Anda di halaman 1dari 13

Penyitaan berasal dari belanda yaitu beslag, dan istilah indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah

sita atau penyitaan.

Pengertian yang terkandung dalamnya ialah:

Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara memaksa berada kedalam penjagaan

Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.

Barang yang di sita berupa barang yang disengketakan

Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan.

Tujuan penyitaan:

1. Agar gugatan tidak illusoir

Tujuan utama penyitaan, agar barang harta kekayaan tergugat:

Tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau penghibahan

Tidak dibebani dengan sewa menyewa atau di agunkan kepada pihak ketiga

Ditinjau dari segi teknis peradilan, penyitaan atau beslag mempunyai beberapa tujuan antara lain:

Merupakan upaya hukum bagi penggugat untuk menjamin dan melindungi kepentingannya atas
keutuhan dan keberadaan harta kekayaan tergugat sampai putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap;

Untuk menghindari tindakan iktikad buruk tergugat dengan berusaha melepaskan diri memenuhi
tanggung jawab perdata yang mestinya dipikulnya atas PMH atau wanprestasi yang dilakukannya;

Dengan adanya penyitaan melalui perintah pengadilan, secara hukum harta kekayaan tergugat
berada dan ditempatkan di bawah penjagaan dan pengawasan pengadilan, sampai ada perintah
pengangkatan atau pencabutan sita;

Apabila penyitaan telah diumumkan melalui pendaftaran pada buku register kantor yang
berwenang untuk itu sesuai dengan pasal 198 HIR dan Pasal 213 RBG, pada tindakan itu melekat
ketentuan berikut:

1) Larangan Pasal 199 HIR dan Pasal 215 RBG

Melarang tergugat menjual, menghibahkan, atau memindahkan barang itu dalam bentuk apapun
dan kepada siapa pun.

2) Pelarangan atas larangan itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum:

i. Akibat hukum dari segi perdata:

- Jual beli atau pemindahan batal demi hukum (nuul and void)

ii. Akibat hukum dari segi pidana:


- Dapat diancam melakukan tindakan pidana Pasal 231 KUH Perdata, berupa kejahatan dengan
segaja melepaskan barang yang telah disita menurut peraturan undang-undang yang berlaku

- Perbuatan itu dincam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun

2. Objek eksekusi sudah pasti

Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas
barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasanya. Atas permohonan
itu pengadilan melalui juru sita memeriksa dan meneliti kebenaran identitas barang pada saat
penyitaan dilakukan.

B. BEBERAPA PRINSIP POKOK SITA

1. Sita berdasarkan permohonan

Menurur Pasal 226 dan pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No. 5 Tahun
1975, pengabulan atas perintah pelaksaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan
penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.

Bentuk permohonan

Bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut HIR-RBG adalah proses beracara
secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan pasal 226 dan Pasal 227 HIR, bentuk permohonan sita:

1) Bentuk lisan (oral)

2) Bentuk tertulis

Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat
permintaan:

a) Permintaan disatukan dengan surat gugatan

b) Diajukan dalam surat tersendiri

2. Permohonan berdasarkan alasan

a. Alasan sita

Menurut pasal 227 HIR maupun pasal 720 Rv, alasan pokok permintaan sita:

1) Ada kekhawatiran atau prasangka tergugat:

Mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dan

hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung


2) kekhawatiran atau prasangka itu harus nyata dan beralasan secara objektif

b. yang berwenang menilai alasan

penilaian atas alasan sita menjadi kewenangan hakim.

c. Tanpa alasan sita ditolak

Jika pada sisi satu permohonan tidak didukung alasan yang objektif dan masuk akal dan pada sisi lain
penyitaan itu sendiri tidak relevan dan urgen dengan isi gugatan maka terdapat dasar alasan yang
cukup untuk menolak permintaan sita.

