Kelompok 4B:
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah, serta karunianya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ilmiah dalam bentuk makalah
tanpa suatu halangan yang amat berarti hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan dukungannya dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Karyadi, pHd sebagai dosen penanggung jawab mata kuliah
Keperawatan Komunitas dan Keluarga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah discovery learning mengenai Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
Demikian yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kata di dalam makalah ini yang
kurang berkenan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam pembuatan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran bagi yang membacanya. Kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa yang akan datang dan kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Penyusun,
Kelompok 4B
2
DAFTAR ISI
3
2.11.3 Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan ..................................................................................... 23
2.11.4 Pertanggung Jawaban BPJS Kesehatan .................................................................................... 24
BAB III ....................................................................................................................................................... 25
PENUTUP .................................................................................................................................................. 25
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 26
4
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut pasal 25 ayat 1, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas
jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia
lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya. Sehingga, Pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk
mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Uni
versal Health Coverage).
5
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
2. Apa saja tujuan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
3. Apa saja manfaat dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
4. Apa saja prinsip – prinsip dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
6. Apa saja permasalahan yang muncul akibat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
7. Bagaimana pengorganisasian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
8. Siapa saja yang dapat dikategorikan peserta dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)?
9. Bagaiamana sistem pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
10. Apa saja dasar hukum terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
11. Bagaimana sistem pembiayaan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa memahami pengertian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
2. Mahasiswa memahami tujuan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
3. Mahasiswa memahami manfaat dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
4. Mahasiswa memahami prinsip – prinsip dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
5. Mahasiswa memahami kelebihan serta kekurangan dari Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
6. Mahasiswa memahami permasalahan yang muncul akibat Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
7. Mahasiswa memahami bagaimana pengorganisasian dari Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
8. Mahasiswa memahami siapa yang tergolong peserta dari program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
9. Mahasiswa memahami sistem pelayanan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
10. Mahasiswa memahami dasar hukum terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
11. Mahasiswa memahami bagaiamana sistem pembiayaan dari Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
dokter. Promotif dan preventif yang diberikan bagi upaya kesehatan perorangan (personal
care). JKN menjangkau semua penduduk, artinya seluruh penduduk termasuk warga asing
harus membayar iuran dengan prosentase atau nominal tertentu, kecuali bagi masyarakat
miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh pemerintah. Peserta yang terakhir ini
disebut sebagai penerima bantuan iuran. Harapannya semua penduduk indonesia sudah
menjadi peserta JKN pada tahun 2019.
8
Nasional royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba
bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat
adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-
besarnya untuk kepentingan peserta. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas,
efisiensi, dan efektivitas. Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan
pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
3. Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Prinsip kepesertaan bersifat wajib Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat
menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat 19 Buku
Pegangan Sosilaisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan
pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat
menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.
5. Prinsip dana amanat
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan
penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut
untuk kesejahteraan peserta.
Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
9
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
2.5.1 Kelebihan
1. Premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar
masyarakat.
2. Manfaat yang ditawarkan umumnya terbatas.
3. Memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau.
4. Asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti
peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan
terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”.
5. Asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan
pelayanan kesehatan yang berkelanjutan).
6. Asuransi kesehatan sosial memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh
wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan
asuransi kesehatan sosial/ JKN bersifat wajib.
2.5.2 Kerugian
1. Tidak sesuai prosedur;
2. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS;
3. Pelayanan bertujuan kosmetik;
4. General checkup,
5. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi;
6. Pelayanan kesehatan pada saat bencana
7. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri
sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba.
8. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur
dalam peraturan yang berlaku;
9. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat darurat;
10. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja
terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja;
11. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri
10
12. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
13. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi)
14. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol;
15. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan
hobi yang membahayakan diri sendiri;
16. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she,
chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi
kesehatan (health technology assessment);
17. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen);
18. Perbekalan kesehatan rumah tangga;
19. Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar
biasa/wabah; dan
20. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat Jaminan
Kesehatan yang diberikan
11
ini dapat menghambat perluasan kepesertaan,” kata Zaenal dalam jumpa pers yang
diselenggarakan DJSN di Jakarta, awal Agustus.
