Hukum kontrak adalah bagian dari hukum privat. Hukum ini memusatkan
perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self
imposed obligation). Dipandang sebagai bagian hukum privat karena
pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak,
murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak
ejak abad 19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai
pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh hal-hal berikut :
Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain[4]. Namun prinsip kebebasan
berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip
dasar pembentukan kontrak.
Makna “kebebasan berkontrak” harus dihindarkan dari makna bebasnya
para pihak membentuk hukumnya sendiri. Menurut Sudargo Gautama,
para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat
undang-undang bagi diri mereka. Mereka hanya diberikan kebebasan
untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak mereka gunakan
sebagai dasar dari kontrak yang dibentuknya[5].
Akibat hukum penetapan suatu kontrak adalah terikatnya para pihak untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan kontrak sebagaimana yang
diperjanjikan didalam kontrak, termasuk menerima segala akibat yang
timbul dari penerapan kontrak tersebut. Jika suatu pihak menandatangani
kontrak, ia dianggap menyetujui isi kontrak itu, dan dengan demikian juga
dianggap setuju untuk terikat dan menerima akibat-akibat pelaksanaan
kontrak tersebut. Oleh karena itu, mengetahui secara tepat aspek-aspek
permasalahan materi kontrak adalah hal yang sangat penting dalam proses
pembentukan kontrak. Kesadaran terhadap kelalaian yang merugikan yang
timbul setelah terbentuknya kontrak adalah hal yang sama sekali tidak
berguna. Pihak yang lalai terhadap aspek-aspek kepentingannya, yang
setelah kontrak terbentuk didasari sebagai sesuatu yang merugikan
kedudukannya, adalah hal yang tidak dapat digunakan sebagai alasan
untuk membatalkan kontrak. Oleh karena itu penguasaan informasi
selengkap-lengkapnya tentang mitra bisnis, obyek kontrak, serta aspek-
aspek lain yang berpengaruh terhadap substansi kontrak adalah hal yang
sangat penting dalam pembentukan sebuah kontrak.
d. Kemampuan bernegosiasi;
b. Deterrence[17]
Melakukan tindakan pencegahan, yaitu dengan membuat suatu
kebijakan politik yang sangat kuat dan meningkatkan effektivitas
kemampuan militer, beserta dengan penggunaan diplomasi politik kepada
negara – negara yang dianggap bersebrangan untuk membujuk tidak
mencari senjata pemusnah masal dan menggunakan senjata pemusnah
masal.
2. Multilateral regimes[20]
Amerika Serikat mendukung penuh system – system yang telah ada yang
berkaitan dengan senjata pemusnah masal, diantaranya pengaturan
berupa konvensi – konvensi dalam bidang nuklir, kimia, biologi dan rudal;
1. c. Korea Utara
Korea Utara telah mencoba untuk memperoleh senjata nuklir sejak akhir
tahun 1970 – an. Krisis kembali menjadi pembicaraan utama di tahun 2002
setelah Korea utara yang dianggap sebagai ”axis of evil” oleh Amerika
Serikat dan setelah Pyongyang mengungkapkan bahwa telah menjalankan
suatu program senjata nuklir secara diam – diam yang melanggar Nuclear
Non – Proliferation Treaty (NPT) dan pakta nuklir antara Amerika Serikat –
Korea Utara. [44]
Nuclear Non – Proliferation Treaty (NPT) menyebutkan hanya
lima ”Negara Senjata Nuklir” ( Nuclear Weapons States/ NWS) yang di ijinkan
memiliki senjata nuklir , lima NWS tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris,
Rusia, Republik Rakyat China, dan Perancis. 188 Negara – negara lain
yang menandatangani perjanjian tersebut sama sekali tidak diijinkan
memiliki maupun mengembangkan senjata nuklir.
Korea telah terpecah menjadi dua bagian sejak tahun 1948. Antara
Korea Utara dan Korea Selatan secara resmi masih berperang.
