Anda di halaman 1dari 7

TUGAS M4 KB 4

FARIDA ATMAWATI

1. https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-penganiayaan-dan-pembunuhan-salim-kancil
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo
3. https://nasional.tempo.co/read/383313/kpai-lagi-penyiksaan-di-penjara-anak
Setelah anda membaca dengan teliti, kerjakanlah tugas berikut ini:
1. identifikasi hak-hak apa saja yang terlanggar pada peristiwa-peristiwa yang diberitakan tersebut.
2. identifikasi instrument HAM nasional yang mana saja yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
tersebut.
3. buatlah analisis saudara tentang apa saja penyebab pelanggaran HAM tersebut dan bagaimana
keterlibatan negara atau pemerintah pada peristiwa tersebut.

JAWABAN :

Penganiayaan dan Pembunuhan Salim Kancil


"Ada dua jenis pelanggaran HAM yang termasuk dalam kategori berat. Disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida (perbuatan
yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok, ras, agama
Dalam kasus ini telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia karena menghilangkan hak hidup
seseorang. Maka berdasarkan kronologis kejadian, kasus yang dialami oleh Salim Kancil
merupakan pelanggaran HAM berat karena termasuk ke dalam kategori kejahatan
kemanusiaan.
Sejumlah pelanggaran HAM tersebut antara lain, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak
atas kesehatan, hak atas air bersih, hak atas pekerjaan, hak atas pangan, hak atas pemukiman
yang baik, hak atas pelayanan publik, hak atas penikmatan warisan budaya, hak atas rasa aman,
hak atas kebebasan berekspresi dan beropini, hak untuk berkumpul dan berserikat, hak untuk
tidak mengalami penyiksaan dan tindakan keji lainnya, hingga hilangnya hak hidup yang dialami
Salim Kancil.

"Terganggunya kegiatan pertanian sebagai mata pencarian warga, rusaknya jalan desa akibat
lalu lalang truk pengangkut pasir, kegagalan pihak kepolisian dalam melindungi dan merespon
penolakan warga. Bentuk terakhir, intimidasi dan ancaman kepada warga penolak tambang
hingga penyiksaan serta pembunuhan terhadap aktivis antitambang.
Berikut bentuk-bentuk perbuatan (type of acts) pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa
tersebut:

1. Hak untuk hidup


Sesuai dengan data yang ada, terdapat korban yang meninggal dunia atas nama Salim
Kancil akibat mengalami tindak kekerasan yang berujung pada kehilangan hak untuk hidup.
Berdasarkan hal tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang
merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights)
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 dan 9 UU 39 Tahun 1999
tentang HAM serta Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-hak Sipik dan Politik yang
telah diratifikasi melalui UU 12 Tahun 2005.
2. Hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam
Tidak ada manusia yang diizinkan untuk merendahkan martabat. Pada peristiwa tersebut
korban baik Salim Kancil maupun Tosan mengalami tindak kekerasan antara lain, dipukul
dengan benda tajam, batu dan sebagainya serta distrum di hadapan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana
dijamin Pasal 33 ayat (1) UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 UU 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 16 ayat (1) UU 5
Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusia atau Merendahkan Martabat Manusia.
3. Hak untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang
Pada saat peristiwa, korban Salim Kancil dilakukan penangkapan oleh sejumlah orang yang
tidak mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk melakukan penangkapan. Sehingga terjadi
tindakan penangkapan secara sewenang-wenang. Hal tersebut telah mengakibatkan
terjadinya pelanggaran HAM, khususnya hak untuk tidak ditangkap secara sewenang-
wenang sebagaimana dijamin dalam Pasal 34 dan 9 ayat (1) UU 39 Tahun 1999.
4. Hak atas rasa aman
Peristiwa ini telah menyebabkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh
keluarga korban serta masyarakat sekitar juga, terutama bagi pembela HAM. Berdasar hal
tersebut maka telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman sebagaimana dijamin Pasal
28G ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 30 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM.
5. Hak anak
Dalam peristiwa kekerasan tersebut, pelaku melakukan tindakan kekerasan di depan anak
Salim yang masih berusia 15 tahun. Selain itu, dalam peristiwa kekerasan bertempat di
Kantor Pemerintah Desa Selok Awar-Awar dilakukan di depan sekolah PAUD. Berdasarkan
hal tersebut, maka telah terjadi pelanggaran HAM sebagaimana dijamin dlm Pasal 28 B
ayat (2) UUD45 jo Pasal 52 ayat (1) jo Pasal 63 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, jo Pasal 4
jo Pasal 15 huruf c dan d, jo Pasal 16 ayat (1) UU 23 Tahun 2002 tentang PerlinduN
BXZGZngan Anak, jo Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 37 huruf a Keppres 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Kovenan Perlindungan Hak Anak.

