Penghargaan dari organisasi kepada karyawannya akan berdampak positif terhadap motivasi
karyawan sehingga mempengaruhi produktivitas. Gaji seharusnya diberikan tidak sama untuk
setiap karyawan dikarenakan mereka memiliki kinerja yang berbeda. Evaluasi kinerja
memberikan informasi sebagai dasar bagi semua kegiatan penting organisasi.
REMUNERASI merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium,
insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun bagi pegawai di rumah sakit.
Terdapat isu mengenai ketidakefektifan pelaksanaan sistem remunerasi. Sering ditemui keluhan
mengenai masih adanya pegawai yang tidak disiplin kerja, bekerja dengan santai walaupun
mereka telah menerima gaji dan remunerasi. Di sisi lain, banyak yang menilai remunerasi yang
diterima oleh pegawai rumah sakit belum setara dengan apa yang layak didapatkan.
Rendahnya nilai remunerasi di era asuransi kesehatan oleh program Jaminan Kesehatan Nasional
dikhawatirkan menimbulkan moral hazard pada pelayanan pasien. Hal ini menjadi masalah
penting yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah harus menerapkan metode terbaik
mengenai pengelolaan remunerasi agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Saat ini belum terdapat peraturan perundangan yang spesifik memberikan standar baku
komponen-komponen inti yang dimaksudkan ke dalam penilaian kinerja, semisalnya baku
Indikator Kinerja, secara setara bagi pegawai.
Nilai remunerasi pay for performance selayaknya memiliki penghitungan yang standar di
pelbagai rumah sakit. Dalam hal ini tentunya adalah komponen-komponen yang menjadi tolok
ukur penilaian kinerja. Saat ini belum terdapat peraturan perundangan yang spesifik memberikan
standar baku komponen-komponen inti yang dimaksudkan ke dalam penilaian kinerja. Hal ini
menjadikan belum tentu semua rumah sakit kemudian menerapkan penilaian kinerja yang baku,
dan menjadikan remunerasi yang bersifat penilaian kinerja menjadi sesuatu yang abstrak dalam
upaya meningkatkan kualitas kerja dan pelayanan pegawai rumah sakit.
Pilihan kebijakan yaitu Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Kelebihannya terletak pada Bagian Kedua, Pasal 30, Ayat 1b mengenai ketentuan bahwa rumah
sakit memiliki hak menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan
penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kekurangannya, kebijakan ini belum memiliki turunan dalam mengatur sistem remunerasi
berbasis kinerja atau tunjangan kinerja yang standar di pelbagai rumah sakit yaitu mengenai
komponen inti standar baku secara setara bagi pegawai dengan status PNS maupun dengan
status BLU.
Rekomendasi kebijakan: Rumah sakit diharapkan dapat memberikan remunerasi yang layak bagi
pegawainya, sedemikian hingga pegawai diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas
pelayanan rumah sakit.
Usulan rekomendasi ditujukan kepada Pemangku kebijakan remunerasi di rumah sakit daerah
yaitu agar mendorong pemerintah dalam hal ini: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil
Negara dan Reformasi Birokrasi, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah DaerahKabupaten/
Kota untuk merumuskan turunan dari Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit berupa produk hukum terkait tunjangan kinerja pegawai rumah sakit daerah yang
mendeskripsikan baku/ standar setara dalam menentukan capaian kinerja dari setiap tenaga
kesehatan; mendorong rumah sakit pemerintah daerah untuk berperan serta secara aktif dalam
perumusan perundangan terkait tunjangan kinerja.
REMUNERASI DAN JASA PELAYANAN RS PEMERINTAH DI ERA JKN
13 Juni 2015 pukul 12.34
Sebelum terbitnya UU 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, seringkali kita mendengar nada-nada
"sumbang" dari pegawai yang bekerja di luar RS terhadap pegawai RS. Suara-suara minor
tersebut menyatakan bahwa seharusnya pegawai RS tidak boleh mendapat apa-apa lagi selain
gaji pegawai dikarenakan statusnya sama-sama PNS. Kenapa pegawai di SKPD/OPD lain hanya
mendapat gaji PNS, tapi pegawai di RS selain mendapat gaji memperoleh juga Jasa Pelayanan?
