berdasarkan tarif RS dan "tidak
peduli" berapapun nilai pembayaran klaim dari BPJS.

B.2. Proporsional (Konversi)


Metode Proporsional atau Konversi bisa menjadi alternatif bagi RS yang pendapatan
keseluruhannya terdapat selisih positif (surplus) ataupun bagi RS yang yang pendapatan
keseluruhannya bervariasi setiap bulan, kadang terdapat selisih positif (surplus) dan kadang juga
terjadi selisih negatif (defisit).
RS yang pendapatan bruto-nya selalu "surplus", tujuan menggunakan metode ini adalah untuk
menghilangkan "kecemburuan" sosial dari dokter/penyumbang pendapatan yang sudah efisien
menggunakan sumber daya dengan yang "boros" terhadap penggunaan sumber daya (obat-
obatan, BHP, pemeriksaan penunjang dan sebagainya).
Bagi RS yang pendapatan keseluruhannya bervariasi antar bulannya, maka tujuan penggunaan
metode ini adalah menaikkan posisi tawar manajemen kepada dokter atau penyumbang
pendapatan lainnya agar lebih efisien dalam menggunakan sumber daya, karena jika "boros"
maka akan terkena "sanksi" yaitu insentif nya akan ikut turun juga sesuai dengan konversi yang
dilakukan.
Metode Proporsional dilakukan dengan cara mengkonversi komponen-komponen tarif
berdasarkan proporsi yang sudah ditetapkan dalam tarif RS terhadap jumlah pembayaran klaim
BPJS, sehingga akan terjadi KONVERSI POSITIF atau KONVERSI NEGATIF. Konversi Positif akan
terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih besar dari total tarif RS untuk pelayanan yang diberikan.
Sebaliknya, Konversi Negatif terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih kecil daripada total tarif RS.
Metode ini juga memiliki sisi positif dan sisi negatif dalam pelaksanaannya, yaitu :

Kelebihan :
1. Prinsip "untung dinikmati bersama, rugi ditanggung bersama" berlaku.
2. Dokter atau penyumbang pendapatan dituntut untuk berperan aktif dalam mengendalikan
biaya terkait dengan penyerapan sumber daya yang ada di RS.
3. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan "bonus" Jasa Pelayanan (JP) lebih tinggi
jika klaim yang dihasilkan lebih besar daripada tarif RS.
4. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan "hukuman" Jasa Pelayanan (JP) lebih
rendah jika klaim yang dihasilkan lebih kecil daripada tarif RS.
5. Manajemen dapat "memaksa" dokter untuk melakukan cost containment dan memberikan
pelayanan secara efisien.
6. Sanksi secara "sistem" terjadi jika terdapat pemberi pelayanan yang menyerap sumber daya
secara tidak efisien.

Kekurangan :
1. Dokter atau penyumbang pendapatan akan protes kepada manajemen jika merasa
penerimaan jasa pelayanannya turun meskipun harus diakui bahwa itu adalah akibat ke-tidak-
efisien nya dalam memberikan pelayanan.
2. Prinsip adanya subsidi silang pribadi kurang begitu dirasakan oleh Dokter atau penyumbang
pendapatan.
3. Seluruh pegawai akan menanggung semua beban "penurunan" jasa pelayanan akibat dari
perilaku satu atau dua orang dokter penyumbang pendapatan yang "boros".
4. Manajemen mengalami kesulitan dalam hal kecukupan dana untuk operasional dan
pemeliharaan.
5. Resiko adanya Obat dan BHP yang tidak "terbayarkan" secara penuh karena adanya konversi
negatif sehingga RS akan "nombok" untuk belanja obat dan BHP.

Ilustrasi :
Menggunakan ilustrasi yang sama dengan metode fee for services agar mudah diperbandingkan.
Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan
pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-.
Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS
sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-.
Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa Pelayanan adalah 47 %. Maka
jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :

Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan tarif RS seharusnya dokter X tersebut bisa
menghasilkan JP sebesar Rp 700.000,-, namun karena pembayaran dari klaim BPJS yang lebih
rendah, maka terjadilan "hukuman" dimana JP yang dibagikan hanya sebesar Rp 560.000,-
berdasarkan hasil konversi tarif RS ke jumlah pembayaran dari BPJS. Dan "sanksi" inipun tidak
hanya menimpa dokter atau penyumbang pendapatan lainnya, namun juga berdampak
"sistemik" kepada manajemen dan seluruh pegawai RS.

Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi
pendapatan kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun
jumlah pembayaran dari BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi "surplus" sebesar Rp
250.000,- dengan ketentuan yang sama, maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan
(JP) sebesar :
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa "seharusnya" JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut
berdaarkan tarif RS adalah "hanya" sebesar Rp 1.175.000,-, akan tetapi RS memberikan "hadiah"
atau "bonus" kepada dokter dan seluruh pegawai RS berupa besaran JP yang dibagikan adalah
Rp 1.292.000,- karena keberhasilan melakukan efisiensi sehingga nilai pembayaran klaim dari
BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan tarif RS.

Inilah yang disebut sistem proporsional dengan metode konversi, karena JP dihitung berdasarkan
konversi positif atau konversi negatif tarif RS terhadap nilai pembayaran klaim dari BPJS. Terlihat
bahwa prinsip "susah senang tetap bersama, untung dinikmati bersama dan rugi ditanggung
bersama".

B.3. Flat (Fixed Proportional)


Bagi RS yang pendapatan bruto-nya dari pembayaran klaim oleh BPJS selalu lebih
rendahdibandingkan dengan potensi pendapatan RS jika dihitung menggunakan tarif RS, maka
sangat direkomendasikan untuk menggunakan sistem flat ini sambil terus melakukan upaya
efisiensi dan mengoptimalkan koding tanpa melanggar batas-batas aturan yang menjurus ke arah
tindakan FRAUD. Penyebab rendahnya pendapatan total RS ini diakibatkan dari faktor internal
dan faktor eksternal. Secara umum, persoalan besaran tarif INA CBGs yang "relatif" masih rendah
dibandingkan dengan tarif RS menjadi faktor penyebab eksternal yang sangat dominan. Faktor
penyebab internal ada dua, yaitu : 1). Tingginya hospital bill dikarenakan penggunaan sumber
daya (obat, BHP, Pemeriksaan Penunjang dan sebagainya) yang tidak efisien; dan 2). Belum
optimalnya coding dan grouping yang dilakukan dikarenakan rendahnya kualitas
penulisan medical record (resume medis dan laporan operasi), kurang cermat dalam memilih
diagnosa dan prosedur tindakan serta ketidaktelitian dalam menulis tindakan atau prosedur yang
dilakukan di dalam catatan medik (RM).

Persoalan eksternal yaitu masih belum "real price" nya INA CBGs merupakan "keluhan nasional"
dan terus diupayakan untuk mengusulkan evaluasi serta revisi terhadap besaran tarif INA CBGs.
Sehingga yang bisa dilakukan oleh manajemen adalah memecahkan persoalan internal dengan
cara melakukan Utilisasi Review (UR) untuk mengetahui kasus-kasus yang "merugikan" RS
secara besar, melakukan cost containment, efisiensi penggunaan sumber daya serta perbaikan
mutu rekam medis.
Metode flat adalah metode penetapan prosentase tetap (Fixed Proprotional) oleh Direktur RS
terhadap 3 komponen tarif yang utama, yaitu : Biaya Obat dan BHP, Jasa Sarana dan Jasa
Pelayanan. Langkah pertama adalah dengan menghitung rata-rata biaya obat-obatan dan BHP
dalam tarif RS (Hospital Bill). Kenapa harus obat dan BHP ? Karena obat dan BHP merupakan
komponen yang sudah terukur dengan jelas dan menjadi beban RS harus "membayar" tagihan
obat dan BHP kepada penyedia (distributor). Sehingga pemenuhan alokasi dana untuk membayar
"hutang obat dan BHP" RS harus menjadi prioritas pertama selain Jasa Sarana yang menjadi
prioritas kedua dan baru kemudian Jasa Pelayanan (JP) sebagai prioritas terakhir. Langkah ini
memang berat dan sangat tidak nyaman karena sangat berpotensi menimbulkan "protes" dari
dokter atau penyumbang pendapatan lainnya yang berujung pada penurunan kinerja mereka dan
pada akhirnya akan makin menurunkan pendapatan total RS.