Penyebaran identitas kedua Amerika Serikat di Semenanjung Korea dan
militer Amerika Serikat menimbulkan daerah Korea bebas militer yang
harus dihargai oleh Korea Utara sebagai markat angkatan perang. [45]
Suatu dokumen yang dibocorkan pada maret 2001 memperlihatkan
rencana Amerika Serikat akan menggunakan senjata nuklir melawan Korea
Utara, sehingga membuat Korea Utara mengajukan usul kepada Amerika
Serikat untuk membuat pakta persetujuan non – agresi yang kemudian
usul tersebut ditolak oleh Amerika Serikat. Berdasarkan fakta ini, maka
Korea Utara merasa perlu membuat program senjata nuklir untuk melawan
agresi yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat.[46]
Perhatian fokus pada dua reaktor nuklir yang terdapat di Yongbyon,
kedua reaktor merupakan pembangkit yang memiliki daya lemah yang
menggunakan Magnox teknologi. Reaktor yang lebih kecil (5MWe)
diselesaikan pada tahun 1986 dan sejak saat itu mampu memproduksi dan
menyimpan 8000 perangkat bahan bakar. Pembangunan dari reaktor yang
lebih besar (50MWe) dibangun pada tahun 1984 tetapi hingga tahun 2003
masih belum diselesaikan.reaktor yang lebih besar ini didasarkan pada
cetak biru reaktor tenaga Calder Hall yang digunakan untuk memproduksi
plutonium bagi Program Senjata Nuklir Inggris. [47]
Pada tanggal 12 Maret 1993, Korea Utara menyatakan rencana untuk
menarik diri dari perjanjian The Nuclear of Non – Proliferation dan
menolak mengijinkan pengawas mengakses lokasi nuklirnya. Pada tahun
1994, Amerika Serikat meyakini bahwa Korea Utara telah mempunyai
cukup plutonium untuk menghasilkan sekitar 10 bom dengan jumlah
plutonium yang semakin meningkat. Menghadapi tekanan diplomatik dan
ancaman dari penyerangan militer Amerika Serikat terhadap reaktor, Korea
Utara setuju untuk membuka program plutoniumnya sebagai bagioan dari
kerangka kerjasama dimana Korea Selatan dan Amerika Serikat bersedia
menyediakan Light Water reactors dan bahan bakar minyak sampai kedua
reaktor dapat diselesaikan, [48] dengan penundaan program plutoniumnya,
Korea Utara yang diam – diam memulai program untuk membuat sebuah
bom yang berbahan dasar Uranium, Pakistan, negara yang mengadakan
pengembangan teknologi nuklir, memberikan kunci teknologi dan informasi
kepada Korea Utara untuk ditukarkan dengan missil yang akan digunakan
dalam konflik India – Pakistan sekitar tahun 1997. Fakta disampaikan oleh
kantor mata – mata Amerika. [49]
Pada Oktober 2002, menurut sumber Amerika Serikat, Korea utara
mengakui mengembangkan program senjata nuklir, hal ini merupakan
pelanggaran perjanjian Nuclear of non – Proliferation Treaty dan
pakta nuklir Amerika Serikat – Korea Utara. [50]
Akhir desember 2002, Korea Utara mengusir pengawas senjata
Perserikatan Bangsa – Bangsa, dan mengumumkan rencana untuk
mengaktifkan kembali laboratorium yang memproses bahan bakar nuklir
dan tenaga listrik disebelah utara Pyongyang, jika Amerika Serikat tidak
menyetujui pakta non – invasion.[51]
Pada tanggal 10 Januari 2003, Korea Utara menarik diri dari
keanggotaan The Nuclear Non – Proliferation Treaty, dan pada tanggal 23
Januari 2003, Korea Utara dan Korea Selatan setuju untuk bekerjasama
dalam menemukan solusi terkait dengan krisis nuklir. Tanggal 26 Februari
2003, Korea Utara mengaktifkan kompleks nuklir utamanya. Tanggal 24
April 2003, Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara
bertemu di Beijing untuk mengadakan diskusi trilateral tentang program
senjata nuklir Korea Utara. Tidak ada hasil yang disepakati, dan pertemuan
tersebut dilakukan dengan penuh emosional. Amerika Serikat bahkan
meningkatkan sanksi kepada Korea Utara dalam kaitan politik berbahaya
Pyongyang dimasa lalu. Di masa lalu, Korea menyatakan bahwa sanksi
internasional yang diberikan kepadanya merupakan pengumuman
pernyataan perang. [52]
27 April 2003, Korea Selatan mengirimkan delegasi ke Pyongyang
untuk memaksa Korea Utara mengakhiri program senjata nuklirnya. 6
Agustus 2003, Korea Utara dan Iran merencanakan untuk membentuk
suatu persekutuan untuk mengembangkan proyektil Balistik jangka
panjang dengan hulu ledak nuklir. Berdasarkan rencana, Korea Utara akan
mengangkut komponen proyektil ke Iran untuk dirakit pada suatu pabrik
dekat Tehran, Iran. [53]
28 Agustus 2003, Korea Utara mengumumkan bahwa kepemilikan
senjata nuklir berarti membawanya dan akan segera menyelesaikan suatu
test nuklir untuk mendemonstrasikan kemampuan senjata nuklir. [54]
Agustus 2004, Kantor Intelejensi Amerika Serikat dan NGO (Non
govermental Organisation) yang telah berpengalaman menyimpulkan
bahwa usaha diplomatik yang dilakukan untuk mencegah perkembangan
senjata nuklir Iran dan Korea Utara telah gagal untuk memperlambat
perkembangan senjata mereka. [55]
Ledakan kuat atas uji coba nuklir tersebut diduga terjadi di sebuah
fasiltas bawah tanah di Provinsi Hamgyong Utara, Korea Utara. Baik ahli
dari Russia maupun Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka percaya
klaim yang telah diumumkan secara terbuka oleh Korea Utara sangat
akurat dan ledakan dahsyat yang terjadi tersebut diperkirakan mempunyai
kekuatam sekitar 15 kilo ton TNT, yang dapat dikatakan mendekati dengan
kekuatam pada bom Hiroshima di tahun 1945.[56]
Para pemimpin dunia mengecam tindakan Korea Utara tersebut,
karena apa yang telah dilakukannya dianggap telah mengancam
perdamaian dan keamanan Internasional. Oleh karena itu, para pemimpin
dunia meminta kepada Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa – Bangsa
agar Korea Utara dijatuhkan sanksi berdasarkan Bab Tujuh dari Piagam
Perserikatan Bangsa – Bangsa yang mengatur mengenai “ancaman
terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan agresi”.[57]
Perwakilan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa uji coba
nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah mengancam rezim anti
pengembangan bahan nuklir dan juga telah menciptakan konflik keamanan
yang cukup serius, tidak hanya pada kawasan Asia Timur tetapi juga untuk
seluruh masyarakat Internasional.
