Case Report
OLEH :
Mimin Kurniati
H1A 013 039
PEMBIMBING :
ABSTRAK
Pendahuluan. Meningioma merupakan tumor jinak tersering, yang paling umum terjadi pada
orang dewasa setelah usia 35 tahun. Berasal dari arach-noid cap cells duramater dan umumnya
tumbuh lambat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan manifestasi klinis.
Tuberkulum sella meningioma (TSM) merupakan salah satu tipe tumor dan timbul dari daerah
sulcus chiasmatic dan tuberkulum, biasanya berasal dari persimpangan kanal optik dan sulkus
chiasmatic lateral.
Kasus. Seorang pasien perempuan usia 49 tahun berasal dari Masbagik, Lombok Timur, datang
ke Poliklinik Bedah Saraf RSUP NTB dengan keluhan nyeri kepala yang semakin memberat,
penglihatan kabur secara perlahan pada mata kanan dan kiri. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan
pembesaran dan nyeri di belakang telinga pada bagian samping kepala sebelah kanan sampai ke
leher, terdapat juga nyeri tekan di bagian tersebut. Bibir pasien juga miring ke sebelah kanan.
Pada hasil pemeriksaan CT Scan kepala di dapatkan masa yang homogen dengan densitas tinggi,
tepi berbatas tegas, hyperostosis kranialis, destruksi tulang, dan edema otak yang terjadi di
sekitar tumor. Talaksana yang di berikan pada pasien ini adalah tindakan operatif dengan cara
eksisi tumor subfrontal interhemisphere anterior..
Case Report
Seorang pasien perempuan usia 49 tahun berasal dari Masbagik, Lombok Timur, datang
ke poliklinik RSUP NTB dengan keluhan sering nyeri kepala semakin lama semakin memberat
dan penglihatannya kabur, suami pasien mengaku penglihatan pada mata kanan sudah mulai
terganggu setelah melahirkan anak kedua tahun 2002 dan ± 3 tahun yang lalu mata kanannya
sudah mulai tidak melihat sedangkan mata kirinya sudah mulai tidak melihat ± sejak 1 tahun
yang lalu, pasien mengatakan pada mata kirinya hanya dapat melihat cahaya yang bewarna
putih. Pasien juga mengalami mual muntah sebelumnya, kejang disangkal, riwayat penggunaan
KB suntik (Keluarga Berencana) 3 bulan . Pasien mengatakan juga 2 hari sebelum masuk rumah
sakit untuk rawat inap mengeluhkan bahwa mata kanannya tidak bisa berkedip dan disertai bibir
miring ke kanan.
Pemeriksaan fisik didapatkan hasil keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E4V5M6. Tanda vital dalam batas normal, yaitu nadi 100
kali permenit, frekuensi pernapasan 22 kali permenit, dan suhu aksila 37,0ºC. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan pembesaran dan nyeri di belakang telinga
pada bagian samping kepala sebelah kanan sampai ke leher, terdapat juga nyeri tekan di bagian
tersebut. Bibir pasien juga miring ke sebelah kanan.
Pada hasil pemeriksaan CT Scan kepala di dapatkan masa yang homogen dengan densitas
tinggi, tepi berbatas tegas, hyperostosis kranialis, destruksi tulang, dan edema otak yang terjadi
di sekitar tumor. Talaksana yang di berikan pada pasien ini adalah eksisi tumor transfrontal
interhemisphere anterior.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien mengalami meningioma tubercullum sellae. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini
adalah tindakan operatif yaitu eksisi tumor. Pada pasien dipilih tatalaksana operatif berupa
burrhole dan craniotomy dan setelah itu tumor dibebaskan untuk menghilangkan tekanan tumor
pada daerah sekitarnya. Hasil patologi anatomi pada tumor tersebut adalah meningioma,
psammomatous type (WHO GRADE I) adalah tidak tampak adanya keganaasan.
Hasil penemuan saat operasi menunjukkan adanya hyperotosis tulang, meningioma
tuberculum sellae, dekortikasi sinus frontalis, eksisi tumor transfrontal interhemisphere anterior,
simpson grade II. Pemeriksaan klinis pasien setelah operasi menunjukkan keadaan umum baik,
dengan GCS E4V5M6. Pemeriksaan pada pasien 2 minggu pasca operasi, menunjukkan keadaan
umum baik, pupil isokor, visus OD (-) dan OS (1/300), dan perbaikan perkembangan, pasien
pasca operasi adalah kesadaran pasien sudah mulai pulih secara bertahap, daya ingat dan
penciuman masih baik tetapi untuk otot-otot dan persarafan pada wajah terganggu, ketika
diperintahkan beberapa gerakan otot di bagian wajahnya. Pada pasien direncanakan pemeriksaan
CT Scan kepala pasca operasi untuk mengetahui perubahan pada hasil CT Scan kepalanya.