Direktur mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang porsentase (proporsi) pembagian dana dari
pembayaran klaim BPJS. Sebagai contoh, misalkan direktur berdasarkan hasil olah data rata-rata
proporsi penggunaan obat dan BHP terhadap tarif total RS adalah sebesar 25 %, maka 75 %
sisanya harus ditetapkan berapa porsi untuk Jasa Sarana (JS) dan untuk Jasa Pelayanan (JP).
Dikarenakan ada ketentuan dari Menkes bahwa proporsi JP adalah tidak boleh kurang dari 30 %
dan tidak boleh lebih dari 50 %, maka direktur RS bisa menetapkan terlebih dahulu proporsi untuk
JP misal ditetapkan sebesar 35 % sebagai JP (diambil prosentasi mendekati batas minimal)
sehingga sisanya sebesar 40 % adalah merupakan Jasa Sarana.

Perlu dipahami bahwa resiko "ketidakcukupan" alokasi dana untuk membayar hutang obat dan
BHP ke penyedia sangat mungkin terjadi karena angka yang didapat adalah angka rata-
rata (average) sehingga direktur harus melakukan evaluasi minimal setiap 3 bulan dan sangat
mungkin akan ada perubahan proporsi untuk Obat dan BHP dengan menggunakan kaidah
statistik misalkan error margin sebesar 5 %. Jadi proporsi obat dan BHP bisa berubah menjadi 30
% dan berdampak ada penurunan proporsi JS dan JP yang masing-masing diturunkan sebesar 2,5
% (JS menjadi 37,5 % dan JP menjadi 32,5 %).

Ilustrasi :
Direktur RS B menetapkan melalui SK Direktur, prosentase tetap (Fixed Proportion) untuk
pembagian dana dari pembayaran klaim BPJS adalah sebagai berikut : Jasa Sarana 40 %, Jasa
Pelayanan 35 % dan Biaya Obat dan BHP sebesar 25 %.

Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan


pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-.
Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS
sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-.
Berdasarkan SK Direktur RS Y, proporsi Jasa Sarana (JS) adalah 40 %, Jasa Pelayanan (JP) adalah
35 % dan biaya obat dan BHP adalah 25 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan
menjadi insentif adalah sebagai berikut :
Dari ilustrasi tabel diatas kita dapat melihat begitu signifikan-nya penurunan Jasa Pelayanan (JP)
dari seharusnya RP 712.500,- (Proporsi 35 % + 12,5 % dari alokasi Obat dan BHP yang belum
terproporsi pada tarif RS) menjadi "hanya" Rp 420.000,- (Proposri JP tinggal 35 % sesuai SK
Direktur RS Y).

Akan timbul pertanyaan, mengapa pada tarif RS tidak ada proporsi obat dan BHP secara jelas ?
Kita bisa melihat dalam 2 metode sebelumnya memang selalu tidak muncul proporsi obat dan
BHP karena alokasi biaya untuk pembayaran obat dan BHP dimasukkan ke dalam komponen Jasa
Sarana (JS). Namun didalam metode flat ini, komponen proporsi obat dan BHP dituliskan secara
jelas karena merupakan komponen prioritas, sehingga pada metode ini ketika dihitung dengan
tarif RS, obat dan BHP "seolah-olah" menjadi satu ke dalam JS (Rp 787.500,-), namun ketika
dihitung berdasarkan jumlah pembayaran klaim dari BPJS, maka komponen obat dan BHP ini
dipisah sehingga memiliki proporsi yang jelas dan tetap.

C. Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini, sebuah pertanyaan menarik adalah "Benarkah RS yang
kerjasama dengan BPJS rugi ?". Saya mencoba mengangkat data pada medio 2014 ketika JKN
baru berjalan sekitar 4 bulan dan BELUM ada perubahan tarif INA CBGs.

Pada 1 April 2014, Kemenkes merilis data bahwa sejak diberlakukannya Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan hingga saat ini berjalan selama tiga bulan, hanya 11 Rumah Sakit (RS) atau sekitar 3 %
yang mengalami kerugian dalam melayani peserta JKN.

Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional V Jawa Barat menyampaikan data pada awal Maret bahwa
8 dari 9 RS yang bekerjasama dengan BPJS mendapatkan keuntungan sekitar 30 % sisa revenue.
RS yang merugi itu sangat mungkin adalah RS Privat atau Swasta, sedangkan untuk RS Pemerintah
belum ditemukan laporan adanya RS Pemerintah yang merugi dalam melayani peserta BPJS.