Markas Besar Kepolisian dan Polda Jawa Timur, terus memeriksa tiga anggota Polsek
Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, tersebut. Ketiganya adalah: Mantan Kapolsek, AKP S;
Babinkamtibmas, Aipda SP; dan Kanit Reskrim, Ipda SH. Ketiganya diduga menerima gratifikasi
dari Kepala Desa, Hariyono, yang saat ini menjadi tersangka pembunuhan Salim, serta pelaku
penambangan liar. Selain itu, melakukan pembiaran saat terjadi penganiayaan yang
menewaskan Salim dan melukai Tosan.

Sesungguhnya tak hanya pembiaran, lebih tepat bila disebut negara absen, saat Salim
dibunuh dan Tosan dianiaya. Negara yang direpresentasikan oleh Kepolisan Negara RI, serta
Kepala Desa, sudah bisa menduga peristiwa itu akan terjadi. Keduanya tahu, konflik pendukung
dan penentang tambang pasir, tapi tak ada antisipasi. Polisi bahkan sudah menerima laporan
adanya ancaman pembunuhan terhadap aktivis antitambang, namun tak bergerak. Negara
telah gagal melindungi rakyatnya.

Fakta itu menurut Komnas HAM sudah merupakan bukti permulaan yang cukup untuk
menduga terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana dijamin di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan HAM.
Pertanyaan besar memang layak diajukan kepada Pemkab dan DPRD Lumajang. Kenapa
Pemkab diam saja dan DPRD tidak mengawasi ketika angka pendapatan pajak tambang galian C
terus turun drastis dari tahun ke tahun. Pada 2010, mencapai Rp5,17 miliar. Menjadi Rp3,29
miliar pada 2011; Anjlok menjadi Rp2,59 miliar pada 2012: Merosot ke Rp2,11 miliar pada
tahun berikutnya, bahkan pada 2014 tinggal Rp75 juta.
Sementara faktanya, penambangan pasir di Lumajang sangat banyak pelakunya. Di
pesisir selatan Lumajang terdapat 61 izin tambang pasir besi dan nonbesi, yang tersebar di 32
desa dalam 8 kecamatan. Namun yang berizin ini diperkirakan hanya 20 persen. Sisanya 80
persen adalah tambang ilegal yang pengelolaannya melibatkan aparat setempat. Pasir di pesisir
Selatan Lumajang memang berlimpah. Dari Sungai Glidik, Mujur, dan Rejali yang bermuara ke
situ, membawa 14,8 juta meter kubik material vulkanik dari Gunung Semeru.

Penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar, konon mencapai 300 truk per hari.
Dengan asumsi kapasitas per truk 8 ton, sebanyak 2.400 ton pasir besi ditambang dalam sehari.
Namun, penambangan itu tak menyejahterakan warga di situ, karena sebagian besar
penduduknya adalah petani.

Mereka justru menuding penambangan itulah yang menjadi penyebab pertanian mereka rusak.
Musababnya, yang ditambang tak hanya sedimen di sungai melainkan gumuk pasir (bukit kecil)
di muara sungai, ikut diratakan. Akibatnya air laut masuk ke lahan-lahan pertanian mereka.

Mencegah kerusakan lingkungan, inilah, yang menjadi awal perjuangan Salim bersama para
petani Desa Selok Awar-Awar.

Upaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengevaluasi 900 izin tambang di provinsi itu,
setelah tragedi Salim, boleh diapresiasi. Namun, tanpa langkah lebih lanjut, upaya tersebut
hanya menjadi reaksi sesaat tanpa manfaat. Tanpa memperbaiki mekanisme pengawasan dan
pelaporan yang transparan, otoritas yang melekat pada aparat negara di daerah, justru
menjadikan mereka raja-raja kecil. Mereka, memikirkan kemewahan dirinya, bukan apa yang
bisa dijadikan penghasilan negara. Bukan pula kesejahteraan rakyat. Dan mereka bisa jadi
bengis, menganiaya bahkan membunuh rakyat yang menentangnya.
Lalu pemerintah pusat terkaget-kaget ketika semua telah terjadi, tanpa menyadari negara
absen saat rakyat membutuhkannya.

Banjir lumpur panas Sidoarjo


Adapun beberapa pelanggaran HAM tersebut antara lain hak untuk hidup. Berdasarkan
temuan Komnas HAM, pemerintah gagal untuk memenuhi hak atas standar dan lingkungan
hidup yang layak. "Tercatat pada tanggal 3 Desember 2008, satu pengungsi bernama Ibu Jumik
meninggal karena sakit dan tanpa bantuan, baik dari pemerintah maupun perusahaan Lapindo
Brantas, Inc, sebagai perusahaan yang bertanggung jawab. Pelanggaran lainnya adalah dalam
hal hak atas informasi. Hal ini ditekankan pada informasi yang tidak sampai kepada masyarakat
terkait proyek pengeboran yang dilakukan, kemudian hak atas rasa aman terhadap ancaman
jebolnya tanggul penahan lumpur yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan rumah-rumah
penduduk. "Dalam hal ini, pemerintah juga tidak membuat sistem peringatan dini (early
warning system). Ditambah lagi dengan munculnya gelembung-gelembung gas yang berpotensi
menyebabkan kebakaran," tambahnya. Tidak hanya itu, bencana lumpur Lapindo di Porong
Sidoarjo tersebut juga menghilangkan hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas
pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, juga hak pendidikan. "Karena bencana lumpur
tersebut, tercatat 2.288 orang berhenti bekerja akibat pabrik-pabrik tempat mereka bekerja
sudah tidak beroperasi. Kemudian ada 1.774 siswa SD, SMP, SMA, dan pondok pesantren
kehilangan tempat belajar karena sekolah mereka tergenang lumpur," tambah Ifdhal. Komnas
HAM juga mencatat, akibat bencana lumpur tersebut, para korban kehilangan hak
kesejahteraan (hak milik) atas aset-aset mereka yang hilang direnggut lumpur. Hal ini juga
berimplikasi terhadap hilangnya hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. "Hilangnya
properti membuat korban berhalangan untuk menyalurkan kebutuhan biologis serta naluri
reproduksinya, apalagi di tempat pengungsian tidak ada tempat yang layak.

Komnas HAM juga menyebutkan bahwa dalam konteks bencana lumpur di Porong
Sidoarjo itu, pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab juga telah melanggar hak-hak
kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, dan perempuan.
Terbukti di lapangan, tidak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil serta tidak ada jaminan
keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual
karena tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita. "Dengan terlanggarnya hak-hak
para korban lumpur tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka untuk memperoleh
jaminan sosial juga tidak dipenuhi sama sekali

Sebenarnya pemerintah telah melakukan penanggulangan, seperti membuat


tanggul dan kemudian membuat waduk dengan beton. Ada dua opsi yang bisa dipilih jikalau
penanggulangan tidak bisa dilakukan lagi.

Opsi pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi semburan


dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan
sedikit upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut
agar daya tampungnya menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar
waduk diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara
semburan lumpur secara terus menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.

Opsi kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai
tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali,
memiliki potensi volume penampungan lumpur panas yang cukup besar.

Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat


keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yaitu
Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres itu disebutkan, tim dibentuk untuk
menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan
menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin
Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan
Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh
biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT
Lapindo Brantas.Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal total
walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah.
Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang
lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya
peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter
kubik per hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian
semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain,
seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.

Pemerintah akan bertanggung jawab atas seluruh dampak semburan lumpur Lapindo di
Sidoarjo kecuali ganti rugi lahan dan rumah rakyat. Biaya untuk tanggung jawab itu diambil dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Distribusi kebijakan penanggulangan lumpur lapindo menghasilkan beberapa pepres


sebagai pedoman BPLS. Pembayaran ganti rugi kepada korban dibagi menjadi dua, dimana
Lapindo menanggung korban di dalam PAT sedangkan BPLS diluar PAT dengan menggunakan
dana APBN. Pihak yang diuntungkan dalam hal ini adalah Lapindo, mengingat semburan lumpur
berasal dari lokasi pengeboran, namun pemerintah ikut serta dalam proses pemberian ganti
rugi. Sedangkan pihak yang dirugikan adalah warga yang dalam PAT karena tidak mendapatkan
ganti rugi yang sesuai harga bangunan sekarang.