3. Penggugat wajib menunjukan barang objek sita

Hukum memebenarkan kewajiban kepada penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu persatu
barang objek yang hendak disita.

a. Tidak dibenarkan menyebut secara umum

Permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan tergugat,
dianggap tidak memenuhi syarat.

b. Menyebut rinci identitas yang melekat pada barang

Penyebutan identitas barang secara lengkap meliputi:

1) jenis atau bentuk barang

2) letak dan batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersetifikat,
cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya.

3) Nama pemilik

4) Taksiran harga

5) Jika mengenai rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya, dan bank tempat rekening
berada maupun jumlahnya

6) Jika saham, disebut nama pemegangnya, jumlahnya, dan tempat terdaftar.

4. Permintaan dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang

Undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dapat diajukan permintaannya sepanjang


proses persidangan berlangsung. Dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita yaitu:

a. Selama belum dijatuhi putusan pada tingkat peradilan pertama

Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama penggugat dapat dibenarkan
mengajukan permintaan sita . ketentuan batas waktu ini secara tersurat disebut dalam pasal 127
ayat (1) HIR yang mengatakan sita terhadap harta kekayaan tergugat dapat diminta selama belum
dijatuhkan putusan atas perkara tersebut.
b. Dapat diajukan selama putusan belum dieksekusi

Ketentuan ini dinyatakan dalam pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi selama putusan yang
mengalahkannya belum dijatuhkan eksekusinya dengan demikian selama putusan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap atau selama belum di eksekusi pengguat dapat mengajukan
permintaan sita atas harta kekayaan tergugat.

c. Instansi yang berwenang memerintahkan sita

Mutlak menjadi kewenangan PN, pendapat ini bertitik tolak pada pasal 197 ayat (1) HIR

PT berwenang memerintahkan sita, pendapat ini didasarkan pada pasal 227 ayat (1) HIR

5. Pengabulan berdasarkan pertimbangan objektif

Dalam penetapan pengabulan sita, haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional
dan objektif diantaranya:

a. Argumentasi mengenai alasan

b. Cara memperoleh fakta yang lebih objektif yaitu melalui proses pemeriksaan insidentil dan
proses pemeriksaan pokok perkara

6. Larangan menyita milik pihak ketiga

Proses penyelesaian suatu perkara tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang
tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai digariskan pada pasal 1340 KUH
perdata.

7. Penyitaan berdasarkan perkiraan nilai objektif dan proporsional dengan jumlah tuntutan.

Untuk menghindari tindakan penyitaan yang berlebihan perlu diperhatikan pedoman berikut:

a. Dalam sengketa milik, penyitaan terbatas pada barang yang di sengketakan saja

b. Dalam sengketa utang dijamin dengan barang tertentu

c. Sita dilakukan terhadap semua harta kekayaan tergugat sampai terpenuhi jumlah tuntutan

d. Apabila terjadi pelampauan sengketa segera dikeluarkan penetapan pengangkatan sita.

8. Mendahulukan penyitaan barang bergerak

9. Dilarang menyita barang-barang tertentu

Salah satu prinsip yang penting diperhatikan diatur dalam pasal 197 ayat (8) HIR atau pasal 211 RBG.
Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian terhadap asas yang diatur dalam pasal 1131 KUH
perdata menurut ketentuan ini seluruh harta kekayaan debitur dapat dijadikan objek pelunasan
pembayaran utangnya. Malahan ketentuan pasal 197 ayat (8) HIR memuat pengecualian berupa
larangan meletakkan sita terhadap jenis barang tertentu.

10. Penjagaan sita tidak boleh diberikan kepada penggugat


Mengenai penjagaan barang sitaan berpedoman pada ketentuan pasal 197 ayat (9) HIR atau pasal
212 RBG. Dalam ketentuan tersebut ditegakkan prinsip penjagaan brang sitaan tetap berada
ditangan tergugat atau tersita.

11. Kekuatan mengikat sita sejak diumumkan

Pengumuman berita acara sita merupakan syrat formil untuk mendukung kekuatan mengikat sita
pada pihak ketiga selama belum di umumkan kekuatan formilnya baru mengikat pada pada para
pihak yang bersengketa belum mengikat pada pihak ketiga.

12. Dilarang memindahkan atau membebani barang sitaan

13. Sita penyesuaian

14. Larangan menyita milik Negara

Seperti terlihat pada putusan MA No. 2539 K/Pdt/1985, larangan menyita barang-barang milik
Negara merujuk kepada UU Perbendaharaan Negara No. 9 Tahun 1968. Larangan itu diatur pada
bagian 10 dengan judul larangan menyita uang, barang-barang milik Negara, terdiri dari pasal 65 dan
66 hanya dua pasal sehingga pengaturannya sangat singkat.

C. SITA REVINDIKASI

1. Pengertian

Sita revindikasi bentuknya berupa:

Hanya terbatas barang bergerak yang ada ditangan orang lain (tergugat)

Barang itu berada di tangan orang lain tampa hak,

2. Urgensi sita revindikasi

Urgensi sita revindikasi berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1977 KUH perdata. Menurut ayat (1)
pasal ini:

Barang siapa yang mengusai barang bergerak, dianggap sebagai pemilik yang sempurna atas
barang itu

Berdasarkan doktrin tersebut, untuk menghindari jatuhnya barang itu kepada pihak ketiga yang
berakibat barang itu dianggap miliknya, sangat urgen meletakkan sita terhadapnya

3. Penerapan sita revindikasi dalam transaksi tertentu

Ada beberapa pengecualian yang membolehkan sita revindikasi terhadap barang yang ada di bawah
penguasaan orang alin, meskipun penguasaan itu berdasarkan titel yang sah.

a. Dalam transaksi pinjam barang

Pasal 1751 KUH Perdatav mengatakan, jika barang itu berada di bawah penguasaan orang lain
berdasarkan atas hak:
Pinjam atau meminjam, dan

Sebelum waktu perjanjian pinjaman habis, atas alasan mendesak dan sekonyong-konyong barang
itu sangat diperlukan pemilik sendiri,

Pemilik dapat meminta kepada hakim untuk memaksa peminjam (pemakai) mengembalikan
barang itu kepadanya.

b. Bedasarkan hak reklame (reclemerecht)

Hak reklame adalah tuntutan hukum untuk meminta kemabli barang yang dijual kepada pembeli
atau pemegang barang, apabila pembeli tidak melunasi pemabayaran harga yang disepakati.

Cara menuntut hak reklame yang dikaitkan dengan sita revindikasi tidak diatur dalam HIR dan RBG,
tetapi dijumpai dalam pasal 571 Rv, menurut pasal ini:

i. Penuntutan hak reklame diajukan kepada ketua PN,

ii. Pengajuan dilakukan sebelum barang itu dijual pembeli,

iii. Kalau hak reklame diajukan setelah pembeli menjual kepada pihak ketiga , tuntutan itu harus
dianggap:

Bukan untuk menuntut pengembalian barang,

Tetapi harus dianggap sebagai tuntutan terhadap harga pembelian barang.

4. Syarat atau alasan pokok sita revindikasi

Syarat pokok atau alasan utama dilakukanya permintaan sita revindikasi, merujuk kepada ketentuan
Pasal 226 ayat (1) HIR, pasal 714 Rv:

a. Objek sengketa adalah barang bergerak

b. Pemohon adalah pemilik barang

c. Barang berada di bawah penguasaan tergugat tampa hak berdasar jual beli maupun pinjam

d. Menyebut dengan seksama barang yang hendak disita

5. Tata cara sita revindikasi

Menurut pasal 226 ayat (3) HIR, tata cara pelaksanaan sita revindikasi, selain tunduk kepada
ketentuan 226 HIR itu sendiri, terhadapnya berlaku ketentuan umum yang diatur dalam pasal 197
HIR. Hal ini pun ditegaskan juga dalam pasal 718 Rv, bahwa dalam tata cara pelaksanaan sita
revindikasi diberlakukan dengan cara, seperti penyitaan eksekusi terhadap barang-barang bergerak.

a. Surat penetapan sita

b. Penyitaan dilaksanakan panitera atau juru sita

c. Memberitahukan penyitaan kepada tergugat


d. Juru sita dibantu dua orang saksi

e. Pelaksanaan sita dilakukan di tempat barang terletak

f. Membuat berita acara sita

g. Meletakkan barang sitaan di tempat semula

6. Memanggil para pihak menghadiri siding

Ketentuan ini diatur dalam pasal 226 ayat (4) dan (5) HIR. Jika ketentuan tersebut di ikuti
pelaksanaan sita revindikasi dijalankan mendahului proses pemeriksaan pokok perkara.

7. Menyatakan sita sah dan berharga

Pasal 226 ayat (9) HIR memerintahkan hakim untuk menyatakan sita sah dan berharga apabila
gugatan penggugat dikabulkan. Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini revindikasi san dan berharga
bersifat:

Asesornterhadap pengabulan gugatan

Kalau gugatan dikabulkan, dalam amar putusan harus terdapat dictum yang bersifat deklaratif
yang menyatakan sita revindikasi san dan berharga.

8. Menyerahkan barang kepada penggugat

Ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 226 ayat (7) HIR. Apabila gugatan dikabulkan amar putusan
harus mencantumkan dua hal:

Menyatakan sita sah dan berharga, dan

Memerintahkan tergugat menyerahkan barang sitaan kepada penggugat.

9. Memerintahkan pencabutan sita apabila gugatan ditolak

Diatur dalam pasal 226 ayat (7) HIR yang menegaskan:

Apabila gugatan penggugat ditolak dan sita revindikasi telah diletakkan atas barang, dan

Penolakan gugatan harus dibarengi dengan amar yang bersifat perintah pencabutan penyitaan.

D. SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

1. Pengertian dan penerapan

a. Menyita milik tergugat untuk menjamin pembayaran utang

Pengertian sita jaminan diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR, pasal 261 ayat (1) RBG atau pasal 720 Rv:

Menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut;
Tujuannya, agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan tergugat selama proses persidangan
berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut
penggugat dapat terpenuhi, dengan jalan menjual barang sitaan itu.

Bertitik tolak pada penggarisan pasal 227 ayat (1) HIR, penerapan sita jaminan pada dasarnya hanya
terbatas pada sengketa perkara utang piutang yang ditimbulkan oleh wanprestasi.

b. Dapat diterapkan atas tuntutan ganti rugi

Seperti yang dijelaskan, dalam arti sempit berdasarkan pasal 227 ayat (1) HIR, sita jaminan hanya
dapat diterapkan dalam perkara hutang-piutang. Akan tetapi dalam praktiknya, penerapannya
diperluas meliputi sengketa tuntutan ganti rugi baik yang timbul dari:

Wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 jo. Pasal 1247 KUH Perdata dalam bentuk penggantian biaya,
bunga dan keuntungan yang akan diperoleh, atau

Perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, dalam bentuk genti rugi materil
dan imateriil.

c. Dapat diterapkan dalam sengketa milik

Sita jaminan ternyata telah diperluas juga meliputi sengketa hak milik atas benda tidak bergerak.

2. Objek sita jaminan

a. Dalam sengketa milik, terbatas atas barang yang disengketaankan

b. Terhadap objek dalam sengketa utang atau ganti rugi

Objek sita jaminan dalam perkara utang-piutang atau ganti rugi dapat diterpakan alternatif berikut.

1) Meliputi seluruh harta kekayaan tergugat

2) Terbatas pada barang agunan

Jika perjanjian utang-piutang dijamin dengan agunan barang tertentu:

Sita jaminan dapat langsung diletakkan di atasnya meskipun bentuknya barang tidak bergerak;

Dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan barang tertentu, pada barang itu melekat
sifat spesialitas yang memberi hak separatis kepada kriditor, oleh karena itu prinsip mendahulukan
penyitaan barang bergerak disingkirkan oleh perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan.

3. Sita jaminan atas barang bergerak

Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam penyitaan jaminan atas barang bergerak, antara lain:

a. Barang sitaan tetap diletakkan pada tempat semula

b. Penjagaan dan penguasaan diserahkan kepada tergugat (tersita)

c. Tidak boleh diletakkan sita jaminan atas permintaan penggugat lain


d. Secara kasuistis dapat dibebankan jaminan kepada penggugat

e. Tersita berhak mengajukan bantahan

4. Sita jaminan atas barang tidak bergerak

Selain dari ketentuan yang biasa berlaku terhadap sita pada umumnya, terdapat ketentuan yang
bersifat khusus terhadap sita jaminan tidak bergerak, adalah sbb:

a. Penjagaan barang sitaan

b. Boleh dipakai tersita

c. Hasil yang tumbuh setalah penyitaan

d. Penerapan sita penyesuaian tidak mutlak

e. Pengadilan dapat memerintahkan penggugat memberi jaminan

f. Berhak mengajukan bantahan atau perlawanan

g. Tersita berhak memberi barang pengganti objek sitaan

h. Pernyataan sita jaminan sah dan berharga

5. Penyitaan di tangan pihak ketiga

a. Syarat permintaan sita pihak ketiga

Syarat yang mesti dipenuhi agar dapat diletakkan sita kepada pihak ketiga, dijelaskan dalam pasal
728 Rv:

1) Barang yang hendak disita adalah milik tergugat

2) Permintaan sita didukung oleh surat dalam bentuk:

Akta outentik, atau

Akta di bawah tangan

3) Barang objek sita pihak ketiga

4) Penyitaan berdasarkan perintah

5) Pemberitahuan penyitaan

6) Memanggil penggugat menghadiri sidang

7) Menghadiri pihak ketiga pada pengucapan putusan

8) Pihak ketiga dapat dipaksa menyerahkan barang sitaan

9) Larangan derden beslag atas barang tertentu


E. SITA HARTA BERSAMA (MARITAL BESLAG)

a. Tujuan sita harta bersama

Setiap sita mempunyai tujuan tertentu sita revindikasi bermaksud untuk menuntut pengembalian
barang yang bersangkutan kepada penggugat sebagai pemilik, sedang sita jaminan bertujuan
menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan pembayaran utang tergugat.

Dengan demikian pembekuan harta bersama dibawah penyitaan berfungsi untuk mengamankan
atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung
jawab dari tergugat.

Tentang sejauh mana tindakan pengamanan yang diamanatkan sita harta bersama, dapat
berpedoman kepada ketentuan pasal 823 Rv berdasarkan atas kepentingan beracara. Menurut pasal
ini, tindakan pengamanan meliputi:

Penyegelan

Pencatatan

Penilaian harta bersama

Penyitaan harta bersama

1. Pengaturan sita harta bersama

Pengaturannya ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti berikut:

a. Pasal 190 KUH Perdata yang berbunyi:

Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk
menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.

b. Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No 9 Tahun 1975

Menurut pasal ini, selama berlansungnya gugatann perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat
mengizinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak bersama suami-istri.

c. Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989

Bunyi pasal ini persis sama dengan pasal 24 ayat (2) huruf c PP No 9 Tahun 1975.

Berdasarkan pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun telah memiliki aturan hukum positif
tentang lembaga sita harta bersama (sita marital).

d. Pasal 823 Rv yang berbunyi:

Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan pasal 190 KUH perdata adalah
penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilain bararng-barang, penyitaan jaminan atas
barang-barang bergerak bersama atau barang-barang yang tetap bersama...
2. Lingkup penerapan sita harta bersama

a. Pada perkara perceraian

b. Pada perkara pembagian harta bersama

c. Pada perbuatan yang membahayakan harta bersama

3. Sita meliputi seluruh harta bersama

Sita harta bersama , meliputi seluruh harta bersama, baik yang ada di tangan suami atau istri.