Memang seringkali yang selalu diangkat adalah case by case dan biasanya yang di "blow up"
adalah kasus yang merugi. Namun ketika membuka neraca keuangan RS dan melihat pendapatan
total RS secara keseluruhan ternyata RS tidak mengalami kerugian karena adanya mekanisme
subsidi silang.
Beberapa RS malah berhasil membukukan "laba" yang cukup signifikan. Bagaimana dengan RS
Privat ? Saya kurang tahu pasti, namun jika membaca paparan direktur RSIA Annisa Tangerang,
RS Al Islam Bandung, RS Islam Samarinda dan RS Nur Hidayah Bantul maka kemungkinan RS Privat
mendapatkan "profit margin" dalam melayani peserta BPJS masih terbuka lebar.

Tarif INA CBGs wajib dievaluasi dan harus direvisi, saya selalu mengatakan bahwa ada beberapa
komponen pelayanan RS yang belum "matching" dengan tarif INA CBGs seperti pelayanan-
pelayanan di ruang rawat "critical care" seperti ICU, CICU, PICU dan NICU yang menyerap
"resources" tinggi namun diberlakukan sebagai 1 episode perawatan dengan ruang rawatan
biasa. Hal ini tentu akan menimbulkan persoalan "imbalance" antara penggunaan sumber daya
dengan penggantian biaya oleh BPJS.

Namun, tidak bijakssana juga selalu menganggap bahwa melayani peserta BPJS maka RS pasti
merugi. Memang ada RS yang merugi namun data berbicara bahwa masih banyak juga RS yang
mendapatkan "laba". Nah ketika RS sudah berhasil mendapatkan keuntungan berdasarkan
pendapatan total RS, maka pilihan untuk membagi insentif dari Jasa Pelayanan ada beberapa
alternatif yang bisa diambil. Semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Perlu pertimbangan jajaran direksi RS dalam memilih metode yang akan dipergunakan dengan
memperhatikan situasi dan kondisi serta kearifan budaya lokal.

Remunerasi INACBGS di Rumah Sakit Pemerintah/swasta


Pembagian jasa pelayanan di rumah sakit atau biasa disebut dengan INSENTIF adalah kebijakan
pimpinan RS dalam pemberian insentif kepada seluruh karyawan RS, sebenarnya bukan hal
mudah tetapi juga bukan hal yang amat sangat sulit. Memang benar kalau dikatakan sangat
kompleks dan berpotensi menimbulkan konflik antar karyawan, juga penurunan kinerja serta
ketidakpuasan antara kayawan dengan pimpinan RS. Kondisi ini sebenarnya sudah banyak
dialami di beberapa RS di Indonesia khusunya di rumah sakit Pemerintah. Bisa dikatakan bahwa
setiap kali membagi jasa pelayanan selalu membuat galau para karyawan bahkan dianggap
kurang berpihak pada karyawan kecil. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan terus menerus
sampai pada tahap yang kondusif artinya bagaimana mengurangi kesenjangan pendapatan antar
karyawan itu sendiri. Melalui upaya dan kebijakan yang mencerdaskan, selalu mencari solusi
terbaik dan tidak berlindung pada alasan klasik (belum tersedianya regulasi pemerintah secara
rinci) mungkin akan lebih baik.
Melalui artikel pendek ini izinkan saya memberikan sedikit tips/pengalaman saya membagi jasa
pelayanan di RS Pemerintah.
disusun oleh max.mulyadi HP.082137520341

Pedoman Membagi Jasa Pelayanan INA-CBGs/Umum


(Revisi thn 2017 tentang Remunerasi Jasa Pelayanan) Di RS Pemerintah

METODE YANG DIGUNAKAN


MENGGABUNGKAN PERHITUNGAN :
 Indeks Poin
 Prosentase Langsung
 Prosentase tidak langsung
 Bobot Pendapatan
 Kebersamaan
PELAKSANAAN REMUNERASI (FAKTOR YANG BERPENGARUH)
 Kebijakan.
 Kesepakatan.
 Input data (cepat dan valid)
 Rumus-rumus
 Nilai rasa, kepantasan
 Seni dan improvisasi
 Penyempurnaan terus menerus sampai pada tahap yg ideal
Siapkan terlebih dahulu :
A. Data kepegawaian
B. Penilaian indeks poin (tabel dan blangko)
C. Pedoman menyusun bobot pendapatan.
D. Pedoman memisahkan income/klaim INACBGs (menjadi jasa pelayanan, jasa medik, jasa
paramedik dan jasa lainnya).
E. Rumus-rumus pembagian
F. Data pendapatan tindakan dari masing2 dokter (by name).
G. Data pendapatan dari masing2 ruangan/instalasi/unit penghasil
H. Data total pendapatan rumah sakit (termasuk jasa farmasi/obat)
I. Kebijakan lainnya.