Namun sejak terbitnya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan jelas tertulis di Pasal
30 Ayat (1) tentang Hak Rumah Sakit pada huruf b yang berbunyi : "menerima imbalan JASA
PELAYANAN serta menentukan REMUNERASI, insentif, dan penghargaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan". Pasal inilah yang kemudian menjadi payung hukum
legalitas pemberian jasa pelayanan.
Begitupula dengan KMK Nomor 625 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Sistem
Remunerai pegawai BLU Rumah Sakit disebutkan bahwa : BLU Rumah Sakit WAJIBmenyusun
dan menetapkan sistem REMUNERASI berdasarkan kerangka berpikir, prinsip-prinsip dan
ketentuan dasar sebagaimana dalam pedoman ini, dengan menyesuaikan kondisi dan
kemampuan keuangan masing-masing rumah sakit. Sehingga sudah sangat jelas bahwa pegawai
di RS berhak untuk mendapatkan jasa pelayanan.
A. PENGERTIAN REMUNERASI
Banyak pihak berpendapat bahwa remunerasi itu identik dengan jasa pelayanan atau insentif, ini
tentu suatu pendapat yang kurang tepat karena insentif yang berasal dari Jasa Pelayanan (JP) ini
hanya merupakan salah satu komponen dalam sistem remunerasi yang jauh lebih luas dari
sekedar insentif tersebut.
Dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang PPK-BLUD Pasal 50 Ayat (2) : REMUNERASI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji,
tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun.
Pun demikian menurut KMK Nomor 625 Tahun 2010, pengertian REMUNERASI adalah
pengeluaran biaya oleh BLU Rumah Sakit, sebagai imbal jasa kepada pegawai, yang manfaatnya
diterima pegawai dalam bentuk dan jenis komponen-komponen perhargaan dan perlindungan.
Sehingga insentif hanya merupakan sebagian kecil dari sistem remunerasi yan luas.
Berdasarkan pedoman pada KMK Nomor 625 Tahun 2010,, maka KOMPONEN REMUNERASI
terbagi menjadi 3 yaitu
1. Pay for Position (P1). Biasanya berupa gaji PNS, honorarium, tunjangan jabatan atau
tunjangan fungsionalnya sesuai dengan ketentuan. Komponen P1 ini bersifat tetap atau flat
dalam setiap bulannya berdasarkan Job Grade.
2. Pay for Performance (P2). Komponen ini berupa insentif, bersifat tunai berupa pendapatan
langsung bersumber dari Jasa Pelayanan yang diberikan rutin secara periodik dan besarannya
tergantung pada pendapatan rumah sakit pada bulan tersebut.
3. Pay for People (P3). Diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan yang sifatnya
individu, INSIDENTIL, berupa tunjangan lainnya seperti merit, bonus, THR, asuransi, santuan
pensiun, santuan kematian dan mungkin (jika ada) remunerasi ke-13.
Dari ketiga komponen diatas, maka yang sering ramai diperbincangkan adalah komponen ke-2
yaitu Pay for Performance (P2). Karena pada poin inilah diskursus tentang nomenklatur
INSENTIF atau JASA PELAYANAN terjadi. Insentif menggambarkan sebuah kinerja individu atau
dalam bahasa sederhananya adalah kontribusi pemberi pelayanan terhadap pendapatan rumah
sakit. Karena P1 sudah jelas dan baku aturan pemberiannya serta P3 merupakan pendapatan
tambahan yang bersifat insidentil dan individual, maka yang akan dibahas disini adalah
kompone Pay for Performance (P2 ) saja.