Pada bulan Juli 2006, Korea Utara juga telah melakukan uji coba tujuh
buah misilnya, termasuk satu kali kegagalan terhadap misil jarak jauh
Taepodong-2 yang dapat menjangkau wilayah Amerika Serikat. Hal itulah
yang menyebabkan mengapa uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara
dianggap telah menciptakan ancaman sangat serius bagi Amerika Serikat
dan sekutunya yang sedang mencoba untuk menguasai negara-negara
yang tidak tidak berpihak kepadanya. Akibatnya, petinggi garis keras di
Washington telah merencanakan untuk menggunakan “pre-emptive attack”
terhadap tempat-tempat pembuatan nuklir di Korea Utara dalam jangka
waktu dekat ini jika uji coba tersebut dianggap telah dan akan
menimbulkan ancaman.
Meskipun motif dalam menggunakan “pre-emptive attack” mempunyai
tujuan yang mulia, namun tindakan tersebut memberikan legitimasi sebagai
hak bagi setiap negara untuk menggunakan “pre-emptive attack” sebagai
tindakan membela diri, maka hal tersebut sama saja dengan memberikan
perizinan yang pada nantinya tidak mungkin lagi dapat kita dikendalikan.
Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan kesempatan luas untuk
melegitimasi penyerangan yang besar – besaran secara bersama-bersama
oleh negara adikuasa guna menghancurkan negara – negara. Tindakan
tersebut secara tidak langsung akan pula melanggar ketentuan Piagam
Perserikatan Bangsa – Bangsa yang menyatakan bahwa setiap tindakan
haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui melalui instrumen Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa – Bangsa. Amerika Serikat dan sekutunya
di kawasan Asia Timur telah memberikan sanksi dalam waktu yang cukup
lama yang akibatnya telah menimbulkan permasalahan utama di bidang
ekonomi yang cukup serius yang hingga saat ini masih diderita oleh Korea
Utara. Analis dari Seoul, Beijing dan Washington menyakini bahwa
kemarahan Pyongyang terhadap sanksi yang telah dijatuhkan kepadanya
adalah satu dari sekian alasan utama yang melatarbelakangi uji coba nuklir
yang terkesan memberikan satu bentuk perlawanan baru. Para petinggi
Pyongyang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan adalah sebuah
puncak selama dua dekade perlawanan Korea Utara terhadap Amerika
Serikat, perseteruan terhadap negara yang mempunyai kekuatan ekonomi
terkuat di dunia. Oleh karenanya, China dan beberapa negara lainnya
merasa enggan untuk memberikan dukungan penuh terhadap sanksi
ekonomi kembali yang akan dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa –
Bangsa terhadap klaim keberhasilan uji coba nuklir Korea Utara, sebab
draft sanksi tersebut sepenuhnya dibuat oleh Amerika Serikat. Mereka
tidak mengharapkan Pyongyang akan mengambil langkah keras dengan
tindakan balasan yang justu dapat memperburuk hubungan dengan
negara-negara disekitarnya apabila sanksi tersebut terkesan dipaksakan.
Berdasarkan sudut pandang yang lain, Taylor Marsh berpendapat bahwa
uji coba Korea Utara adalah sebuah bukti lebih lanjut dari kegagalan
administrasi dan diplomasi dari Bush, di mana pertama kali dimulai dengan
kebijakan politik Bill Clinton dan kemudian diperparah dengan menghina
Pyongnyang dengan menghubungkan Korea Utara bersama Iran dan Iraq
sebagai bagian dari “Axis of Evil”.[58]