Kedua, soal pelayanan, menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas dalam
program JKN/KIS yang berjalan selama ini belum optimal. Portabilitas artinya setiap peserta
dapat menikmati layanan kesehatan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun
seorang peserta pergi ke daerah lain, ia tetap bisa mendapatkan layanan.Namun, dari sejumlah
fasilitas kesehatan (faskes) yang ditemui DJSN menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang
membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar faskes tingkat pertama (FKTP) tempat
peserta terdaftar. Peserta bisa mendapat pelayanan di FKTP itu maksimal 3 kali. Ada juga
FKTP menolak melayani peserta dari FKTP wilayah lain dengan alasan mekanisme
pembayaran untuk portabilitas belum jelas. Jika tetap ingin dilayani, ia harus menghubungi
layanan di daerah asal.Pemantauan DJSN menunjukan portabilitas pada kasus darurat relatif
berjalan. Tapi hal serupa tidak ditemui dalam portabilitas pelayanan non darurat. DJSN
merekomendasikan agar pembatasan pelayanan sebanyak 3 kali itu ditujukan kepada peserta
yang terdaftar di faskes yang masih dalam satu kabupaten/kota; menyediakan petugas call
center di daerah untuk pelayanan portabilitas; dan mengembangkan pola pembayaran khusus
kepada FKTP yang memberi pelayanan kepada peserta yang berasal dari FKTP daerah lain.
Ketiga, menyangkut regionalisasi rujukan. Pelayanan dalam program JKN/KIS
dilaksanakan secara berjenjang mulai dari FKTP sampai faskes rujukan tingkat lanjutan
(FKRTL). Beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dan Jakarta mengatur rujukan itu
berdasarkan wilayah administratif pemerintan daerah. DJSN menilai regionalisasi rujukan
tidak tepat karena menyebabkan peserta terhambat untuk mengakses pelayanan kesehatan.
Peserta harus menempuh jarak yang jauh dengan biaya yang besar untuk mencapai sebuah
faskes.Masalah rujukan juga dialami peserta karena FKTP hanya boleh merujuk ke RS tipe C
terlebih dulu. Padahal, tidak semua RS tipe C punya fasilitas dan SDM yang bisa melayani
peserta sesuai diagnosa rujukan. Itu menimbulkan kesan pelayanan terhadap peserta
diperlambat atau dipersulit. Bahkan bisa menyebabkan kondisi penyakit yang diderita peserta
lebih parah dan meningkatkan biaya transportasi rujukan yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Untuk mengatasi masalah rujukan itu DJSN mengusulkan agar regionalisasi rujukan diatur
berdasarkan ‘konsep jangkauan’ dan ‘kemampuan’ faskes.
12
Keempat, soal kriteria gawat darurat (emergency). Selama dua tahun program JKN/KIS
berjalan, kriteria gawat darurat jadi kendala pelaksanaan pelayanan kesehatan di lapangan.
Belum ada regulasi yang detail mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat
darurat atau bukan.Penjaminan BPJS Kesehatan dalam kasus gawat darurat di faskes yang
tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan hanya mengacu diganosa, bukan kriteria yang
dimaksud darurat. “Misalnya, kasus stroke dianggap darurat, kondisi apa yang dianggap masih
darurat? Kriteria stabil, seperti apa dianggap stroke stabil? Apakah penurunan kesadaran
dianggap stabil?,” urai Zaenal. DJSN merekomendasikan BPJS Kesehatan, IDI dan
perhimpunan profesi untuk menetapkan kriteria darurat dan stabil. BPJS Kesehatan dituntut
mampu mengumpulkan informasi tentang kemampuan dan ketersediaan tempat tidur di faskes
yang bekerjasama. Sehingga pasien darurat dapat dipindahkan ke RS yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan.
Kelima, perihal pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan rawat inap yang
ada saat ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu
jelas menyebut kelas perawatan bagi peserta yang membutuhkan rawat inap menggunakan
kelas standar tanpa ada pembagian kelas. Pembagian kelas I, II dan III sebagaimana
berlangsung saat ini berdampak terhadap diskriminasi pelayanan karena tarif yang dibayar
berbeda, tergantung kelas perawatannya. Diskriminasi ini bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS.
Keenam, menyoal pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat item obat dalam e-catalog
tidak dapat memenuhi kebutuhan. Karena itu e-catalog bukan satu-satunya cara untuk
pengadaan obat dalam program JKN/KIS. Item obat yang tidak ada di e-catalog dapat
mengacu harga pasar. Tetapi terkendala Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Beleid ini
menyebut pengajuan klaim atas obat program rujuk balik, obat penyakit kronis dan kemoterapi
serta biaya pelayanan kefarmasian mengacu pada harga dasar obat sesuai e-catalog. DJSN
merekomendasikan agar Permenkes itu ditinjau ulang.
Ketujuh, terkait klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004
tentang SJSN mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut.
