FARIDA ATMAWATI
1. https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-penganiayaan-dan-pembunuhan-salim-kancil
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo
3. https://nasional.tempo.co/read/383313/kpai-lagi-penyiksaan-di-penjara-anak
Setelah anda membaca dengan teliti, kerjakanlah tugas berikut ini:
1. identifikasi hak-hak apa saja yang terlanggar pada peristiwa-peristiwa yang diberitakan tersebut.
2. identifikasi instrument HAM nasional yang mana saja yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
tersebut.
3. buatlah analisis saudara tentang apa saja penyebab pelanggaran HAM tersebut dan bagaimana
keterlibatan negara atau pemerintah pada peristiwa tersebut.
JAWABAN :
"Terganggunya kegiatan pertanian sebagai mata pencarian warga, rusaknya jalan desa akibat
lalu lalang truk pengangkut pasir, kegagalan pihak kepolisian dalam melindungi dan merespon
penolakan warga. Bentuk terakhir, intimidasi dan ancaman kepada warga penolak tambang
hingga penyiksaan serta pembunuhan terhadap aktivis antitambang.
Berikut bentuk-bentuk perbuatan (type of acts) pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa
tersebut:
Markas Besar Kepolisian dan Polda Jawa Timur, terus memeriksa tiga anggota Polsek
Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, tersebut. Ketiganya adalah: Mantan Kapolsek, AKP S;
Babinkamtibmas, Aipda SP; dan Kanit Reskrim, Ipda SH. Ketiganya diduga menerima gratifikasi
dari Kepala Desa, Hariyono, yang saat ini menjadi tersangka pembunuhan Salim, serta pelaku
penambangan liar. Selain itu, melakukan pembiaran saat terjadi penganiayaan yang
menewaskan Salim dan melukai Tosan.
Sesungguhnya tak hanya pembiaran, lebih tepat bila disebut negara absen, saat Salim
dibunuh dan Tosan dianiaya. Negara yang direpresentasikan oleh Kepolisan Negara RI, serta
Kepala Desa, sudah bisa menduga peristiwa itu akan terjadi. Keduanya tahu, konflik pendukung
dan penentang tambang pasir, tapi tak ada antisipasi. Polisi bahkan sudah menerima laporan
adanya ancaman pembunuhan terhadap aktivis antitambang, namun tak bergerak. Negara
telah gagal melindungi rakyatnya.
Fakta itu menurut Komnas HAM sudah merupakan bukti permulaan yang cukup untuk
menduga terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana dijamin di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan HAM.
Pertanyaan besar memang layak diajukan kepada Pemkab dan DPRD Lumajang. Kenapa
Pemkab diam saja dan DPRD tidak mengawasi ketika angka pendapatan pajak tambang galian C
terus turun drastis dari tahun ke tahun. Pada 2010, mencapai Rp5,17 miliar. Menjadi Rp3,29
miliar pada 2011; Anjlok menjadi Rp2,59 miliar pada 2012: Merosot ke Rp2,11 miliar pada
tahun berikutnya, bahkan pada 2014 tinggal Rp75 juta.
Sementara faktanya, penambangan pasir di Lumajang sangat banyak pelakunya. Di
pesisir selatan Lumajang terdapat 61 izin tambang pasir besi dan nonbesi, yang tersebar di 32
desa dalam 8 kecamatan. Namun yang berizin ini diperkirakan hanya 20 persen. Sisanya 80
persen adalah tambang ilegal yang pengelolaannya melibatkan aparat setempat. Pasir di pesisir
Selatan Lumajang memang berlimpah. Dari Sungai Glidik, Mujur, dan Rejali yang bermuara ke
situ, membawa 14,8 juta meter kubik material vulkanik dari Gunung Semeru.
Penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar, konon mencapai 300 truk per hari.
Dengan asumsi kapasitas per truk 8 ton, sebanyak 2.400 ton pasir besi ditambang dalam sehari.
Namun, penambangan itu tak menyejahterakan warga di situ, karena sebagian besar
penduduknya adalah petani.
Mereka justru menuding penambangan itulah yang menjadi penyebab pertanian mereka rusak.
Musababnya, yang ditambang tak hanya sedimen di sungai melainkan gumuk pasir (bukit kecil)
di muara sungai, ikut diratakan. Akibatnya air laut masuk ke lahan-lahan pertanian mereka.
Mencegah kerusakan lingkungan, inilah, yang menjadi awal perjuangan Salim bersama para
petani Desa Selok Awar-Awar.
Upaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengevaluasi 900 izin tambang di provinsi itu,
setelah tragedi Salim, boleh diapresiasi. Namun, tanpa langkah lebih lanjut, upaya tersebut
hanya menjadi reaksi sesaat tanpa manfaat. Tanpa memperbaiki mekanisme pengawasan dan
pelaporan yang transparan, otoritas yang melekat pada aparat negara di daerah, justru
menjadikan mereka raja-raja kecil. Mereka, memikirkan kemewahan dirinya, bukan apa yang
bisa dijadikan penghasilan negara. Bukan pula kesejahteraan rakyat. Dan mereka bisa jadi
bengis, menganiaya bahkan membunuh rakyat yang menentangnya.
Lalu pemerintah pusat terkaget-kaget ketika semua telah terjadi, tanpa menyadari negara
absen saat rakyat membutuhkannya.
Komnas HAM juga menyebutkan bahwa dalam konteks bencana lumpur di Porong
Sidoarjo itu, pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab juga telah melanggar hak-hak
kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, dan perempuan.
Terbukti di lapangan, tidak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil serta tidak ada jaminan
keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual
karena tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita. "Dengan terlanggarnya hak-hak
para korban lumpur tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka untuk memperoleh
jaminan sosial juga tidak dipenuhi sama sekali
Opsi kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai
tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali,
memiliki potensi volume penampungan lumpur panas yang cukup besar.
Pemerintah akan bertanggung jawab atas seluruh dampak semburan lumpur Lapindo di
Sidoarjo kecuali ganti rugi lahan dan rumah rakyat. Biaya untuk tanggung jawab itu diambil dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Peran pemertintah sudah cukup maksimal dalam penanganan kasus Banjil Lumpur
Lapindo ini. Selanjutnya alangkah baiknya jika setiap ada proyek terlebih dahulu dilakukan
penelitian secara mendalam bagaimana dampak terhadap lingkungan dalam jangka panjang
Kekerasan, hal yang harusnya tidak ditujukan untuk anak kecil karena anak kecil masih
perlu tumbuh dan berkembang. Apa yang akan terjadi jika anak tersebut tinggal di lingkungan
yang penuh dengan tindak kekerasan? Tentunya hanya menumbuhkan bibit untuk melakukan
kekerasan saat dia besar nanti. Rantai setan ini perlu dihentikan sebelum generasi masa depan
bangsa terkena “virus” ini.
Kekerasan pada anak jelas-jelas mencoreng HAM karena jelas-jelas hak anak untuk
hidup bebas dari kekerasan dilanggar. Tentu anak yang menjadi korban kekerasan ini pasti akan
mendapatkan luka mental yang dapat menyebabkan kejadian yang menimpanya dia lampiaskan
pada anaknya kelak. Tentu hal ini amat sangat berbahaya karena akan menimbulkan generasi
yang “mencintai” kekerasan.
Kekerasan sendiri merupakan bibit penghancur negara ini karena melawan pancasila
sebagai dasar negara. Oleh karena itu hak anak untuk bebas dari kekerasan harus lebih
dipertegas di Indonesia agar mengurangi tindak kekerasan pada anak. Masa depan anak yang
menjadi korban kekerasan sendiri bisa kurang baik karena luka-luka fisik dan non-fisik. Luka fisik
dapat menyebabkan anak itu malu untuk bergaul karena bisa saja luka yang dia alami sampai
membuat dirinya menjadi cacat. Sedangkan luka non-fisik bisa saja membuat anak tersebut
menjadi tidak stabil mentalnya sehingga bisa saja dia menjadi pembunuh di masa yang akan
datang karena pengalaman buruk yang dia alami saat dia menjadi korban kekerasan tersebut.
Hal-hal yang harus dilakukan untuk mengurangi kasus ini adalah dengan mendidik siswa
dari taman kanak-kanak hingga dewasa nanti agar menjauhi apa yang disebut tindak kekerasan
karena kekerasan hanya akan menjadi “virus” yang dengan mudah akan menular. Lalu
sosialisasi juga wajib dilakukan ke para orang tua agar tidak meluapkan emosinya kepada
anaknya atau keluarganya yang lain karena jika anaknya melihat tindak kekerasan bisa saja anak
itu meniru tindakan orang tuanya itu sehingga anak itu melakukan kekerasan kelak di masa
yang akan datang.
Untuk mencegah kasus ini bisa juga dilakukan dengan merehabilitasi para korban kekerasan
sehingga mereka tidak akan “membalas dendam” ke anaknya kelak dan malah menjadikan
pengalaman pahit itu sebagai pelajaran bahwa tindak kekerasan itu salah, dengan begitu
korban tersebut tidak akan melakukan tindak kekerasan kepada anaknya atau temannya kelak.
Pengurangan tontonan kekerasan di TV-TV lokal juga bisa menjadi solusi karena bisa saja anak
belajar kekerasan dari film atau tontonan yang mereka saksikan di TV.