Peran pemertintah sudah cukup maksimal dalam penanganan kasus Banjil Lumpur
Lapindo ini. Selanjutnya alangkah baiknya jika setiap ada proyek terlebih dahulu dilakukan
penelitian secara mendalam bagaimana dampak terhadap lingkungan dalam jangka panjang

KPAI: Lagi, Penyiksaan di Penjara Anak


Kekerasan Pada Anak, Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Merusak Masa Depan.
Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi”. Berdasarkan
pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap anak berhak hidup, tubuh dan
berkembang tanpa kekerasan dan diskriminasi. Pada post saya kali ini saya hanya akan
mengupas tentang hak anak untuk bebas dari tindak kekerasan karena banyak sekali kasus
kekerasan pada anak.

Kekerasan, hal yang harusnya tidak ditujukan untuk anak kecil karena anak kecil masih
perlu tumbuh dan berkembang. Apa yang akan terjadi jika anak tersebut tinggal di lingkungan
yang penuh dengan tindak kekerasan? Tentunya hanya menumbuhkan bibit untuk melakukan
kekerasan saat dia besar nanti. Rantai setan ini perlu dihentikan sebelum generasi masa depan
bangsa terkena “virus” ini.

Kekerasan pada anak jelas-jelas mencoreng HAM karena jelas-jelas hak anak untuk
hidup bebas dari kekerasan dilanggar. Tentu anak yang menjadi korban kekerasan ini pasti akan
mendapatkan luka mental yang dapat menyebabkan kejadian yang menimpanya dia lampiaskan
pada anaknya kelak. Tentu hal ini amat sangat berbahaya karena akan menimbulkan generasi
yang “mencintai” kekerasan.

Kekerasan sendiri merupakan bibit penghancur negara ini karena melawan pancasila
sebagai dasar negara. Oleh karena itu hak anak untuk bebas dari kekerasan harus lebih
dipertegas di Indonesia agar mengurangi tindak kekerasan pada anak. Masa depan anak yang
menjadi korban kekerasan sendiri bisa kurang baik karena luka-luka fisik dan non-fisik. Luka fisik
dapat menyebabkan anak itu malu untuk bergaul karena bisa saja luka yang dia alami sampai
membuat dirinya menjadi cacat. Sedangkan luka non-fisik bisa saja membuat anak tersebut
menjadi tidak stabil mentalnya sehingga bisa saja dia menjadi pembunuh di masa yang akan
datang karena pengalaman buruk yang dia alami saat dia menjadi korban kekerasan tersebut.

Hal-hal yang harus dilakukan untuk mengurangi kasus ini adalah dengan mendidik siswa
dari taman kanak-kanak hingga dewasa nanti agar menjauhi apa yang disebut tindak kekerasan
karena kekerasan hanya akan menjadi “virus” yang dengan mudah akan menular. Lalu
sosialisasi juga wajib dilakukan ke para orang tua agar tidak meluapkan emosinya kepada
anaknya atau keluarganya yang lain karena jika anaknya melihat tindak kekerasan bisa saja anak
itu meniru tindakan orang tuanya itu sehingga anak itu melakukan kekerasan kelak di masa
yang akan datang.

Untuk mencegah kasus ini bisa juga dilakukan dengan merehabilitasi para korban kekerasan
sehingga mereka tidak akan “membalas dendam” ke anaknya kelak dan malah menjadikan
pengalaman pahit itu sebagai pelajaran bahwa tindak kekerasan itu salah, dengan begitu
korban tersebut tidak akan melakukan tindak kekerasan kepada anaknya atau temannya kelak.
Pengurangan tontonan kekerasan di TV-TV lokal juga bisa menjadi solusi karena bisa saja anak
belajar kekerasan dari film atau tontonan yang mereka saksikan di TV.

Anda mungkin juga menyukai