Diskusi
Tumor intrakranial terdiri dari tumor supratentorial dan infratentorial dimana
pembatasnya adalah tentorium. Yang termasuk ke dalam supratentorial adalah hemisfer otak kiri
dan kanan, ventrikel lateral dan ventrikel tiga. Salah satu jenis tumor supratentorial adalah
meningioma.
Meningioma merupakan tumor ekstra aksial yang berasal dari arachnoid cap cell,
umumnya jinak dan tumbuh lambat. Istilah meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey
Cushing pada tahun 1922. Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang
terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meningen otak.
Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer intrakranial pada
orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi pemeriksaan histopatologi
diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa di Amerika Serikat. Prevalensi ini
diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya karena tidak semua meningioma ditangani secara
pembedahan. Meningioma paling umum terjadi setelah usia 35 tahun pada orang dewasa, yang
tumbuhnya lambat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan manifestasi
klinis. Tuberkulum sella meningioma (TSM) merupakan salah satu tipe dari tumor dan timbul
dari daerah sulcus chiasmatic dan tuberkulum, biasanya berasal dari persimpangan kanal optik
dan sulkus chiasmatic lateral. Meningioma tuberculum sella ini tidak merubah sella tetapi
hanya menekan dari bawah kearah kiasma optikum dan dapat menghasilkan hemianopsia
bitemporal, tumor jenis ini mempunyai kesamaan dengan meningioma sulcus olfactorius yaitu
tumbuh ke dalam kanalis optikus dan menyebabkan kebutaan pada satu mata dan kemudian
dapat ke mata lainnya. Tetapi penciuman biasanya tetap utuh.
Gambar diagram demonstrating the (A) site of origin and (B) anatomical characteristics of a
tuberculum sellae meningioma.
Gambar A Gambar B
Gambar C Gambar D
Foto intraoperatif menunjukkan gambaran microsurgical tuberkulum sella meningioma (A, B)
sebelum dan (C, D) setelah reseksi tumor.
Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan saraf yang bersifat
non neural. Meningen terdiri dari jaringan ikat berupa membran yang menyelubungi seluruh
permukaan otak, batang otak dan medula spinalis.
c. Durameter terdiri dari lapisan luar durameter dan lapisan dalam durameter. Lapisan luar
durameter di daerah kepala menjadi satu dengan periosteum tulang tengkorak dan
berhubungan erat dengan endosteumnya.
Diantara lapisan luar dura mater dan tulang tengkorak terdapat jaringan ikat yang
mengandung kapiler-kapiler halus yang mengisi suatu ruangan disebut ruang epidural. Diantara
lapisan dalam durameter dan arakhnoid yang mengandung sedikit cairan, mengisi suatu ruang
disebut ruang subdural.
Meningen adalah lapisan jaringan ikat yang mengelilingi otak, sumsum tulang belakang,
dan akar saraf perifer. Pia mater adalah lapisan jaringan ikat halus yang melekat langsung ke
materi putih dari sumsum tulang belakang. Para dura mater adalah lapisan jaringan tebal ikat.
Ini adalah yang paling dangkal dari tiga lapisan meningeal. Para arakhnoid (membran
arachnoid) yang melekat pada permukaan dalam duramater. Arachnoid trabekula memperpanjang
dari arakhnoid ke pia mater. Ruang subaraknoid, antara arachnoid mater dan pia, dibatasi oleh
fibrocytes datar dan berisi cairan serebrospinal.
Adapun fisiologi dari meningen ialah susunan saraf pusat dilindungi oleh tengkorak dan
kolumna vertebralis. Ia juga dibungkus membran jaringan ikat yang disebut meningen. Dimulai
dari lapisan paling luar, berturut-turut terdapat dura mater, arakhnoid, dan piamater.Araknoid dan
piamater saling melekat dan seringkali dipandang sebagai satu membran yang disebut pia-
arakhnoid.
a. Dura mater
Dura mater adalah meningen luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan
langsung dengan periosteum tengkorak.Dura mater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding
tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arakhnoid oleh
celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada
medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.
b. Arakhnoid
Arakhnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura mater dan
sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang Subarakhnoid, yang terisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna
dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi susunan saraf
pusat dari trauma.Ruang subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Arakhnoid terdiri atas
jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti
yang melapisi duramater. Karena dalam medulla spinalis arakhnoid itu lebih sedikit trabekelnya,
maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, arakhnoid menerobos dura
mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran
ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut vili Arakhnoid. Fungsinya ialah untuk
menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.
c. Pia mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah.
Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat
saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia,
melekat erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat
yang memisahkan SSP dari cairan cerebrospinal. Piamater menyusuri seluruh lekuk permukaan
susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah.
Pia mater di lapisioleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.Pembuluh darah menembus
susunan saraf pusat melalui terowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler.