Zaenal mengatakan ketentuan itu tidak terpenuhi karena tarif INA-CBGs sudah ditetapkan
13
berdasarkan regional sehingga menutup ruang kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan
asosiasi faskes untuk menentukan tarif. DJSN menilai pembagian tarif INA-CBGs
berdasarkan tipe RS berdampak pada mutu pelayanan di daerah terpencil sehingga tidak
terwujud prinsip ekuitas sebagaimana amanat UU SJSN. Padahal RS tipe paling rendah
sampai tinggi memberikan standar pelayanan yang sama. Pembayaran berdasarkan kelas di
RS itu dianggap DJSN bertentangan dengan pasal 19 ayat (1) UU SJSN. Untuk membenahi
masalah klasifikasi tarif INA-CBGs itu DJSN merekomendasikan Kementerian Kesehatan
membuat kisaran tarif sebagai ruang untuk kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi
faskes. Kemudian, membuat tarif yang acuannya bukan tipe kelas RS tapi kemampuan RS.
BPJS Kesehatan perlu menegosiasikan tarif kepada setiap faskes berdasarkan nilai
kredensialing.
Kedelapan, pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini pengaturan pembagian
jasa medis di RS pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU) hanya mencantumkan
presentase maksimal. Dikhawatirkan ini disalahgunakan manajemen RS dan merugikan
tenaga medis. Sementara RS atau faskes pemerintah daerah yang belum BLUD pembagian
remunerasinya dapat tertunda dan tidak pasti. Jelas kondisi tersebut menurunkan motivasi
tenaga pelaksana, sehingga berpengaruh terhadap mutu pelayanan peserta JKN/KIS.Terpisah,
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi mengatakan intinya BPJS Kesehatan
menerima masukan dari berbagai pihak termasuk DJSN. Namun, ada beberapa hal yang
menurutnya perlu ditanggapi dari hasil monitoring dan evaluasi DJSN pada semester I tahun
2016 itu. Diantaranya, soal NIK, BPJS Kesehatan menerima peserta yang sudah ataupun
belum memiliki NIK.
Menurut Irfan, mengacu peraturan perundang-undangan, BPJS Kesehatan bisa
menerbitkan identitas kepesertaan. Itu diterbitkan bagi peserta yang sudah punya NIK atau
belum. Bagi peserta yang sudah punya NIK, keuntungannya ketika kartu kepesertaannya
hilang dan ingin mendapat pelayanan kesehatan, dia hanya perlu menunjukan KTP nya ke
faskes.Ia menyebut BPJS Kesehatan sudah melakukan sinkronisasi data kepesertaan JKN/KIS
dengan database NIK yang dikelola Kementerian Dalam Negeri. Dengan sistem penomoran
kepesertaan yang digunakan BPJS Kesehatan, Irfan yakin tidak akan ada orang yang bisa
memiliki kartu kepesertaan ganda karena ada perangkat pencegahnya. Irfan menjelaskan
peserta yang berpergian ke daerah lain tidak perlu khawatir untuk mendapat pelayanan
14
kesehatan yang dijamin BPJS Kesehatan. Jika di daerah tujuan butuh pelayanan kesehatan,
peserta hanya perlu menyambangi kantor cabang BPJS Kesehatan terdekat untuk mencari
informasi FKTP yang bisa melakukan pelayanan. Ini bakal mempermudah petugas BPJS
Kesehatan berkomunikasi dengan FKTP yang dimaksud untuk menjamin pelayanan terhadap
peserta.“Dulu memang ada aturan yang membatasi pelayanan kesehatan bagi peserta yang
pergi ke daerah lain. Tapi sekarang peraturan itu tidak ada lagi,” pungkasnya kepada
hukumonline lewat telepon.
15
3. Dewan Pengawas berwenang untuk:
a. Menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS
b. Mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi
c. Mengakses data dan informasi me ngenai penyelenggaraan BPJS
d. Melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai pe
nyelenggaraan BPJS
e. Memberikan saran dan rekomen dasi kepada Presiden mengenai ki nerja
Direksi.
16
f. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan
Pengawas
g. Melakukan pemindah tanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden
h. Melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Persyaratan untuk menjadi Dewan Pe ngawas dan Dewan Direksi diatur dalam
UU Nomor 24 tahun 2011.
17
2) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pegawai Negeri Sipil
b) Anggota TNI
c) Anggota Polri
d) Pejabat Negara
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
f) Pegawai Swasta
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima
Upah.
3) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah
c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga ne gara
asing yang bekerja di Indonesia pa ling singkat 6 (enam) bulan.
4) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
a) Investor
b) Pemberi Kerja
c) Penerima Pensiun
d) Veteran
e) Perintis Kemerdekaan
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu
membayar Iuran.