LANGKAH-LANGKAH PEMBAGIAN JS PELAYANAN (JASPEL)

I. INPUT : REGULASI RS/KEBIJAKAN/DATA


 Kebijakan ttg % induk Pembagian Jasa (misal opr.RS 60% dan JP 40%).
 Kebijakan ttg % input jasa direktur, wakil direktur, dan pejabat lainnya Kebijakan ttg %
input jasa medik (PIJM), dan nakes
 Kebijakan ttg standar pendapatan minimal (SPM) seluruh pegawai
 Kebijakan ttg % KBS (ratio jml pegawai dgn Jml JP terpenuhi)
 Penilaian indeks poin, Daftar kepegawaian
 Tarif RS.
 Total Klaim BPJS, Umum
 Volume/Jenis/Nilai Pelayanan BPJS dan Umum

A. INPUT PROSENTASE INDUK JASA PELAYANAN


1. Jasa pelayanan : 35% - 40% dari total klaim
2. Direktur : 5% - 8% dari Jaspel
3. Kebersamaan : 10% - 20% dari jaspel
4. Tenaga Medis : Total Income medis x 51% : Jaspel x 100%
(jangan di campur dengan yang lain)
5. Persentase input jasa medis dan tenaga lainnya lihat tabel dibawah

B. PERSENTASE INPUT JASA MEDIS (PIJM)DAN TENAGA LAINNYA

Jenis Tindakan RS UP MDK LL


pemeriksaan 0,45 0,55 0,51 0,35
visite 0,45 0,55 0,51 0,35
konsultasi 0,45 0,55 0,55 0,30
Tindakan non operatif 0,50 0,50 0,45 0,35
askep 0,35 0,65 0,00 0,75
Tindakan medis di ruangan 0,50 0,50 0,45 0,35
USG 0,56 0,44 0,50 0,25
RO 0,55 0,45 0,40 0,45
ECG 0,50 0,50 0,44 0,30
EEG 0,56 0,44 0,48 0,30
laborat 0,56 0,44 0,22 0,40
obat 0,92 0,08 0,15 0,60
ambulan 0,40 0,60 0,00 0,75
pengantar 0,40 0,60 0,00 0,75
rehab medik 0,48 0,52 0,35 0,40
konsultasi gizi 0,40 0,60 0,00 0,75
HD 0,50 0,50 0,40 0,40
pengemudi 0,45 0,55 0,00 0,75
anestesi 0,45 0,55 0,50 0,35
psikologi 0,35 0,65 0,55 0,10
gigi 0,45 0,55 0,50 0,30
observasi 0,60 0,40 0,40 0,35
ct.scan 0,50 0,50 0,40 0,45
Pemeriksaan RJ 0,45 0,55 0,51 0,10
Tindak Medik gigi 0,45 0,55 0,50 0,20
Konsultasi RJ 0,45 0,55 0,55 0,10
partus normal 0,40 0,60 0,40 0,40
partus patologis 0,50 0,50 0,50 0,35
patologi anatomi 0,50 0,50 0,50 0,10
Tindak Medik RJ 0,50 0,50 0,55 0,10
otopsi 0,45 0,55 0,50 0,40
endoscopy 0,50 0,50 0,50 0,20
operasi 0,50 0,50 0,51 0,30
LL 0,50 0,50 0,50 0,35
Jenis Tindakan RS IBS %JP
Operasi Appendix 56% 44%
a. Operator 100% 28%
b. dr. anestesi 33% 9%
c. Perawat 25% 7%
158% 44%
Jenis Tindakan RS IBS %JP
Operasi SC 56% 44%
a. Operator (dr. Obsgyn) 100% 25%
b. dr. anestesi 33% 8%
c. dr. anak 15% 4%
d. Perawat 25% 6%
173% 44%
Ket. Mohon dipahami semua pihak (sangat sensitif), prosentase di atas sbg bahan menghantar
pada sistim bobot.