B. INSENTIF
Dalam KMK Nomor 625 Tahun 2010, INSENTIF ini termasuk dalam kategori Pay for
Performance (P2) yang bersumber dari Jasa Pelayanan. Terdapat perbedaan mendasar
mekanisme pembagian insentif antara RS vertikal milik Kemenkes yang berdasarkan KMK Nomor
625 Tahun 2010 tersebut dengan RSUD milik pemerintah propinsi atau kabupaten/kota yang
menggunakan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 sebagai acuan. Perbedaannya terletak pada :
1. Penyusunan indek performance yang dalam KMK tersebut membagi menjadi Indek Kinerja
Individu (IKI) dan Indek Kinerja Unit (IKU), namun bagi RSUD berdasarkan ketentuan Permendagri
Nomor 61 Tahun 2007 yang mengatur indikator penilaian berdasarkan indek dasar, indek
kompetensi, indek resiko, indek emergensi, indek posisi dan indek kinerja.
2. Sesuai Kepmenkes diatas, maka tidak dikenal insentif langsung dan tidak langsung. Namun
sebagian besar RSUD, meskipun tidak diatur dalam Permendagri tersebut menerapkan
mekanisme pembagian insentif menjadi insentif langsung dan insentif tidak langsung.
Dalam tulisan ini akan dikupas mekanisme pembagian insentif pada RSUD (milik Pemprov atau
Pemkab/Pemkot) yang sudah menerapkan PPK-BLUD. Secara garis besar, terdapat 3 sistem
pembagian insentif di RSUD yang sudah menerapkan PPK-BLUD di era program JKN sekarang ini,
yaitu : 1). Sistem Fee For Services; 2) Sistem Proporsional (Metode Konversi); dan 3). Sistem
Flat.
B.1. Fee For Services
Sistem pembagian insentif secara fee for services bisa dijalankan jika pendapatan
keseluruhan (Gross Income) rumah sakit terdapat selisih positif (surplus) antara pendapatan jika
dihitung menggunakan tarif rumah sakit dengan jumlah pembayaran klaim dari BPJS. Metode
pembagian secara fee for services ini menggunakan ketentuan pembagian jasa pelayanan
berdasarkan tarif rumah sakit. Akan tetapi harus dilakukan perhitungan terlebih dahulu proporsi
jasa pelayanan berdasarkan tarif RS secara keseluruhan. Jika proporsi jasa pelayanan tidak kurang
dari 30% dan tidak melebihi dari 50% dari total pendapatan maka masih memenuhi standar yang
telah ditetapkan oleh Menkes yaitu proporsi jasa pelayanan ditetapkan antara 30% - 50% dari
jumlah keseluruhan pembayaran klaim dari BPJS.
Dengan menggunakan metode ini maka akan sangat dirasakan subsidi silang insentif terhadap
seorang pemberi jasa layanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit (Revenue Centre).
Seorang Dokter X melakukan sebuah layanan dan ternyata memberi kontribusi selisih negatif
(defisit) terhadap rumah sakit antara pembayaran klaim BPJS dengan tarif RS, namun Dokter X
tersebut juga berhasil menyumbang selisih positif (surplus) untuk jenis pelayanan yang lainnya.
Maka terjadi subsidi silang menuju titik kesetimbangan (balance) yaitu jumlah insentif yang
diterima dengan berdasarkan pada tarif rumah sakit, BUKAN berdasarkan jumlah pembayaran
klaim BPJS. Metode ini tentu saja memiliki sisi kelebihan dan kekurangannya, yaitu :
Kelebihan :
1. Dokter atau penyumbang pendapatan lainnya tidak merasakan adanya penurunan penerimaan
jasa pelayanannya dengan adanya BPJS, sehingga tidak terjadi penolakan (resistensi) terhadap
program JKN ini.
2. Prinsip fee for services dan no services no pay membuat kinerja dokter tidak menurun.
3. RS mendapat peningkatan pendapatan dari Jasa Sarana (JS) yang akan dialokasikan untuk biaya
operasional dan pemeliharaan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanan-pelayanan atau menambah jumlah TT dengan adanya
"Surplus" Jasa Sarana tadi.
Kekurangan :
1. Dokter yang memberikan kontribusi terhadap "selisih negatif (defisit)" tidak akan merasakan
dampaknya karena tetap akan tersubsidi silang oleh dirinya sendiri pada pelayanan lainnya atau
dari dokter lain yang memberikan kontribusi berupa "selisih positif (surplus)".
