Riset Kerjasama Ky 2009
Riset Kerjasama Ky 2009
PROFESIONALISME HAKIM :
Studi Tentang Putusan Pengadilan Tingkat
Pertama dalam Perkara Perdata dan Pidana di
Indonesia
Oleh :
Tim Peneliti Komisi Yudisial RI
Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati.SH.,M.Hum (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Dr. Djohansjah,SH,M.Hum. (Mantan Hakim Agung, Universitas Pelita Harapan)
Alxander Lay, S.H.,LL.M ( Advokat kantor Pengacara Todung Mulya Lubis)
Lousiana Maria,SH ( Advokat kantor Pengacara Todung Mulya Lubis)
Kelik Wardiono,SH.MH (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Abdul Bari,SH (Universitas Pelita Harapan)
Komisi Yudisial
Mei -2009
2
Kata Pengantar
Puji syukur, Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
karunia dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian ini.
Pemahaman terhadap keadaan dan perkembangan hakim di Indonesia saat ini, antara lain
tercermin dalam putusan-putusan yang dibuatnya, karena di dalam putusan yang dibuat oleh
hakim tersebut akan terlihat, bagaimana penguasaan hakim atas ilmu hukum, kemampuan
Pengadilan Tingkat Pertama dalam Perkara Perdata dan Pidana di Indonesia , merupakan
penelitian yang dilakukan oleh Komisy Yudisial bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi
baik negeri dan swasta yang telah menjadi mitra kerja Komisi Yudisial. Sebagai rasa syukur atas
terselesaikannya penelitian ini, ungkapan rasa terima kasi, kami haturkan kepada Para Komisioner
di Komisi Yidisial berserat seluruh staf-nya, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
sehingga terlaksananya penelitian ini. Ucapan terimak kasih juga kami haturkan kepada rekan-
rekan peneliti dari masing-masing perguruan tinggi yang menjadi mitra kerja dari komisi Yudisial.
Pada akhirnya penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum
Tim Peneliti
3
Daftar Isi
H
al
Kata Sambuatan dari ketua Komisi Yudisial…………………………………………………….. i
Kata Pengantar….…………………………………………………………………………………... iii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………... iii
Daftar Tabel …………..………………………………………………………………………….. iv
I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………………………….. 10
D. Metode Penelitian…………………………………………………………………………. 10
Daftar Tabel
H
a
l
BAB. I
PENDAHULUAN
Taverne
personifikasi lembaga peradilan, mengemban amanah yang tidak ringan. Didalam membuat
keputusan hakim tidak saja dituntut memiliki kemampuan inteketual, akan tetapi juga diharapkan
memiliki moral dan integritas yang tinggi, bahkan pada titik tertentu, hakim juga harus mempunyai
tingkat keimanan dan ketaqwaan, mampu berkomunikasi dengan baik, serta dapat menjaga peran,
mencerminkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum dan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Dalam konteks yang demikian Ronald Dworkin, menyatakan bahwa: “judges are the
princes of law’s empire”. Sejalan dengan itu J.R. Spencer menyebutkan bahwa : “ the judgment
1
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang
Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10
Januari 2003, page.iii
6
was the word of God ”. Hal yang relatif sama juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang
Demikian luhur misi yang diemban oleh hakim, sehingga konstitusi (Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan (UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman jo UU No. 14/1985 jo UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung) meletakkan
dasar hukum yang kuat, berkaitan dengan tugas, fungsi dan kedudukan hakim.
Tapi pernyataan yang ingin menunjukkan, bagaimana tugas, fungsi dan kedudukan ideal
yang seharusnya terlihat dari seorang hakim ketika membuat putusan, seperti terungkap di atas,
seringkali tidak mempunyai gema dan kehilangan resonansinya, ketika harus berbenturan dengan
struktur-struktur realitas yang didominasi oleh berbagai kepentingan, yang justru menenggelamkan
makna hakim dan lembaga peradilan sebagai sebuah entitas yang mempunyai kehidupan sendiri.
Dari perspektif internal, proses-proses pembuatan putusan tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan bernalar hakim. Kegiatan bernalar dari Hakim dengan beragam motivering3 yang
menopangnya, selalu berada dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir
yuridis4 yang terpelihara dalam sebuah sistem autopoesis, sehingga dapat berkembang menurut
logikanya sendiri, dan eksis sebagai sebuah model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-
tugas profesionalnya.
2
Adi Sulistiyono, Pengembangan Kemampuan Hakim Dari Perspektif Sosiologis, Makalah
disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Kemampuan Hakim, Kerjasama Komisi Yudisial,
Pengadilan Tinggi, Fakultas Hukum Universitas SamRatulangi; tanggal 21-22 Oktober di Hotel Ritzy
Manado
3
Motivering adalah pertimbangan yang bermuatan argumentasi, lihat Bernard Arief Sidharta,
Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum, dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Ed.), Wajah Hukum
di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, Hal. 206
4
Sidharta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum,
hal. 4
7
Di lingkungan peradilan umum, model penalaran hukum yang dipergunakan oleh hakim,
telah berkembang seiring dengan munculnya berbagai pemikiran tentang hukum, baik yang
bersumber dari kelompok pemikir yang berada dalam domain ilmu dogmatik hukum, teori hukum,
maupun domain filsafat hukum, yang berada di dalam lingkungan keluarga sistem hukumnya
masing-masing.
statement) dan penalaran (reasoning) yang ada pada kelompok pemikir dimasing-masing domain,
menyebabkan setiap pengemban hukum memiliki keleluasaan untuk melakukan pilihan terhadap
satu orientasi berpikir yuridis (model penalaran) tertentu, sesuai dengan tugas-tugas profesional
Hanya saja, pilihan-pilihan tersebut tidaklah dapat dilakukan dalam ruang hampa. Proses-
proses internal (kognitif) dalam kegiatan menalar, haruslah selalu merujuk pada beragam kode 5
5
Penciptaan sistem kode sebagai hasil sistem komunikasi yang dilakukan oleh semua sistem
didalam masyarakat, ebagaimana dekemukakan oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David
Schiff, “ …. To put this in simpler terms, what occurs within modern society is the growth of
specialist languages. This is a system of differentiation. But the differentiation is not at the level of role or
function (law is a dispute resolution system, politics is a decsion making system, etc), but in language.
Different systems of communication encode the world in different ways. The legal system encodes
the world into what is legal and illegal. Medicine encodes the world into what is healthy and
unhealthy. Science encodes the world into what is true or false. Accountancy constructs the
world into debits and credits. The Economy perceives the world in terms of profits and losses . Lihat lebih
lanjut Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David Schiff, The Autonomy Of Law: An Introduction
to Legal Autopoiesis dalam David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence, London :
Butterworth, 2003.
8
yang diproduksi dan direproduksi secara otonom oleh hukum sebagai sebuah sistem autopoesis 6.
Dalam hal ini Hakim sebagai salah satu pengemban hukum praktis, harus mampu menemukan,
membaca, menafsirkan dan menerapkan kode-kode hukum dengan baik dan benar, sebagai
bagian dari upaya untuk melakukan “ .... encodes the world into what is legal and illegal.... ”7
Dalam arena discursive field diantara berbagai metode penalaran yang seharusnya
digunakan oleh para hakim di dalam membuat putusan, metode penalaran deduktif, yang
tertambat erat pada madzab hukum positivistik menjadi pilihan utama (bila tidak dapat dikatakan
menjadi satu-satunya pilihan), yang secara perlahan menjelma menjadi kekuatan yang
Alur sejarah pembuatan putusan hakim peradilan umum di Indonesia adalah perjalanan
sejarah penerapan model penalaran deduktif, meskipun di periode tertentu dan dalam kasus
khusus, terdapat putusan pengadilan (hakim) yang menyempal dari mainstream penalaran deduktif
6
Hukum sebagai suatu sistem autopoesis pertama kali diperknalkan oleh Niklass Lukhman, yang
dikembangkan dan diperdalam lebih lanjut oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, David Schiff. Hukum
sebagai suatu sistem autopoesis dibangun dari dua konsep utama, yaitu: (1) The law is defined as an
autonomous system whose legal operations form a closed network. This idea of an autopoietic
operational closure is different from the inadequate concept of relative autonomy (e.g. Lempert
1987), which regards law as being more or less dependent on society and the main question is to
determine empirically the precise balance between its internal and external causation; (2)
Heteronomy (law's interrelationship with other social domains) is treated as 'structural coupling'.
This view, expounded by Maturana, involves the multiple membership of legal communications in
other autonomous domains. lihat lebih lanjut David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence,
Butterworth: London, 2003. bandingkan dengan Gunther Teubner and Alberto Febbranjo, State, Law and
Economy As Autopoeitic System : Regulation and Autonomy in A New Perspective, Milan : Dot. A Giuffre,
1992. sedangkan untuk pengertian unsur-unsur sistem autopoesis, lihat Goerge Ritzer dan Douglas J
Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasij sampai Perkembangan Mutkahir Teori Sosial
Postmodern, diterjemahkan oleh Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008, hal 357-358
7
Ibid.
8
Daniel Sparringa, Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang Demokratis : Kajian
Politik, Disampaikan dalam seminar nasional Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang
Demokratis dan Konggres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Dipenegoro Semarang, Tanggal 15-15 April 1998, hal. 4.
9
tersebut. Sebuah kekuatan yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai kekuatan hukum progresif,
yaitu kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status
quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka
kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan
perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara "biasa-biasa" saja
(business as usual).9
Hakim Agung Bismar Siregar10, yang seringkali mengandalkan hati nurani dalam
keadilan. Demikian pula Benjamin Mangkudilaga, yang tidak mau terkooptasi begiu saja terhadap
kekuasan eksekutif orde baru, serta dipandang sebagai ikon seorang hakim yang punya integritas
9
Satjipto Rahardjo, Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif, http://unisosdem.org/ekopol_ detail.php?
aid=4438&coid=3&caid=21. sumber kompas 6 september 2004
10
Hal ini antara lain terlihat ketika Beliau menjadi hakim Pengadilan Tinggi Sumatra Utara,
menambah vonis pengadilan tingkat pertama sampai 10 kali lipat. Ini dilakukannya pada perkara Cut
Mariana dan Bachtiar Tahir, dari yang semula divonis 10 bulan penjara oleh PN Medan karena tuduhan
memperdagangkan 161 kilogram ganja kering, kemudian dirubah, masing-masing menjadi 15 dan 10
tahun penjara. Demikain pula ketika Bismar mengubah hukuman bagi seorang kepala sekolah yang
mencabuli muridnya sendiri, dari tujuh bulan (oleh PN Tanjungbalai) menjadi tiga tahun (oleh Pengadilan
Tinggi Sumut). Dalam kasus ini Bismar menafsirkan kata barang dalam Pasal 378 KUHP yang
dituduhkan dilanggar oleh terdakwa bisa berarti "jasa". Ini dikaitkannya dengan istilah bonda (barang)
dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti alat kelamin. Lihat Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Bismar
Siregar (01) Cermin Kebeningan Nurani Hakim http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/b/bismar-
siregar/biografi/01.shtml, 26-10-2006
11
Sebab baginya, hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Dia merasa sangat bersyukur dan bahagia
sekali tidak masuk lingkaran hakim yang bisa disuap atau dibeli. Karena itu Bismar Siregar, satu
pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang,
hukum dan kepastian hukum, hanya sarana untuk mencapai keadilan.
10
diri dalam menegakkan keadilan. 12 Merupakan contoh dari para hakim yang tidak begitu saja
Dua ikon tersebut memberi sinyal, bahwa ditengah dominasi dan hegemoni penerapan
logika deduktif masih terdapat hakim-hakim “kecil” lain, yang termarginalisasikan dan
terpinggirkan, baik ditingkat nasional maupun lokal 13, yang memilih dengan sadar, penerapan
logika yang berbeda dengan logika deduktif, karena bagaimana pun --- sebagaimana dikemukakan
oleh Satjipto Rahardjo --- kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna
Munculnya model penalaran deduktif yang tertambat erat dengan madzhab filsafat hukum
positivistik demikian kuat mengakar dalam dunia peradilan Indonesia. “Kesetiaan” pada optik yang
bersifat preskriptif, dengan tujuan utama membuat keputusan guna mencapai nilai dasar kepastian
hukum, serta selalu berupaya mensterilkan hukum dari faktor-faktor ekstra legal (memandang
hukum sebagai lembaga otonom), sepertinya tidak pernah tergoyahkan oleh berbagai perubahan
Para ahli hukum dari keluarga sistem hukum civil law, pada dasarnya berada dalam arus
besar pemikiran bahwa “law as it is written in the books ”. Pola penalaran ini makin mendapat
penguatan pada abad ke-19, yakni setelah Hans Kelsen mengintrodusir ajaran Hukum Murni
12
Saat menjadi Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, beliau memenangkan
gugatan majalah Tempo yang dibredel pemerintah Orde Baru, terhadap Menteri Penerangan Harmoko.
Sebelumnya, ia juga telah memenangkan gugatan lima perusahaan future trading terhadap Menteri
Perdagangan yang mencabut SIUP mereka. Juga menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap
terdakwa Lince, yang membunuh suaminya sendiri di Pengadilan Negeri Bandung, pada 1986. Serta
putusan menolak gugatan petani Cimacan, Jawa Barat, yang lahannya dijadikan lapangan golf.
13
Hasil penelitan Bank Dunia pada tahun 2004, menemukan sejumlah idealis dan para vigilante di
tingkat lokal. Ada jaksa yang dengan inisiatif sendiri melakukan terobosan untuk mempercepat proses
peradilan. Ada hakim yang tidak mau diajak korupsi meski akhirnya harus dikucilkan, Lihat lebih lanjut
World Bank, Village Justice In Indonesia, Case studies on access to justice, village democracy and
governance, February 2004
11
(Reine Rechtslehre )-nya. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, para ahli hukum [Eropa] kontinental
hukum nasional. Akibatnya metode penalaran (termasuk metode penelitian) yang dikembangkan
para ahli hukumnya adalah doktrinal, bersaranakan terutama pada logika deduksi untuk
Interaksi model penalaran deduktif yang dipergunakan oleh hakim di lingkungan peradilan
umum, dengan berbagai model penalaran lain yang dikenal dalam teori hukum dan filsafat hukum
yang bersumber dari keluarga civil law ataupun common law, sepertinya tidak dapat menembus
konsepsi inti mindset dari para hakim yang terbangun oleh tradisi ilmu yang berakar pada ilmu
hukum yang muncul sejak ilmu hukum Romawi muncul pada abad ke 1 s/d 4, 15 kemudian
dikembangkan oleh Irnerius di stadium civile Bologna pada abad ke- 14, dan berpengaruh sangat
Dari perspektif eksternal, proses-proses kegiatan pembuatan keputusan oleh hakim, tidak
dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis, filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang
acapkali --- secara sadar ataupun tidak --- dimuati dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan
kultural, sosioligis, dan politis. Hal ini yang kemudian menyebabkan, pemikiran apriori, pra-
anggapan, prasangka dan praduga tentang klaim kebenaran dari keputusan yang dibuat tumbuh
subur dilingkungan komunitas hakim. Klaim tersebut kemudian diperkuat oleh argumen-argumen
para filosof hukum, teoretisi, maupun praktisi berdasarkan landasan paradigma, aliran filsafat dan
14
Soetandyo Wignjosoebroto, Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, makalah yan
disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, 4 – 5
Februari 1994, hal. 1 – 3.
15
Shidarta, Op. Cit, hal. 171
16
Ibid, hal. 167
12
Selama ini belum pernah dilakukan penelitan secara komprehensif tentang karakteristik
putusan pengadilan tingkat pertama di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Henri Kuok
yang menyatakan bahwa, kajian studi tentang institusi peradilan pada umumnya dan Mahkamah
Agung pada khususnya kurang menarik minat para sarjana. Dibandingkan dengan studi tentang
kepresidenan, parlemen, ataupun militer, studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang
sangat sedikit.17 Untuk itulah melalui penelitian ini akan dikaji lebih jauh dan mendalam bagaimana
sesungguhnya profil putusan hukum dari hakim-hakim di Indonesia, khususnya untuk perkara
Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, memberi harapan besar bagi seluruh rakyat
Indonesia, untuk melakukan perubahan dan perbaikan disegala bidang termasuk bidang hukum
dan pengadilan. Hanya saja sebagaimana dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD, --- dengan
merujuk pada pendapat M. Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 bagian,
Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar menyangkut pada isi
hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum baru menyangkut struktur
organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh para penegak hukumnya. Begitu
juga budaya hukum belum banyak disentuh dalam proses reformasi. Seperti kita
ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah semua UU yang dianggap
tidak kondusif bagi demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari UU bidang
politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan sebagainya
Begitu juga kita sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga
penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk
memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah disatu atapkan
di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi; bahkan kita juga sudah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Peradilan HAM, Peradilan Tipikor,
dan berbagai peradilan khusus lainnya. Namun dalam kaitan structure ini kita
belum memperbaiki birokrasi dalam arti pejabat penegak hukum sehingga upaya
17
Hendri Kouk, Di Antara Reruntuhan Pilar Mahkamah Agung, http://www.asmakmalaikat.com/
go/artikel/hukum/hukum10.htm
13
Pergumulan antara upaya untuk mewujudkan salah satu nilai dasar hukum, yaitu
kepastian hukum, dengan tuntutan untuk memperhatikan dan mengupayakan terwujudnya nilai
dasar hukum yang lain, yaitu keadilan dan kemanfaatan, menjadi pusaran utama dalam arena
diskursif dalam menentukan model putusan yang idealnya dipergunakan oleh hakim dalam
F. Rumusan Masalah
menerima, memeriksa dan memutus tindak pidana, pada peradilan tingkat pertama
menerima, memeriksa dan memutus sengketa perdata, pada peradilan tingkat pertama
18
Moh. Mahfud MD, Pengadilan dan Demokrasi “Rabaan Diagnosa dan Terapi, makalah
disampaikan dalam dalam Dinner Lecture yang diselenggarakan oleh Komite Indonesia untuk
Demokrasi (KID) di Hotel Ciputra Surabaya, 21 Nopember 2007. hal. 9
14
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan yang dicapai melalui penelitian
ini adalah:
dalam menerima, memeriksa dan memutus tindak pidana, pada peradilan tingkat pertama
dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa perdata, pada peradilan tingkat pertama
Manfaat yang akan diperoleh melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :
tingkat pertama, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, maka secara praktis
dapat dijadikan sebagai panduan materi bagi hakim dalam menemukan, menfasirkan hukum
H. Metode Penelitian
15
Adapun metode-metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi hal-hal
sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
pendekatan doktrinal, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang
berwenang. Hukum dipandang sebagai suatu lembaga yang otonom, terlepas dari lembaga-
lembaga lainnya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu pengkajian yang dilakukan,
hanyalah ”terbatas” pada putusan pengadilan dilingkungan peradilan umum, khususnya untuk
Dari berbagai jenis metode pendekatan yuridis normatif yang dikenal, peneliti memilih
2. Spesifikasi Penelitian
Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud
menggambarkan secara jelas dan rinci tentang karakteristik profesionalisme hakim dalam
memutus perkara dalam sengketa perdata dan tindak pidana dalam pemeriksaan tingkat
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa
pemeriksaan tingkat pertama (pengadilan negeri), yang terdiri dari. 149 perkara perdata dan
59 perkara pidana.
Sumber utama data sekunder yang dipergunakan berasal dari pengadilan negeri
kepustakaan. Dalam hal ini pengumpulan data dilakukan dengan cara, mencari,
negeri. Adapun instrumen pengumpulan yang digunakan berupa form dokumentasi, yaitu
17
suatu alat pengumpulan data sekunder, yang berbentuk format-format khusus, yang dibuat
untuk menampung segala macam data, yang diperoleh selama kajian dilakukan.
Data yang telah terkumpul dan telah diolah, dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif, yakni suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara menafsirkan dan
mendiskusikan data-data yang telah diperoleh dan diolah, berdasarkan (dengan ) norma-
Analisis pada tahap awal dilakukan dengan cara melakukan inventarisasi terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi objek kajian.