C. INPUT BOBOT PENDAPATAN (BP) PENERIMA JASPEL

Kebijakan Bobot pendapatan penerima jasa pelayanan dan nilai bobot lainnya ditetapkan
sebagai berikut :
1. Nilai bobot 1 dihitung dari sisa alokasi langsung dibagi jumlah pegawai yang mendapatkan
remunerasi;
2. Bobot pendapatan direktur dihitung dari total jasa pelayanandikalikan 5% - 6% dibagi nilai
bobot 1 ditambah minimal 15 poin;
3. Bobot pendapatan masing-masing wakil direktur dihitung dari total jasa
pelayanan dikalikan 2% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 10 poin;
4. Bobot pendapatan masing-masing kabid atau manager dihitung dari total jasa remunerasi
dikalikan 1,4% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 5 poin ;
5. bobot pendapatan masing-masing kasubid/sub manager/koordinator dihitung dari total
jasa remunerasi dikalikan 0,65% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 2,5 pon;
6. bobot pendapatan masing-masing dokter spesialis dihitung dari jumlah income masing-
masing dokter dikalikan 50% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 10 poin;
7. bobot pendapatan masing-masing dr. Umum dan dokter gigidihitung dari jumlah
income masing-masing dokter umum atau dokter gigi dikalikan 50% dibagi nilai
bobot 1 ditambah minimal5 poin;
8. Bobot pendapatan masing-masing apoteker, setara dengan rata-rata bobot pendapatan
dokter umum ditambah minimal 2 poin;
9. Bobot pendapatan masing-masing perawat /bidan /penunjang medik, dihitung
dari income perawat/bidan/penunjang medikdibagi nilai bobot 1
ditambah minimal 1,5 poin dikalikan jumlah pegawai dalam unit kerjanya atau dengan cara
perhitungan bobot lainnya;
10. Bobot pendapatan masing-masing staf farmasi setara dengan rata-rata bobot
perawat ditambah 1 poin atau dengan cara perhitungan bobot lainnya;
11. Bobot pendapatan staf admin atau tenaga lainnya, minimal 1,25poin ditambah minimal 0,
5poin dikalikan jumlah pegawai dalam unit kerjanya atau dengan cara perhitungan bobot lainnya;
dan
12. bobot tambahan masing-masing tenaga fungsional/ tenaga non fungsional atau tenaga
lainnya yang mendapat tugas khusus di luar tugas pokok dan fungsinya atau tugas khusus
lainnya:
a. minimal 0,4 poin; dan
b. maksimal 2 poin.

D. INPUT INDEKS POIN

JABATAN SINGK N PROFESI SINGK N


Staf Admin STA 0,65 Staf Admen STA 0,75
Staf Khusus STK 1,25 Staf Khusus STK 1,44
Staf Fungsional STF 1,25 Perawat Trampil PT 1,44
Kepala Ruangan KARU 1,90 Perawat Ahli PA 2,14
Kepala Instalasi KAIN 2,50 Dr. Umum DU 2,14
Staf Medis Umum SMU 2,50 Dr. Gigi DG 2,14
Staf Medis Gigi SMG 2,50 Apoteker APT 2,14
Apoteker APT 2,50 Staf Madya STM 2,14 kasubid
Kasubid KASUB 2,50 Dr. Spesialis DS 2,86
Apoteker Ahli APTA 3,13 Dr. Gigi Spesialis DGS 2,86
Staf Medis Spesialis SMS 3,13 Apoteker Ahli APTA 2,86
Staf Medis Gigi Sp SMGS 3,13 Staf Utama STU 2,90 kabid
Kabid KABID 3,13 Dr. Sub Spesialis DSS 3,58
Staf Medis Sub Sp SMSS 3,75 Senior Manajer SM 4,30
Wadir WADIR 4,38 Top Manajer TM 5,00
Dir DIR 5,00
PENDIDIKAN SINGK N GOLONGAN SINGK GOL IDPJK
Sekolah Dasar SD 0,84 GOL. I I 1,25 1,00
SLTP SLTP 1,68 GOL. II II 2,50 1,00
SLTA SLTA 2,50 GOL. III III 3,75 1,05
Diploma I D1 2,90 NORMA NORMA 3,75 1,00
Diploma III D3 3,34 GOL. IV IV 5 1,15
Diploma IV D4 3,75 FINAL FINAL 5 1,15
Sarjana S1 3,75
Pasca Sarjana S2 4,58
Doktor S3 5,00
STATUS SINGK N RISIKO SINGK N
Wiyata Bakti WB 1,68 Ringan RNG 1,25
Kontrak KON 3,34 Sedang SDG 2,50
Tamu TAMU 3,34 Cukup Tinggi CT 3,75
Tetap TETAP 5,00 Tinggi TNG 5,00
KOMPETENSI SINGK N BEBAN KERJA SINGK N
Kurang KRG 1,25 ringan RNG 1,25
Cukup CKP 2,50 sedang SDG 2,50
Standar STD 3,75 cukup berat CB 3,75
Profesional PRO 5,00 berat BRT 5,00