2. Timbul "kecemburuan" sosial antara dokter yang sudah efisien melayani pasien dengan dokter
yang masih "jor-joran" atau relatif "boros" dalam memberikan pelayanan karena tidak
berpengaruh terhadap besaran insentif yang diterima sehingga seolah-olah tidak ada "sanksi"
terhadap dokter yang "boros" tersebut.
3. RS tidak mampu menaikkan posisi tawar (bergaining position) kepada dokter / penghasil
pendapatan lain yang cenderung in-efisien terhadap penggunaan sumber daya.
4. Prinsip kendali mutu dan kendali biaya tidak akan tercapai.
Ilustrasi :
Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan
pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-.
Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS
sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-.
Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa Pelayanan adalah 47 %. Maka
jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :
Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan pembayaran klaim BPJS seharusnya
dokter X tersebut "hanya" menghasilkan JP sebesar Rp 560.000,-, namun RS tetap membagikan
JP sebesar Rp 700.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS.
Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi
pendapatan kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun
jumlah pembayaran dari BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi "surplus" sebesar Rp
250.000,-, dengan ketentuan yang sama maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan
(JP) sebesar :
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa "seharusnya" JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut adalah
Rp 1.292.500,-, (lebih besar dari JP yang dihitung dengan tarif RS), akan tetapi RS tetap
membagikan JP sebesar Rp 1.175.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS.
Inilah yang disebut sistem Fee-For-Services, karena JP dihitung berdasarkan tarif RS dan "tidak
peduli" berapapun nilai pembayaran klaim dari BPJS.
Kelebihan :
1. Prinsip "untung dinikmati bersama, rugi ditanggung bersama" berlaku.
2. Dokter atau penyumbang pendapatan dituntut untuk berperan aktif dalam mengendalikan
biaya terkait dengan penyerapan sumber daya yang ada di RS.
3. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan "bonus" Jasa Pelayanan (JP) lebih tinggi
jika klaim yang dihasilkan lebih besar daripada tarif RS.
4. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan "hukuman" Jasa Pelayanan (JP) lebih
rendah jika klaim yang dihasilkan lebih kecil daripada tarif RS.
5. Manajemen dapat "memaksa" dokter untuk melakukan cost containment dan memberikan
pelayanan secara efisien.
6. Sanksi secara "sistem" terjadi jika terdapat pemberi pelayanan yang menyerap sumber daya
secara tidak efisien.
Kekurangan :
1. Dokter atau penyumbang pendapatan akan protes kepada manajemen jika merasa
penerimaan jasa pelayanannya turun meskipun harus diakui bahwa itu adalah akibat ke-tidak-
efisien nya dalam memberikan pelayanan.
2. Prinsip adanya subsidi silang pribadi kurang begitu dirasakan oleh Dokter atau penyumbang
pendapatan.
3. Seluruh pegawai akan menanggung semua beban "penurunan" jasa pelayanan akibat dari
perilaku satu atau dua orang dokter penyumbang pendapatan yang "boros".
4. Manajemen mengalami kesulitan dalam hal kecukupan dana untuk operasional dan
pemeliharaan.
5. Resiko adanya Obat dan BHP yang tidak "terbayarkan" secara penuh karena adanya konversi
negatif sehingga RS akan "nombok" untuk belanja obat dan BHP.
Ilustrasi :
Menggunakan ilustrasi yang sama dengan metode fee for services agar mudah diperbandingkan.
Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan
pendapatan rumah sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-.
Namun setelah dilakukan grouping dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS
sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-.
Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa Pelayanan adalah 47 %. Maka
jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :
Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan tarif RS seharusnya dokter X tersebut bisa
menghasilkan JP sebesar Rp 700.000,-, namun karena pembayaran dari klaim BPJS yang lebih
rendah, maka terjadilan "hukuman" dimana JP yang dibagikan hanya sebesar Rp 560.000,-
berdasarkan hasil konversi tarif RS ke jumlah pembayaran dari BPJS. Dan "sanksi" inipun tidak
hanya menimpa dokter atau penyumbang pendapatan lainnya, namun juga berdampak
"sistemik" kepada manajemen dan seluruh pegawai RS.
Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi
pendapatan kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun
jumlah pembayaran dari BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi "surplus" sebesar Rp
250.000,- dengan ketentuan yang sama, maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan
(JP) sebesar :
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa "seharusnya" JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut
berdaarkan tarif RS adalah "hanya" sebesar Rp 1.175.000,-, akan tetapi RS memberikan "hadiah"
atau "bonus" kepada dokter dan seluruh pegawai RS berupa besaran JP yang dibagikan adalah
Rp 1.292.000,- karena keberhasilan melakukan efisiensi sehingga nilai pembayaran klaim dari
BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan tarif RS.
Inilah yang disebut sistem proporsional dengan metode konversi, karena JP dihitung berdasarkan
konversi positif atau konversi negatif tarif RS terhadap nilai pembayaran klaim dari BPJS. Terlihat
bahwa prinsip "susah senang tetap bersama, untung dinikmati bersama dan rugi ditanggung
bersama".
Persoalan eksternal yaitu masih belum "real price" nya INA CBGs merupakan "keluhan nasional"
dan terus diupayakan untuk mengusulkan evaluasi serta revisi terhadap besaran tarif INA CBGs.
Sehingga yang bisa dilakukan oleh manajemen adalah memecahkan persoalan internal dengan
cara melakukan Utilisasi Review (UR) untuk mengetahui kasus-kasus yang "merugikan" RS
secara besar, melakukan cost containment, efisiensi penggunaan sumber daya serta perbaikan
mutu rekam medis.
Metode flat adalah metode penetapan prosentase tetap (Fixed Proprotional) oleh Direktur RS
terhadap 3 komponen tarif yang utama, yaitu : Biaya Obat dan BHP, Jasa Sarana dan Jasa
Pelayanan. Langkah pertama adalah dengan menghitung rata-rata biaya obat-obatan dan BHP
dalam tarif RS (Hospital Bill). Kenapa harus obat dan BHP ? Karena obat dan BHP merupakan
komponen yang sudah terukur dengan jelas dan menjadi beban RS harus "membayar" tagihan
obat dan BHP kepada penyedia (distributor). Sehingga pemenuhan alokasi dana untuk membayar
"hutang obat dan BHP" RS harus menjadi prioritas pertama selain Jasa Sarana yang menjadi
prioritas kedua dan baru kemudian Jasa Pelayanan (JP) sebagai prioritas terakhir. Langkah ini
memang berat dan sangat tidak nyaman karena sangat berpotensi menimbulkan "protes" dari
dokter atau penyumbang pendapatan lainnya yang berujung pada penurunan kinerja mereka dan
pada akhirnya akan makin menurunkan pendapatan total RS.
Direktur mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang porsentase (proporsi) pembagian dana dari
pembayaran klaim BPJS. Sebagai contoh, misalkan direktur berdasarkan hasil olah data rata-rata
proporsi penggunaan obat dan BHP terhadap tarif total RS adalah sebesar 25 %, maka 75 %
sisanya harus ditetapkan berapa porsi untuk Jasa Sarana (JS) dan untuk Jasa Pelayanan (JP).
Dikarenakan ada ketentuan dari Menkes bahwa proporsi JP adalah tidak boleh kurang dari 30 %
dan tidak boleh lebih dari 50 %, maka direktur RS bisa menetapkan terlebih dahulu proporsi untuk
JP misal ditetapkan sebesar 35 % sebagai JP (diambil prosentasi mendekati batas minimal)
sehingga sisanya sebesar 40 % adalah merupakan Jasa Sarana.
Perlu dipahami bahwa resiko "ketidakcukupan" alokasi dana untuk membayar hutang obat dan
BHP ke penyedia sangat mungkin terjadi karena angka yang didapat adalah angka rata-
rata (average) sehingga direktur harus melakukan evaluasi minimal setiap 3 bulan dan sangat
mungkin akan ada perubahan proporsi untuk Obat dan BHP dengan menggunakan kaidah
statistik misalkan error margin sebesar 5 %. Jadi proporsi obat dan BHP bisa berubah menjadi 30
% dan berdampak ada penurunan proporsi JS dan JP yang masing-masing diturunkan sebesar 2,5
% (JS menjadi 37,5 % dan JP menjadi 32,5 %).