Beberapa hal yang memengaruhi insiden adalah usia, jenis kelamin dan ras. Insiden
terjadinya meningioma meningkat dengan pertambahan usia dan mencapai puncak pada usia di
atas 60 tahun. Insiden meningioma pada anak-anak sekitar 4% dari seluruh kejadian tumor
intrakranial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa insiden meningioma pada ras hitam Non-
hispanics sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ras putih Non-Hispanics dan Hispanics. Jenis
kelamin juga memengaruhi prevalensi dari meningioma, yaitu dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria.
Berikut terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan meningioma:
a. Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti menyebabkan
tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan antara paparan radiasi dan
meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan
tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA
yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma
yang signifikan.
Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan akibat paparan radiasi
adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang
relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik.
c. Cedera Otak
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya
meningioma, meskipun hasil penelitian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada
penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian oleh Phillips et al (2002) juga menemukan
hasil bahwa adanya hubungan antara cedera otak dengan risiko terjadinya meningioma, terutama
riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Risiko meningioma berdasarkan banyaknya
kejadian cedera otak dan bukan dari tingkat keparahannya.
d. Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada pasien
yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun.Sindroma
genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang.
Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neuro fibromatosis type 2 (NF2), yaitu
Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada
kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma
sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan
kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q. Penelitian lain mengenai hubungan antara
kelainan genetik spesifik dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA,
regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus pada
variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi
karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan antara
resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus
pada gen supresor tumor TP53 juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
e. Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi dugaan
adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan
kehamilan, siklus menstruasi, dan menopause.Penelitian-penelitian pada pengguna hormon
eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon
endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause,
paritas, dan usia pertama saat menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi.
Meningioma sellar berhubungan dengan defek lapangan pandang, yaitu atrofi optik
bitemporal. Cushing menemukan seorang penderita dengan gejala penglihatan yang jelek
selama kehamilan, tetapi membaik setelah melahirkan. Hubungan antara kehamilan atau
menstruasi dengan jeleknya gejala neurologi (biasanya penglihatan) dilaporkan kembali oleh
peneliti lain dan didukung dengan bukti nyata bahwa dua pertiga atau mayoritas penderita
meningioma adalah wanita. Hal ini memicu pertanyaan mengenai ketergantungan hormon
dengan meningioma. Pertumbuhan meningioma bertambah selama kehamilan dan fase luteal
dari siklus menstruasi. Sebagai tambahan, insiden meningioma bertambah pada penderita
dengan kanker mammae. Sebagai tambahan, secara statistik terdapat hubungan antara obesitas
dengan meningioma. Hipotesis hubungan ini lebih mengarah pada berkembangnya hormone-
related tumor.16
Reseptor steroid telah ditemukan pada meningioma. reseptor estrogen dan androgen
ditemukan pada meningioma, expressi reseptor progesteron lebih sering. Expressi reseptor
progesteron 81% ditemukan pada wanita dan 40% pada laki-laki dengan meningioma, dan
sedikit ditemukan pada sel arachnoid normal. Expressi reseptor progesteron tinggi pada
meningioma jinak (50-80%), dan proporsi sebaliknya terhadap proliferasi tumor dan
tingkatannya. Penelitian mendapatkan adanya persentasi yang tinggi dari sel meningioma yang
memunyai reseptor progesteron dan androgen. Reseptor progesteron telah di identifikasi dari
sitosol sel granulasi arachnoid manusia (diperkirakan sebagai asal meningioma). Dari
pengukuran terhadap semua reseptor hormon ditemukan 22% dari meningioma positif untuk
reseptor estrogen, 75% positif untuk reseptor progesteron, dan 63% positif untuk reseptor
androgen. Yang menarik adalah bahwa ekspresi reseptor progesteron pada meningioma
memberikan hasil akhir klinis yang lebih baik dibandingkan dengan yang tanpa reseptor
progesteron atau adanya reseptor estrogen pada meningioma. Hal ini berhubungan dengan
banyaknya jumlah kelainan karyotype. Peningkatan keterlibatan kromosom 14 dan 22 pada
tumor akan menambah bertambahnya potensi sifat klinis yang lebih agresif dan rekurensi.16
Pemeriksaan Ct Scan
CT Scan dengan dan tanpa kontras digunakan untuk skrening awal, ( ok ketersediaannya
yang lebih luas). CT scan lebih baik dalam menggambarkan jenis meningioma seperti destruksi
tulang pada tipe atypical atau malignant dan hyperostosis pada tipe meningioma jinak. CT Scan
dapat menggambarkan edema di sekitar tumor (peri tumoral edema).
MRI
MRI memberikan gambaran multiplanar dengan berbagai sekuen, resolusi jaringan yang
tinggi. Dibutuhkan pada kasus meningioma yang komplek. MRI sangat bagus untuk
menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral edema) Kompresi saraf kranial, Kompresi
otak dan pembuluh darah otak.
Angiografi
Angiografi dibutuhkan untuk menggambarkan keterlibatan pembuluh darah dan
kepentingan embolisasi bila dibutuhkan.