E. INPUT DATA KEPEGAWAIAN


CONTOH PENGISIAN DATA KEPEGAWAIAN
Nama Pendi Ms. Kerja Unit Kerja Tugas
Jabatan Status Ket.
Karyawan dikan (thn) (utk Prwt/Staf) Tambahan
Ali Karu S1 8 Tetap Ruang Anak
Budi STF S1 9 Tetap ICU Komper
Cici STK D3 5 Tetap Keuangan Tim Remune
Dedi STF D4 7 kontrak IGD
Edi STF D4 10 Tetap IBS
Fahri STF D3 11 tetap Laborat

F. INPUT DATA PELAYANAN INACBS, UMUM

Nama Dokter Jenis Tindakan Lokasi VOL Nilai 100% JML


Dr. Agus, Sp.B Pemeriksaan Poli Bdh 100 20.000 2.000.000
Dr. Agus, Sp.B Visite R. Bedah 50 25.000 1.250.000
Dr. Agus, Sp.B TM Kecil R. Bedah 15 50.000 750.000
Dr. Agus, Sp.B TMO Besar IBS 10 500.000 5.000.000
Dr. Agus, Sp.B TMO Khusus IBS 5 1.000.000 5.000.000

II. PROSES I : MENYUSUN POLA PEMBAGIAN JASA (PPJ)

A TOTAL KLAIM 100%


B OPERASIONAL RS 60% AXB
C JASA PELAYANAN 40% AXC
D DIREKTUR 5% CXD 5% - 9%
E JASA MEDIK X% Sesuai PIJM, hsl perhitungan
F KBS 15,0% CXF Ratio terpenuhi
G SISA ALOKASI JASA Y% C-D-E-F
H JML PEGAWAI
I NILAI BB1 H:I

N BBT 1 Rata2 BP JML Nama Inst/ Inc. SPM BP TTL BP


JP/org I SDM Unit/Bag/Jab Awal II BPII III
III. PROSES MENCARI NILAI BOBOT 1

Sisa alokasi jasa


Nilai Bobot 1 =
Jumlah pegawai

1. Masukkan alokasi jasa jasa direktur dan pejabat lainnya ke Pola Pembagian Jasa
2. Masukan hasil perhitungan PIJM ke pola pembagian jasa à tentukan persentase yang
didapat.
3. Masukan prosentase KBS dan nilainya
4. Hitung sisa alokasi jasa pelayanan (TTLJP – JPPJBT – JM - KBS = N)
5. Hitung nilai bobot 1 ( sisa alokasi dibagai jml pegawai)

IV. PROSES MENCARI BOBOT PENDAPATAN

Income awal per orang


Bobot Pendapatan I =
N Bobot 1

1. Masukan nominal jasa pejabat (dir, wakil dan lainnya), tentukan bobot pendapatannya
2. Masukkan nominal Jasa Medis (JM) per orang, tentukan nilai bobot per orang
3. Masukkan nominal Jasa Pelayanan unit kerja, tentukan nilai bobot per orang,
4. Masukkan nominal Jasa Pelayanan non nakes/admin, tentukan nilai bobot per orang,
bilamana mengalami kesulitan lakukan pengisian langsung pada bobot pendapatan per orang.

V. Proses mencari BP I (Pendapatan awal : NBB1)


VI. Proses mencari BP II (NBB1+SPM)
VII. Proses mencari BP III {(hasil IP per org : (JPII :TTL BP II)}
VIII. Proses mencari BP IV (BP II + BP III)
IX. Proses Penilaian Indeks Poin
1. Buat form penilaian kepegawaian

Parameter Penilaian IP JML


No Nama Pegawai
A B C D E F G H I IP

2. Buat tabel penilaian indeks poin


3. Tentukan parameter penilaian dan nilai indeksnya
4. Tentukan parameter yang menjadi bahan penjumlahan
5. Tentukan parameter yang akan menjadi bahan perkalian atau pengurangan
6. Lakukan pengisian form indeks poin semua pegawai, dapatkan hasilnya
X. HASILPEMBAGIAN JASA

1. Buat form daftar penerima jasa pelayanan

No Nama Jabatan BP Jaspel Pajak Terima Tanda T.

