Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara memaksa berada kedalam penjagaan
Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.
Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan.
Tujuan penyitaan:
Tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau penghibahan
Tidak dibebani dengan sewa menyewa atau di agunkan kepada pihak ketiga
Ditinjau dari segi teknis peradilan, penyitaan atau beslag mempunyai beberapa tujuan antara lain:
Merupakan upaya hukum bagi penggugat untuk menjamin dan melindungi kepentingannya atas
keutuhan dan keberadaan harta kekayaan tergugat sampai putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap;
Untuk menghindari tindakan iktikad buruk tergugat dengan berusaha melepaskan diri memenuhi
tanggung jawab perdata yang mestinya dipikulnya atas PMH atau wanprestasi yang dilakukannya;
Dengan adanya penyitaan melalui perintah pengadilan, secara hukum harta kekayaan tergugat
berada dan ditempatkan di bawah penjagaan dan pengawasan pengadilan, sampai ada perintah
pengangkatan atau pencabutan sita;
Apabila penyitaan telah diumumkan melalui pendaftaran pada buku register kantor yang
berwenang untuk itu sesuai dengan pasal 198 HIR dan Pasal 213 RBG, pada tindakan itu melekat
ketentuan berikut:
Melarang tergugat menjual, menghibahkan, atau memindahkan barang itu dalam bentuk apapun
dan kepada siapa pun.
- Jual beli atau pemindahan batal demi hukum (nuul and void)
Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas
barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasanya. Atas permohonan
itu pengadilan melalui juru sita memeriksa dan meneliti kebenaran identitas barang pada saat
penyitaan dilakukan.
Menurur Pasal 226 dan pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No. 5 Tahun
1975, pengabulan atas perintah pelaksaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan
penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.
Bentuk permohonan
Bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut HIR-RBG adalah proses beracara
secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan pasal 226 dan Pasal 227 HIR, bentuk permohonan sita:
2) Bentuk tertulis
Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat
permintaan:
a. Alasan sita
Menurut pasal 227 HIR maupun pasal 720 Rv, alasan pokok permintaan sita:
Jika pada sisi satu permohonan tidak didukung alasan yang objektif dan masuk akal dan pada sisi lain
penyitaan itu sendiri tidak relevan dan urgen dengan isi gugatan maka terdapat dasar alasan yang
cukup untuk menolak permintaan sita.
Hukum memebenarkan kewajiban kepada penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu persatu
barang objek yang hendak disita.
Permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan tergugat,
dianggap tidak memenuhi syarat.
2) letak dan batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersetifikat,
cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya.
3) Nama pemilik
4) Taksiran harga
5) Jika mengenai rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya, dan bank tempat rekening
berada maupun jumlahnya
Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama penggugat dapat dibenarkan
mengajukan permintaan sita . ketentuan batas waktu ini secara tersurat disebut dalam pasal 127
ayat (1) HIR yang mengatakan sita terhadap harta kekayaan tergugat dapat diminta selama belum
dijatuhkan putusan atas perkara tersebut.
b. Dapat diajukan selama putusan belum dieksekusi
Ketentuan ini dinyatakan dalam pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi selama putusan yang
mengalahkannya belum dijatuhkan eksekusinya dengan demikian selama putusan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap atau selama belum di eksekusi pengguat dapat mengajukan
permintaan sita atas harta kekayaan tergugat.
Mutlak menjadi kewenangan PN, pendapat ini bertitik tolak pada pasal 197 ayat (1) HIR
PT berwenang memerintahkan sita, pendapat ini didasarkan pada pasal 227 ayat (1) HIR
Dalam penetapan pengabulan sita, haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional
dan objektif diantaranya:
b. Cara memperoleh fakta yang lebih objektif yaitu melalui proses pemeriksaan insidentil dan
proses pemeriksaan pokok perkara
Proses penyelesaian suatu perkara tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang
tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai digariskan pada pasal 1340 KUH
perdata.
7. Penyitaan berdasarkan perkiraan nilai objektif dan proporsional dengan jumlah tuntutan.
Untuk menghindari tindakan penyitaan yang berlebihan perlu diperhatikan pedoman berikut:
a. Dalam sengketa milik, penyitaan terbatas pada barang yang di sengketakan saja
c. Sita dilakukan terhadap semua harta kekayaan tergugat sampai terpenuhi jumlah tuntutan
Salah satu prinsip yang penting diperhatikan diatur dalam pasal 197 ayat (8) HIR atau pasal 211 RBG.
Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian terhadap asas yang diatur dalam pasal 1131 KUH
perdata menurut ketentuan ini seluruh harta kekayaan debitur dapat dijadikan objek pelunasan
pembayaran utangnya. Malahan ketentuan pasal 197 ayat (8) HIR memuat pengecualian berupa
larangan meletakkan sita terhadap jenis barang tertentu.
Pengumuman berita acara sita merupakan syrat formil untuk mendukung kekuatan mengikat sita
pada pihak ketiga selama belum di umumkan kekuatan formilnya baru mengikat pada pada para
pihak yang bersengketa belum mengikat pada pihak ketiga.