Tatalaksana
Modalitas terapi meningioma meliputi: Medikamentosa, Embolisasi, Pembedahan, dan
Radioterapi. Pemilihan modalitas terapi ditentukan oleh jenis histopatologis tumor. Jenis
histopatologis tumor dapat diperkirakan dari gambaran imaging dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi.
Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan
merupakan terapi utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi
meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan meringankan
gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih
baik.Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar tumor,
dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali subtotal karena
lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah.
Penatalaksanaan:
1. Medikamentosa
1.1. Pemberian kortikosteroid (Deksamethason )
Steroid memberikan efek anti edema, lebih bermakna pada tumor otak metastase
dibandingkan dengan tumor otak primer seperti meningioma. Pada deksamethason , aktivitas
mineralokortikoid minimal, risiko untuk terjadinya infeksi sangat rendah, dan penurunan fungsi
kognitif sangat kecil. Berikut mekanisme kerja dari deksamethason15:
1. Menurunkan permeabilitas kapiler tumor.
2. Berdifusi melalui membran plasma dan selanjutnya berikatan dengan reseptor
sitoplasmik yang menyebabkan komplek steroid-reseptor bergerak ke nukleus sehingga
berefek langsung terhadap gen transkripsi dan faktor transkripsi lain.
3. Bekerja pada tight junction (TJ) dengan menyebabkan deforforilasi okludin dan
komponen TJ lain.
Dosis dexamethason :
a. Pasien yang belum mendapat steroid sebelumnya
Dewasa : 10 mg loading intravena, diikuti dosis rumatan 6 mg peroral atau intravena tiap 6 jam.
Pada kasus dengan edema vasogenik yang berat maka dosis dapat ditingkatkan sampai 10 mg
tiap 4 jam. Anak :0,5 - 1 mg/kg loading intravena, dilanjutkan dosis rumatan 0,25 – 0,5
mg/kg/hari (peroral/intravena) dalam dosis terbagi tiap 6 jam. Hindari pemberian jangka panjang
karena efek menghambat pertumbuhan.
b. Pasien dengan terapi kortikosteroid sebelumnya :
Pada kondisi penurunan kesadaran akut, maka perlu dicoba diberikan dosis dua kali lipat dari
dosis yang biasa diberikan.
Potensi
Nama obat Dosis Equivalent Cara Pemberian Dosis
Mineralocorticoid
2/3 Pagi
Cortisone 25 PO, IM 2
1/3 malam
2/3 pagi
Hydrocortisone 20 PO, IV, IM 2
1/3 malam
Prednisone 5 PO Terbagi 1
2-3 kali perhari
Methylprednisolon
4 PO, IV, IM Terbagi 2x 1
e
Terbagi 2x
Dexamethasone 0,75 PO, IV 0
Atau 4x perhari
Posisi Pasien
Pasien ditempatkan telentang. Kepala diputar 30 sampai 40 derajat ke sisi yang berlawanan dan
sedikit miring ke lantai. Kepala tetap pada posisi tesebut dengan menggunakan pemegang kepala
Mayfield.
Teknik Craniotomy
Insisi curvilinear dibuat di balik garis rambut, membentang dari lengkungan zygomatic di
sisi ipsilateral, melewati garis tengah, dan menuju garis temporal superior di sisi yang
berlawanan. Fasia superfisial dan fasia pada otot temporalis dipotong sejajar dengan lengkungan
zygomatic, sehingga menyisakan cabang frontal nervus fasialis. Flap perikranial yang besar dan
tervaskularisasi dilipat. Lengkungan zygomatic diiris miring ke arah anterior dan posterior.
Zygoma ini kemudian dilipat ke inferior. Otot temporalis terlepas dari sisipan dan ditarik ke
inferior. Bur hole ditempatkan di lubang kunci anatomi. Ini memungkinkan akses ke fosa kranial
anterior dan periorbita. Bur hole ditempatkan di permukaan fosa tengah. Atap orbital dipotong
menggunakan osteotome berbentuk V. Flap tulang dilipat sebagai satu bagian. Dinding lateral
dan atap orbit dilepas dalam osteotomy terpisah.
FIGURE 13-32 Crania-orbital zygomatic soft tissue and bone flap. (Adapted from Arnautovic
Kl, AI-Mefty. A combined microsurgical skull-base and endovascular approach to giant and large
paraclinoid aneurysms, 131-33 Zygomatic middle fossa flap ofthe anterior petrosal approach
after drilling the petrous apex.
Langkah selanjutnya tergantung pada ukuran dan luas lesi. Proses pengambilan ekstradural
clinoid anterior, eksposur arteri karotid interna subclinoid, dan eksposur petrous Arteri karotid
interna adalah langkah –langkah utama untuk menuju sinus kavernosa. Rute dan lokasi untuk
memasuki sinus kavernosa tergantung pada anatomi tumor di dalamnya.