2. Masukkan nama penerima jasa pelayanan


3. Masukkan nilai bobot pendapatan
4. Masukkan nilai jasa yang diterima
5. Masukkan % pajak
6. Hitung jasa yang diterima
CONTOH HASIL REMUNE
NO NAMA BP Jaspel Pajak Terima Tanda T.
1 AMIR 3,90 2.643.173 132.159 2.511.015
2 BUDI 3,55 2.405.550 120.277 2.285.272
3 CACA 2,88 1.951.538 0 1.951.538
4 DEDI 2,86 1.938.312 0 1.938.312
5 EDI 2,86 1.938.312 0 1.938.312

CONTOH MENENTUKAN BOBOT PENDAPATAN II

Diketahui, TTLJP : 500.000.000


ALO PJBT : 25.000.000
ALO LAINNYA : 40.000.000
ALO JM 225.000.000
Alokasi JP I : 210.000.000 (sisa)
Jml Pegawai : 300 orang
NBB1 : 700.000
X% Direktur : 5%

1. BP Direktur (5% x TTL JP)


Convert ke BP = (X% x Total JP : NBB 1) + 15 poin
(5% x 500.000.000) : (210.000.000 : 300) + 15 poin
25.000.000 : 700.000 35,71 Poin 15 poin 50,71 poin 35.500.000
SPM BPII
2. BP dokter
diketahui Income dr. Amir, Sp.PD 21.000.000
Covert ke bobot = (Income : NBB 1) + 10
21.000.000 : 700.000 30 Poin 10 poin 40 poin 28.000.000
SPM BPII
Arti alokasi langsung dokter = % alokasi bagi seluruh dokter
Rumus = income seluruh dokter / TTJP x 100%
misal income seluruh dokter 240.000.000
Total Jaspel 500.000.000
maka % alokasi seluruh tng medis = 240/500X100% 48,00%

3. BP Prwt/org
diketahui income Ruang Mawar 21.000.000
jumlah perawat Ruang Mawar 12 orang
Convert ke bobot = income Ruang Mawar : NBB1 : Jml Prwt + 1,5 poin
21.000.000 : 700.000 30
12
2,5 Poin 1,5 poin 4,0 poin 2.800.000
BBT/Org SPM BPII

PERMASALAHAN YANG SERING DIHADAPI


BUTUH SOLUSI/WISE
(dengan pedoman teknis ini)
1. Penghargaan bagi direktur (top manager)
2. Penghargaan bagi manager (grade : Keu // Pelay // TU)
3. Grade : Pegawai tetap // Pegawai tidak tetap
4. Income : Dokter Tetap // Dokter Tamu
5. Grade : Dr. Spesialis banyak pasien // dr. Sp. Kurang pasien
6. Grade : Dr. Spesialis banyak asisten // dr. Spesialis sedikit asisten
7. Income dr. Laborat // jml jenis pemeriksaan
8. Grade : Perawat IGD // Perawat IBS //Perawat ICU // Perawat Perinatologi // Perawat VIP
// Perawat Rawat inap // Perawat Poliklinik
9. Grade : Perawat Instrumen // perawat Anestesi
10. Grade : Perawat rawat inap (karu, waka, staf keperawatan)
11. Grade : Resiko tinggi (petugas laundry // staf lainnya)
12. Apakah para karu perlu dibuatkan kotak JP tersendiri?
13. Income Apoteker
14. Income Analis farmasi
15. Kelebihan jam kerja (misal analis farmasi masuk pagi pulang jam 4 sore)
16. Tugas tambahan di luar tupoksi (misal chase manager, PPI, PMKP, Satpam mendorong
pasien, Tim Remun)
17. Grade : Staf keuangan // staf admen // staf kepegawaian // staf umum
18. Income : Staf rekam medis
19. Penghargaan pegendali BPJS (Kualitas dokumen, Verifikasi, coder, dll)
20. dll

Anda mungkin juga menyukai