Seperti terlihat pada putusan MA No. 2539 K/Pdt/1985, larangan menyita barang-barang milik
Negara merujuk kepada UU Perbendaharaan Negara No. 9 Tahun 1968. Larangan itu diatur pada
bagian 10 dengan judul larangan menyita uang, barang-barang milik Negara, terdiri dari pasal 65 dan
66 hanya dua pasal sehingga pengaturannya sangat singkat.
C. SITA REVINDIKASI
1. Pengertian
Hanya terbatas barang bergerak yang ada ditangan orang lain (tergugat)
Urgensi sita revindikasi berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1977 KUH perdata. Menurut ayat (1)
pasal ini:
Barang siapa yang mengusai barang bergerak, dianggap sebagai pemilik yang sempurna atas
barang itu
Berdasarkan doktrin tersebut, untuk menghindari jatuhnya barang itu kepada pihak ketiga yang
berakibat barang itu dianggap miliknya, sangat urgen meletakkan sita terhadapnya
Ada beberapa pengecualian yang membolehkan sita revindikasi terhadap barang yang ada di bawah
penguasaan orang alin, meskipun penguasaan itu berdasarkan titel yang sah.
Pasal 1751 KUH Perdatav mengatakan, jika barang itu berada di bawah penguasaan orang lain
berdasarkan atas hak:
Pinjam atau meminjam, dan
Sebelum waktu perjanjian pinjaman habis, atas alasan mendesak dan sekonyong-konyong barang
itu sangat diperlukan pemilik sendiri,
Pemilik dapat meminta kepada hakim untuk memaksa peminjam (pemakai) mengembalikan
barang itu kepadanya.
Hak reklame adalah tuntutan hukum untuk meminta kemabli barang yang dijual kepada pembeli
atau pemegang barang, apabila pembeli tidak melunasi pemabayaran harga yang disepakati.
Cara menuntut hak reklame yang dikaitkan dengan sita revindikasi tidak diatur dalam HIR dan RBG,
tetapi dijumpai dalam pasal 571 Rv, menurut pasal ini:
iii. Kalau hak reklame diajukan setelah pembeli menjual kepada pihak ketiga , tuntutan itu harus
dianggap:
Syarat pokok atau alasan utama dilakukanya permintaan sita revindikasi, merujuk kepada ketentuan
Pasal 226 ayat (1) HIR, pasal 714 Rv:
c. Barang berada di bawah penguasaan tergugat tampa hak berdasar jual beli maupun pinjam
Menurut pasal 226 ayat (3) HIR, tata cara pelaksanaan sita revindikasi, selain tunduk kepada
ketentuan 226 HIR itu sendiri, terhadapnya berlaku ketentuan umum yang diatur dalam pasal 197
HIR. Hal ini pun ditegaskan juga dalam pasal 718 Rv, bahwa dalam tata cara pelaksanaan sita
revindikasi diberlakukan dengan cara, seperti penyitaan eksekusi terhadap barang-barang bergerak.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 226 ayat (4) dan (5) HIR. Jika ketentuan tersebut di ikuti
pelaksanaan sita revindikasi dijalankan mendahului proses pemeriksaan pokok perkara.
Pasal 226 ayat (9) HIR memerintahkan hakim untuk menyatakan sita sah dan berharga apabila
gugatan penggugat dikabulkan. Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini revindikasi san dan berharga
bersifat:
Kalau gugatan dikabulkan, dalam amar putusan harus terdapat dictum yang bersifat deklaratif
yang menyatakan sita revindikasi san dan berharga.
Ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 226 ayat (7) HIR. Apabila gugatan dikabulkan amar putusan
harus mencantumkan dua hal:
Apabila gugatan penggugat ditolak dan sita revindikasi telah diletakkan atas barang, dan
Penolakan gugatan harus dibarengi dengan amar yang bersifat perintah pencabutan penyitaan.
Pengertian sita jaminan diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR, pasal 261 ayat (1) RBG atau pasal 720 Rv:
Menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut;
Tujuannya, agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan tergugat selama proses persidangan
berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut
penggugat dapat terpenuhi, dengan jalan menjual barang sitaan itu.
Bertitik tolak pada penggarisan pasal 227 ayat (1) HIR, penerapan sita jaminan pada dasarnya hanya
terbatas pada sengketa perkara utang piutang yang ditimbulkan oleh wanprestasi.
Seperti yang dijelaskan, dalam arti sempit berdasarkan pasal 227 ayat (1) HIR, sita jaminan hanya
dapat diterapkan dalam perkara hutang-piutang. Akan tetapi dalam praktiknya, penerapannya
diperluas meliputi sengketa tuntutan ganti rugi baik yang timbul dari:
Wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 jo. Pasal 1247 KUH Perdata dalam bentuk penggantian biaya,
bunga dan keuntungan yang akan diperoleh, atau
Perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, dalam bentuk genti rugi materil
dan imateriil.