Pendekatan Zygomatic Extended Middle Fossa
Pendekatan ini lebih dipilih sebagai standar pendekatan subtemporal karena lebih
memperlihatkan penampang inferior dan retraksi lobus temporal lebih sedikit. Pendekatan ini
bisa dikombinasikan dengan petrosektomi anterior untuk lesi yang meluas ke arah posterior
sampai pada area petroclival atas.
Posisi Pasien
Kepala pasien diputar kira-kira 30 sampai 40 derajat ke sisi kontralateral dan agak
dimiringkan sedikit ke arah kontralateral. Kepala tetap dalam posisi tersebut dengan
menggunakan pemegang kepala Mayfield. Tempatkan drainase spinal.
Teknik Craniotomy
Insisi preaurikular curvilinear dibuat mulai dari yang inferior margin pangkal zygoma
anterior ke tragus, melingkar secara posterior tepat di atas meatus auditorius eksternal dan
kemudian melengkung ke arah anterior dan medial menuju garis tengah tepat di belakang
garis rambut. Flap kulit dipisahkan dari fasia temporalis yang mendasarinya. Lapisan fasia
temporalis dalam dan superfisial dipotong ke arah anterior, menyisakan cabang frontal dari
nervus fasialis. Pangkal dan lengkungan zygoma dibedah dalam subperiosteal dan dipotong
miring secara anterior dan posterior. Os Zigoma bagian inferior menempel pada otot masseter.
Dua burhole di tempatkan di bawah fossa media. Satu atau dua burhole di tempatkan di linea
temporal superficial. Burhole tersebut di hubungkan bor dengban kecepatan tinggi. Kraniektomi
tambahan dilakukan untuk memastikan akses maksimal ke inferior fosa tengah.
Untuk meningioma sphenopetroclival yang meluas sepanjang tentorium, pendekatan
petrosal anterior mungkin diperlukan. Dura fosa tengah dipisahkan di bawah mikroskop operatif.
Drainase spinal berguna selama prosedur ini. Bagian kedua dan ketiga dari saraf kranial
trigeminus teridentifikasi. Arteri meningeal media diidentifikasi pada bagian masuk dari foramen
spinosum kemudian digumpalkan dan dipotong. Nervus petrosal yang lebih besar diidentifikasi
di posterior. Pada inferior dan medial dari saraf petrosal, terletak arteri karotid internal petrous.
Pada kebanyakan kasus, arteri karotid internal petrosa dipisahkan dari fosa media hanya dengan
lapisan jaringan fibrosa tipis. Eksposur arteri karotis internal petrosa dilakukan saat memasuki
lateral ke sinus kavernosus. Pemahaman tentang anatomi tulang temporal diperlukan untuk
melakukan petrosektomi anterior (Gambar 131 -34). Pembukaan dural pada standar pendekatan
extended middle fossa atau pendekatan anterior petrosal dapat dilakukan lebih medial untuk
menghindari manipulasi langsung dari lobus temporal dan pembuluh darah yang mendasari.
Posisi Pasien
Pasien ditempatkan pada posisi supinasi di meja operasi. Meja dilipat kira-kira 20 derajat
untuk memungkinkan elevasi kepala dan ekstremitas. Pundak ipsilateral pasien sedikit
meningkat dengan menggunakan rol bahu. Kepala diputar jauh dari sisi tumor (kira-kira 50
derajat) dan dilipat sedikit ke arah lantai. Kepala tetap berada di headrest Mayfield tiga poin.
Teknik Craniotomy
Insisi dimulai pada zygoma, di anterior tragus, dan dibawa ke sekitar 2 sampai 3 cm di
atas dan mengelilingi telinga, di mana ia turun di belakang prosesus mastoideus. Flap kulit
dibedah dengan tajam dari perikranium dan fasia yang mendasarinya. Fasia temporalis dilipat
dan tetap bertahan dengan otot sternokleidomastoid; Otot temporalis kemudian didiseksi tajam
dari tulang dan dilipat anterior dan inferior.
Empat lubang bur, dua di setiap sisi sinus transversal dibuat. Lubang bur pertama
ditempatkan hanya medial dan inferior pada asterion, yang terletak di persimpangan inferior
sinus transversal dan sigmoid. Lubang bur kedua ditempatkan di persimpangan squamous dan
mastoid pada tulang temporal, sepanjang proyeksi garis temporal superior, yang membuka ke
kompartemen supratentorial. Dua lubang terakhir ditempatkan kira-kira 2 sampai 3 cm lebih
medial dan berdekatan dengan kedua sisi sinus transversal. Kraniotomi temporoparietal dan
kraniotomi oksipital lateral dilakukan tanpa menghubungkan lubang bur di sinus. Lubang di
sinus kemudian terhubung menggunakan lampiran B-1 (tanpa footplate) bor Midas Rex (Midas-
Rex, Fort Worth, TX). Setelah dilakukan pemisahan secara teliti pada dinding sinus dari flap, plat
tulang dinaikkan. Tahap operasi ini memerlukan pemahaman tentang anatomi tulang temporal
dan struktur sekitarnya. Mastoidektomi lengkap dilakukan dengan menggunakan bor udara
berkecepatan tinggi. Bit berlian harus digunakan saat pengeboran di dekat struktur vital saraf dan
otologis. Sinus sigmoid dilipat ke dalam jugularis bulbosa. Sudut sinodural, atau sudut Citelli,
yang mengidentifikasi lokasi sinus petrosal superior terpapar. Dokter bedah selanjutnya
mengebor mastoid superfisial dan retrofasial. Kanalis wajah dan kanal semisirkular lateral dan
posterior diidentifikasi. Tulang petrous ditipiskan dengan mengebor sepanjang piramida menuju
apeks.
Dura fosa posterior yang berada di anterior sinus sigmoid dibuka. Dura di dasar fosa
temporal juga dibuka ke titik drainase sinus petrosal superior. Berdasarkan pada anatomi vena
Labbe, mungkin perlu dibedah sepanjang perjalanannya untuk menghindari cedera selama
paparan lobus temporal. Sinus petrosal superior dikoagulasi atau diligasi dan kemudian
ditransmisikan. Insisi tentorium diperluas sejajar dengan piramida menuju incisura. Prosedur ini
harus dilaukan dengan hati-hati untuk menghindari cedera pada saraf kranial IV dengan
memotong tepi tentorial posterior pada penyisipan saraf. Untuk tumor yang lebih besar dengan
perpanjangan yang luas ke fosa posterior dan CPA, dura yang berada di belakang sinus sigmoid
dapat dibuka, sehingga memungkinkan akses yang lebih luas dan lebih inferior. Akses ke sinus
transversal dicapai di atas dan di bawah sinus. Dianjurkan untuk tidak mengorbankan sinus
dalam pendekatan ini dan semua pendekatan lainnya.
Pendekatan Transcondylar
Posisi Pasien
Meski disebut dengan nama yang berbeda-beda – lateral jauh, posterolateral, lateral
ekstrem, atau transcondylar -- pada intinya, pendekatan ini dilakukan dengan variasi posisi
pasien, sayatan kulit, otot refleksi, dan kraniotomi.
Kepala dan leher dipertahankan dalam posisi netral untuk dipelihara jalan anatomis arteri
vertebralis dan untuk stabilisas jika diperlukan. Pasien kemudian digulingkan log dan diputar 45
derajat. Kepala pasien tetap pada posisi dengan sandaran kepala Mayfield. Bahu ipsilateral
secara bertahap ditarik ke bawah dan ditempelkan agar tidak menghalangi lapang pandang. Paha
ipsilateral juga disiapkan dan disampirkan untuk menghilangkan lemak dan fasia
lata jika dibutuhkan.
Teknik Craniotomy
Kulit diiris di belakang telinga dengan mode lengkung dua ujung jari di belakang
mastoid. Insisi melengkung dimulai pada tingkat kanal auditori eksternal dan berbalik ke bawah
tingkat ruas C4, dimana insisi tersebut dilakukan secara bertahap dari kurva di anterior ke lipatan
leher horizontal. Lipatan kulit kemudian ditarik kembali kea rah lateral dan diamankan dengan
retractor hook. Flap kulit ini tervaskularisasi dan bisa dengan mudah disesuaikan untuk
mengakomodasi pendekatan lainnya jika diperlukan. Otot disajikan dalam tiga lapisan. Pertama,
otot sternokleidomastoid terlepas dari bagian asalnya pada oksipital tulang. Saraf aksesori harus
dipertahankan dan terbebas saat memasuki medial otot pada tingkat vertebra C3. Capitis
splenius, longissimus capitis, dan otot-otot semispinalis juga terlepas bersamaan dengan otot
sternokleidomastoid dan ditarik ke arah inferior dan medial.
Otot ketiga, lapisan dalam menciptakan dua segitiga : segitiga subokcipital superior dan
inferior. Segitiga suboccipital superior digambarkan oleh rektus capitis posterior mayor, obliquus
capitis superior, dan otot obliquus capitis inferior. Pada kedalaman segitiga ini terdapat
kompartemen vena, yang mana merupakan bantalan bagian horisontal dari arteri vertebral
suboccipital,
cabang-cabangnya, dan saraf C1.
Segitiga suboccipital inferior terdiri dari kapiler obliquus inferior, semispinalis cervicis,
dan otot longissimus cervicis. Pada kedalaman segitiga ini teradapat bagian vertikal arteri
vertebral suboccipital, cabang-cabangnya, pleksus vena sekitarnya, dan saraf C2 dengan
anteriornya dan rami posterior. Sudut lateral kedua segitiga tersebut bertemu pada prosesus
transversal atlas, yang terletak di bawah ujung mastoid.
Otot-otot lapisan ketiga ini terlepas dan terlipat secara medial. Untuk memperbaiki eksposur,
perut bagian posterior dari otot digastric juga bisa terlepas dan terlipat secara lateral.