Ilustrasi :
Direktur RS B menetapkan melalui SK Direktur, prosentase tetap (Fixed Proportion) untuk
pembagian dana dari pembayaran klaim BPJS adalah sebagai berikut : Jasa Sarana 40 %, Jasa
Pelayanan 35 % dan Biaya Obat dan BHP sebesar 25 %.
Akan timbul pertanyaan, mengapa pada tarif RS tidak ada proporsi obat dan BHP secara jelas ?
Kita bisa melihat dalam 2 metode sebelumnya memang selalu tidak muncul proporsi obat dan
BHP karena alokasi biaya untuk pembayaran obat dan BHP dimasukkan ke dalam komponen Jasa
Sarana (JS). Namun didalam metode flat ini, komponen proporsi obat dan BHP dituliskan secara
jelas karena merupakan komponen prioritas, sehingga pada metode ini ketika dihitung dengan
tarif RS, obat dan BHP "seolah-olah" menjadi satu ke dalam JS (Rp 787.500,-), namun ketika
dihitung berdasarkan jumlah pembayaran klaim dari BPJS, maka komponen obat dan BHP ini
dipisah sehingga memiliki proporsi yang jelas dan tetap.
C. Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini, sebuah pertanyaan menarik adalah "Benarkah RS yang
kerjasama dengan BPJS rugi ?". Saya mencoba mengangkat data pada medio 2014 ketika JKN
baru berjalan sekitar 4 bulan dan BELUM ada perubahan tarif INA CBGs.
Pada 1 April 2014, Kemenkes merilis data bahwa sejak diberlakukannya Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan hingga saat ini berjalan selama tiga bulan, hanya 11 Rumah Sakit (RS) atau sekitar 3 %
yang mengalami kerugian dalam melayani peserta JKN.
Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional V Jawa Barat menyampaikan data pada awal Maret bahwa
8 dari 9 RS yang bekerjasama dengan BPJS mendapatkan keuntungan sekitar 30 % sisa revenue.
RS yang merugi itu sangat mungkin adalah RS Privat atau Swasta, sedangkan untuk RS Pemerintah
belum ditemukan laporan adanya RS Pemerintah yang merugi dalam melayani peserta BPJS.
Memang seringkali yang selalu diangkat adalah case by case dan biasanya yang di "blow up"
adalah kasus yang merugi. Namun ketika membuka neraca keuangan RS dan melihat pendapatan
total RS secara keseluruhan ternyata RS tidak mengalami kerugian karena adanya mekanisme
subsidi silang.
Beberapa RS malah berhasil membukukan "laba" yang cukup signifikan. Bagaimana dengan RS
Privat ? Saya kurang tahu pasti, namun jika membaca paparan direktur RSIA Annisa Tangerang,
RS Al Islam Bandung, RS Islam Samarinda dan RS Nur Hidayah Bantul maka kemungkinan RS Privat
mendapatkan "profit margin" dalam melayani peserta BPJS masih terbuka lebar.
Tarif INA CBGs wajib dievaluasi dan harus direvisi, saya selalu mengatakan bahwa ada beberapa
komponen pelayanan RS yang belum "matching" dengan tarif INA CBGs seperti pelayanan-
pelayanan di ruang rawat "critical care" seperti ICU, CICU, PICU dan NICU yang menyerap
"resources" tinggi namun diberlakukan sebagai 1 episode perawatan dengan ruang rawatan
biasa. Hal ini tentu akan menimbulkan persoalan "imbalance" antara penggunaan sumber daya
dengan penggantian biaya oleh BPJS.
Namun, tidak bijakssana juga selalu menganggap bahwa melayani peserta BPJS maka RS pasti
merugi. Memang ada RS yang merugi namun data berbicara bahwa masih banyak juga RS yang
mendapatkan "laba". Nah ketika RS sudah berhasil mendapatkan keuntungan berdasarkan
pendapatan total RS, maka pilihan untuk membagi insentif dari Jasa Pelayanan ada beberapa
alternatif yang bisa diambil. Semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Perlu pertimbangan jajaran direksi RS dalam memilih metode yang akan dipergunakan dengan
memperhatikan situasi dan kondisi serta kearifan budaya lokal.