Data yang terkumpul akan diidentifikasikan secara analitis doktrinal, dengan menggunakan
Sedangkan untuk tahap kedua akan dilakukan analisis yang dilakukan dengan cara
hukum, doktrin-doktrin hukum dan teori hukum yang ada, sehingga pada tahap akhirnya akan
BAB. II
LANDASAN TEORETIS
Untuk mengetahui kedudukan putusan Hakim yang oleh Sudikno Mertodikusumo diartikan
sebagai “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang
untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak 19, dalam sistem hukum di Indonesia, dapat mendasarkan
pada Teori Reine Rechtslehre (The pure theory of law, teori hukum murni) dari Hans Kelsen.
Teori murni tentang hukum ini, bermaksud melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan
objek ilmu hukum. Meskipun diakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis,
filosofis dan sebagainya, akan tetapi yang dikehendakinya adalah “teori yang murni” mengenai
hukum. Setiap suatu kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah ( stufenbau).
Dipuncak “stufenbau” terdapat “grundnorm” atau kaidah fundamental yang merupakan hasil
pemikiran yuridis. Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara
hierarkis, yaitu: (1) Kaidah hukum dari konstitusi; (2) Kaidah hukum umum atau abstrak dalam
undang-undang atau hukum kebiasaan; (3) Kaidah hukum individual atau kaidah hukum konkrit
pengadilan20.
Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan: “Dalam menyelesaikan suatu sengketa antara dua
pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa dengan suatu hukuman, pengadilan menerapkan
19
Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty, 1988, hal 167
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: UI-
Press, 1986, hal. 127-128
19
suatu norma umum dari hukum undang-undang atau kebiasaan. Tetapi secara bersamaan
pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menerapkan bahwa sanksi tertentu harus
dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu. Norma khusus ini berhubungan dengan norma-
norma umum, seperti undang-undang berhubungan dengan konstitusi. Jadi, fungsi pengadilan,
seperti halnya pembuat undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum. Fungsi pengadilan
biasanya ditentukan oleh norma-norma umum baik menyangkut prosedur maupun isi norma yang
harus ia buat, sedangkan pembuat undang-undang biasanya ditentukan oleh konstitusi hanya
Sehubungan dengan hal diatas, Otje Salman berpendapat bahwa “... hukum itu bersifat
hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas
derajatnya. Dimana urutann\ya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu putusan badan
pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas
disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm, hanya merupakan
penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang bersifat metayuridis” 22.
Dengan demikian putusan badan peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa
konkrit yang disebut norma khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum
yang bersandar kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga
merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar berupa
21
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State)
diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, Bandung : Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,
2006, hal. 193
22
Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Bandung: Armico, 1987, hal.. 11
20
konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat
metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Struktur norma dapat digambarkan sebagai berikut 23:
Y Grundnorm
U GN
R
I
S
Konstitusi
Konstitusi
P
R Per. Per-UU-an
U
D Norma Hukum & kebiasaan
E
N
S Putusan Badan
I
Norma Khusus Peradilan
Pendapat Otje Salman yang menggambarkan norma yang bersifat hierarkhis dalam arti
hukum tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Putusan
pengadilan berada pada urutan paling bawah, dan di atasnya undang-undang dan kebiasaan,
Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa putusan pengadilan adalah suatu tindakan
penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus,
23
Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah ,
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, Hal. 252
21
dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat
melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh
pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans Kelsen: Putusan
pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan
mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-
kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa
memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang
dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai
yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum
substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat
peraturan.24
Putusan pengadilan tidak terlepas dari keadilan yang diberikan hakim. Menurut Hans
Kelsen, keadilan adalah suatu kualitas yang berhubungan tidak dengan isi dari perintah positif,
tetapi pada pelaksanaannya. Keadilan berarti menjaga berlangsungnya perintah positif dengan
Hans Kelsen mengatakan, keadilan adalah kebahagian sosial. Pendapat Hans Kelsen ini
tercermin dalam Ideologi Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya Sila Kelima:
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila Kelima ini mengandung pengertian bahwa
keadilan meliputi pemenuhan tuntutan-tuntutan hakiki bagi kehidupan jasmani dan rohani/materiil
dan spritual manusia, yaitu bagi seluruh rakyat Indonesia secara merata berdasarkan atas asas
24
Hans Kelsen, Op., Cit, hal. 194
25
Djohansjah, J, , ’Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman”, hal. 56
22
kekeluargaan. Sila kelima tersebut menjabarkan keadilan dalam pengertian tata sosial masyarakat,
Keadilan yang diberikan hakim dalam putusannya harus berdasarkan hukum positif,
karena hukum positif (peraturan perundangan) merupakan kehendak dari kedaulatan rakyat, yang
mempunyai legitimasi sebagai hukum yang mengikat, sehingga hakim tidak boleh mengambil
putusan yang bertentangan dan menyimpang dari apa yang telah diatur oleh hukum positif dan
hakim tidak dapat menggali hukum apabila hukum tersebut telah diatur dalam hukum positif.
Keadilan semacam ini adalah keadilan dalam arti legalitas, adalah suatu kualitas yang
berhubungan bukan dengan isi dari tata hukum positif, melainkan dengan penerapannya
Oleh karena itu, undang-undang harus dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.
Keadilan berarti juga kebahagian bagi masyarakat atau setidak-tidaknya, untuk sebagian besar
masyarakat (the greatest happiness of the greatest number of people). Pendapat seperti ini
dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang kemudian dikenal sebagai paham Utilitarian yang
merupakan pengembangan dari Aliran Positivisme Hukum. Jeremy Bentham yang didukung oleh
John Stuart Mill, berpendapat bahwa penilaian moral dari suatu perbuatan didasarkan atas hasil
atau akibat dari perbuatan itu. Jeremy Bentham tidaklah membedakan lagi antara upaya mengejar
kebahagian individu dengan upaya mengejar kebahagian umum. Asal saja sebagian besar
masyarakat secara pribadi-pribadi sudah merasa bahagia, maka sudah tercapailah tujuan hukum
diciptakan.
23
Hakim dalam mengambil putusan tidak terlepas dari kebebasannya yang dikenal dengan
Indepensi kekuasan kehakiman tercantum dalam pasal 24 ayat (1) UUD Amandemen ke-
tiga (Tahun 1999) yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
hakim untuk menjalankan tugasnya menyelenggarakan peradilan secara tidak memihak, semata-
mata berdasarkan fakta dan hukum, tanpa pembatasan, pengaruh, bujukan, tekanan atau
intervensi, langsung maupun tidak langsung, dari pihak manapun dan/atau untuk alasan apapun,
atau dalam istilah lain disebut juga “independensi struktural” atau independensi eksternal”
lembaga peradilan dari pengaruh lembaga lainnya, khususnya eksekutif dan legislatif.
2. Dalam arti luas “independesi kekuasaan kehakiman meliputi juga “independensi individual”
Pengertian independensi personal dapat dilihat juga dari setidak-tidaknya 2 sudut, yaitu:
24
baik ketika memutuskan suatu perkara maupun ketika menjalankan tugas dan
Independensi individual meletakkan hakim sebagai titik sentral dari seluruh pengertian
independensi, yaitu kebebasan dari segala pengaruh dari luar apapun bentuknya.
F. Profesionalisme Hakim
“hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim sebagai aparat
penegak hukum di semua tingkat pengadilan menjadi sangat penting, terlebih dengan segala
kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya : dapat mengalihkan
hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan
penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, tugas dan wewenang yang
dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam kerangka penegakkan hukum, kebenaran, dan
keadilan sesuai peraturan perundang-undangan, kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak
membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang
sama kedudukannya di depan hukum ( equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim
25
yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang
diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib
Beranjak dari peran dan posisi hakim sebagaimana dikemukakan di atas, aspek
profesionalisme merupakan salah satu aspek yang harus dimiliki, agar seorang hakim dapat
menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan baik, karena sebagaimana dikemukana oleh
Roscoe Pound, ”problem yang lazim dihadapi oleh berbagai negara adalah di mana penegakan
hukum tidak berjalan menurut seharusnya disebabkan oleh faktor sumber daya manusia dan
bukan karena faktor hukum itu sendiri”. Pendapat yang demikian menunjukkan bahwa faktor
sumber daya manusia (aparat penegak hukum) sangat mempengaruhi efektivitas penegakan
hukum, sebab faktor aparat ini diakui memegang peran utama dalam upaya penegakkan hukum
dan keadilan dan bukan terletak pada peraturan perundang-undangan 27. Hal ini sejalan dengan
ungkapan filosof Taverne, yang menyatakan: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan
cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang
26
Chatamarrasjid Ais, Pola Rekrutmen Dan Pembinaan Karir Aparat Penegak Hukum Yang
Mendukung Penegakan Hukum, Makalah disampaikan dalam kegiatan Seminar Tentang Reformasi
Sistem Peradilan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, yang diselenggarakan oleh BPHN
bekerjasama dengan FH UNSRI dan Kanwil Dephukham Prop. Sumatera Selatan, di Palembang 3 – 4
April 2007, hal. 1-2
27
Ibid, hal. 4.
28
Adi Sulistiyono, Pengembangan Kemampuan Hakim Dari Perspektif Sosiologis, Op. Cit, hal. 9
26
Profesionalisme hakim, antara lain dapat dilihat dari aspek : penguasaan atas ilmu hukum,
kemampuan berpikir yuridik, kemahiran yuridik, kesadaran serta komitmen profesional. 29 Hal ini
sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law
Asia Region (yang kemudian diamandemen di Manila, 28 Agustus 1997) yang menetapkan, bahwa
sikap profesionalisme hakim dibangun oleh tiga pilar utama, yaitu nilai-nilai kecakapan
secara sistematik, metodik dan rasional atas asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan
hukum, baik pada tingkat lokal, nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran
Dari sudut kompetensi-keras (hard competence), profesionalisme hakim diukur antara lain
dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan hakim atas
bidang-bidang keilmuwan yang relevan. Survei yang diselenggarakan Bureau of Labor Statistics di
Amerika Serikat terhadap para hakim pada tahun 2005, sebagai misal, mencatat ada tiga puluh
tiga disiplin ilmu yang dinilai vital untuk dikuasai hakim. Mulai dari bidang hukum dan pemerintahan
Di Indonesia, paling tidak untuk saat ini, tuntutan penguasaan keilmuwan yang variatif
seperti atas jelas sukar dipenuhi. Oleh karena itu, sesuai studi UNODC (2006), yang lebih dapat
diupayakan adalah penekanan hakim pada bidang spesialisasi tertentu. Dengan penguasaan yang
lebih optimal dan spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan hakim menjadi lebih
tinggi kualitasnya.
29
Komisi Hukum Nasional, Reformasi Dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di Indonesia,
Jakarta/Bandung, 2004, hlm. 53-54. Tersedia: http://www.khn.go.id. Diakses tanggal 5 September 2006.
27
Penguasaan ilmu hukum yang mendalam, sangat dibutuhkan bagi seorang Hakim karena
adanya kewenangan yang dimilki oleh hakim untuk melakukan penggalian, penemuan hukum dan
penciptaan hukum
kerangka tatanan hukum yang berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional, maupun
internasional) untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya
dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum ( rechtsidee) yang mencakup ide tentang
kepastian hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam
masyarakat melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Termasuk di dalam ide kemampuan Legal
reasoning ini adalah kemahiran intelektual untuk: (a) mengakses, menggunakan serta mengolah
informasi secara tepat dan rasional; (b) berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan
maupun tertulis); (c) mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam rangka
Penalaran hukum (legal reasoning) menurut Neil MacCormick adalah, “… one branch of
practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to
conduct themselves in situations of choice .”30 Jika mengikuti batasan tersebut, secara umum
penalaran hukum adalah jenis berpikir praktis (untuk mengubah keadaan), bukan sekadar berpikir
Legal reasoning diartikan sebagai pencarian “ reason” tentang hukum atau pencarian dasar
tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-
argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Legal reasoning juga
30
Neil MacCormick, Legal reasoning and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1994),
halaman. ix
28
dapat diartikan suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa
hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain)
ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan
Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk
memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk
mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari
terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila
terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun
undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu
undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi
pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu
undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan
Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di
atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning
tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai: (i) reasoning untuk mencari dasar
tentang substansi hukum yang ada saat ini, atau (ii) reasoning yang diambil dari substansi hukum
yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang
Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana hakim
memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah dalam
31
Sebagian besar bagian ini diambil dari tulisan Asril Sitompul, S.H., LL.M, Pengantar Tentang Legal
reasoning, http://pihilawyers.com/blog/?p=35
29
memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang ada
mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan semua aspek yang ada
Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal
reasoning yaitu:
1. Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang
terjadi.
2. Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus
diambil atas suatu perkara yang terjadi.
3. Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan
mempertimbangkan semua aspek.
Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam pelaksanaannya
terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara pada ahli hukum terutama di
Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal reasoning
yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di Amerika Serikat
sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan kemampuannya untuk melihat
Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk mencari
perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu.
Dalam perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya
berupaya melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat
30
melihat kasus yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang menganut sistem
hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan mengenai
penerapan legal reasoning yang didasarkan pada doktrin “ stare decisis” yang mewajibkan para
Di Inggris, Montrose misalnya telah menyatakan secara eksplisit bahwa dalam kerangka
analitis reasoning melalui contoh, pandangan kebanyakan hakim di Inggris, terutama pada
dekade akhir-akhir ini, adalah bahwa praktek peradilan Inggris modern membatasi kebebasan
hakim Inggris untuk mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan terdahulu.
Sementara Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari penerapan doktrin preseden
tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering harus melihat hukum melalui mata
para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tidak sepakat bahwa tugas hakim di
Amerika hanya untuk melihat hukum sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan
menurutnya melihat hukum melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata para
pendahulunya tidak akan membawa kepada pola yang secara dominan merupakan penolakan
dari reasoning yang diajukan oleh hakim terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak
Legal reasoning yang telah tersusun melalui kasus yang sudah diputuskan oleh hakim
terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang terjadi sesudahnya dengan kegiatan
mencari dan membangun legal reasoning secara kasus per kasus. Jadi meskipun telah terjadi
suatu kasus yang sejenis berkali-kali, namun dalam menyusun argumentasi di dalam opininya,
hakim harus mendasarkan legal reasoning secara khusus untuk setiap kasus tertentu.
Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning ini
terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan kasus yang lainnya
dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep hukum (legal concepts). Memang
benar bahwa persamaan antara suatu kasus dengan kasus lain adalah terlihat dalam susunan
Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu mempunyai
ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil itu. Sebagaimana
diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu metofora, bahwa: “suatu perkataan
Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus menjadi
perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk memperhatikan pentingnya kesamaan
atau perbedaan, maka perbandingan akan timbul dengan kata-kata. Apabila kata-kata itu akhirnya
Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi lingkaran
Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi sebagaimana
diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus yang lain,
kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit banyaknya menjadi
suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh terus berlangsung untuk mengklasifikasikan
hal-hal yang ada di luar dan di dalam konsep tersebut. Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi
keruntuhan konsep tersebut, apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan dan
membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi diperlukan, dan dimulai lagi
penciptaan konsep hukum yang baru, dan kemudian mengalami reasoning kembali, demikian
Proses reasoning dengan berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan bahwa
reasoing dengan menggunakan undang-undang adalah cara berpikir deduktif. Namun pendapat ini
tidak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan case law konsep yang tercipta didapat dari
contoh-contoh yang tertentu. Hal ini tidak mencerminkan induktif sepenuhnya, tetapi arahnya
memang dari khusus ke umum. Telah dibuktikan bahwa ketentuan umum mendapatkan artinya
dalam hubungan-hubungan yang terjadi pada kasus-kasus khusus. Akan tetapi ia juga mempunyai
kemampuan untuk mendorong implikasi dari kasus yang menjadi hipotesis yang dibawanya dan
bahkan dengan kemampuan untuk mendorong kategori yang lain yang mempunyai kesamaan.
Kata-kata “bahaya yang ada” misalnya mengandung arti “dekat”, “terkait” dan juga “jelas”. Dengan
demikian kata-kata ini mendorong suatu contoh kasus yang terjadi untuk dimasukkan ke dalam
kategori yang sama, dan jika itu terjadi maka akan merupakan cara reasoning yang deduktif
33
Sedangkan dalam penerapan reasoning melalui undang-undang adalah datang dari arah
yang berlawanan. Suatu kata-kata telah disusun di dalam undang-undang, hal ini tidak dapat
(legislatif). Pihak legislatif mungkin saja menyimpan suatu kasus tertentu di dalam pikirannya,
Jadi dalam pelaksanaan undang-undang, keinginan legislatif adalah penting, tetapi kata-
kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti. Laporan-laporan dan catatan dalam
terdahulu akan menunjukkan perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk
menemukan keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam
undang-undang adalah melibatkan cara berpikir yang deduktif, karena ketetapan yang diambil dari
kata-kata yang ada di dalam undang-undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus
Dalam mengkaji suatu peristiwa dan/ atau perbuatan hukum, proses legal reasoning
diperlukan untuk menjaga agar peristiwa atau perbuatan hukum tersebut tetap berada dalam
koridor ketentuan hukum yang berlaku. Dalam penyusunan undang-undang, peraturan pemerintah,
maupun dalam penyusunan peraturan internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini
dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-
undang atau peraturan lainnya. Demikian pula, untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum yang
terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan, untuk mendapatkan esensi dari sengketa agar
Pentingnya peranan interpretasi ini timbul dari berbagai dasar di antaranya, bahwa
interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari penyelesaian, atau
setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan terhadap suatu problem
ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian perundang-undangan. Jika suatu kata atau
kalimat di dalam perundang-undangan tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat
dijadikan suatu dasar hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang
menjadi penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Peranan pandangan ahli filsafat
hukum (di antaranya Ronald Dworkin) sangat membantu dalam memperkenalkan teori hukum
sebagai “interpretative concept” yang membawa pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli
teori hukum dalam memberi kontribusi terhadap peranan interpretasi dalam legal reasoning.
dua arah, backward dan forward looking, yaitu: mencari dasar ke belakang (konsep hukum yang
sudah ada) dan merancang ke depan (menyusun konsep baru), dengan kata lain dalam
melakukan interpretasi tentang “sesuatu”, terlebih dahulu haruslah menganggap bahwa ada
“sesuatu”, yang original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran yang absah itu
dilaksanakan, jadi harus dibedakan antara interpretasi dengan penciptaan murni, interpretasi
janganlah hanya diartikan sebagai upaya untuk melakukan reproduksi, tetapi juga untuk membuat
Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi mempunyai
peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu: (i) dalam reasoning untuk
menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/ kasus yang terjadi, dan (ii) dalam menyusun
reasoning dari substansi hukum yang ada untuk mendapatkan keputusan dalam masalah/ kasus
konstitusi itu dari semula diartikan oleh pihak yang mengesahkannya. Bork menyatakan, bahwa
semakin dekat dengan pengertian aslinya maka semakin “benar” penafsiran tersebut. Pendekatan
pentingnya inovasi dan menolak originalisme yang diajukan Bork. Levinson berpendapat bahwa
konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena adanya ketidakpastian bahasa dalam undang-
undang (konstitusi).
Seberapa besar peranan persyaratan bahwa hakim harus yakin terhadap sesuatu yang
harus ditafsirkan menjadi hambatan dalam penafsiran hukum, dan adakah hambatan lainnya bagi
Menurut Owen Fiss aturan disiplin dalam bentuk standar yang diterapkan bagi profesi
hakim menjadi penghambat terhadap penafsiran yuridis yang akan dilakukan oleh hakim dalam
memutus perkara, demikian pula peraturan tentang penggunaan bahasa yang dari semula sudah
merupakan hambatan para pengguna untuk mendapatkan arti yang sebenarnya dari teks undang-
undang.