Arteri vertebralis biasanya lebih besar di sisi kiri. Selama operasi pada foramen magnum
meningioma, segmen kedua dari Arteri vertebralis akan ditemukan: suboccipital (V3) dan
intrakranial (V4). Dengan mengekspos dan memobilisasi kompleks V3 memungkinkan Kendali
proksimal arteri. Transpos kompleks V3 memungkinkan pengeboran kondilus, paparan ventral
tumor, dan pembedahan yang aman. Segmen V3 terbagi menjadi dua bagian:
vertikal (V3v) dan horisontal (V3h).
Untuk reseksi tulang, dilakukan kraniotomi lateral dan posterior fossa, dan ujung mastoid
dibor untuk mengekspos oksipital condyle Sinus sigmoid dan bulbosa jugular terekspos
sepenuhnya, serta atlanta dan kondilus oksipital dibor. Pengeboran condile harus disesuaikan
agar sesuai dengan kebutuhan setiap kasus. Tumor ventral membutuhkan pengeboran kondil
yang lebih luas. Tumor lateral yang ditempatkan hanya membutuhkan pengeboran parsial
kondilus.
Insisi dural dipusatkan pada cincin dural yang mengelilingi arteri vertebra. Membuka
dural ring meninggalkan dural manset ukuran yang cukup di sekitar arteri. Insisi sepanjang sinus
sigmoid diperluas inferior ke ring dural. Insisi ini meluas lebih jauh secara inferior dan lateral ke
atlas atau lebih rendah jika perlu. Dura tersebut disatukan secara lateral.
Gambar: Trarilscondylar flap and mobilization of the vertebral
artery.
Pendekatan dasar tengkorak memerlukan penutupan yang sangat teliti. Kebocoran cairan
serebrospinal harus dihindari. Dura dapat diperluas dengan menggunakan cangkokan autologous
fasia lata. Graft pericranial tervaskularisasi menyediakan lapisan pelindung untuk rekonstruksi
tengkorak dasar. Graft temporalis tervaskularisasi juga bisa memberikan tambahan yang kuat
elemen rekonstruktif untuk pendekatan berbasis temporal yang lebih besar. Sistem pemasangan
mikro telah meningkatkan hasil kosmetika, terutama di daerah zygomatic dan maxillary.
Ukuran
Teknik Keuntungan / indikasi Kerugian
tumor
Subfrontal bicoronal -Penampang pembedahan -Exposure partial dari tinggi
luas tumor
>2,5 cm -Adanya keterlibatan canal -Retraksi lobus frontal
biopsi beberapa derajat
dibutuhkan untuk exposure
tumor yang adekuat.
Subfrontal unilateral <2,5 cm Teknik invasif minimal Bidang pembedahan yang
untuk meningioma terbatas
suprasellar
Transsylvian pterional Segala ukuran -Paparan cepata dari artery -Arteri karotis dan nervus
karotis supraclinoid optik tidak tervisualisasi
ipsilateral secara inadekuat.
-Tidak ada atau -Angka visual deteriorasi
menurunnya kebutuhan tinggi
dari retraksi otak -Tingkat kesulitan yang
-Angka reseksi total lebih tinggi pada kasus invasi
tinggi daripada teknik kanal optikus dan ekstensi
yang lain intrasellar dari tumor.
-Adanya keterlibatan canal
biopsi
Interhemisphere anterior Segala ukuran -penampang pembedahan -Durasi pembedahan yang
yang luas; panjang
-Pemaparan penuh -Tingkat anosmia dan
seluruh tumor; rhinoliquorrhea yang tinggi
-Visualisasi seluruh -Akses yang tidak adekuat
peralatan optik danstruktur pada kasus-kasus ekstensi
sekitarnya, termasuk signifikan ke kanal optik.
tuberkulumsellae;
-Retraksi minimal atau
retraksi lobus frontal
tidak ada
-Mempertahankan saraf
optik dan olfaktori;
-Hasil pembedahan yang
signifikan (perbaikan
visual lebih dari 80%)
dengan tidak ada atau
rendahnya keluhan visual
post operatif;
-Tingkat eksisi total yang
lebih tinggi;
-Mempertahankan ruang
subdural;
- Dalam kasus debulking
tumor tanpa perdarahan
Pendekatan ini merupakan
metode paling andal untuk
mempertahankan plana
arachnoid dan pembuluh
darah kecil yang
mensuplai aparatus
optikus
Bifrontal extended >2,5 cm -penampang pembedahan -Retraksi lobus frontal
yang luas; beberapa derajat
-Jalur pembedahan yang dibutuhkan untuk exposure
fleksibel; tumor yang adekuat
-Menghindari retraksi otak -Hilangnya indera
yang berlebihan; penciuman yang signifikan
-Terlihat langsung dari -Resiko tinggi oklusi pada
kedua saraf optik, karotis sinus sagital superior yang
internal dan arteri serebral menyebabkan infark vena
anterior. -Kesulitan mencari
permukaan nervus optikus
atau ekstensi intrasellar
tumor.