5) Penerima pensiun terdiri atas
a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pension
b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pension
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pension
d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.
18
Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
a. Istri atau suami yang sah dari Peserta
b. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan
kriteria:
Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri
Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh
lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. Sedangkan Peserta
bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.
6) WNI di Luar Negeri Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri
diatur dengan ketentuan peraturan perundang- undangan tersendiri.
7) Syarat pendaftaran Syarat pendaftaran akan diatur kemudian dalam peraturan BPJS.
8) Lokasi pendaftaran Pendaftaran Peserta dilakukan di kantor BPJS terdekat/setempat.
9) Prosedur pendaftaran Peserta
a) Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
b) Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri
sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan
c) Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya
sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
10) Hak dan kewajiban Peserta
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan
identitas Peserta dan manfaat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk
membayar iuran dan melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan
dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat domisili atau pindah kerja.
11) Masa berlaku kepesertaan
a) Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama yang bersangkutan
membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta.
b) Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau
meninggal dunia.
19
c) Ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut diatas, akan diatur oleh Peraturan
BPJS.
12) Pentahapan kepesertaan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara
bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit
meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS di ling kungan Kementerian
Pertahanan dan ang gota keluarganya; Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan
anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta
anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan
anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang
belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari
2019.
20
2.9.4 Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin
kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan
rekredensialing.
21
5. Pada pasal 34 ayat (1), (2), (3) UUD 1945 disebutkan:
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
6. Untuk dapat menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai dengan kondisi yang
ditetapkan, maka telah diterbitkan berbagai peraturan sebagai berikut:
1) UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN
2) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
3) UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS
4) PP No 101 Tahun 2012 tentang PBI
5) Perpres No 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
6) Roadmap JKN, Rencana Aksi Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Permenkes,
Peraturan BPJS
7) Jaminan Kesehatan merupakan bagian dari prioritas reformasi pembangunan
kesehatan (Kemenkes RI, 2013)
22
- Besarnya iuran jaminan kesehatan Nasional ditetapkan melalui peraturan presiden
dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan
kebutuhan dasar yang layak.
Pembayaran iuran setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan presentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah
nominal tertentu (bukan menerima upah dan PBI).
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjannya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap
bulan kepada BPJS kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan).
Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif
sebesar 2% per bulan dari total iuran yang tertunggak yang dibayar oleh pemberi kerja.
Peserta bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja wajib membayar iuaran
JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 setiap bulan kepada
BPJS kesehatan. Pembayaran iuaran JKN dapat dilakukan diawal. BPJS kesehatan
menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai gaji atau upah peserta. Dalam
hal terjadi klebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS kesehatan
memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan atau peserta paling lambat 14
hari kerja serta sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran
diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pembayaran iuran diatur dengan peraturan BPJS kesehatan.
23
daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut
wajib menunjukke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan. BPJS
kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama
setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku diwilayah
tersebut.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran
atau iurannya dibayar oleh pemerintah Peraturan BPJS No.1 tahun 2014). Dimana, manfaat
dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini adalah agar semua penduduk indonesia
terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga merea dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehata
masyarakat yang layak.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini sendiri diluncurkan pemerintah republik
indonesia sejak 1 januari 2014. Dalam pelaksanaannya, sistem ini memiliki beberapa
kelebihan dan juga beberapa kekurangan. Namun, pemerintah senantiasa terus memperbaiki
sistem ini agar masyarakat dapat merasakan kelebihannya dan tidak memandang
kekurangannya. Sehingga, nantinya semua masyarakat baik dari golongan bawah-atas dapat
mempergunakan sistem ini dengan baik dan semestinya.
Namun, penulis menmgharapkan dengan diluncurkannya sistem ini maka angka
kesehatan indonesia dapat ditingkatkan. Dan tidak ada lagi intimidasi bagi masyarakat
golongan bawah. Karena, masih terlihat sekarang ini hanya orang yang golongan atas yang
mendapatkan perawatan dengan semsetinya dan ditangani dengan cepat. Alasan kembali
bermunculan, ketika masyarakat miskin sakit dan berobat di rumah sakit, karena mereka
menggunakan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga, kami semua
mengharapkan adanya keadilan pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebelum
nantinya ditetapkan bagi semua Warga Negara Indonesia (WNI) secara wajib memilikinya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ady. 2016. Delapan Masalah Penghambat Jaminan Kesehatan Nasional. Artikel Online Hukumonline. Di
Kemenkes RI. 2013. Bahan Paparan: Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan
26