Raz menolak dua jenis teori umum tentang interpretasi, yaitu teori “operasional” ( recipe-
like theories) yang dirancang untuk menjadi panduan bagi hakim untuk mendapatkan putusan yang
tepat bagi kasus yang diadilinya, dan teori yang meskipun tidak ditujukan sebagai panduan bagi
hakim dalam mengambil keputusan yang tepat akan tetapi dirancang untuk memberikan kriteria
untuk membedakan interpretasi yang baik dengan interpretasi yang tidak baik. Akan tetapi Ronald
Dworkin mendukung adanya teori umum tentang interpretasi yang dapat digunakan kegiatan
penafsiran hukum. Bagi Dworkin, adalah merupakan tujuan semua interpretasi hukum untuk
36
tujuannya berupa: membuat suatu kemungkinan adanya contoh terbaik yang dapat diambil dari
interpretasi, akan tetapi menurut Dworkin hal itu bukan berarti memberikan panduan yang “ recipe-
like” yang memandu hakim langkah demi langkah yang terancang untuk memberikan keputusan
yang terbaik.
Teori tentang penafsiran yang lazim dianut di Indonesia berlatarbelakang dari ilmu hukum
dogmatis yang bertolak dari tata hukum yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dalam rangka memberi arti agar dapat dimengerti secara umum melalui interpretasi yang bertujuan
Interpretasi merupakan metode yang khas bagi ilmu hukum. Namun, di Indonesia telah ada
sebab teks undang-undang itu sudah terang dengan sendirinya, mengerti kalimat atau kata dalam
undang-undang berarti sudah menafsirkannya. Ada beberapa jenis penafsiran yang ada dalam
Penafsiran secara historis ialah untuk mengetahui maksud dan kehendak dari sang pembuat
penjelasan dan pembahasan yang dilakukan antara Pemerintah (Daerah) dan Dewan
perkembangan lembaga hukum yang diatur dalam peraturan itu sedari dulu sampai
sekarang.
Penafsiran Sistematis atau penafsiran dogmatis ialah suatu cara penafsiran dimana kaidah-
kaidah hukum dalam peraturan perundangan dihubung-hubungkan satu sama lain dengan
mengkaitkannya dengan lembaga-lembaga hukum, azas-azas hukum dan sistem hukum yang
ada.
Penafsiran Teleologis atau Sociologis ialah cara penafsiran sedemikian rupa, sehingga
kaidah-kaidah dalam peraturan perundangan yang dibuat di masa lampau dan yang dirasakan
oleh masyarakat tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan sekarang dan sesuai
dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang terdapat di kalangan rakyat. Dengan jalan ini
Penafsiran resmi (authentike atau officiele interpretatie ) ialah penafsiran yang dibuat oleh
pembuat perundang-undangan sendiri mengenai arti dari istilah-istilah yang dipakai dalam
perundang-undangan itu. Dalam hal ini hakim terikat dan tidak boleh membuat penafsiran lain
Penafsiran bebas (vrije interpretatie) ialah cara penafsiran lainnya yang diserahkan kepada
kebijaksanaan Hakim dalam hal, cara-cara penafsiran tersebut di atas, belum juga dapat
Selain keenam metode penafsiran tersebut diatas yang sering dan lazim dipergunakan para
Hakim, pada waktu belakangan ini dalam yurisprudensi dipergunakan metode-metode baru
g. Penafsiran fungsional
Penafsiran Fungsional ialah cara penafsiran yang sejalan dengan penafsiran teleologis
dengan perbedaannya terletak pada titik berat penilaiannya. Misalnya dalam hukum pidana
ekonomi maka fungsi ekonomilah yang dipentingkan ( het economisch funtioneren domiheert).
h. Penafsiran rasional
Penafsiran rasional ialah cara penafsiran yang didasarkan pada ratio atau akal sehat
(redelijkheid).
penafsiran yang mulai mempelakukan suatu kaidah hukum baru yang dalam kasus yang
bersangkutan, meskipun peraturan itu baru formal belum berlaku, demi untuk
k. Penafsiran kreatif
Penafsiran kreatif menurut Hazewinkel Suringa ialah cara penafsiran untuk mendapatkan
pengertian atau unsur tertentu dalam perundang-undangan yang tidak termuat, dengan jelas
di situ, tetapi yang hustru membatasi dan mempersempit artinya dan bersifat restriktif.
l. Penafsiran penambah
Akan tetapi terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap undang-
undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti yang samar-samar,
m. Penafsiran pelengkap
ternyata belum lengkap, karena kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak mungkin
keseluruhannya ditentukan oleh undang-undang, hanya sebagian yang sesuai dengan rasa
keadilan yang muncul dari teks undang-undang, sedangkan sebagian lagi tetap membisu di
dalam teks itu. Untuk itu diperlukan pencapaian untuk sampai kepada pengertian undang-
tersebut berfungsi dalam kehidupan. Ilmu hukum bukan suatu sistem yang tertutup melainkan
tambahan bagi suatu penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang
n. Penafsiran budaya
Di samping kedua penafsiran tersebut di atas masih terdapat suatu penafsiran yang bersifat
total, yang disebut dengan penafsiran budaya, yaitu penafsiran perkara/ kasus di bawah
pengaruh keyakinan suatu masyarakat tertentu yang bukan bersifat politis akan tetapi bersifat
sosial etis, yang menentukan apakah suatu perkara/ kasus atau masalah merupakan hal yang
layak di masyarakat tertentu. Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan sosial etis
sudah ada sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen yuridis yang cocok.
Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus digabungkan dengan argumen
yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang meyakinkan, dengan demikian argumen
tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak.
Kress, Marmor dan Raz berpendapat bahwa teori koherensi yang mempunyai hubungan
sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini mendapatkan tempatnya di dalam filsafat hukum. Teori
koherensi dalam hukum juga mempunyai pengaruh dalam konteks teori koherensi tentang
kebenaran, kepercayaan yang sah, etika dan keadilan. Teori Dworkin tentang hukum sebagai
integritas sebagai pendukung teori koherensi tempaknya menjawab pertanyaan ini secara lengkap:
koherensi, dalam penafsiran hukum sebagaimana berbicara dengan satu suara dengan integritas
mengharuskan adanya nilai yang ditengarai mempunyai hubungan yang relevan dengan
kenyataan hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim untuk
mencapai suatu keputusan yang adil. Harus diperhatikan pula bahwa ketentuan-ketentuan hukum
seperti doktrin, preseden, argumen dari analogi, dan keharusan memperlakukan suatu kasus sama
seperti kasus sebelumnya tampaknya diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang koherensi.
41
Mac Cormick memandang koherensi dalam bentuk kesatuan azas-azas pada sistem
hukum, dan menyatakan bahwa koherensi dari satu kesatuan norma hukum terdiri dari
keterhubungan mereka baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau nilai-nilai yang sama, atau
dalam bentuk pemenuhan suatu prinsip atau prinsip-prinsip yang sama. Raz juga memandang
koherensi dalam hukum dalam bentuk kesatuan prinsip. Semakin menyatu prinsip-prinsip yang
mendasari putusan hakim dan tindakan legislatif dalam menyusun undang-undang, semakin
Menurut Raz teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan adanya
“dasar”atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dalam karakternya secara
krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi di wilayah filsafat lainnya.
Raz berpendapat bahwa putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus yang
secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang berlaku, hakim harus
menanamkan didalam pikirannya bahwa jika mereka memilih suatu jalan/ cara terdahulu, dan
muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka pada perselisihan hukum yang
mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi terhadap hukum dan karena itu
menciptakan ketidakseimbangan dengan doktrin hukum yang berlaku, maka hal ini tidak berarti
bahwa legislator harus menyusun hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di
masa lalu, karena legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam
memperkenalkan peraturan yang baru, dan untuk itu dapat mereformasi seluruh area hukum
terkait.
Sebaliknya hakim hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah yang timbul dalam
suatu kasus hukum yang dibawa ke depannya, dan tidak berwenang untuk melakukan reformasi
42
hukum secara radikal. Hal ini menjadi alasan bahwa hakim harus memberi bobot yang lebih bagi
koherensi dengan hukum yang berlaku dalam memutuskan kasus yang dibawa kehadapannya.
Namun, Dworkin mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ini, baginya baik hakim
maupun ahli hukum teoretis harus memberi penjelasan bagaimana mereka sampai kepada suatu
kesimpulan yang menciptakan hukum. Dworkin menyatakan bahwa hukum adalah suara yang
tersusun dan koheren sebagaimana suatu kumpulan prinsip-prinsip yang berhubungan dimana
setiap anggotanya menerima kenyataan bahwa mereka terhubung dengan kenyataan bahwa hak-
pengadilan yang tepat adalah yang didasarkan kepada koherensi yang baik dengan hukum secara
bahwa keunggulan koherensi global mengabaikan fakta bahwa adakalanya putusan yang sah
secara hukum didukung oleh, suatu hubungan yang koheren dengan prinsip-prinsip yang
merupakan wilayah suatu bidang hukum tertentu, akan tetapi prinsip tersebut berbeda secara
substansial dengan, dan oleh karena itu tidak koheren dengan prinsip dari bidang hukum lain.
Dalam pandangan ini, suatu putusan pengadilan yang sangat koheren dengan prinsip hukum di
bidang tertentu dapat saja tidak menghasilkan koherensi dengan keseluruhan sistem hukum.
Argumen dari preseden dan analogi merupakan hal pokok dalam legal reasoning, legal
reasoning ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum dilakukan orang dalam
kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh yang baik dalam hal ini, dalam kehidupan
memutuskan sesuatu pada masa lalu dalam mengambil keputusan terhadap masalah yang
dihadapinya dan yang akan diputuskannya di masa depan. Berbeda dengan preseden di bidang
43
hukum, meski hukum bukan satu-satunya bidang di mana orang akan mempertimbangkan
keputusan terdahulu dalam mengambil putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai praktek
lembaga juga memberi bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan putusan masa lalu
dalam mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga biasanya pengambil keputusan akan
selalu mengacu kepada apa yang diputuskan sebelumnya sebagai pertimbangan mengenai apa
yang harus mereka lakukan saat ini, tanpa memandang apakah keputusan yang diambil di masa
keputusan sebagai suatu kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi adalah berbeda
dari masa lalu, yaitu dengan mengutipnya sebagai suatu analogi. Mereka beralasan bahwa karena
keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa, maka akan tidak konsisten apabila sekarang
Dengan Legal reasoning dapat dipertimbangankan apa yang telah diputuskan di masa
lalu tanpa memandang kehadiran para pembuat keputusan secara personal waktu itu. Dengan
legal reasoning dapat dipertimbangkan apakah putusan masa lalu telah diambil secara tepat, akan
tetapi fokus utama adalah bahwa keputusan yang diambil saat ini haruslah tepat dan tidak
Penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang
melakukan penalaran. Sudut pandang tersebut antara lain dilatarbelakangi oleh keluarga sistem
hukum (parent legal system) dan posisi si penalar sebagai partisipan ( medespeler) dan/atau
pengamat (toeschouwer). Sudut-sudut pandang ini kemudian bermuara menjadi orientasi berpikir
yuridis, yakni berupa model-model penalaran di dalam disiplin hukum, yang biasanya dikenal
Kemahiran yuridik, yang mencakup keterampilan atau kemahiran dalam menelusuri dan
kepekaan dan kesadaran etik profesional, khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi
hukum sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat
BAB. III
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembuatan putusan oleh hakim, tidaklah dapat dilakukan dalam ruang hampa. Proses-
proses pembuatan putusan haruslah selalu merujuk pada beragam kode yang diproduksi dan
direproduksi secara otonom oleh hukum sebagai sebuah sistem autopoesis. Dalam hal ini Hakim
sebagai salah satu pengemban hukum praktis, harus mampu menemukan, membaca, menafsirkan
dan menerapkan kode-kode hukum dengan baik dan benar, sebagai bagian dari upaya untuk
melakukan “ .... encodes the world into what is legal and illegal.... ”
Dalam perspektif teori sistem, gugatan atau dakwaan dipahami sebagai input,
pemeriksaan perkaranya dari instansi kepolisian sampai ke instansi pengadilan dipahami sebagai
suatu rangkaian throughout, sedangkan putusan hakim dipahami sebagai output. Sementara itu,
semua pemeran yang berperanserta dalam pelaksanaan seluruh proses, baik individu atau dalam
wujudnya sebagai representasi sebuah institusi, dipahami sebagai the functional units. 32
Seluruh proses transformatif telah diatur berdasarkan suatu prosedur yang rasional dan
formal, dalam hukum acara (hukum formil). Materi gugatan atau dakwaan didudukan sebagai input
yang akan segera menggerakkan seluruh aktivitas peradilan. Gugatan (dalam sistem peradilan
perdata) atau dakwaan (dalam sidang peradilan pidana) terdiri dari pernyataan
penggugat/pendakwa mengenai apa fakta hukumnya ( judex factie yang menjadi dasar
gugatan/dakwaan) dan apa akibat hukumnya ( judex iuris, yang dimohonkan kepada hakim agar
dijadikan dasar putusan). Fakta yang akan dijadikan dasar gugatan/dakwaan adalah fakta yang
32
Soetandyo Wignjosoebroto, Ke Arah Reformasi Sistem Peradilan Indonesia , makalah Seminar
“Reformasi Sistem Peradilan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Dep. Hukum dan HAM RI di Palembang, 3-4 April 2007
46
relevan dengan perkara hukum (fakta hukum, rechtsfeit). Dalam perkara perdata, fakta dihimpun
oleh sang penggugat, sedangkan dalam perkara pidana, dlakukan oleh aparat kepolisian, uang
selanjutnya akan didayagunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai dasar untuk melakukan
penuntutan. Fakta yang tertulis di dalam BAP akan diteliti kuantitas dan kualitasnya agar segera
dapat ditransformasi menjadi fakta hukum ( judex factie) yang akan di(pro)posisikan sebagai dasar
tuduhan, yang pada gilirannya akan menjadi dasar tuntutan tentang akibat hukumnya.
Dalam praktik hukum nasional yang modern, hubungan antara ‘fakta hukum yang menjadi
dasar gugatan/dakwaan’ dan ‘hukuman yang dinyatakan dalam putusan oleh hakim’ itu selalu
dirumuskan secara umum (in abstracto), dalam bentuk hubungan sebab-akibat, ke dalam pasal-
difungsikan sebagai sumber hukum yang formal itu), dalam wujudnya sebagai bagian dari
konstelasi hukum positif modern selalu dirumuskan dalam bentuk hubungan sebab-akibat yang
pasti. Dalam ilmu dan praktik peradilan perdata, hubungan sebab akibat itu dikonstruksikan secara
logis antara suatu perbuatan tertentu yang digugat (yang di dalam perkara perdata disebut
wanprestasi) dan sanksi-sanksi keperdataan yang dimohon agar dijatuhkan oleh hakim, misalnya
dalam bentuk ganti-rugi. Dalam ilmu dan praktik peradilan pidana, hubungan sebab-akibat itu
dikonstruksikan secara logis antara suatu fakta perbuatan pidana, yang di dalam hukum pidana
disebut criminal act atau strafbaarfeit dan sanksi-sanksi pemidanaan yang diproposisikan sebagai
akibatnya.
Adalah tugas penggugat atau pengacaranya, atau pula jaksa pendakwa dalam peradilan
pidana, untuk membuktikan bahwa unsur-unsur dalam suatu perbuatan atau suatu peristiwa (yang
boleh dibilangkan sebagai fakta hukum!) telah terjadi. Adalah kemudian tugas hakim untuk
47
mempertimbangkan apakah bukti-bukti telah cukup meyakinkan guna menyatakan bahwa suatu
perbuatan melawan hukum sebagaimana dituduhkan penggugat atau pendakwa telah dilakukan
orang. Dalam tradisi hukum Barat yang mendasarkan diri pada paradigma positivisme, pembuktian
ada tidaknya hubungan sebab-akibat antara fakta hukum dan akibat hukum ini akan berlangsung
dalam suatu proses penalaran bersilogisme deduksi. (proses penalaran yang di dalam bahasa
syllogism) seringkali disebut logico-positivism, yang menjadi bagian inheren pada metodologi ilmu
hukum, khususnya yang menganut aliran positivisme, yang pada gilirannya menjadi induk aliran
legisme
suatu standar prosedur operasional SOP, ( Standard Operational Procedure) yang amat rasional,
baik yang dikontrol oleh norma-norma positif yang disebut hukum acara maupun yang didasari
oleh doktrin-doktrin berikut metodologinya sebagaimana yang selama ini telah dikembangkan oleh
Dalam konteks yang demikian, maka munculnya hakim-hakim yang baik, sebagai
penggerak utama berjalannya sistem peradilan menjadi relevan Hakim yang baik sebagaimana
dinyatakan oleh Mustafa Abdullah33 hanya lahir dari suatu sistem yang baik. Sistem yang baik yang
dapat melahirkan hakim yang baik tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Kehakiman
Belanda Odette Buitendam, yaitu melalui suatu rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Unsur
integritas dan profesionalisme merupakan dua unsur yang terkandung dalam pengertian hakim
33
Mustafa Abdullah, Pengembangan Integritas dan Profesionalisme Hakim, Makalah pada diskusi
panel yang diselenggarakan oleh BPHN dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 24-27 April 2007, Hal.
1
48
yang baik, bukan unsur yang dibawa sejak lahir, melainkan unsur-unsur yang didapat dari
kriteria hakim baik antara lain, memiliki kemampuan hukum (legal skill), berpengalaman yang
masyarakat, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan
menulis, mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial, dan
Apa yang dinyatakan oleh Mustafa Abdullah tersebut sejalan dengan ketentuan dalam
Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994, tentang penyelenggaraan pendidikan Tinggi hukum, yang
menetapkan bahwa pendidikan tinggi hukum di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan : (a)
Penguasaan atas Ilmu Hukum, yaitu pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan secara
sistematik, metodik dan rasional atas asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum,
baik pada tingkat lokal, nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran hukum
dasar atau bidang-bidang hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia; (b) Kemampuan berpikir
yuridik, yang merupakan kemampuan menalar (reasoning) dalam kerangka tatanan hukum yang
berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional, maupun internasional) untuk
mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya dengan mengacu pada
upaya mewujudkan cita-hukum ( rechtsidee) yang mencakup idea tentang kepastian hukum,
prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam masyarakat
melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Termasuk di dalam idea kemampuan Legal Reasoning
ini adalah kemahiran intelektual untuk: (1) mengakses, menggunakan serta mengolah informasi
34
Ibid. Hal. 2
49
secara tepat dan rasional;; berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan maupun
pengambilan keputusan hukum ( legal decision making) yang tepat; (c) Kemahiran yuridik, yang
mencakup keterampilan atau kemahiran dalam menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum
(legal materials), kemampuan untuk menangani bahan-bahan hukum yang ada.; (d) Kesadaran
serta komitmen profesional, yang mencakup upaya penumbuhan sikap, kepekaan dan kesadaran
etik profesional, khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi hukum sebagai profesi yang
berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat serta profesi hukum sebagai
Hal ini pun sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the
Judiciary in the Law Asia Region (yang kemudian diamandemen di Manila, 28 Agustus 1997) yang
menetapkan, bahwa sikap profesionalisme hakim dibangun oleh tiga pilar utama, yaitu nilai-nilai
35
Komisi Hukum Nasional, Reformasi Dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Loc. Cit.
50
BAB IV
Dalam perspektif internal, proses pembuatan keputusan tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan bernalar hakim. Kegiatan bernalar Hakim dengan beragam motivering36 yang
menopangnya, selalu berada dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir
yuridis37 yang terpelihara dalam sebuah sistem, sehingga dapat berkembang menurut logikanya
sendiri, dan eksis sebagai sebuah model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-tugas
profesionalnya.
Namun pilihan tersebut tidak dapat dilakukan dalam ruang hampa. Proses internal
(kognitif) dalam kegiatan menalar harus selalu merujuk pada beragam kode 38 yang diproduksi dan
36
Motivering adalah pertimbangan yang bermuatan argumentasi, lihat Bernard Arief Sidharta,
Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum, dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Ed.), Wajah Hukum
di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, Hal. 206
37
Sidharta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum,
hal. 4
38
Penciptaan sistem kode sebagai hasil sistem komunikasi yang dilakukan oleh semua sistem
didalam masyarakat, sebagaimana dekemukakan oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David
Schiff, “ …. To put this in simpler terms, what occurs within modern society is the growth of
specialist languages. This is a system of differentiation. But the differentiation is not at the level of role or
function (law is a dispute resolution system, politics is a decsion making system, etc), but in language.