Endonasal Approach -Teknik invasif minimal -Pendekatan ini
untuk meningioma dikontraindikasikan pada
suprasellar invasi kanal optik medial
-Angka komplikasi rendah -Terbatas pada ekstensi
lateral
-Tingkat reseksi total pada
tumor rendah
FTOZ Segala ukuran -Adanya keterlibatan canal -Bidang pembedahan yang
biopsi terbatas
-Exposure partial dari
tumor tinggi
2. Radioterapi
Dipertimbangkan pada kasus tumor yang lokasinya sulit/risiko tinggi untuk operasi
(misalnya: meningioma sinus kavernosa), tumor unresectable, subtotal reseksi atau tumor yang
kambuh
Luasnya tumor yang di eksisi adalah faktor yang utama dalam menentukan rekurensi dari
meningioma. Rekurensi setelah gross total reseksi muncul pada 11 – 15 % kasus, dan 29% kasus
pada reseksi inkomplet. Rata- rata rekurensi dalam 5 tahun setelah reseksi partial adalah 37% -
85%. Overall recurrence rate selama 20 tahun adalah 19% dan dalam laporan lain adalah 50%.
Meningioma malignant memiliki angka rekurensi lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.
KLINIS
(Sesuai PPK)
Gejala klinis akibat:
Peningkatan TIK
Destruksi / kompresi struktur otak
Observasi Klinis & • Pembedahan / reseksi, bila syarat terpenuhi (accessible, karnoffsky
serial CT tiap 6 scale >70, fungsi organ lain memenuhi syarat pembedahan)
bulan, atau gejala • Dilanjutkan radioterapi bila histologis WHO Grd III
klinis memberat • Dilanjutkan radioterapi pada Reseksi Inkomplit pada WHO grd I atau
II
• Bila tidak accessible, dilakukan stereotaktik biopsi, atau radioterapi
dan terapi sistemik (kemoterapi)
• Bila accessible, tetapi syarat lain tidak terpernuhi, dilakukan terapi
supportif (mengurangi gejala & memperbaiki kualitas hidup)
• Pembedahan pada kasus multiple, one step atau two step
tergantung:
a. Aksesibilitas massa
b. Kegawatan neurologis
Diagnosis Klinis Radiologis
Post operatif
1. Al-Mefty, O. Et. al. Tuberculum Sellae Meningiomas. In: Michael E. Sughrue, Nader
Sanai, and Michael W. Mc Dermott. Almefty’s Meningiomas. 2th edition. New York:
Thieme Medical Publishers; 2011. p. 207-12
2. Greenberg MS. Meningiomas. In: Hiscock T, Landis SE, Casey MJ, Schwartz N,
Scheihagen T, Schabert A, editors. Handbook of Neurosurgery. 8th Edition. New
York: Thieme Medical Publishers; 2016. p. 690–99.
3. Kaye, A.H. Benign Brain Tumours. Essential Neurosurgery. 3th Edition. Australia:
Blackwell Publishing. 2005. p. 93-100
4. Sastrodininggrat, A.G. Overview Meningioma: Histology and Molecular Biology.
Medan: USU PRESS. 2012. P. 80-101
5. Winn Richard, H. Youmans Neurological Surgery. Vol 4. 6 th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2011
6. Omar, Islam. Et.al. Imaging in Brain Meningioma. Meningioma. 2014. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/341624-overview
7. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010
8. Cross, LJ.Australia Brain Tumor Information. 2010. Diunduh dari
http://www.btai.com.au/images/factsheetpdfs/Page%2010to11.pdf
9. Departemen Bedah Saraf FKUI RSCM. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: PT.
Sagung Seto. 2011
10. Norden AD. Advanced in Meningioma therapy. Curr Neurol Neurosci Rep. 2009, 9
231-240. Di unduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19348712
11. Panduan penatalaksanaan tumor otak tahun 2015
12. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf tahun 2016
13. Santosh, K. Et.al. American Brain Tumor Association. Meningioma. 2012. Diunduh
dari http://www.abta.org/secure/meningioma-brochure.pdf
14. Santosh K et. al. American Brain Tumor Association. About Brain Tumor. 2011.
Diunduh dari www.abta.org/secure/about-brain-tumors-a-primer.pdf
15. Dietrich, J..2012.Corticosteroids In Brain Cancer Patients : Benefits And Pitfalls. ,
4(2), pp.233–242. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3109638
16. Iskandar, J.Buku Teks Komprehensif Meningioma. 2015. Jakarta: PT Bhuanna Ilmu
Populer
17. Estevão, I.A. et al., 2017. Tuberculum sellae meningioma: Is there an ideal approach?
Medical Express, 4(4), pp.1–7. Available at:
http://www.gnresearch.org/doi/10.5935/MedicalExpress.2017.04.03