Kebijakan Bobot pendapatan penerima jasa pelayanan dan nilai bobot lainnya ditetapkan
sebagai berikut :
1. Nilai bobot 1 dihitung dari sisa alokasi langsung dibagi jumlah pegawai yang mendapatkan
remunerasi;
2. Bobot pendapatan direktur dihitung dari total jasa pelayanandikalikan 5% - 6% dibagi nilai
bobot 1 ditambah minimal 15 poin;
3. Bobot pendapatan masing-masing wakil direktur dihitung dari total jasa
pelayanan dikalikan 2% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 10 poin;
4. Bobot pendapatan masing-masing kabid atau manager dihitung dari total jasa remunerasi
dikalikan 1,4% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 5 poin ;
5. bobot pendapatan masing-masing kasubid/sub manager/koordinator dihitung dari total
jasa remunerasi dikalikan 0,65% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 2,5 pon;
6. bobot pendapatan masing-masing dokter spesialis dihitung dari jumlah income masing-
masing dokter dikalikan 50% dibagi nilai bobot 1 ditambah minimal 10 poin;
7. bobot pendapatan masing-masing dr. Umum dan dokter gigidihitung dari jumlah
income masing-masing dokter umum atau dokter gigi dikalikan 50% dibagi nilai
bobot 1 ditambah minimal5 poin;
8. Bobot pendapatan masing-masing apoteker, setara dengan rata-rata bobot pendapatan
dokter umum ditambah minimal 2 poin;
9. Bobot pendapatan masing-masing perawat /bidan /penunjang medik, dihitung
dari income perawat/bidan/penunjang medikdibagi nilai bobot 1
ditambah minimal 1,5 poin dikalikan jumlah pegawai dalam unit kerjanya atau dengan cara
perhitungan bobot lainnya;
10. Bobot pendapatan masing-masing staf farmasi setara dengan rata-rata bobot
perawat ditambah 1 poin atau dengan cara perhitungan bobot lainnya;
11. Bobot pendapatan staf admin atau tenaga lainnya, minimal 1,25poin ditambah minimal 0,
5poin dikalikan jumlah pegawai dalam unit kerjanya atau dengan cara perhitungan bobot lainnya;
dan
12. bobot tambahan masing-masing tenaga fungsional/ tenaga non fungsional atau tenaga
lainnya yang mendapat tugas khusus di luar tugas pokok dan fungsinya atau tugas khusus
lainnya:
a. minimal 0,4 poin; dan
b. maksimal 2 poin.
1. Masukkan alokasi jasa jasa direktur dan pejabat lainnya ke Pola Pembagian Jasa
2. Masukan hasil perhitungan PIJM ke pola pembagian jasa à tentukan persentase yang
didapat.
3. Masukan prosentase KBS dan nilainya
4. Hitung sisa alokasi jasa pelayanan (TTLJP – JPPJBT – JM - KBS = N)
5. Hitung nilai bobot 1 ( sisa alokasi dibagai jml pegawai)
1. Masukan nominal jasa pejabat (dir, wakil dan lainnya), tentukan bobot pendapatannya
2. Masukkan nominal Jasa Medis (JM) per orang, tentukan nilai bobot per orang
3. Masukkan nominal Jasa Pelayanan unit kerja, tentukan nilai bobot per orang,
4. Masukkan nominal Jasa Pelayanan non nakes/admin, tentukan nilai bobot per orang,
bilamana mengalami kesulitan lakukan pengisian langsung pada bobot pendapatan per orang.
3. BP Prwt/org
diketahui income Ruang Mawar 21.000.000
jumlah perawat Ruang Mawar 12 orang
Convert ke bobot = income Ruang Mawar : NBB1 : Jml Prwt + 1,5 poin
21.000.000 : 700.000 30
12
2,5 Poin 1,5 poin 4,0 poin 2.800.000
BBT/Org SPM BPII