Different systems of communication encode the world in different ways. The legal system encodes
the world into what is legal and illegal. Medicine encodes the world into what is healthy and
unhealthy. Science encodes the world into what is true or false. Accountancy constructs the
world into debits and credits. The Economy perceives the world in terms of profits and losses . Lihat lebih
lanjut Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David Schiff, The Autonomy Of Law: An Introduction
to Legal Autopoiesis dalam David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence, London :
Butterworth, 2003.
51
direproduksi secara otonom oleh hukum sebagai sebuah sistem autopoesis 39. Dalam hal ini Hakim
sebagai salah satu pengemban hukum praktis harus mampu menemukan, membaca, menafsirkan
dan menerapkan kode-kode hukum dengan baik dan benar sebagai bagian dari upaya untuk
melakukan “ .... encodes the world into what is legal and illegal.... ”40
Sedangkan dari perspektif eksternal, proses pembuatan putusan oleh hakim tidak dapat
dilepaskan dari konteks kerangka teoretis, filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang acapkali
--- secara sadar ataupun tidak --- dimuati dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan kultural,
sosioligis, dan politis. Hal ini yang kemudian menyebabkan pemikiran apriori, pra-anggapan,
prasangka dan praduga tentang klaim kebenaran dari putusan yang dibuat tumbuh subur di
komunitas hakim. Klaim tersebut kemudian diperkuat oleh argumen-argumen para filosof hukum,
teoretisi, maupun praktisi berdasarkan landasan paradigma, aliran filsafat dan kerangka
Percampuran antara perspektif internal dan eksternal itulah yang kemudian menjadi
penentu, bagaimana hakim sebagai bagian dari aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas,
39
Hukum sebagai suatu sistem autopoesis pertama kali diperknalkan oleh Niklass Lukhman, yang
dikembangkan dan diperdalam lebih lanjut oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, David Schiff. Hukum
sebagai suatu sistem autopoesis dibangun dari dua konsep utama, yaitu: (1) The law is defined as an
autonomous system whose legal operations form a closed network. This idea of an autopoietic
operational closure is different from the inadequate concept of relative autonomy (e.g. Lempert
1987), which regards law as being more or less dependent on society and the main question is to
determine empirically the precise balance between its internal and external causation; (2)
Heteronomy (law's interrelationship with other social domains) is treated as 'structural coupling'.
This view, expounded by Maturana, involves the multiple membership of legal communications in
other autonomous domains. lihat lebih lanjut David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence,
Butterworth: London, 2003. bandingkan dengan Gunther Teubner and Alberto Febbranjo, State, Law and
Economy As Autopoeitic System : Regulation and Autonomy in A New Perspective, Milan : Dot. A Giuffre,
1992. sedangkan untuk pengertian unsur-unsur sistem autopoesis, lihat Goerge Ritzer dan Douglas J
Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasij sampai Perkembangan Mutkahir Teori Sosial
Postmodern, diterjemahkan oleh Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008, hal 357-358
40
Ibid.
52
tersebut sangat dipengaruhi oleh: penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridik,
Penguasaan atas Ilmu Hukum, bagian ini melihat bagaimana pengetahuan, penguasaan,
serta pengembangan secara sistematik, metodik dan rasional atas asas-asas, kaidah-kaidah,
dan/atau aturan-aturan hukum, baik pada tingkat lokal, nasional, transnasional maupun
internasional, serta pada tataran hukum dasar atau bidang-bidang hukum pada sektor-sektor
kehidupan manusia.
tatanan hukum yang berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional, maupun
internasional) untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya
dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum ( rechtsidee) yang mencakup idea tentang
kepastian hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam
masyarakat melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Termasuk di dalam idea kemampuan Legal
Reasoning ini adalah kemahiran intelektual untuk: (a) mengakses, menggunakan serta mengolah
informasi secara tepat dan rasional; (b) berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan
maupun tertulis); (c) mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam rangka
41
Reza Indragiri, Pengembangan Integritas Profesi Hakim http://www.badilag.net/index2.php?option
=com_content&do_pdf=1&id=1315
42
Komisi Hukum Nasional, Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di Indonesia,
Jakarta/Bandung, 2004, hlm. 53-54. Tersedia: http://www.khn.go.id. Diakses tanggal 5 September 2006.
53
kepekaan dan kesadaran etik profesional, khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi
hukum sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat
Pendeskripsian tersebut didasarkan pada 149 putusan pidana dan 59 putusan perdata pengadilan
Bagian ini akan melihat bagaimana pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari
para hakim terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, baik pada tingkat
lokal, nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran hukum dasar atau bidang-
bidang hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia. Dalam putusan pidana, penguasan hakim
atas ilmu hukum ini terlihat pada bagaimana upaya dari hakim untuk melakukan pemeriksaan
terhadap bentuk dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sedangkan dalam putusan perdata
Di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, dakwaan JPU sangat penting karena
menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan dan kemudian menjadi dasar bagi Hakim dalam
memutus perkara yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan Hakim, terbatas pada apa yang
didakwakan oleh JPU. JPU adalah penentu tentang delik apa saja yang didakwakan kepada
terdakwa, karena JPU adalah dominus litis (pemilik perkara atau tuntutan). Pada prinsipnya hakim
dilarang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tentang suatu perbuatan diluar dakwaan JPU
(walaupun terbukti dalam persidangan). Pasal 182 ayat (4) KUHAP 43 mengatur secara tegas
bahwa ”Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala
negeri, dapatlah diketahui bahwa dari 149 putusan hakim, terdapat 111 (74,5%) putusan yang
bentuk dakwaannya telah dibuat secara tepat dan benar, dan 38 (25.5%) putusan yang bentuk
menggunakan dakwaan tunggal, subsidair, alternatif, kumulatif atau kombinasi, terjadi karena:
a. JPU tidak cermat dalam melihat salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam menentukan
bentuk dakwaan, yaitu dilihat dari bentuk pasal-pasal yang didakwakan terhadap tindak pidana
yang bersangkutan. Hal ini antara lain terlihat dalam Putusan No. 67/PID.B/2006/PN.Clp
mengenai Pidana Korupsi. Dalam perkara ini susunan dakwaan JPU yang disusun secara
subsidairitas tidak tepat, karena seharusnya dalam dakwaan JPU, pasal 55 ayat (1) KUHP
yang mendakwa terdakwa sebagai pembuat ( dader) atau pasal 56 ke-2 KUHP yang
43
Pasal ini merupakan padanan dari Pasal 292 ayat (1) HIR yang telah dinyatakan tidak berlaku sejak
diundangkannya KUHAP.
55
mendakwa terdakwa sebagai pembantu tindak pidana tidak dipisah dalam dakwaan yang
berbeda, namun kedua pasal tersebut harus dijunctokan dalam satu dakwaan. Demikian pula
yang terlihat dalam Putusan No. 229/PID. B/2006/PN.PWT tentang perkara illegal logging.
Dalam merumuskan dakwaannya pada putusan ini, JPU menggunakan kata “pertama” untuk
dakwaan pertama dan “kedua” untuk dakwaan kedua yang mengindikasikan bahwa dakwaan
ini berbentuk dakwaan alternatif, namun dakwaan JPU tersebut tidak menggunakan kata
“atau” diantara dakwaan pertama dan kedua. Walaupun secara teoretis penggunaan dakwaan
dalam bentuk alternatif dimungkinkan, dalam kasus ini dakwaan yang lebih tepat adalah yang
berbentuk subsidaritas karena pasal-pasal yang didakwakan dalam Pertama (Pasal 50 ayat (3)
huruf e) dan Kedua (Pasal 50 ayat (3) huruf f) merupakan pasal-pasal dari Undang-undang
yang sama yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (bagian dengan ancaman
dengan Pasal 50 ayat (3) huruf e sebagai dakwaan primer dan Pasal 50 ayat (3) huruf f
sebagai dakwaan subsider. (bagian karena ancaman hukumannya lebih ringan dihilangkan).
Hal yang relatif sama juga terlihat dalam Putusan No. 129/PID.B/2004/PN.YK tentang tindak
pidana lingkungan. Dalam kasus ini, dakwaan JPU yang berbentuk dakwaan alternatif tidak
tepat, karena pasal-pasal yang digunakan dalam dakwaan adalah ketentuan pidana dalam UU
yang sama yakni UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan
ancaman hukuman yang berbeda. Seharusnya JPU menyusun dakwaannya dalam bentuk
subsidairitas dengan susunan dalam dakwaan primair yang ancaman pidananya lebih berat
yakni melanggar pasal 41 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan
56
dalam dakwaan Subsidair yakni melanggar pasal 42 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo pasal
b. JPU tidak memperhatikan asas lex specialis derogat legi generali sebagaimana di atur dalam
Pasal 63 ayat (2) KUHP. Hal ini antara lain terlihat pada putusan-putusan yang terkait dengan
perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebagaimana terlihat pada Putusan No.
Dakwaan JPU dalam perkara ini dinilai tidak tepat, karena dalam kasus ini berlaku asas lex
specialis derogat legi generali sebagaimana di atur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang
menyatakan: “bila:suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”. UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan
ketentuan yang bersifat khusus/istimewa (lex specialis) dari ketentuan pasal 338 KUHP dan
pasal 351 ayat (3) KUHP yang merupakan ketentuan umum (lex generali), sehingga menurut
57
ketentuan pasal 63 ayat (2) KUHP, ketentuan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga sajalah yang harus digunakan oleh JPU dalam dakwaannya.
c. JPU tidak cermat dalam mengkaji kedudukan suatu peraturan terhadap peraturan lainnya,
sehingga suatu peraturan pelaksana dijadikan sebagai dakwaan subsidair, dari dakwaan
primair yang merupakan peraturan utamanya, dan dakwaan subsidair tidak secara spesifik
mengatur tindak pidana tertentu dan tidak memuat sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini antara
lain terlihat pada Putusan No. No. 88/Pid.B/2007/PN.Plw yang dakwaannya dalam bentuk
Ketidakcermatan dakwaan ini terletak pada dakwaan subsider karena pasal-pasal yang
digunakan dalam dakwaan subsidair pada dasarnya hanya merupakan peraturan pelaksana
dari pasal-pasal yang dijadikan sebagai dasar dalam dakwaan primair. Selain itu, pasal-pasal
dalam dalam dakwaan subsidair tidak secara spesifik mengatur tindak pidana tertentu dan
d. JPU tidak cermat dalam menentukan tindak pidana mana yang akan dijadikan sebagai
dakwaan primiar dan mana yang akan dijadikan sebagai dakwaan subsidair. Hal ini dijumpai
pada Putusan No. 232/PID.B/2006/PN.KLK. Pada kasus ini JPU menggunakan dakwaan
berlapis (subsidaritas) namun terdapat kekeliruan karena ancaman pidana dalam dakwaan
primair lebih rendah dari ancaman maksimum pidana dalam dakwaan subsidair.
58
dakwaan, terdapat cukup banyak (111 atau 74,5%) surat dakwaan yang telah menggunakan
bentuk dakwaan yang tepat. Meskipun demikian, dengan adanya 38 (25.5%) dakwaan yang telah
dibuat secara tidak cermat dan tidak tepat, dapat menjadi masukan bagi Kejaksaan Agung
sebagai instansi terkait untuk kemudian secara bersama-sama dengan penegak hukum lainnya
meningkatkan kualitas dan profesionalitas JPU karena putusan yang baik dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat tidak hanya bergantung pada kualitas hakim, tapi juga bergantung pada
kualitas aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam hal ini JPU.
Sehubungan dengan pemilihan bentuk dakwaan JPU ini, hakim sebagai aparat penegak
hukum dengan kewenangan memutus memberikan respon yang beragam. Dari 149 putusan yang
diteliti, terdapat 99 (66,4%) putusan yang bentuk dakwaannya diperiksa dan diteliti oleh hakim, dan
terdapat 50 (33.6%) putusan, dimana hakim tidak melakukan pemeriksaan terhadap dakwaan, dan
hanya mengikuti saja apa yang didakwakan dan dituntut oleh JPU.
dakwaannya, maka hakim yang profesional tentunya dapat memberikan saran kepada JPU
sebelum sidang dimulai untuk memperbaiki dakwaannya bila ditemui kekeliruan JPU dalam
merumuskan dakwaannya, kalaupun JPU kurang tepat dalam merumuskan dakwaan, semestinya
hakim tidak serta merta mengikuti dakwaan JPU yang kurang tepat tersebut.
Peran hakim yang demikian, tidak sepenuhnya dilakukan, hal ini antara lain terlihat pada
Putusan No. 51/PID.B/2005/PN.WNS, dalam kasus ini JPU secara tidak tepat menggunakan
dakwaan alternatif, karena kedua dakwaan menggunakan ketentuan dalam Undang-undang yang
sama, yaitu Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu
59
seharusnya bentuk dakwaan yang digunakan adalah Subsidaritas. Namun di dalam Putusan,
hakim tidak melakukan pemeriksaan dan perbaikan atas kekeliruan yang dilakukan oleh JPU.
Dalam memeriksa dakwaan JPU, hakim terlebih dahulu memeriksa dakwaan kedua
dengan mempertimbangkan unsur pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1)
KUHP yang ancaman pidananya lebih ringan. Dalam memeriksa dakwaan JPU tersebut, Hakim
seharusnya terlebih dahulu mempertimbangkan bahwa dakwaan JPU ini seharusnya dalam bentuk
dakwaan subsidairitas dengan susunan dalam dakwaan primair yang ancaman pidananya lebih
berat yakni melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1)
KUHP dan dalam dakwaan subsidair yakni melanggar pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55
memeriksa dakwaan primair dengan mempertimbangkan unsur pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun
2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP yang ancaman pidananya lebih
berat. Hakim harus terlebih dahulu memeriksa dakwaan yang ancaman pidananya lebih berat.
Apabila dakwaan Primair tidak terbukti barulah hakim memeriksa dakwaan yang lainnya.
Demikian pula dalam Putusan No. 232/PID.B/2006/PN.KLK. Pada putusan ini, JPU keliru
dalam menyusun dakwaan primer dan subsider, dimana ancaman pidana dalam dakwaa primair
lebih rendah dari ancaman maksimum pidana dalam dakwaan subsidair, namun Hakim tidak
60
melakukan koreksi atas kekeliruan tersebut dan memeriksa perkara sebagaimana dakwaan yang
keliru tersebut.
Hakim yang tidak melakukan pemeriksaan dan perbaikan atas kekeliruan bentuk dakwaan
JPU, dan tetap melakukan pemeriksaan perkara sebagaimana dakwaan yang keliru tersebut,
dimungkinkan terjadi karena kurangnya pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari para
terhadap azas lex specialis derogat lex generali sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 63
dakwaan JPU yang seharusnya dibuat dalam bentuk dakwaan tunggal, akan tetapi secara salah
dibuat dalam bentuk dakwaaan kombinasi antara dakwaan alternatif dan dakwaan Subsidaritas,.
Ketidak tahuan hakim dalam memeriksa bentuk dakwaan yang seharusnya dibuat oleh JPU,
menyebabkan, hakim tidak melakukan pembenaran terhadap kesalahan bentuk dakwaan JPU, dan
kemudian melakukan pemeriksaan dan pertimbangan sesuai dengan bentuk dakwaan JPU yang
salah tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perdata tingkat pertama yang dilakukan di
70 pengadilan negeri, dapatlah diketahui bahwa dari 59 putusan perdata yang diteliti, terdapat 52
(88,1%) putusan yang tepat dalam menggunakan hukum, dan terdapat 7 (11,9%) putusan yang
hukum ini, bukanlah spesifik terjadi di wilayah peradilan tertentu saja, akan tetapi tersebar di
Sumatera. Dari 7 putusan yang tidak tepat penggunaan hukumnya tersebut. 4 (57,1%)
Sumatera, dengan perincian 2 (28,6%) terjadi di Jawa dan 1 (14,3%) terjadi di Sumatera.
Adanya ketidaktepatan hakim dalam menggunakan hukum ini antara lain terlihat dalam
Perkara No. 45/Pdt.G/2006/PN.KDI. Dalam perkara tersebut, secara tersirat Majelis Hakim
menggunakan asas ne bis in idem. Padahal penggugat dalam perkara ini berbeda dengan
penggugat dalam perkara sebelumnya, meski para tergugatnya dan obyek gugatannya sama.
Sehingga, asas ne bis in idem tidak tepat digunakan dalam perkara ini sebab Pasal 1917 KUH
Perdata dan yurisprudensi-yurisprudensi serta ajaran ahli yang relevan menyatakan bahwa dalam
bidang perdata asas ne bis in idem hanya berlaku, antara lain, apabila “…. gugatan diajukan oleh
dan terhadap pihak yang sama…”, sehingga “kalau dalam perkara yang bersangkutan pihak-
pihaknya tidak sama dengan putusan terdahulu, tidak dapat diterapkan ne bis in idem”.
Demikian pula dalam perkara No. 05/Pdt.G/2007/PN.AM, Majelis Hakim tidak sepenuhnya
tepat dalam menggunakan hukum karena mengesampingkan hukum adat setempat yang berlaku,
yang mengatur tentang alas hak penguasaan tanah berdasarkan hukum adat setempat tersebut,
dan dengan demikian hanya mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
saja.
Sedangkan dalam perkara No. 16/Pdt.G/2006/PN.WNS, Majelis Hakim tidak tepat dalam
penggunaan hukum karena menerima eksepsi para tergugat dengan alasan pihak yang digugat
tidak lengkap, sebab PPAT dan Kantor Pertanahan Gunung Kidul tidak digugat. Hal ini tidak tepat
karena keduanya dapat digugat di Pengadilan Negeri sebagai pihak tergugat yang harus mematuhi
putusan Majelis Hakim atau dapat juga digugat di PTUN. Jadi, seharusnya tidak dimasukkannya
62
PPAT tersebut dan Kantor Pertanahan Gunung Kidul sebagai tergugat tidak menyebabkan gugatan
hakim yang memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya, yaitu hakim-hakim yang terlibat
dalam 99 (66,4%) putusan (dari 149 putusan pidana yang diteliti) telah melakukan pemeriksaan
terhadap bentuk dakwaan yang dibuat oleh JPU. Hal yang relatif sama juga terlihat dari sebagain
hakim-hakim yang memeriksa perkara perdata, sebagian besar hakim, yaitu hakim-hakim yang
terlibat dalam 52 (88,1%) putusan (dari 59 putusan perdata yang diteliti) telah secara tepat
menetapkan, hukum yang harus dipergunakan dalam memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya.
Keadaan yang demikian pada dasarnya menunjukan, bagaimana pengetahuan,
penguasaan, serta pengembangan dari para hakim terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau
aturan-aturan hukum, dalam semua level dan bagiannya. Hakim-hakim dengan tingkat
pengetahuan dan penguasaan, serta pengembangan yang rendah, tentunya mengalami kesulitan
(bahkan melakukan kesalahan) untuk dapat mengetahui benar tidaknya bentuk dakwaan yang
dibuat oleh JPU (dalam perkara pidana), atau menetapkan hukum yang harus dipergunakan dalam
memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya (dalam perkara perdata). Hal inilah
yang mungkin terjadi pada pada sebagian hakim, yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 50
(33.6%) putusan (dari 149 putusan yang diteliti), yang tidak melakukan pemeriksaan terhadap
dakwaan, dan hanya mengikuti saja apa yang didakwakan dan dituntut oleh JPU (dalam perkara
pidana), atau hakim-hakim yang terlibat dalam terdapat 7 (11,9%) putusan (dari 59 putusan yang
diteliti) yang tidak tepat dalam penggunaan hukumnya (dalam perkara perdata). Meskipun tidak
dapat dipungkiri keadaan tersebut dapat saja terjadi karena berbagai macam faktor penyebab,
akan tetapi rendahnya pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari para hakim terhadap
63
asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, dalam semua level dan bagiannya,
kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, dalam semua level dan bagiannya, merupakan
pengetahuan mendasar yang dimiliki oleh hakim-hakim sejak mengikuti perkuliahan di Strata-1,
atau selama hakim-hakim tersebut mengikuti seleksi penerimaaan calon hakim (cakim), serta
terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, baik pada tingkat lokal,
nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran hukum dasar atau bidang-bidang
hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia. Demikian pula ketika para hakim tersebut
mengikuti seleksi penerimaan sebagai cakim. Materi tes yang meliputi : Seleksi tahap I merupakan
tes tertulis44 tentang : (a) Pancasila; (b) UUD 1945; (c) Bahasa Indonesia; (d) Bahasa Inggris.; dan;
(e) Sejarah Indonesia. Sedangkan tes tahap kedua 45 merupakan tes tertulis yang meliputi . (a)
Hukum Pidana; (b) Hukum Acara Pidana; (c) Hukum Perdata BW; (d) Hukum Perdata Adat; (e)
Hukum Acara Perdata; (f) Hukum Tata Usaha Negara; (g) Hukum Acara Tata Usaha Negara. 46
Kumpulan pengetahuan yang terakumulasi demikian lama, menyebabkan sebagian hakim
Penguasaan ilmu hukum yang mendalam, sangat dibutuhkan bagi seorang Hakim karena adanya
kewenangan yang dimilki oleh hakim untuk melakukan penggalian, penemuan hukum dan
44
Soal-soal ujian tulis berbentuk pilihan ganda (multiple choice), menerjemahkan (translate) untuk
bidang studi bahasa Inggris.
45
Soal-soal ujian tulis berbentuk studi kasus untuk sebagian soal ilmu hukum.
46
Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional, Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Hakim,
Jakarta : Laporan Penelitian Tim Komisi Hukum Nasional, Agustus 2005, hal. 49-50.
64
penciptaan hukum. Dalam hal ini aspek pengembangan terhadap asas-asas, kaidah-kaidah,
dan/atau aturan-aturan hukum, itulah yang sepertinya perlu mendapat perhatian lebih lanjut,
diukur antara lain dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan
hakim atas bidang-bidang keilmuwan yang relevan. Dalam konteks ini survei yang diselenggarakan
Bureau of Labor Statistics di Amerika Serikat terhadap para hakim pada tahun 2005, sebagai
misal, mencatat ada tiga puluh tiga disiplin ilmu yang dinilai vital untuk dikuasai hakim. Mulai dari
bidang hukum dan pemerintahan (99%) hingga pengetahuan produksi pangan (3%). Di Indonesia,
paling tidak untuk saat ini, tuntutan penguasaan keilmuwan yang variatif seperti atas jelas sukar
dipenuhi. Oleh karena itu, sesuai studi UNODC (2006), yang lebih dapat diupayakan adalah
penekanan hakim pada bidang spesialisasi tertentu. Dengan penguasaan yang lebih optimal dan
spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan hakim menjadi lebih tinggi
kualitasnya. 47
tatanan hukum yang berlaku, untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam
pergaulan hidupnya dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum yang mencakup idea
tentang kepastian hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan
47
Reza Indragiri, Pengembangan Integritas Profesi Hakim,Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama MA-RI : Jakarta. 2008, Hal. 1
65
Dalam putusan pidana, kemampuan berpikir yuridik dari hakim ini terlihat pada bagaimana
upaya hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU,
kesesuaian pertimbangan dan putusan hakim dengan kaidah hukum, serta perbandingan antara
putusan hakim, dengan tuntutan JPU. Sedangkan dalam putusan perdata, hal ini terlihat pada
dan mempertimbangkan putusan provisi dan putusan serta merta; memeriksa dan
mempertimbangkan sita jaminan/ sita revindikatoir. serta membuat putusan untuk perkara yang
diperiksanya.
66
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan pidana, dapatlah diketahui bahwa, tidak
terdapat keseragaman di antara para hakim dalam mengurai dan membahas pemenuhan unsur-
unsur dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Dari 149 putusan yang diteliti,
terdapat 95 (63,8%) putusan yang unsur-unsur tindak pidananya diperiksa dan dipertimbangkan
secara detail dan komprehensif oleh Majelis Hakim, dan terdapat 54 (36,2%) putusan yang unsur-
unsur tindak pidananya tidak diperiksa dan dipertimbangkan secara detail dan komprehensif oleh
Majelis Hakim.
nya, Hakim menjabarkan unsur-unsur pasal 71 ayat (1) jo pasal 60 ayat (1) huruf c UU No. 5
Padahal unsur-unsur yang tepat dari unsur-unsur pasal 71 ayat (1) jo pasal 60 ayat (1) huruf
3. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar
pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)
tindak pidana pelanggaran hak cipta. Dalam perkara ini hakim tidak menguraikan/
mempertimbangkan sama sekali unsur-unsur pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002,
perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002
(tanpa menguraikan apa unsur-unsur dari pasal bersangkutan), karena itu terdakwa harus
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana:
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta. 48
c. Terdapat kontradiksi dari Hakim dalam mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana yang
pelanggaran terhadap Merek, Hakim ketika mempertimbangkan bahwa unsur “diketahui atau
patut diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 90, 91, 92 dan pasal 93 ” terpenuhi adalah tidak tepat,
karena terdapat kontradiksi antara pertimbangan yang satu dengan pertimbangan yang
lainnya. Disatu sisi hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa pernah selaku partner dari
Pertamina dalam pengemasan minyak pelumas, sehingga terdakwa sudah seharusnya patut
48
Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak Cipta menyatakan: Barangsiapa dengan
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
68
mengetahui kalau merek minyak pelumas tersebut melanggar merek Pertamina. Namun disisi
mengenai produk Pertamina yang asli dan dari Pertamina memang sengaja merahasiakan ciri-
Selain adanya putusan-putusan yang unsur-unsur tindak pidananya tidak diperiksa dan
atau tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 149 putusan pidana, dapat diketahui bahwa, terdapat 74 (49,7%) putusan, yang
pertimbangannya sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan terdapat 75 (50,3%) putusan,
yang pertimbangannya tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Ketidaksesuain
menyatakan bahwa unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi” tidak terbukti walaupun sebenarnya unsur ini telah terbukti
Berdasarkan fakta di persidangan terdakwa terbukti menerima dan menggunakan uang yang
bukan haknya yang totalnya sebesar Rp. 17.830.000 diluar dari gaji yang penerimaannya tidak
sekaligus tetapi bersamaan dengan penerimaan gaji, namun dengan menerima dan
menggunakan uang yang bukan haknya, walaupun uang tersebut digunakan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari, kepentingan partai dan kepentingan sosial, maka perbuatan terdakwa
atau harta benda seseorang tetapi juga berarti bahwa harta (uang) tersebut sudah diterima
69
dan dinikmati, dan dalam perkara ini terdakwa sudah menerima uang sebesar Rp.
kepentingan sosial, sehingga unsur “ melakukan perbuatan, memperkaya diri sendiri atau
mengenai tindak pidana pelanggaran Hak Cipta ini, Hakim tidak mencantumkan dakwaan
JPU. Hakim hanya menyebutkan bahwa dakwaan JPU terlampir dalam berkas, sehingga
putusan ini dari segi hukum formil telah cacat hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal
197 KUHAP ayat (1) dan ayat (2) bahwa suatu putusan yang tidak memuat antara lain adalah
bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada terdakwa,
hakim lebih ringan daripada tuntutan JPU. Dari 126 putusan bersalah, terdapat 99 putusan (78.6%)
dimana vonis hakim lebih ringan daripada tuntutan JPU; 13 (10.3%) putusan dimana hakim
menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan JPU; dan 14 (11.1%) putusan, vonis hakim lebih
saja menjatuhkan putusan yang jauh lebih ringan dari pada tuntutan JPU, namun juga melanggar
Putusan No. 27/Pid.B/2006/PN.TTE, JPU menuntut Terdakwa 5 tahun penjara potong masa
tahanan atas dakwaan melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang
70
mengatur bahwa pidana penjara paling rendah 1 tahun. Namun dalam Putusannya, Hakim hanya
dengan peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan sanksi berupa uang pengganti.
Walaupun Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi telah mengatur bahwa dalam menetapkan uang pengganti Hakim harus juga menetapkan
pidana pengganti, namun masih terdapat Hakim yang tidak menetapkan lamanya pidana
pengganti. Hal ini terlihat pada Putusan tindak pidana korupsi No. 269/Pid.B/2004/PN.Tdo, di mana
dalam amarnya Hakim hanya menyatakan menghukum terdakwa membayar uang pengganti
sebesar Rp. 484.512.625,- tanpa menyebutkan lamanya pidana pengganti. Amar seperti ini cacat
dan tidak dapat dieksekusi kalau harta terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang
pengganti.49
Ketidaktepatan vonis juga ditemukan dalam putusan dimana hakim tidak tepat dalam
merumuskan amar putusan. Hal ini terlihat antara lain dalam Putusan No. 915/PID.B/2007/
PN.Kab.Pas mengenai Pidana Pelanggaran Hak Cipta. Pada putusan ini terdapat perbedaan
antara amar putusan dengan dakwaan JPU. Dalam amar putusan kualifikasi tindak pidana yang
dinyatakan terbukti bersalah terhadap terdakwa berlainan/berbeda dengan kualifikasi tindak pidana
yang didakwakan JPU. Dalam pasal dakwaan JPU yakni pasal 72 ayat (2) No. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak memuat mengenai tindak pidana
menggandakan, sehingga tindak pidana menggandakan bukan merupakan tindak pidana yang
didakwakan. Namun dalam amar putusannya Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara
49
Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 berbunyi: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
71
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak telah menggandakan dan
mengedarkan barang hasil hak cipta”, sehingga amar putusan Hakim tersebut tidak tepat.
pertimbangan hakim dengan kaidah hukum, dapatlah diketahui, bahwa dari 59 putusan perdata
yang diteliti, terdapat 40 (67,8%) putusan yang sesuai dengan kaidah hukum dan terdapat 19
(32,2%) putusan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum. Ketidaksesuain tersebut antara lain
a. Tidak sesuai dengan (melanggar) prinsip-prinsip hukum pembuktian. Hal ini antara lain
telihat dalam Perkara No. 06/Pdt/G/2005/PN.Ekg. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim
mengalami sendiri atau bukan. Keterangan yang demikian, dapat saja dikategorikan
testimonium de auditu. Akan tetapi majelis kakim menerima keterangan saksi seperti ini. Di
sisi lain, Majelis Hakim menyatakan keterangan salah satu saksi tergugat, yang isinya di
auditu. Namun kemudian Majelis Hakim, justru menggunakan keterangan ini dalam
sendiri ini dijadikan salah satu pertimbangan yang sangat penting oleh Majelis Hakim dalam
memutus perkara ini. Hal ini menimbulkan dugaan adanya pemihakan (tidak imparsial) oleh
b. Ketidaksesuaian dengan logika hukum. Hal ini tampak pada Putusan No.
06/Pdt/G/2005/PN.Ekg. Dalam putusan ini Majelis Hakim berpendapat, karena tanah yang
menjadi obyek sengketa telah diberikan oleh ibu penggugat kepada nenek tergugat, maka
tanah tersebut haruslah menjadi milik penggugat, karena tanah tersebut berasal dari
pemberian ibu penggugat. Padahal, bukankah kata “pemberian” itu sendiri sudah
menunjukkan tanah itu sudah diberikan kepada orang lain, sehingga tentunya bukan milik si
pemberi lagi. Oleh karena itu, sama sekali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pola pikir
terjadi dalam perkara dengan objek sengketa berupa tanah. Dari 59 putusan yang diteliti, terdapat
8 putusan (42,1%) yang berobjek tanah. Berdasarkan wilayah penyebarannya. Putusan yang tidak
sesuai dengan kaidah hukum terjadi di kawasan Jawa-Sumatera, yakni 13 putusan (68,4%),
logika hukum, terdapat pula ketidaksesuaian putusan hakim yang disebabkan karena hal-hal lain.
Hal ini antara lain terlihat dalam Perkara No. 45/Pdt.G/2006/PN.KDI, yakni dalam hal penggunaan
asas ne bis in idem. Dalam putusan ini Majelis Hakim memutus bahwa gugatan penggugat ditolak
karena para tergugat sudah memenuhi ganti ruginya kepada salah satu ahli waris almarhum, yakni
ibu almarhum; sehingga penggugat, sebagai ahli waris lain almarhum (yakni istri almarhum), tidak
dapat lagi menuntut ganti rugi dari para tergugat atas kerugian yang sama. Hal ini tidak sesuai
dengan kaidah hukum. Sebab, dalam hukum waris, baik hukum waris Islam maupun hukum waris
menurut KUH Perdata, tidak ada ketentuan bahwa bila salah satu ahli waris sudah melaksanakan
73
dan menerima suatu haknya sebagai ahli waris, hal tersebut menutup/menghapus hak ahli waris
lain untuk melaksanakan dan menerima haknya yang serupa sebagai ahli waris. Ahli waris
dibenarkan untuk mengajukan gugatan sebagai ahli waris baik bersama-sama atau sendiri, dan
justru pendapat demikian pun sudah disetujui oleh Majelis Hakim sendiri.
kaidah hukum. Namun di sini hanya akan dikemukakan salah satu di antaranya: Majelis Hakim
memutus tidak sesuai dengan kaidah hukum yang sebenarnya suda sangat jelas, dan tidak
member kemungkinan untuk ditafsirkan secara berbeda. Di dalam penjelasan Pasal 59 ayat (5)
huruf (a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan: “Yang dimaksud
dengan ‘pimpinan partai politik’ adalah ketua dan sekretaris partai politik …. sesuai dengan
tingkat daerah pencalonannya.” Akan tetapi Majelis Hakim mengeluarkan putusan yang intinya
menyatakan bahwa Surat Pencalonan Bupati-Wakil Bupati yang ditandatangani pimpinan partai
tingkat provinsi adalah sah dan sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (5) huruf (a) UU
No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian Majelis Hakim jelas melanggar unsur “sesuai dengan
Khusus tentang putusan provisi dan putusan serta merta, Dari total 59 putusan perdata
yang diteliti, 33 putusan (55,9%) mengandung permohonan putusan provisi dan permohonan
putusan serta merta, dengan perincian 8 permohonan putusan provisi (13,6% dari total 59
putusan) dan 31 permohonan putusan serta merta (52,5 % dari total 59 putusan).
Dari ke-33 putusan ini tidak terdapat indikasi adanya penyimpangan-penyimpangan atau
ketidaktepatan putusan Majelis Hakim dalam hal permohonan putusan provisi dan permohonan
putusan perdata yang diteliti, 23 putusan (39%) mengandung permohonan sita jaminan atau
permohonan sita revindikatoir. Dari ke-23 putusan ini hanya terdapat 1 putusan (4,3%) yang
tidak tepat dalam hal penetapan sita jaminan/sita revindikatoir, yaitu Putusan No.
06/Pdt.G/2003/PN.KAB.MGL, karena Majelis Hakim menolak menyatakan sah dan berharga sita
revindikatoir yang dimohon penggugat atas tanah obyek sengketa dengan alasan sejak awal
penggugat tidak pernah mengajukan surat permohonan untuk melakukan sita atas tanah obyek
sengketa. Padahal, dalam petitumnya penggugat telah memohon pengadilan melakukan sita
revindikatoir atas tanah tersebut. Namun memang permohonan sita revindikatoir penggugat
dalam perkara ini tepatnya harus ditolak, meskipun saharusnya bukan karena alasan di atas
akan tetapi karena yang dimohon penggugat adalah sita konservatoir, bukan sita revindikatoir.
Tidak terdapat indikasi adanya ketidaktepatan dalam hal penetapan sita jaminan/sita revindikatoir
Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, 41 putusan (69,5%) mengandung eksepsi.
Dari ke-41 putusan ini, mayoritas diputus Majelis Hakim secara tepat, yakni 32 putusan (78%),
sedangkan yang diputus secara tidak tepat terdapat dalam 9 putusan (22%).
Mayoritas putusan Majelis Hakim yang tidak tepat dalam eksepsi berasal dari perkara
yang terkait dengan sengketa tanah, yakni 5 putusan (55,6%). Berdasarkan wilayahnya, putusan
Majelis Hakim yang tidak tepat dalam eksepsi cenderung terjadi di wilayah Jawa-Sumatera, yakni
(22,2%).
eksepsi error in persona yang diajukan oleh tergugat. Padahal, sejak awal perkara sampai
75
seluruh proses pembuktian dan jawab-jinawab selesai, dalil tergugat bahwa pihak yang
menguasai tanah obyek sengketa bukan dirinya, dan bahwa ia hanya mengerjakan tanah itu
dengan sistem bagi hasil dengan pihak yang menguasai tanah itu, sama sekali tidak
terbantahkan. Sepanjang persidangan tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya: bahwa
tergugat adalah pihak yang menguasai atau mengklaim memiliki tanah obyek sengketa tersebut.
Namun hal ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Sekiranya Majelis Hakim
mempertimbangkan, maka seharusnya Majelis Hakim akan memutus menerima eksepsi tergugat
sehingga menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima ( niet ontvantkelijk verklaard).
Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, terdapat 13 putusan (22%), yang tidak tepat
dalam konvensi. Dari ke-13 putusan ini, 4 (30,8%) di antaranya merupakan perkara yang terkait
dengan sengketa tanah, sedangkan sisanya terdiri dari berbagai macam perkara lain yang tidak
menunjukkan adanya suatu kecenderungan umum pada jenis perkara tertentu. Sedangkan
berdasarkan wilayahnya, putusan yang tidak tepat dalam konvensi terjadi secara cukup merata di
kawasan Jawa-Sumatera maupun kawasan non-Jawa-Sumatera karena dari ke-13 putusan ini, 6
Sumatera, dengan perincian 4 (30,8%) terjadi di Jawa dan 3 (23,1%) terjadi di Sumatera.
Sebagai contoh, dalam perkara No. 24/Pdt.G/2004/PN.YK, putusan Majelis Hakim dalam
rekonpensi tidak tepat sebab Majelis Hakim berpendapat bahwa karena para penggugat yang
mendalilkan gugatannya, maka para penggugatlah yang dibebani untuk membuktikan dalil yang
disangkal para tergugat, sedangkan perkara ini adalah perkara malpraktik dengan para pasien
sebagai para penggugat dan para dokter sebagai para tergugat. Dalam perkara malpraktik,
seharusnya dokterlah yang harus membuktikan apakah ada perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya karena pasien tidak mengetahui sejauh mana batasan dari perbuatan dokter dalam
76
mengobatinya sehingga tidak termasuk malpraktik.. Dalam perbuatan melakukan hukum yang
dilakukan dokter, ukuran adanya kesalahan bukan lagi ukuran yang individualis subyektif atau
orang perseorangan sebagaimana dilakukan si pelaku tetapi ukuran yang didasarkan pada
dengan akal yang sehat ( redelijk bekwaam). Selain itu, Majelis Hakim dalam pertimbangannya
(beroepsfout, profesional neligence ) menurut doktrin Berkhouwer dan Vorstman adalah apabila
dokter bersangkutan tidak dapat memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau mengabaikan hal-
hal yang oleh para dokter yang baik pada umumnya dalam situasi yang sama, diperiksa, dinilai,
diperbuat atau tidak diabaikan. Sehingga, dapat dikatakan ada tiga unsur yang harus ditempuh
dalam malpraktik medis, yaitu: adanya kelainan, kesalahan medis dan kerugian bagi pasien.
Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, 15 putusan (25,4%) mengandung rekonpensi,
dan 41 putusan yang tidak mengandung putusan rekonpensi 50. Dari ke-41 putusan yang tidak
mengandung rekonpensi ini, mayoritas diputus Majelis Hakim secara tepat, yakni 32 putusan
(78%), sedangkan yang diputus secara tidak tepat terdapat dalam 9 putusan (22%). Tidak
terdapat indikasi adanya ketidaktepatan putusan Majelis Hakim dalam rekonpensi dari ke-15
putusan ini
memeriksa perkara-perkara pidana, terdapat hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat
dalam 95 (63,8%) putusan (dari 149 putusan pidana yang diteliti) --- yang melakukan pemeriksaan
terhadap unsur-unsur tindak pidananya yang didakwakan oleh JPU, secara detail dan
50
Secara keseluruhan terdapat 59 putusan yang diteliti, hanya saja dari 59 putusan tersebut, terdapat 3
putusan yang tidak dapat dibuat anotasi karena tidak lengkap, sehingga dalam bagian ini jumlah
kesleuruhan putusan yang diteliti hanyalah 56 putusan.
77
komprehensif, serta hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 74 (49,7%) putusan
(dari 149 putusan pidana yang diteliti) --- yang pertimbangannya sesuai dengan norma hukum
yang berlaku. Demikian juga dalam perkara-perkara perdata, terdapat hakim-hakim --- yaitu hakim-
hakim yang terlibat dalam 40 (67,8%) putusan (dari 59 putusan perdata yang diteliti) --- yang
hakim dalam untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban dalam tatanan hukum yang berlaku,
dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum yang mencakup idea tentang kepastian
hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam
yang kurang memadai, tentu akan mengalami kesulitan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
unsur-unsur tindak pidananya yang didakwakan oleh JPU, secara detail dan komprehensif, atau
memberikan pertimbangannya yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku (dalam perkara
pidana), ataupun memberikan putusan yang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku (dalam
perkara perdata). Hal inilah yang mungkin terjadi pada pada sebagian hakim --- yaitu hakim-
hakim yang terlibat dalam 54 (36,2%) putusan (dari 149 putusan pidana yang diteliti) --- yang tidak
melakukan pemeriksaan dan pertimbangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
oleh JPU, serta hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 75 (50,3%) putusan (dari
149 putusan pidana yang diteliti) --- yang pertimbangannya tidak sesuai dengan norma hukum
yang berlaku, ataupun pada hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam (32,2%)
putusan (dari 59 putusan perdata yang diteliti) --- yang putusannya tidak sesuai dengan kaidah
hukum. Meskipun tidak dapat dipungkiri keadaan tersebut dapat saja terjadi karena berbagai
78
macam faktor penyebab, akan tetapi rendahnya kemampuan menalar dari para hakim, dapatlah
Kemampuan menalar hakim dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku, untuk
mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya dengan mengacu pada
upaya mewujudkan cita-hukum yang mencakup idea tentang kepastian hukum, prediktabilitas,
kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam masyarakat melalui penegakan
kaidah-kaidah hukum, masih merupakan merupakan pengetahuan dan keterampilan yang tidka
terlalu banyak dikuasai dan dipahami oleh hakim-hakim tersebut, baik sejak mengikuti perkuliahan
di Strata-1, atau selama hakim-hakim tersebut mengikuti seleksi penerimaaan calon hakim (cakim),
terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, dan sedikit sekali muatan mata
kuliah yang mengajarkan dan memberikan pemahaman ---- baik secara langsung maupun tidak
langsung ---- terhadap berbagai bentuk penalaran dalam hukum.51 Demikian pula ketika para
hakim tersebut mengikuti seleksi penerimaan sebagai cakim. Materi tes yang dibuat dalam bentuk
tertulis, bahkan dalam bentuk soal pilihan ganda, dengan substansi yang melputi pengetahuan
umum dan pengetahuan tentang ilmu hukum, tidak memberikan penilaian yang memadai terhadap
kemampuan menalar dari calon hakim tersebut, karena titik beratnya pada penilaian tentang
51
Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 berbunyi: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
79
pengetahuan/penguasaan calon hakim terhadap ilmu hukum. 52 Hal ini terulang kembali dalam
berbagai diklat yang harus diikuti oleh para hakim, materi-materi diklat banyak mengulang mata
kuliah S1 dan lebih banyak teori dari pada materi peningkatan kemampuan di bidang teknik
peradilan53
Kalaupun pada tahapan tertentu dari seleksi calon hakim tersebut,, terdapat psikotes yang
materinya meliputi tes kemempuan verbal, kemampuan numerik, aritmatika, trigonometri, aljabar,
menggambar, dan dalam tes tersebut ditanyakan pula motivasi peserta untuk menjadi hakim 54.
Akan tetapi substansi soal-soal psikotes tertulis yang banya kemiripannya dengan tes IQ
(Intelegensi Quotient) ini, lebih banyak melakukan penilaian terhadap kemampuan menalar secara
umum, padahal ilmu hukum, sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri (yaitu sebagai ilmu
parktis yang bersifat normologik), membutuhkan model penalaran yang spesifik, yan berbeda
dengan model penalaran pada lmu-ilmu social atau humaniora pada umumnya.
Kekurangan ini sudah disadari oleh berbagai pihak, sehingga Komisi Hukum Nasional,
berdasarkan hasil penelitiannya tentang Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Hakim,
sampai [ada kesimpulan bahwa Diklat hakim selama ini belum mampu mencetak hakim yang
berkualitas dan memenuhi kebutuhan dunia peradilan, 55 sehingga materi diklat tersebut akan lebih
baik bila (antara lain ditambah dengan : (a) Legal Reasoning; (b) Teknik Penyusunan Putusan; (c)
52
Komisi Hukum Nasional, Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Hakim, Loc. Cit..
53
Ibid..Hal. 68
54
Ibid. Hal. 51.
55
Ibid. hal 150
56
Ibid..Hal. 93
80
G. Kemahiran yuridik
Profesionalisme hakim dari unsur ini, terlihat dari keterampilan atau kemahirannya dalam
menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum ( legal materials), serta kemampuannya untuk
menangani bahan-bahan hukum yang ada, dengan perkataan lain kemahiran yuridik ini dapat
yurisprudensi, dan sumber-sumber hukum lain yang relevan. Berdasarkan pengertian yang
demikian maka kemahiran yuridik dalam putusan yang diteliti dapat dilihat dari bagaimana hakim
merujuk pada yurisprudensi dan/ atau doktrin yang ada dan kemudian mempergunakan
dalam putusan pidana, kemahiran yuridik dalam putusan yang diteliti dapat dilihat juga dari
bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada terdakwa,
pada dasarnya tidak wajib untuk menggunakan dan mengikuti atau tidak terikat dengan
yurisprudensi atau pun pendapat para ahli dibidang hukum (doktrin). Namun untuk memperkuat
menggunakan kaidah-kaidah hukum yang telah diakui oleh Mahkamah Agung dalam bentuk
yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum. 57 Selain itu, tentunya sebagai salah satu sumber
57
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah
hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana,
Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu
perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia)
81
hukum yang diakui di dalam sistem hukum Indonesia, pendapat ahli berupa doktrin juga perlu
digunakan, jika itu dapat memperkuat argumentasi hakim dalam membuat putusan.
Yurisprudensi sebagaimana dikemukan oleh Djohansjah adalah “Putusan badan peradilan
berkekuatan hukum tetap yang berisikan kaidah hukum yang penting serta diyakini dan diikuti oleh
58
hakim lainnya pada elemen perkara yang sama dalam rangka menjamin kepastian hukum”.
Salah satu unsur penting dari Yurisprudensi yang membedakan dengan putusan lainnya adalah
bahwa putusan tersebut telah “diikuti secara berulang-ulang” oleh hakim lainnya. Hakim lainnya
yang dimaksud dalam proses ini dapat diartikan hakim pada tingkat pertama, tingkat banding,
maupun Hakim Agung di Mahkamah Agung. Kriteria Yurisrudensi adalah: (a) telah berkekuatan
hukum tetap; (b) merupakan penemuan hukum baru ( Rechtsvinding); (c) menjawab permasalahan
dinamika sosial masyarakat; (d) mencerminkan arah perkembangan hukum; (e) secara konstan
mempunyai kekuasaan (otoritas keilmuan) dan dijadikan acuan bagi hakim untuk mengambil
keputusan. Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut
(mengutip) pendapat seseorang sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya;
58
Bandingkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan
memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang
dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan
sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber
hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif. (http://id.wikipedia.org/wiki/
Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia)
59
Djohansjah, Anotasi, Yurisprudensi Dan Putusan Penting (Landmark Decision), makalah dalam
pertemuan rencana pembuatan anotasi dan laporan penelitian putusan hakim tahun 2007 dan 2008,
Jakarta : Komisi Yudisial. 27 Maret 2009.
82
apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar
60
Wijiraharjo, sumber-sumber hukum, http://wijiraharjo.wordpress.com/2008/02/02/doktrin/, Februari 2,
2008
83
Tabel. 1
Penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan pidana
Penggunaan
Jenis
N0. Jumlah Doktrin Yurisprudidensi
perkara
ada tidak Ada tidak
1 Korupsi 43 6 37 1 42
2 Korupsi dan Perjudian 1 0 1 0 1
3 Korupsi dan Pembalakan Liar 2 0 2 0 2
4 Memberikan Keterangan Palsu 1 0 1 0 1
5 Pencucian Uang 1 1 0 0 1
6 Perdagangan Satwa Langka 3 0 3 0 3
7 penyalahgunaan penyaluran BBM 2 0 2 0 2
8 Pengeluaran Ijazah Palsu 1 0 1 0 1
9 Peredaran Uang Palsu 1 0 1 0 1
10 Pembalakan Liar 21 1 20 2 19
11 perdagangan anak 2 1 1 0 2
12 Pengedaran sediaan farmasi Ilegal 1 0 1 0 1
13 Psikotropika 14 0 14 0 14
14 Narkotika 7 1 6 0 7
15 Terorisme 1 1 0 0 1
16 hacking 1 0 1 0 1
17 Lingkungan Hidup 5 1 4 0 5
18 Pembunuhan 3 1 2 0 3
19 Pembunuhan Berencana 1 0 1 0 1
20 Pembunuhan dan pemerkosaan 1 0 1 1 0
21 Pembunuhan anak 1 0 1 0 1
22 Aborsi 1 0 1 0 1
23 Penganiyaan 2 0 2 0 2
24 Tanpa Hak Membawa Senjata Tajam 1 0 1 0 1
25 KDRT 3 0 3 0 3
26 VCD Bajakan 1 0 1 0 1
27 Hak Cipta 5 0 5 0 5
28 Hak Merk 3 0 3 0 3
29 penghinaan 1 0 1 0 1
30 Pencemaran nama baik oleh Pers 1 1 0 1 0
31 Penyebaran berita bohong 1 0 1 0 1
32 Perbuatan tidak menyenangkan 1 1 0 0 1
33 Pengrusakan barang 1 0 1 0 1
84
Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui secara umum, dari 41 jenis tindak pidana
yang diteliti dalam 149 putusan hakim, terdapat 6 (4 %) putusan, yang didalam pertimbangannya,
pencemaran nama baik oleh pers, dua putusan dalam tindak pidana korupsi, dan dua putusan
dalam tindak pidana pembalakan liar dengan jumlah total yang digunakan adalah 12 yurisprudensi.
Tabel. 2
Penggunaan yurisprudensi dalam putusan pidana
Hubungan
Digunakan dengan
Pembuat Hakim
dalam Unsur Tindak
No Yurisprudensi tentang Yurispru- Pengguna
Putusan Pidana yang
densi dari PN
PN Nomor didakwakan
JPU
Putusan MA
Pencabutan
No. Reg. No. Bukan untuk
keterangan Mahkamah
1. 229.K/KR/1959, membutktika
dalam Agung
tanggal 23 n
persidangan
Februari 1960
Putusan MA
Pencabutan
No. Reg. No. Bukan untuk
keterangan Mahkamah
2. 414/K/PID/1984 membutktika
dalam Agung
, tanggal 11 n
703/Pid.B/2 persidangan
Desember 1984 Palemban
005/PN.PL
Putusan MA Pencabutan g
G Bukan untuk
No. Reg. No. keterangan Mahkamah
3. membutktika
1043.K/PID/198 dalam Agung
n
7 persidangan
Putusan MA
(tidak
Perencanaan Untuk
disebutkan No Mahkamah
4. dalam tindak membutktika
Reg. dan Agung
pidana n
tanggal
putusan)
138/Pid.B/2 Turut serta Kaloka Untuk
Putusan HR 10
5. 007/ Pn.Klk melaku-kan Hoge Raad (Sulawesi membutktika
desember 1894
pencurian Tenggara) n
86
pertimbangan putusan hakim pidana yang diteliti, tidak menyebar di seluruh Indonesia.
Yurisprudensi tersebut, (kecuali yang dilakukan oleh hakim pengadilan negeri Palembang yang
berdomisili di ibu kota provinsi), justru dilakukan oleh hakim di pengadilan negeri yang berada di
ibu kota kabupaten, yaitu Lumajang (Jawa Timur), Kaloka (Sulawesi Tenggara), Mentawai
(Sumatera Barat) dan Labuha (Ternate). Selain daripada itu, terdapat juga hakim yang merujuk
87
pada putusan Hoge Raad, sebagaimana terlihat dalam putusan yang dibuat oleh hakim dari PN,
Kaloka.
Bila ditelaah lebih lanjut yurisprudensi yang dipergunakan oleh hakim dalam
Dalam putusan ini untuk membuktikan unsur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Majelis Hakim
merujuk pada Putusan HR 10 desember 1894 yaitu pencurian yang dilakukan turut serta
melakukan dan bukan secara pembantuan; putusan HR 1 Desember 1902 yaitu untuk
pembuktian pencurian yang dilakukan secara bersekutu oleh dua orang atau lebih adalah
cukup, bahwa jelas perbuatan itu telah dilakukan dan bahwa mereka secara langsung turut
serta melakukannya, tidak perlu ternyata berapa bagian yang dilakukan masing-masing,
dan putusan HR 9 Februari 1914 : agar dapat dinyatakan bersalah turut serta melakukan
haruslah diperiksa dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan kehendak itu terdapat pada
tiap-tiap pelaku
Demikian pula dalam putusan Pengadilan Negeri Lumajang No. 221/PID.B/2005/PN.LMJ
tentang tindak pidana korupsi, Dalam mempertimbangkan unsur pasal 55 ayat (1) ke-1
tanggal 30 Februari 1990 yang menyatakan: untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut
serta melakukan perbuatan pidana dalam arti melakukan bersama-sama, maka sedikitnya
harus ada 2 orang, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan pidana itu dan yang
88
dalam hal ini kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, yaitu
oleh pers di Pengadilan Negeri Mentawai. Untuk membuktikan unsur pemberitaan yang
melawan hukum atau tidak, hakim merujuk pada Putusan MA no 1608 K/PID/2005, yang
mempertimbangkan bahwa pemberitaan tidak dipandang melawan hukum bila: (a) suatu
berita telah dibantah melalui hak jawab; (b) telah dicek keberbagai sumber dengan
Pengadilan Negeri Lumajang, untuk membuktikan unsur “secara melawan hukum”, Hakim
dan Putusan MA No. 1696 K/Pid/2002 tanggal 20 Mei 2003 dimana dalam pertimbangan
dalam arti luas, ialah mencakup perbuatan melawan hukum, tidak hanya sebagai
perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan (yang tertulis) tetapi meliputi pula
dibidang kesusilaan, keagamaan, sopan santun dan ajaran melawan hukum yang dianut
oleh MA adalah ajaran melawan hukum secara materiil, baik secara negatif maupun
positif.
Demikian pula dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (tidak
disebutkan no. putusan dan tanggal dikeluarkannya putusan tersebut) yang dipergunakan
b. Yurisprudensi yang tidak terkait secara langsung untuk mendukung argumentasi hakim
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Reg. No. 229.K/KR/1959, tanggal 23 Februari
1960, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Reg. No. 414/K/PID/1984,
tanggal 11 Desember 1984, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Reg.
Berdasarkan tabel.2 di atas, dapat diketahui bawah dari 41 jenis tindak pidana yang diteliti
dalam 149 putusan hakim, terdapat 15 (10 %) putusan, yang didalam pertimbangannya, Majelis
Hakim mengutip doktrin. Doktrin tersebut masing-masing terdapat dalam putusan tindak pidana:
korupsi, lingkungan, narkotika, pembalakan liar, pembunuhan, pencemaran nama baik oleh pers,
pencucian uang, penyewaan tanah tanpa hak, perbuatan tidak menyenangkan, perdagangan
anak, terorisme. Perincian doktrin tersebut dapat dilihat pada table. 3 dibawah ini:
90
Tabel. 3
Penggunaan doktrin dalam putusan pidana
Tidak Menngunakan De
disebutkan Willstheori, dalam
memeriksa unsur
“Untuk tujuan
menguntung diri
sendiri atau orang
lain atau suatu
korporasi”,
Pemalang Prof. Dr. Barda unsur “secara
120/PID.B/2005/
4 Korupsi Nawawi Arief, melawan hukum”
PN.PML
S.H
Bengkulu - Van Unsur
Bememelen ”menguntungkan”
dan Van dalam tindak pidana
84/Pid.B/2006/
5 Korupsi Hattum korupsi
PN. BKL
- Noyon dan
Langemeijer
pertimbangan putusan hakim pidana yang diteliti, realtif menyebar di seluruh Indonesia, baik
Indonesia bagian barat, Indonesia bagian tengah dan Indonesia bagian timur. Doktrin tersebut
digunakan baik oleh hakim-hakim di PN yang berdomisili di kota besar dan/ atau ibu kota propinsi,
seperti Pengadilan Negeri: Palu, Bengkulu, Menado, Ternate, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan
Medan, juga dipergunakan oleh hakim di PN yang berkedudukan di ibu kota kabupaten, seperti
pengadilan negeri: Donggala (Sulteng), Wonosari (DIY), Pemalang (Jateng), Labuha (Ternate),
bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada terdakwa,
tertentu diyakini dapat menimbulkan efek jera ( deterrent effect) baik terhadap terpidana (agar tidak
mengulangi lagi perbuatannya) ataupun terhadap calon-calon pelaku tindak pidana (agar tidak
melakukan tindak pidana). Selain efek jera, berat ringannya hukuman tentunya juga berpengaruh
terhadap rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Mahkamah Agung menyadari sepenuhnya
hal tersebut dan secara khusus melalui SEMA No. 1 Tahun 2000 menginstruksikan kepada Hakim
agar menjatuhkan hukuman yang setimpal sesuai dengan berat dan sifat dari tindak pidana
tertentu yaitu: tindak pidana ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan, pelanggaran HAM berat dan
lingkungan hidup. Hukuman yang setimpal tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan
dari dakwaan JPU (walaupun terbukti dalam persidangan). Putusan Hakim harus berdasarkan
surat dakwaan, tercantum dalam pasal 182 ayat (4) KUHAP (yang sepadan dengan pasal 292 ayat
94
(1) HIR dahulu) yang berbunyi: ”Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat
memberatkan dan meringankan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa. Dalam
penelitian ini ditemukan putusan-putusan hakim yang dipertimbangan secara obyektif, dan sejalan
dengan pertimbangannya atas faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan. Hal ini antara
lain terlihat dalam Putusan No. 61/PID.B/2006/PN.YK. Pada Putusan ini, walaupun JPU hanya
menuntut hukuman penjara selama 2 tahun dikurangi masa tahanan, namun Hakim, setelah
rendah dari tuntutan JPU, termasuk pada perkara-perkara yang secara khusus oleh Mahkamah
Agung disebutkan dalam SEMA No. 1 Tahun 2000 agar dijatuhi hukuman yang setimpal. Misalnya
Pada Putusan No. 454/Pid.B/2004/PN.PL, JPU menuntut pidana penjara selama 6 tahun dikurangi
masa tahanan, namun hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi masa
tahanan. Singkatnya hukuman penjara yang dijatuhkan tidak konsisten dengan pertimbangan
tentang faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan yang telah disebutkan oleh Hakim yang
memberatkan dan faktor-faktor yang meringankan cukup seimbang namun Hakim menjatuhkan
hukuman yang jauh lebih ringan daripada tuntutan JPU, yaitu 1/6 (16.7%) dari tuntutan JPU.
Dalam putusan-putusan perdata yang diteliti, penggunaan yurisprudensi dan doktrin oleh
Tabel. 4
Penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan perdata
Penggunaan
No Jenis
Putusan PN No. Doktrin Yurisprudensi
. perkara
Ada Tidak Ada Tidak
1 07/Pdt.G/2007/PN.TTE Sengketa Tanah Warisan 0 1 0 1
Penguasaan Tanah
2 13/Pdt.G/2007/PN.LBH 0 1 1 0
Tanpa Hak
3 84/Pdt.G/2004/PN.BJM Penanaman Modal 0 1 0 1
Sengketa Obyek
4 01/Pdt.PLW/2007/PN.K.KP Jaminan Fidusia oleh 1 0 1 0
Negara
Sengketa Hak Milik
5 08/Pdt.G/2004/PN.PLR 0 1 0 1
dalam Warisan
Sengketa Kepemilikan
6 12/Pdt.G/2007/PN.KTB 1 0 0 1
Hak atas Tanah
Sengketa Advokat
7 66/Pdt.G/2007/PN.BJM 0 1 0 1
dengan Mantan Klien
Sengketa Hak Milik atas
8 11/Pdt.G/2007/PN.KLK 0 1 0 1
Harta Bersama
Sengketa Kepemilikan
9 08/Pdt.G/2006/PN.Kdi 0 1 0 1
Tanah
Sengketa Kepemilikan
10 16/Pdt.G/2005/PN.KLK Tanah Harta Gono Gini 0 1 0 1
Perceraian
Ganti Rugi Korban
11 45/Pdt.G/2006/PN.KDI 0 1 0 1
Kecelakaan Lalu Lintas
12 1/Pdt.G/2006/PN.MKL Sengketa Tanah 0 1 0 1
Sengketa Kepemilikan
13 06/Pdt.G/2005/PN.Ekg 0 1 0 1
Tanah dalam Keluarga
10/Pdt.G/2005/PN.Pangkajen Sengketa Status
14 0 1 0 1
e Kepemilikan Tanah
Sengketa Penetapan
15 8/Pdt.G/2008/PN.SINJAI Calon Bupati-Wakil 0 1 1 0
Bupati dalam Pilkada
96
Wanprestasi dalam
56 10/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
57 12/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
58 14/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
59 76/Pdt.G/2007/PN.PDG Kontrak Konstruksi 0 1 0 1
Proyek pemerintah
JUMLAH 10 49 8 51
PROSENTASE 100% 17% 83% 14% 86%
JUMLAH T0TAL 59 59 59
Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui bahwa dari 59 putusan perdata yang diteliti,
terdapat 8 (14 %) putusan, yang didalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengutip yurisprudensi.
Yurisprudensi tersebut masing-masing terdapat dalam putusan perkara: penguasaan tanah tanpa
hak, sengketa obyek jaminan fidusia oleh negara, sengketa penetapan calon bupati-wakil bupati
dalam pilkada, perbuatan melawan hukum dalam penguasaan tanah warisan, perceraian dan
perbuatan melawan hukum dalam sengketa pemilikan tanah, dengan jumlah total yang digunakan
adalah 22 yurisprudensi. Perincian 22 yurisprudensi tersebut dapat dilihat pada tabel.5 dibawah
ini:
99
Tabel. 5
Penggunaan yurisprudensi dalam putusan perdata
Digunakan Hakim
No dalam Pengguna
Yurisprudensi Tentang Jenis perkara
. Putusan PN dari PN
No.
1 Putusan MA No.
Penarikan pihak tergugat
305K/Sip/1971
adalah wewenang dari
tertanggal 16
penggugat
Juni 1971
Sertifikat hak milik tanah
Putusan MA No.
sebagai alat bukti tidak
701K/Sip/1974
terbantahkan mengenai
tertanggal 14
siapa pemegang hak
April 1976
milik atas tanah.
Saksi-saksi yang
diajukan oleh tergugat
yang hanya tahu tentang
keberadaan obyek yang
Putusan MA No. disengketakan dan tidak
858K/Sip/1971 sesuai dengan
tertanggal 27 pengetahuan tentang
Penguasaan
Oktober 1971 13/Pdt.G/200 asal-usul dari tanah yang Labuha
Tanah Tanpa
7/PN.LBH disengketakan yang jelas (Ternate)
Hak
dan pasti, tidak dapat
dijadikan sebagai alat
bukti yang sempurna
Kewenangan judex
factie untuk menentukan
dapat diterima atau
tidaknya permohonan
pembuktian dalam
Putusan MA No.
pemeriksaan setempat
1087K/Sip/1973
yang diajukan oleh salah
tertanggal 1 Juli
satu pihak dalam
1975
(penggugat) yang ingin
membuktikan mengenai
sengketa tanah yang
diserobot/dikuasai oleh
tergugat
100
2 Pembantah/penggugat
Putusan MA No.
yang berhak
305 K/Sip/1971
menentukan pihak-pihak
tanggal 16 Juni
yang akan ditarik dalam
1971
gugatannya Kuala Sengketa Obyek
01/Pdt.PLW/2 Jangka waktu Kapuas Jaminan Fidusia
007/PN.K.KP pengajuan gugatan (Kalimanta yang dirampas
Putusan MA No.
perlawanan tersebut n Tengah) oleh Negara
954 K/Sip/1973
yang harus diajukan
tanggal 19
sebelum eksekusi
Februari 1973
terhadap putusan
tersebut selesai.
Jangka waktu
pengajuan gugatan
Putusan MA No
perlawanan tersebut
679 K/Sip/ 1974
yang harus diajukan
tanggal 31
sebelum eksekusi
Agustus 1977
terhadap putusan
tersebut selesai.
3 8/Pdt.G/2008/ Gugatan baik dalam Sinjai Sengketa
PN.SINJAI positanya maupun dalam (Sulawesi Penetapan Calon
petitumnya pihak Selatan) Bupati-Wakil
Putusan MA No. penggugat tidak Bupati dalam
117K/Sip/1971 menjelaskan dengan Pilkada
tertanggal 2 lengkap tentang ganti
Juni 1971 rugi yang dituntutnya
maka gugatan tidak
dapat diterima oleh
hakim
Putusan MA No. Tuntutan kerugian
1157K/Sip/1971 immaterial dalam suatu
gugatan dapat diterima
bilamana tuntutan
tersebut disebabkan oleh
terjadinya penghinaan
terhadap penggugat
101
Putusan MA No.
janda selalu merupakan
302/K/Sip/1960
ahli waris terhadap
tanggal 2
barang asal dari Perbuatan
September
suaminya Melawan Hukum
1960 02/Pdt.G/200 Wonosari
dalam
Putusan MA No. 4/PN.WNS (DIY)
janda berhak Penguasaan
1585
memperoleh biaya hidup Tanah Warisan
K/Sip/1974
selama hidupnya dari
tanggal 29
harta warisan suaminya
Desember 1977
Janda berhak menguasai
Putusan MA No.
harta peninggalan
294 K/Sip/1976
suaminya selama
tanggal 20 Juli
hidupnya atau sepanjang
1977
belum kawin lagi
102
5 percekcokan terus
menerus tidak dapat
Putusan MA No.
didamaikan bukanlah
3180
ditekankan harus dilihat
K/Pdt/1985
dari adanya cekcok yang
tanggal 28
341/Pdt.G/20 terus menerus yang
Desember 1987 Bandung Perceraian
04/PN.BDG hingga kini tidak dapat
didamaikan lagi
Putusan MA No.
Tidak adanya kerukunan
105 K/Sip/1968
sebagai alasan
tanggal 12 Juni
perceraian
1968
6 Yurisprudensi
Hooge Cohe, pengertian perbuatan
Thn 1919, tgl 13 melawan hukum Arga
Januari 1919 Makmur PMH sengketa
03/Pdt.G/200
hanya penggugat yang (Bengkulu pemilikan tanah
5/PN. Am
Putusan MA No. berwenang untuk Utara)
305/K/Sip/1971 menentukan siapa-siapa
yang digugatnya
7 Di dalam putusan tidak
Putusan MA No.
disebutkan apa isi Arga
551/K/Sip/1971
05/Pdt.G/200 putusan MA tersebut Makmur PMH Sengketa
Putusan MA No. 4/PN. Am Di dalam putusan tidak (Bengkulu Pemilikan Tanah
1078/K/Sip/197 disebutkan apa isi Utara)
2 putusan MA tersebut
8 besarnya nilai kerugian
Putusan MA No. yang semata-mata
1057/K/Sip/197 05/Pdt.G/200 hanya didasarkan PMH Sengketa
Bengkulu
3, tanggal 25 7/PN. BKL asumsi perhitungan yang Pemilikan Tanah
Maret 2976 bersifat prediktif harus
ditolak
pertimbangan putusan hakim perdata yang diteliti, relatif menyebar di beberapa daerah di
Indonesia, baik Indonesia bagian barat, tengah dan timur. Yurisprudensi tersebut dirujuk oleh
hakim yang berada dikota besar / ibu kota provinsi seperti Bandung dan Bengkulu, juga dirujuk
oleh beberapa hakim berdomisili di daerah ibu kota kabupaten, yaitu Labuha (Ternate), Kuala
103
Kapuas (Kalimantan Tengah), Sinjai (Sulawesi Selatan), Wonosari (DIY), dan Arga Makmur
(Bengkulu Utara).
Dari 59 putusan perdata yang diteliti, terdapat 10 (17 %) putusan, yang didalam
pertimbangannya, Majelis Hakim merujuk pada doktrin. Doktrin tersebut masing-masing terdapat
dalam putusan perkara: perampasan jaminan fidusia oleh negara, perbuatan melawan hukum
dalam kepemilikan hak atas tanah, perbuatan melawan hukum melalui mekanisme class action,
wanprestasi dalam kontrak konstruksi proyek pemerintah. Perincian penggunaan doktrin tersebut
Tabel. 6
Penggunaan doktrin dalam putusan perdata
pertimbangan putusan hakim pidana yang diteliti, hanya terdapat pada putusan hakim di Indonesia
bagian barat, dan tengah. Doktrin tersebut digunakan baik oleh hakim-hakim di PN yang
berdomisili ibu kota provinsi, yaitu di Jakarta Pusat dan Bengkulu, juga dipergunakan oleh hakim
di PN yang berkedudukan di ibu kota kabupaten, seperti Pengadilan Negeri: Kuala Kapuas
(Kalteng), Kota Baru (Kalsel) dan, Tanjung Pati (Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar), Arga Makmur
(Bengkulu Utara).
Berdasarkan pendeskripsian di atas, maka bila profesionalisme hakim dilihat dari
perspektif kemahiran yuridik, dapatlah diketahui bahwa, secara kuantitaif, jumlah hakim yang
baik dalam pemeriksaan perkara pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif
sedikit, yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 6 (4%) putusan (dari 149 putusan) di perkara pidana,
hakim yang merujuk pada doktrin untuk memperkuat argumen-argumen dalam pertimbangannya,
baik dalam pemeriksaan perkara pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif
sedikit, yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 15 (10 %) putusan (dari 149 putusan) di perkara
hakim yang merujuk pada yurisprudensi dan doktrin untuk memperkuat argumen-argumen dalam
pertimbangannya, akan tetapi kondisi di atas dapat saja tertafsir, masih rendahnya tingkat
keterampilan atau kemahirannya dalam menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum ( legal
materials), serta kemampuannya untuk menangani bahan-bahan hukum yang ada, serta
profesionalismenya. Tidak adanya konsekuensi lebih lanjut dari para hakim yang telah
sepertinya menjadi alasan pembenar dari adanya keadaan ini. Hal yang relatif sama juga
ditemukan berdasarkan hasil penelitian Komisi Hukum Nasioan tentang, “standar pengujian profesi
hukum (Jaksa, Hakim dan Advokat), dengan adanya kekurangan dari kemampuan hakim dalam
hal-hal yang menyangkut kemahiran yuridis ini, maka dalam diklat hakim perlu diberi materi yang
menenkankan pada penguatan kapasitas personal, baik menyangkut ketrampilan hukum ( skill)
maupun kapasitas personal yang menyangkut pemahaman mengenai etika profesi hukum masing-
masing profesi Jaksa, Hakim dan Advokat. Baik dalam diklat umum dan diklat khusus, muatan
materi-nya mencakup antara lain: (a) Materi pengetahuan hukum, (b) Materi penunjang atas materi
107
pengetahuan hukum yang sifatnya lebih teknis dan aktual, (c) Materi ketrampilan ( skill) baik yang
pertimbangan dengan baik, disertai rujukan-rujukan yurisprudensi dan doktrin yang tepat. Hal ini,
antara lain terlihat dalam Putusan PN. Kolaka Nomor 192/Pid.B/2007/PN.Klk, tentang Tindak
pidana Pidana: Pembunuhan dan Putusan PN. Metawai Nomor 39/Pid.B/2007/PN.Mtw, tentang
tindak Pidana Pencemaran Nama Baik oleh pers. Akan tetapi dari 149 putusan pidana yang diteliti,
terdapat 46 (31%) putusan, dimana hakim tidak mempertimbangan unsur-unsur tindak pidana
yang didakwakan oleh JPU secara komprehensif, dalam hal ini terdapat beberapa putusan dimana
hakim hanya menuliskan saja unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana bunyi Pasal yang
didakwakan JPU, tanpa membuktikan lebih lanjut masing-masing unsur tindak pidana satu persatu
secara komprehensif.
Hal ini antara lain terlihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.
JPU, hakim hanya mencantumkan saja unsur-unsur dalam Pasal 50 (3) huruf h jo 78 (7) UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni : (a) barang siapa; (b) dengan sengaja mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan; (c) yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan. Selanjutnya Majelis Hakim tidak melakukan pembuktian terhadap
unsur-unsur tersebut satu persatu, akan tetapi langsung berkesimpulan, bahwa perbuatan
terdakwa memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 50 (3) huruf h jo 78 (7) UU No. 41
61
Tim Peneliti Indonesian Court Monitoring, standar pengujian profesi hukum (Jaksa, Hakim dan
Advokat), Yogyakarta: Indonesian Court Monitoring, 2002, hal. 131.
108
Tindak Pidana Narkotika (Menjadi Perantara dalam jual beli Narkotika Gol. I ), PN. Tondano
551/PID.B/2007/PN.MLG, tentang tindak pidana Pidana Pelanggaran Hak Cipta, PN. Malang
Nomor 437/PID.B/2007/PN.MALANG, tentang tindak pidana Tanpa Hak Membawa Senjata Tajam,
dan PN. Pasurusan Nomor 915/PID.B/2007/PN.Kab.Pas, tentang tindak pidana Pelanggaran Hak
Cipta. Dalam putusan-putusan tersebut, hakim hanya mencantumkan saja unsur-unsur dalam
Pasal yang didakwakan JPU. Hakim, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur tersebut satu persatu,
langsung menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan
mengulang saja apa yang dikdakwakan oleh JPU ataupun pembelaaan-pembelaan dari terdakwa.
Hal ini terlihat pada Putusan PN Padang No. 179/Pid.B/2006/PN.Pdg Tindak Pidana Mengedarkan
Sediaan Farmasi Tanpa Izin, dalam putusan ini, Pertimbangan yang diberikan oleh hakim hanya
mengutip dakwaan, tuntutan dan kesaksian saksi dan terdakwa, tanpa disertai doktrin,
yurisprudensi dan uraian secara rinci dan jelas tentang unsur-unsur tindak pidana yang harus
perdata, yang mempergunakan yurisprudensi dalam putusannya, serta 15 di perkara pidana , dan
10 putusan (dari 59 putusan) di sengketa perdata, yang mempergunakan doktrin dalam putusan-
putusannya, secara kualitatif pun tidak seluruhnya menunjukkan profesionalisme hakim dalam
MA yang menjadi yuriprudensi, tanpa disebutkan secara jelas, apa isi yurisprudensi tersebut, hal ini
terlihat pada PN Arga Makmur No. 05/Pdt.G/2004/PN. Am, yang merujuk pada Putusan MA No.
sebagai doktrin, tetapi kemudian tidak menuliskan secara tegas, apa yang dikutip dari pendapat
para sarjana/ahli hukum tersebut. Hal ini terlihat dalam PN Arga Makmur No.05/Pdt.G/2004/PN.
Am.
Selain daripada itu terdapat pencantuman doktrin yang “mencontoh” dari putusan lain,
dengan cara penyajian dan sususan argumen yang relatif sama. Hal ini terlihat dalam putusan PN
dan kesadaran etik profesional, khususnya yang berkenaan dengan pembebanan profesi hukum
sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat serta
Kesadaran serta komitmen profesional hakim ini dapat dilihat antara lain dari: (a)
Hak terdakwa atau tersangka atas bantuan hukum, dijamin oleh undang-undang..
Pasal 56 ayat (1) KUHAP mewajibkan “pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan” untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka
atau terdakwa yang “disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka
yang tidak mampu yang diancam dengan tindak pidana lima tahun atau lebih yang tidak
Namun dalam prakteknya ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP seringkali tidak
diterapkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 149 putusan yang diteliti, terdapat
110 (73,6%) putusan yang terdakwanya didampingi oleh penasehat hukum dan terdapat
persidangan berlangsung.
Tidak diterapkannya Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang bertujuan untuk melindungi
hak tersangka dan terdakwa atas bantuan hukum tersebut banyak ditemukan pada kasus
pembalakan liar. Dari 21 putusan tentang pembalakan liar yang diteliti, terdapat 9 (43%)
putusan, yang terdakwanya tidak didampingi oleh penasihat hukum selama proses
terhadap UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika. Dari 8 putusan yang diteliti dalam kasus narkotika, terdapat 4 (50%) putusan,
yang terdakwanya tidak didampingi penasihat hukum selama persidangan. Angka yang
111
bahkan lebih tinggi dijumpai pada perkara psikotropika. Dari 14 Putusan yang diteliti
terdapat 9 (64%) putusan, yang terdakwanya tidak didampingi oleh penasihat hukum.
bantuan hukum umumnya berkorelasi dengan status sosial dari terdakwa. Misalnya pada
kasus korupsi, yang pada umumnya terdakwa berasal dari golongan yang relatif mampu,
Dari 43 Putusan yang diteliti, hanya terdapat 2 (4.7%) putusan, yang terdakwanya tidak
didampingi oleh penasihat hukum selama proses persidangan. Bahkan dalam kasus tindak
Fenomena ini tentunya perlu ditindaklanjuti mengingat bahwa UUD 1945 62 telah
mengatur tentang kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi setiap
warga negara tanpa memandang latar belakang status sosial. Selain itu, berbagai
ketentuan dalam undang-undang, dalam hal ini pasal 56 ayat (2) KUHAP dan Pasal 22 UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, telah mengatur tentang bantuan hukum secara cuma-
cuma terhadap pencari keadilan yang tidak mampu. Bahkan pada akhir tahun 2008
Pemerintah telah menerbitkan PP No. 83 Tahun 2008 yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Oleh karena itu
penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak boleh diabaikan lagi oleh para pejabat peradilan
mendapat bantuan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, diabaikan
berpotensi dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan putusan tersebut. Dalam Putusan
62
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1).
112
No. 1565 K/pid/1991 tanggal 16 September 1991, Mahkamah Agung sependapat dengan
Judex Facti dalam menolak kasasi JPU dengan alasan antara lain bahwa penyidik (Jaksa)
oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP dan oleh karenanya Tuntutan JPU dinyatakan Tidak Dapat
Diterima.63
Berbeda dengan perkara pidana, dalam kasus perdata, memang tidak ada
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik HIR, RBg, maupun
peraturan-peraturan lain, bahwa para pihak dalam perkara perdata wajib menggunakan
advokat, sehingga, para pihak dalam perkara perdata boleh beracara tanpa menggunakan
jasa advokat.
Dari total 59 putusan perkara perdata yang diteliti, sebagian besar adalah perkara
yang setidaknya salah satu pihak menggunakan jasa advokat untuk mewakilinya, yakni 48
perkara (81,4%).
Sedangkan jumlah perkara yang tidak satu pun dari para pihaknya menggunakan
jasa advokat untuk mewakilinya adalah 11 perkara (18,6%). Dari ke-11 perkara tersebut,
sebagian besar adalah sengketa yang terkait dengan tanah, yakni 6 perkara (54,5%). Dari
ke-11 perkara tersebut, hanya 1 perkara (9,1%) yang berasal dari Jawa, tepatnya Jakarta
Pusat. Selebihnya terjadi di Sumatera, yakni 6 perkara (54,5%), dan di kawasan non-
Jawa-Sumatera, yakni 4 perkara (36,4%). Meskipun tidak ada ketentuan yang mewajibkan
para pihak dalam perkara perdata menggunakan jasa advokat ataupun mewajibkan
63
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya , PT
Alumni: 2007, Edisi Pertama, halaman 152-159.
113
pengadilan untuk menyediakannya bagi pihak yang tidak menyediakan sendiri, fenomena
ini mungkin merupakan indikasi: (a) timpangnya kemajuan dan jumlah jasa hukum yang
tersedia di Jawa dan di luar Jawa; dan (b) rendahnya kesadaran, atau kepercayaan,
ataupun kemampuan finansial masyarakat di luar Jawa untuk menggunakan jasa advokat
4. Kesalahan Pengetikan
Di dalam putusan-putusan pidana dan perdata yang diteliti, dijumpai kesalahan-kesalahan
yang terkait dengan ketidaktelitian dalam pengetikan (misalnya berupa typo error) dan
ketidaktertiban dalam mempergunakan bahasa Indonesia. Dari 59 putusan perdata yang diteliti,
tidak ada satu pun putusan yang luput dari masalah ini.
Hal ini antara lain terlihat pada Putusan No. 34/Pid.B/2006/PN.BLK, terutama dalam
bagian tuntutan JPU. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan soft copy dari Putusan terdahulu
(Putusan lain), misalnya: “…Pidana Penjara selama 5 (empat) tahun….”; “…..membayar uang
pengganti kepada negara sebesar Rp. 43.834.388,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah)…”.
Contoh kesalahan pengetikan juga dapat dijumpai pada Putusan No.
8/Pid.B/2004/PN.MPW yang mana pada Putusan tertulis: “Pasal 3 ayat (1)”. Diduga ini merupakan
kesalahan pengetikan karena Pasal 3 UU No. 31/1999 tidak memiliki ayat, sehingga seharusnya
“Pasal 3 [tanpa ayat (1)]”. Di samping kedua putusan tersebut, masih banyak terdapat contoh
kekeliruan dalam pengetikan. Kesalahan ketik ( typo error) tersebut terkesan sepele namun cukup
menggangu dan bisa menimbulkan citra yang negatif tentang profesionalitas hakim.
Secara lebih terperinci, bentuk-bentuk kesalahan teknis tersebut, antara lain berupa
114
a. Typo error, hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Kolaka No.
11/Pdt.G/2007/PN.KLK
b. Penggunaan template (dari softcopy perkara sebelumnya), hal ini antara lain dapat dilihat
merupakan kalimat baru atau anak kalimat baru, tanpa tanda kutip pembuka dan penutup
padahal sedang melakukan pengutipan langsung, dan lain-lain), hal ini antara lain dapat
konsisten, dan asal-asalan, hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Labuha No.
13/Pdt.G/2007/PN.LBH
f. Cara merujuk para pihak dan saksi yang tidak konsisten (misalnya awalnya disebut “para
penggugat”, lalu tiba-tiba menjadi “kami”, lalu tiba-tiba menjadi “mereka”, lalu tiba-tiba
menjadi “saya”, lalu tiba-tiba menjadi “penggugat” saja padahal yang dimaksud adalah
“para penggugat”), hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Makale No.
disebut “si Polan”, lalu tiba-tiba menjadi “sang Polin” sehingga pihak lain dapat mengira itu
adalah orang yang lain lagi, namun ternyata adalah orang yang sama dengan si Polan
karena rupanya sang Polin adalah nama panggilan si Polan, lalu tiba-tiba berubah lagi
menjadi “si Badu” dan rupanya si Badu adalah nama alias si Polan, dan demikian
seterusnya; sedangkan pada bagian penyebutan identitas para pihak atau saksi tidak
disebutkan sama sekali semua nama lain dari orang yang sama tersebut), hal ini antara
h. Pemuatan identitas para pihak dan saksi yang asal-asalan; termasuk tidak dijelaskannya
apakah pihak bersangkutan menggunakan advokat sebagai kuasa hukumnya atau tidak,
dan kalau menggunakan advokat siapa nama advokat tersebut berikut pendaftaran surat
kuasa khususnya; hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Kendari No.
45/Pdt.G/2006/PN.KDI
terdakwa yang tidak didampingi oleh advokat, walaupun secara normatif, seharusnya ia memiliki
hak untuk itu, memberikan indikasi kurangnya kepekaan hakim terhadap penumbuhan dan
pengembngan sikap, dan kesadaran etik profesionalnya, yang berorientasi pada upaya
mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Sebagai pengemban profesi yang terhormat ( officium
nobile), seharusnya hakim memiliki kepekaan untuk berupaya memenuhi hak-hak yang dimiliki
oleh terdakwa secara porposional. Untuk itulah sebagaimana hasil penelitan Tim Komisi Hukum
peningkatan potensi kepribadian seorang calon hakim atau hakim tentang sense of justice dan visi
penegakan hukumnya, maka materi psikotest harus mencakup materi sebagai berikut: Kecerdasan
Walaupun terkesan sepele, kesalahan-kesalahan seperti ini sangat mengganggu dan perlu
mendapat perhatian secara proposional. Seharusnya, dalam menulis putusan, yang menjadi acuan
adalah: bagaimana dengan membaca putusan tersebut, orang yang sebelumnya sama sekali tidak
terlibat dengan perkara yang bersangkutan dan tidak tahu menahu mengenainya, bisa menjadi
mengerti perkara tersebut dengan komprehensif, lengkap, jelas, benar, dan tepat. Karena hanya
64
Tim Peneliti Indonesian Court Monitoring, Standar Pengujian Profesi Hukum (Jaksa, Hakim dan
Advokat), Op. Cit, hal. 130.
116
dengan demikianlah putusan dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan
benar/tepat.
Para hakim dan panitera selalu mendapat berbagai macam pendidikan dan pelatihan
secara rutin dan berkala. Kiranya satu pelatihan yang juga sudah sangat mendesak diperlukan
adalah pelatihan peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, tertib, rapi, sistematis,
dan benar bagi mereka. Sepertinya, selama ini, pelatihan seperti itu belum pernah diadakan,
barangkali karena tidak pernah disadari sudah betapa buruk dan parahnya bahasa Indonesia
dalam putusan-putusan.
117
BAB. V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang profesionalisme hakim, yang dilihat
dari aspek-aspek penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridik, kemahiran yuridik,
dan kesadaran serta komitmen profesional, yang terakomodasi dalam putusan pengadilan,
a. Profesionalisme hakim dari aspek penguasaan atas ilmu hukum, dalam putusan
pidana, terlihat dari upaya dari hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap bentuk
dakwaan JPU, sedangkan dalam putusan perdata terlihat dalam ketepatan penggunaan
hukum
b. Dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 99 (66,4%) putusan yang bentuk
dakwaannya diperiksa dan diteliti oleh hakim, dan 50 (33.6%) putusan, yang tidak
diperiksa, hakim hanya mengikuti saja apa yang didakwakan dan dituntut oleh JPU.
Padahal dari 149 putusan pidana tersebut, terdapat 111 (74,5%) putusan yang bentuk
dakwaannya telah dibuat secara tepat dan benar, dan 38 (25.5%) putusan yang yang
putusan yang tepat dalam menggunakan hukum, dan terdapat 7 (11,9%) putusan yang
tidak tepat dalam penggunaan hukumnya adalah. Dari 7 putusan hakim yang tidak tepat
118
Sumatera. Dari 7 putusan yang tidak tepat penggunaan hukumnya tersebut. 4 (57,1%)
Sumatera.
pidana, terlihat dari upaya hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan oleh JPU, kesesuaian pertimbangan dan putusan hakim dengan kaidah
hukum, serta perbandingan antara putusan hakim, dengan tuntutan JPU, sedangkan
dalam putusan perdata, hal ini terlihat pada bagaimana upaya hakim dalam
putusan provisi dan putusan serta merta; memeriksa dan mempertimbangkan sita jaminan/
b. Dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 95 (63,8%) putusan yang unsur-
unsur tindak pidananya diperiksa dan dipertimbangkan secara detail dan komprehensif
oleh Majelis Hakim, dan terdapat 54 (36,2%) putusan yang unsur-unsur tindak pidananya
tidak diperiksa dan dipertimbangkan secara detail dan komprehensif oleh Majelis Hakim.
119
dipertimbangkan secara baik, umumnya ketidakcermatan tersebut terjadi dalam bentuk (a)
yang didakwakan oleh JPU; (b) hakim tidak menguraikan/mempertimbangkan sama sekali
unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU; (c) terdapat kontradiksi dari hakim
pertimbangannya sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan terdapat 75 (50,3%)
putusan, yang pertimbangannya tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
e. .Dari 126 putusan yang divonis bersalah oleh hakim, terdapat 99 putusan (78.6%)
dimana vonis hakim lebih ringan daripada tuntutan JPU; 13 (10.3%) putusan dimana
hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan JPU; dan 14 (11.1%) putusan, vonis
yang dipertimbangan secara obyektif, dan sejalan dengan pertimbangannya atas faktor-
faktor yang memberatkan dan meringankan, ditemukan juga : (1) vonis hakim yang jauh
lebih rendah dari tuntutan JPU, termasuk pada perkara-perkara yang secara khusus oleh
Mahkamah Agung disebutkan dalam SEMA No. 1 Tahun 2000; (2) Hakim menjatuhkan
putusan yang bukan saja jauh lebih ringan dari pada tuntutan JPU, namun juga melanggar
ketentuan hukuman minimum; (3) vonis Hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan
120
1) Terdapat 40 (67,8%) putusan yang sesuai dengan kaidah hukum dan terdapat 19
(32,2%) putusan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum. Ketidaksesuain tersebut
antara lain terjadi dalam hal: (a) tidak sesuai dengan (melanggar) prinsip-prinsip
hukum pembuktian; (b) Ketidaksesuaian dengan nalar dan logika hukum. Sebagian
dalam perkara dengan objek sengketa berupa tanah. Dari 59 putusan yang diteliti,
penyebarannya. Putusan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum terjadi di kawasan
(13,6% dari total 59 putusan) dan 31 permohonan putusan serta merta (52,5 % dari
total 59 putusan).
permohonan sita revindikatoir. Dari ke-23 putusan ini hanya terdapat 1 putusan
(4,3%) yang tidak tepat dalam hal penetapan sita jaminan/sita revindikatoir
mayoritas diputus Majelis Hakim secara tepat, yakni 32 putusan (78%), sedangkan
5) Terdapat 13 putusan (22%), yang tidak tepat dalam konvensi. Dari ke-13 putusan
ini, 4 (30,8%) di antaranya merupakan perkara yang terkait dengan sengketa tanah,
sedangkan sisanya terdiri dari berbagai macam perkara lain yang tidak menunjukkan
berdasarkan wilayahnya, putusan yang tidak tepat dalam konvensi terjadi secara
karena dari ke-13 putusan ini, 6 terjadi di kawasan non-Jawa-Sumatera (46,2%) dan 7
rekonpensi, dan 41 putusan yang tidak mengandung putusan rekonpensi 65. Dari ke-41
putusan yang tidak mengandung rekonpensi ini, mayoritas diputus Majelis Hakim
secara tepat, yakni 32 putusan (78%), sedangkan yang diputus secara tidak tepat
a. Profesionalisme hakim dari aspek kemahiran yuridik, dalam putusan yang diteliti
(baik pidana maupun perdata) dapat dilihat dari bagaimana hakim merujuk pada
yurisprudensi dan/ atau doktrin yang ada dan kemudian mempergunakan yurisprudensi
65
Secara keseluruhan terdapat 59 putusan yang diteliti, hanya saja dari 59 putusan tersebut, terdapat 3
putusan yang tidak dapat dibuat anotasi karena tidak lengkap, sehingga dalam bagian ini jumlah
kesleuruhan putusan yang diteliti hanyalah 56 putusan.
122
putusan pidana, kemahiran yuridik dalam putusan yang diteliti dapat dilihat juga dari
bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada
terdakwa, bila dibandingkan dengan tuntutan yang telah dtetapkan oleh JPU
pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif sedikit, yaitu hakim-hakim
yang terlibat dalam 6 (4%) putusan (dari 149 putusan) di perkara pidana, 8 (14%) putusan
(dari 59 putusan) di sengketa perdata. Demikian pula jumlah hakim yang merujuk pada
pemeriksaan perkara pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif sedikit,
yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 15 (10 %) putusan (dari 149 putusan) di perkara
doktrin yang tepat, akan tetapi dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 46 (31%)
putusan,dimana hakim tidak memberikan pertimbangannya secara baik. Hak in antara lain
terlihat dalam putusan : (a) dimana hakim tidak mempertimbangan unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan oleh JPU secara komprehensif, (b) dimana pertimbangan-
pertimbangan yang diberikan hanya mengulang saja apa yang dikdakwakan oleh JPU
profesionalisme hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini antara lain
telihat dari : (a) putusan yang mencantumkan nomor putusan MA yang menjadi
yuriprudensi, tanpa disebutkan secara jelas, apa isi yurisprudensi; (b) Putusan yang
mencantuman doktrin yang “mencontoh” dari putusan lain, dengan cara penyajian dan
sususan argumen yang realtif sama; (c) putusan yang mencantumkan nama sarjana yang
akan dikutip pendapatnya sebagai doktrin, tetapi kemudian tidak menuliskan secara tegas,
putusan yang diteliti (baik pidana maupun perdata) dapat dilihat dari : (1) pendampingan
b. Dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 110 (73,6%) putusan yang
terdakwanya didampingi oleh penasehat hukum dan terdapat 39 (26.2%) perkara, yang
c. Dari keseluruhan putusan pidana yang diteliti, tidak ada satu putusan pun yang
tidak tedapat kesalahan pengetikann (kesalahan teknik penulisan). Kesalahan ini berupa :
(a) Typo error; (b) penggunaan template (dari softcopy perkara sebelumnya) yang tidak
tertib; (c) Tanpa tanda baca sama sekali (tanpa tanda titik dan koma sama sekali padahal
sudah merupakan kalimat baru atau anak kalimat baru, tanpa tanda kutip pembuka dan
penutup padahal sedang melakukan pengutipan langsung, dan lain-lain); (d) Penggunaan
124
huruf besar dan huruf kecil yang sama sekali tidak tertib, tidak konsisten, dan asal-asalan;
(e) Cara merujuk para pihak dan saksi yang tidak tertib dan tidak konsisten; (f) Cara
menyebut nama para pihak dan saksi yang tidak tertib dan terus berubah-ubah; (g)
Pemuatan identitas para pihak dan saksi yang asal-asalan; termasuk tidak dijelaskannya
apakah pihak bersangkutan menggunakan advokat sebagai kuasa hukumnya atau tidak,
dan kalau menggunakan advokat siapa nama advokat tersebut berikut pendaftaran surat
kuasa khususnya. (h) Ketidakpatuhan terhadap kaidah bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
B. SARAN
terutama yang berkaitan dengan aspek: penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir
yuridik, kemahiran yuridik, kesadaran serta komitmen profesional, maka perlulah dipertimbangkan
diakomodasinya berbagai materi baik pada saat dilakukannya tes bagi calon hakim, maupun pada
saat dilakukannya pendidikan dan pelatihan bagi hakim. Dengan diakomodasinya materi-materi
yang berkiatan dengan aspek-aspek profesionalisme tersebut, maka disatu sisi (pada saat tes
seleksi calon hakim), dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai bagaimana kapasitas dan
komepetensi calon hakim, sedangkan di sisi lain, dapat dijadikan sebagai media untuk
meningkatkan kapasitas dna kompetensi hakim ketika mereka mengkitui pendidikan dan pelatihan.
dengan aspek: penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridik, kemahiran yuridik,
kesadaran serta komitmen profesional, dapat pula dilakukan melalui eksaminasi terhadap putusan-
125
putusan hakim tersebut baik dilakukan secara internal maupun secara eksternal (oleh lembaga-
lembaga yang dipandang kompeten). Eksaminasi ini, selain dapat dijadikan sebagai sarana
pertanggungjawban hakim terhadap hasil kerja porfesionalnya kepada publik, juga dapat dijadikan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mustafa. Pengembangan Integritas dan Profesionalisme Hakim . Makalah pada diskusi
panel yang diselenggarakan oleh BPHN dan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
24-27 April 2007.
Ais, Chatamarrasjid. Pola Rekrutmen Dan Pembinaan Karir Aparat Penegak Hukum Yang
Mendukung Penegakan Hukum. Makalah disampaikan dalam kegiatan Seminar
Tentang Reformasi Sistem Peradilan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia. yang
diselenggarakan oleh BPHN bekerjasama dengan FH UNSRI dan Kanwil
Dephukham Prop. Sumatera Selatan. di Palembang 3 – 4 April 2007
__________. Anotasi. Yurisprudensi Dan Putusan Penting (Landmark Decision). makalah dalam
pertemuan rencana pembuatan anotasi dan laporan penelitian putusan hakim
tahun 2007 dan 2008. Jakarta : Komisi Yudisial. 27 Maret 2009.
Indragiri, Reza. Pengembangan Integritas Profesi Hakim, Jakarta : Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama MA-RI. dalam http://www.badilag.net/index2.php? option=com_
content&do_pdf=1&id=1315. 2008
Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State)
diterjemahkan oleh raisul Muttaqien. Cet. Pertama. Bandung : Penerbit
Nusamedia & Penerbit Nuansa. 2006
MacCormick, Neil. Legal reasoning and Legal Theory. Oxford: Oxford University Press. 1994.
Mahfud MD, Moh.. Pengadilan dan Demokrasi “Rabaan Diagnosa dan Terapi . makalah
disampaikan dalam dalam Dinner Lecture yang diselenggarakan oleh Komite
Indonesia untuk Demokrasi (KID) di Hotel Ciputra Surabaya. 21 Nopember 2007
Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif. Teoretis. Praktik dan Masalahnya. PT
Alumni: 2007.
Ritzer, Goerge dan Douglas J Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasij sampai
Perkembangan Mutkahir Teori Sosial Postmodern. diterjemahkan oleh Nurhadi.
Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2008
Schiff, David and Richard Nobles (eds.). Jurisprudence. Butterworth: London. 2003. bandingkan
dengan Gunther Teubner and Alberto Febbranjo. State. Law and Economy As
Autopoeitic System : Regulation and Autonomy in A New Perspective. Milan : Dot.
A Giuffre. 1992.
Sidharta, Bernard Arief. Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum. dalam I.S. Susanto dan Bernard
L. Tanya (Ed.). Wajah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah
Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. S.H. Bandung : Citra Aditya
Bakti. 2000
____________________. Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum. dalam I.S. Susanto dan
Bernard L. Tanya (Ed.). Wajah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah
Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. S.H. Bandung : Citra Aditya
Bakti. 2000. Hal. 206
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta: UI-
Press. 1986.
Sparringa, Daniel. Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang Demokratis : Kajian
Politik. Disampaikan dalam seminar nasional Mencari Model Ideal Penyusunan
Undang-undang yang Demokratis dan Konggres Asosiasi Sosiologi Hukum
Indonesia. yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Dipenegoro
Semarang. Tanggal 15-15 April 1998.
Teubner, Gunther Richard Nobles. dan David Schiff. The Autonomy Of Law: An Introduction
to Legal Autopoiesis dalam David Schiff and Richard Nobles (eds.).
Jurisprudence. London : Butterworth. 2003.
Tim Peneliti Indonesian Court Monitoring, standar pengujian profesi hukum (Jaksa, Hakim dan
Advokat), Yogyakarta: Indonesian Court Monitoring. 2002
128
Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di
Bidang Peradilan. Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. Yogjakarta. 10 Januari 2003
______________________. Konsep Hukum. Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. makalah yan
disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas
Hasanuddin. Makassar. 4 – 5 Februari 1994.
World Bank. Village Justice In Indonesia. Case studies on access to justice. village democracy and
governance. February 2004