4. Sita marital tidak meliputi harta pribadi

Sesuai dengan prinsip harta perkawinan yang di atur dalam bab 7 sebagaimana digariskan dalam
pasal 35 dan pasal 36 UU No. 1 tahun 1974, undang-undang memperkenalkan dua bentuk harta
dalam ikatan perkawinan

a. Harta bersama yaitu harta yang di peroleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan.

b. Harta pribadi yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan berlangsung.

5. Penjagaan dan pemanfaatan barang sitaan

a. Penjagaan barang yang disita

Menetapkan dan menyerahkan Penjagaan barang yang disita dari suami kepada suami.

Menetapkan dan menyerahkan Penjagaan barang yang disita dari istri kepada istri.

b. Pemanfaat barang yang disita

Ketentuan pasal 823 j Rv menyatakan bahwa:

Peletakan sita marital atas barang bergerak atau tidak bergerak, tidak menghalangi suami atau
istri untuk memanfaatkan apa-apa yang dihasilkan barang tersebut

Pemanfaat hasil itu satu pihak dibebani kewajiban untuk membagi hasil itu kepada pihak yang lain

6. Sita harta bersama menghalangi penyitaan pihak ketiga

Jika permintaan sita jaminan dari pihak ketiga untuk menjamin pembayaran utang suami atau istri
maupun utang keluarga (utang bersama suami istri) terhadap harta bersama setelah diatasnya
diletakkan sita marital maka yang dapat dikabulkan hanya sebatas sita penyesuaian saja.

7. Berakhirnya sita harta bersama

Hal-hal yang dapat mengakhiri sita harta bersama, yaitu:

1) Tuntutan perceraian atau pembagian harta bersama ditolak pengadilan

2) Berdasarkan penetapan pengangkatan sita yang dikeluarkan pengadilan atau permohonan


salah satu pihak
3) Gugatan perceraian dan pembagian harta bersama dikabulkan, kemudian bedasarkan putusan
itu, telah dilaksanakan pembagian harta bersama.

8. Permintaan pengangkatan sita

Seperti yang telah dijelaskan, salah satu ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis penyitaan
adanya hak untuk meminta pengagkatan sita ketentuan itu juga berlaku pada sita harta bersama.

9. Dapat diajukan perlawanan atas sita marital

Alasan yang dapat dijadikan dasar perlawanan ialah:

Hak milik

Bahwa baik seluruh atau sebagian harta yang di sita marital tersebut adalah milik pelawan bukan
harta bersama suami istri.

Adapun perlawanan terhadap sita marital, dapat berbentuk:

1) Partai verzet atau perlawanan yang bersifat partai yang diajukan oleh suami atau istri.

2) Derden verzet atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga, atas alasan:

Seluruh atau sebagian harta yang disita adalah miliknya bukan harta bersama suami-istri yang
bersangkutan.

Oleh karena itu, sita harta bersama yang diletakkan di atasnya keliru dan tidak sah, dengan
demikian harus segera diangkat.

10. Perimintaan izin menjual atau mengagunkan barang sitaan

Dapat dilihat dalam ketentuan pasal 823 h ayat (2) Rv:

Pihak yang berkepentingan (suami atau isteri) dapat mengajukan permohonan izin untuk menjual
atau menggunkan barang bergerak atau tidak bergerak yang sedang berada di bawah sita marital,

Atas permintaan itu pengadilan dapat memberikan izin dengan syarat:

1) Penjualan itu atau pengagunan itu sedemikian rupa pentingnya untuk menyelamatkan
kehidupan pemohon dan keluarga;

2) Harus mendengar pihak lain (suami atau istri) tentang hal itu, baik dalam sidang insidentil atau
dalam sidang pemeriksaan pokok perkara.

3) Penjualan atau pengagunan itu, tidak boleh mengakibatkan kerugian yang sedemikian rupa
kepada pihak lain.

Mengenai bentuk pengajuan izin, tergantung kepada keadaan yang mengikuti sita marital, dengan
acuan sebagai berikut:

a) Berbentuk permintaan tertulis atau lisan


b) Bentuk gugatan voluntair.

Anda mungkin juga menyukai