Sita jaminan ternyata telah diperluas juga meliputi sengketa hak milik atas benda tidak bergerak.
Objek sita jaminan dalam perkara utang-piutang atau ganti rugi dapat diterpakan alternatif berikut.
Sita jaminan dapat langsung diletakkan di atasnya meskipun bentuknya barang tidak bergerak;
Dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan barang tertentu, pada barang itu melekat
sifat spesialitas yang memberi hak separatis kepada kriditor, oleh karena itu prinsip mendahulukan
penyitaan barang bergerak disingkirkan oleh perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan.
Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam penyitaan jaminan atas barang bergerak, antara lain:
Selain dari ketentuan yang biasa berlaku terhadap sita pada umumnya, terdapat ketentuan yang
bersifat khusus terhadap sita jaminan tidak bergerak, adalah sbb:
Syarat yang mesti dipenuhi agar dapat diletakkan sita kepada pihak ketiga, dijelaskan dalam pasal
728 Rv:
5) Pemberitahuan penyitaan
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu sita revindikasi bermaksud untuk menuntut pengembalian
barang yang bersangkutan kepada penggugat sebagai pemilik, sedang sita jaminan bertujuan
menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan pembayaran utang tergugat.
Dengan demikian pembekuan harta bersama dibawah penyitaan berfungsi untuk mengamankan
atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung
jawab dari tergugat.
Tentang sejauh mana tindakan pengamanan yang diamanatkan sita harta bersama, dapat
berpedoman kepada ketentuan pasal 823 Rv berdasarkan atas kepentingan beracara. Menurut pasal
ini, tindakan pengamanan meliputi:
Penyegelan
Pencatatan
Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk
menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.
Menurut pasal ini, selama berlansungnya gugatann perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat
mengizinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak bersama suami-istri.
Bunyi pasal ini persis sama dengan pasal 24 ayat (2) huruf c PP No 9 Tahun 1975.
Berdasarkan pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun telah memiliki aturan hukum positif
tentang lembaga sita harta bersama (sita marital).
Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan pasal 190 KUH perdata adalah
penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilain bararng-barang, penyitaan jaminan atas
barang-barang bergerak bersama atau barang-barang yang tetap bersama...
2. Lingkup penerapan sita harta bersama
Sita harta bersama , meliputi seluruh harta bersama, baik yang ada di tangan suami atau istri.
Sesuai dengan prinsip harta perkawinan yang di atur dalam bab 7 sebagaimana digariskan dalam
pasal 35 dan pasal 36 UU No. 1 tahun 1974, undang-undang memperkenalkan dua bentuk harta
dalam ikatan perkawinan
a. Harta bersama yaitu harta yang di peroleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan.
b. Harta pribadi yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan berlangsung.
Menetapkan dan menyerahkan Penjagaan barang yang disita dari suami kepada suami.
Menetapkan dan menyerahkan Penjagaan barang yang disita dari istri kepada istri.
Peletakan sita marital atas barang bergerak atau tidak bergerak, tidak menghalangi suami atau
istri untuk memanfaatkan apa-apa yang dihasilkan barang tersebut
Pemanfaat hasil itu satu pihak dibebani kewajiban untuk membagi hasil itu kepada pihak yang lain
Jika permintaan sita jaminan dari pihak ketiga untuk menjamin pembayaran utang suami atau istri
maupun utang keluarga (utang bersama suami istri) terhadap harta bersama setelah diatasnya
diletakkan sita marital maka yang dapat dikabulkan hanya sebatas sita penyesuaian saja.
Seperti yang telah dijelaskan, salah satu ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis penyitaan
adanya hak untuk meminta pengagkatan sita ketentuan itu juga berlaku pada sita harta bersama.
Hak milik
Bahwa baik seluruh atau sebagian harta yang di sita marital tersebut adalah milik pelawan bukan
harta bersama suami istri.
1) Partai verzet atau perlawanan yang bersifat partai yang diajukan oleh suami atau istri.
2) Derden verzet atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga, atas alasan:
Seluruh atau sebagian harta yang disita adalah miliknya bukan harta bersama suami-istri yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, sita harta bersama yang diletakkan di atasnya keliru dan tidak sah, dengan
demikian harus segera diangkat.
Pihak yang berkepentingan (suami atau isteri) dapat mengajukan permohonan izin untuk menjual
atau menggunkan barang bergerak atau tidak bergerak yang sedang berada di bawah sita marital,
1) Penjualan itu atau pengagunan itu sedemikian rupa pentingnya untuk menyelamatkan
kehidupan pemohon dan keluarga;
2) Harus mendengar pihak lain (suami atau istri) tentang hal itu, baik dalam sidang insidentil atau
dalam sidang pemeriksaan pokok perkara.
3) Penjualan atau pengagunan itu, tidak boleh mengakibatkan kerugian yang sedemikian rupa
kepada pihak lain.
Mengenai bentuk pengajuan izin, tergantung kepada keadaan yang mengikuti sita marital, dengan
acuan sebagai berikut: