Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Terapi Gen pada Hemofili: Sudah Sejauh Mana?


Handoyo
Residen; Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
Korespondensi: Handoyo Email: handoyo.koo@gmail.com
ABSTRACT
Genetic disease still becomes a challenge to mankind and burden to helath care system, not
to mention limited management option. Hemophilia is the only X-linked recessive bleeding
disorder. Over the past few decades, on demand clotting factor replacement or in prophylactic
manner remains to be standard of care. Though quite effective, this procedure is complicated by
increased risk of infection related to blood product, formation of neutralizing antibodies known as
inhibitor, and thrombotic risk. The major leap in molecular biology has provided treatment option
into cellular level. This article reviews gen therapy as promising solution for hemophilia patient.
Keywords: hemophilia a, hemophilia b, genetic diseases, genetic therapy
PENDAHULUAN
Fungsi utama sistem koagulasi adalah untuk mempertahankan patensi pembuluh darah.
Proses ini bergantung pada interaksi antara komponen yang terlarut pada darah dan yang terikat
pada jaringan. Interaksi yang terjadi akan mengakibatkan timbulnya kaskade reaksi proteolitik
yang menyebabkan berubahnya prekursor inaktif (zymogen) menjadi enzim katalitik aktif
(kofaktor). Jalur klasik koagulasi telah disempurnakan menjadi model koagulasi berbasis sel,
dimana faktor jaringan, trombosit, dan trombin memiliki peranan utama dalam menginisiasi,
memperkuat, dan mempertahankan pembentukan bekuan darah. Sistem intrinsik terdiri dari Faktor
XII dan Faktor XI, yang bersama dengan kininogen berat molekul tinggi dan prekallikrein dari
jalur kontak, Faktor VIII (F.VIII) dan Faktor IX (F.IX). Sistem ekstrinsik terdiri dari faktor
jaringan dan Faktor VII. Jalur utama terdiri dari Faktor X, Faktor V, trombin dan fibrinogen. 1,2
Gen yang mengkode F.VIII dan F.IX terletak pada lengan panjang kromosom X.1,2 Pada
hemofili, terjadi mutasi genetik pada gen tersebut sehingga terjadi penurunan jumlah protein yang
diekspresikan, penurunan kualitas aktivitas protein, atau keduanya. Sekitar 5% - 10% pasien
dengan hemofili A dan 40% - 50% pasien dengan hemofili B memiliki protein yang disfungsional,
dimana terjadi penurunan aktivitas protein tanpa penurunan jumlah. Lebih dari 1000 mutasi
penyebab hemofili baik dari gen F.VIII atau F.IX yang sudah teridentifikasi. Sekitar sepertiga
kasus adalah mutasi spontan, sehingga blia tidak dijumpai pada riwayat penyakit keluarga,
hemofili harus dicurigai pada neonatus dengan perdarahan dan pemanjangan PTT.1
Setelah genom manusia selesai dipetakan pada 2003, teridentifikasi pula gen-gen penyebab
penyakit dengan harapan dikembangkan tatalaksana untuk mereka dengan penyakit genetik.
Tatalaksana paling komprehensif adalah melalui terapi gen, dimana gen normal ditransfer kepada
gen individu yang megalami mutasi. Meskipun terdengar sederhana, konsep ini sangat sulit untuk

1
2

diaplikasikan. Terapi genetik harus memenuhi kaidah diekspresikan dalam waktu lama dan
ekspresi harus cukup kuat untuk mengurangi atau menghilangkan fenotip penyakit tersebut.3
Hemofili dianggap sebagai penyakit yang ideal untuk dilakukan terapi genetik karena beberapa
alasan yaitu, jendela terapi yang sangat luas dimana hanya dengan sedikit kenaikan jumlah faktor
pembekuan yang terekspresi dapat mengubah perjalanan penyakit, terdapat beberapa tipe sel yang
dapat mensitesis faktor pembekuan yang secara bilogis aktif, terdapat hewan coba hemofili dengan
ukuran kecil (tikus, kelinci) dan besar (anjing), serta terdapat beberapa uji in vitro utuk menilai
efikasi. 2,3
TERAPI GEN PADA HEMOFILI A
Meskipun Hemofili A memiliki proporsi lebih besar (1:5000 kelahiran bayi lelaki)
dibandingkan Hemofili B (1:30.000 kelahiran bayi lelaki),1 penelitian terapi gen pada penyakit
ini belum mengalami kemajuan yang signifikan. Kesulitan yang utama adalah F.VIII merupakan
protein yang jauh lebih rumit. Tidak seperti F.IX yang adalah memiliki domain tunggal, F.VIII
diproduksi sebagai 2351 asam amino yang setelah disekresikan, akan terpisah menjadi rantai berat
dan rantai ringan. Ukuran dan struktur yang kompleks dari F.VIII juga mempersulit dalam design
terapi gen. Pertama, ukuran protein ini terlalu besar untuk dikemas dalam vektor, misalnya Adeno-
Associated Virus (AAV). Hal lain, proses sintesis dan sekresi F.VIII sangat tidak efisien.
Menggunakan proses yang sama dengan vektor retrovirus, level produksi F.VIII adalah 2
magnitudo di bawah F.IX. Produksi yang tidak efisien ini disebabkan beberapa faktor, termasuk
ekspresi mRNA yang tidak efisien, susunan protein hasil translasi yang salah kemudian
terdegradasi, dan retensi di dalam retikulum endoplasma melalui ikatan dengan immunoglobulin
binding protein (BiP). 4
Sintesis F.VIII ini diperumit melalui interaksinya dengan von Willebrand Factor (vWF),
yang diperlukan untuk stabilisasi F.VIII. Studi in vitro menunjukkan efek stabilisasi ini akan lebih
kuat bila F.VIII dan vWF disekresikan oleh sel yang sama, dibandingkan bila hanya dengan
sekadar menambah vWF ke dalam media. Namun, ketika vWF diketahui diproduksi oleh sel
endotel, trombosit, dan megakariosit, tempat sintesis F.VIII masih menjadi kontroversi. Liver
dipercaya menjadi tempat produksi F.VIII. Beberapa bukti yang menyokong hal tersebut antara
lain adalah ditemukan mRNA dan protein F.VIII pada hepatosit in vivo, produksi F.VIII pada
hepatosit yang dikultur in vitro, dan bahkan kembalinya kemampuan untuk membentuk
pembekuan darah pada mereka yang mendapat transplantasi hepatosit. Pendapat lain menyebutkan
sitesis F.VIII adalah pada liver sinusoidal epithelial cells (LSECs) bukan oleh hepatosit. Lebih
jauh lagi bukti terbaru menunjukkan ekspresi F.VIII tidak terbatas pada LSECs saja tetapi juga
pada jaringan ekstra hepatik dengan vaskularisasi baik seperti ginjal, limpa, dan paru-paru.5,6 Oleh
karena itu, kombinasi dari ekspresinya oleh sel yang beragam dan kurangnya sintesis vWF oleh
hepatosit menjelaskan hambatan yang dihadapi ketika menginduksi sel hepar untuk
mengekspresikan F.VIII menggunakan prosedur yang sukses dilakukan untuk F.IX.
Melihat keberhasilan penggunaan AAV pada Hemofili B, sangat logis bila beberapa
pendekatan terapi gen pada Hemofili A mencoba menggunakan metode yang sama. Bila
menggunakan AAV sebagai vektor, isu utama adalah ukuran, dimana AAV tidak mampu
mengangkut keseluruhan materi genetik dari F.VIII. Dua pedekatan telah diujicobakan, pertama
3

adalah membagi rantai ringan dan berat F.VIII untuk dibawa oleh dua vektor yang berbeda.7
Keterbatasan metode ini adalah, rantai berat dan ringan F.VIII hanya bisa berinteraksi di dalam
sel. Konsekuensinya hanya sel yang tertransduksi oleh kedua vektor tersebut yang dapat
mengekpresikan F.VIII.8 Pendekatan yang kedua adalah dengan memotong promoter menjadi
lebih pendek sehingga cukup untuk dikemas ke dalam satu partikel AAV, dikenal sebagai B-
domain-deleted (BDD) F.VIII.9 Pemotongan domain yang tidak diperlukan dalam aktivitas
kofaktor ini bahkan dapat meningkatkan ekspresi mRNA hingga 17 kali lipat dan peningkatan
sekresi protein sebesar 30%. Kedua pendekatan ini efektif ketika diujicobakan pada anjing. 10
Namun, dosis yang diperlukan untuk mencapai hasil yang bermakna secara klinis jauh lebih tinggi
dibandingkan dosis AAV-F.IX yang sudah dalam tahap uji klinis pada subjek manusia. Mengingat
adanya respon sel T CD8+ yang tergantung dosis pada uji-uji sebelumnya, dosis vektor ini belum
memungkinkan untuk diujicobakan pada manusia.
Selain menggunakan AAV, pendekatan terapi gen pada Hemofili A yang lain adalah
melalui penggunaan retroviral/lentiviral sebagai vektor. Target sel untuk ekpspresi yang potensial
untuk vektor ini adalah sel hematopoietik (hematopoietic stem cells/HSC), metode ini juga
membuka harapan untuk penderita hemofili dengan gangguan fungsi liver. Yarovoi et al.11 pertama
kali mengusulkan vektor pembawa gen F.VIII melalui proses integrasi di bawah kontrol promoter
spesifik untuk trombosit. Hipotesisnya adalah F.VIII akan tersimpan di dalam gumpalan trombosit,
dan dilepaskan di tempat perdarahan ketika trombosit teraktivasi. Pendekatan metode ini juga
membantu mereka dengan inhibitor, dimana F.VIII akan terlindungi dari antibodi karena
bersirkulasi ke seluruh tubuh di dalam trombosit. Efektivitas metode ini sudah dilakukan uji coba
pada hewan coba mencit hemofili, dan juga menunjukkan hasil yang positif pada mencit dengan
inhibitor.12,13 Data terbaru menunjukkan bekuan yang dibentuk oleh F.VIII yang dilepaskan oleh
trombosit memiliki kecenderungan untuk terjadi emboli.14 Pendekatan dengan menggunakan
lentiviral sebagai vektor juga membawa risiko mutagenesis insersi. Kedua hal tersebut menjadi isu
keamanan yang harus diperhatikan bila metode ini sampai ke tahap klinis.
TERAPI GEN PADA HEMOFILI B
Tidak seperti penyakit sebelumnya, Hemofili B menunjukkan kemajuan yang signifikan
ditinjau dari banyaknya uji coba klinis yang sedang berjalan. Hal ini terutama karena struktur F.IX
yang lebih sederhana dibadingkan F.VIII. Area koding F.IX hanya sepanjang 1.4 kb, dan
mengkode domain protein tunggal berupa 461 asam amino. Ukuran yang kecil ini menyebabkan
F.IX mudah dikemas ke dalam AAV, vektor terapi genetik yang banyak digunakan untuk uji coba
kelainan genetik.15 Lebih lanjut, F.IX yang sudah dimodifikasi dapat dengan efektif ditrasduksikan
ke otot rangka, sehingga uji pendahuluan dapat dilakukan ke jaringan dengan risiko yang lebih
rendah dibandingkan organ vital seperti liver, lokasi sintesis F.IX sesungguhnya.16
AAV adalah parvovirus dengan DNA rantai tunggal sepanjang 4.7 kb. AAV tidak dapat
bereplikasi tanpa bantuan virus lainnya seperti adenovirus, sehingga meskipun angka
seroprevalensinya tinggi di komunitas, AAV tidak menyebabkan penyakit pada manusia. AAV
rekombinan (rAAV) dimodifikasi dengan membuang bagian DNA yang mengkoding protein
virus, menyisakan hanya ujung terminal (inverted terminal repeats/ITRs), sehingga rAAV
memiliki kapasitas sekitar 5 kb untuk promoter dan gen yang akan dikemas kedalamnya. Ada
4

beberapa alasan yang menyebabkan AAV adalah vektor yang baik untuk terapi gen in vivo. Yang
utama adalah, tidak seperti lentivirus, AAV memiliki kemampuan menginfeksi sel yang tidak
membelah namun tetap diekspresikan dalam jangka waktu lama tanpa perlu terintegrasi ke dalam
genom sel penjamu melalui pembentukan episomal concatemers. Hal ini penting karena akan
mengurangi risiko mutagenesis insersi. Alasan lainnya yaitu imunogenisitas yang rendah dan
terdapat berbagai serotipe capsid yang memungkinkan penghantaran gen ke jaringan target yag
bervariasi.17,18
Studi awal untuk hemofili B menggunakan AAV terfokus pada otot rangka sebagai
jaringan target baik pada hewan coba (mencit dan anjing) maupun manusia.19-21 Namun metode
ini teryata memiliki masalah terkait terbentuknya inhibitor F.IX terutama pada mutasi tertentu,
misalnya hewan coba anjing hemofili dengan delesi yang terekspresi sebagai stop kodon.22
Beberapa alternatif diujicobakan seperti menggunakan AAV 1, sebagai pengganti AAV 2, yang
memiliki kapasitas transduksi ke myosit lebih tinggi, serta mencari dosis maksimal injeksi
sehingga pemberian dosis injeksi intramuskular dapat dibagi pada beberapa tempat.23,24 Namun
cara-cara tersebut tetap tidak efektif mengatasi masalah yang terjadi terbentuknya inhibitor
sehingga banyak penelitian pada hemofili B kemudian bergeser ke liver sebagai organ target.
Liver menjadi organ target yang optimal sebagai tempat ekspresi F.IX untuk beberapa
alasan. Pada individu sehat, F.IX diproduksi di liver. Hepatosit merupakan sel sekretori yang lebih
efisien dibandingkan myosit, sehingga mampu memproduksi transgen yang lebih banyak. Dan
yang paling penting, transfer gen ke liver telah terbukti dapat menimbulkan toleransi yang spesifik
terhadap transgen tersebut sehingga dapat mencegah timbulnya respon antibodi dan sel T CD8+.25
Namun uji klinis ternyata menunjukan masalah yang gagal diungkap oleh hasil penelitian
preklinis: yaitu efek dari sel T memori CD8+ spesifik capsid.26 Uji klinis pertama dari transfer
gen menggunakan vektor AAV2 pada hemofili B yang diinjeksikan melalui arteri hepatika
mengungkapkan fenomena penting. Berlawanan dengan ekspektasi awal, ditemukan bahwa
adanya antibodi terhadap capsid dapat menghalangi transduksi, bahkan pada titer yang rendah.
Lebih lanjut, pada satu pasien kohort dengan dosis tertinggi, peningkatan kadar F.IX yang
bersirkulasi terdeteksi, namun pada minggu keempat pos-injeksi, eksprei F.IX mulai menurun
bersamaan dengan peningkatan enzim liver yang menandakan jejas pada liver (meskipun
asimptomatik). Setelah minggu kedelapan pos-injeksi, F.IX menjadi tidak terdeteksi.27
Beberapa solusi untuk masalah ini diusulkan, salah satunya adalah penggunaan capsid yang
lebih baik. AAV8 adalah serotipe yang diturunkan dari spesies kera dengan spesifisitas terhadap
liver yang lebih baik dibandingkan AAV2.28 Hal ini memungkinkan ekspresi transgen yang lebih
baik dengan dosis yang ekuivalen pada vektor sebelumnya, dan ekspresi tersebut sebanding ketika
vektor diberikan melalui injeksi vena ekor atau vena porta hewan coba.29 Seroprevalens AAV8
juga lebih rendah dibandingkan AAV2 pada populasi manusia, sehingga memungkinkan lebih
banyak pasien yang potensial diobati dengan vektor AAV8.30 Lebih lanjut vektor ini dilakukan
modifikasi genetik pada satu ujung ITRs (self-complementary AAV8/scAAV8) sehingga mampu
membawa DNA untai ganda dibandingkan untai tunggal pada virus aslinya. Hal ini menghemat
proses sintesis untai kedua pada transduksi AAV, sehingga memungkinkan untuk produksi
transgen yang lebih banyak.31 Namun proses ini bukan tanpa masalah, scAAV ternyata
5

menginduksi respon imun bawaan yang lebih kuat daripada varian untai tunggalnya melalui toll-
like receptor 9.32 Untungnya respon imun ini tidak sampai menimbulkan respon imun spesifik
sehingga masih bisa ditoleransi. Oleh karena itu pada uji klinis selanjutnya, terapi gen untuk
hemofili B menggunakan vektor scAAV8 dilakukan melalui injeksi vena perifer.33 Seperti yang
telah diprediksi sebelumnya, peningkatan enzim liver hanya terdeteksi pada subjek yang diberikan
dosis tertinggi pada sekitar minggu kedelapan setelah pemberian. Pemberian prednisolone mampu
menekan respon sel T CD8+ terhadap capsid AAV, sehingga aktivitas F.IX bertahan pada level
2% dari normal. Pada subjek berikutnya, pemberian regimen prednisolone dapat mempertahankan
level F.IX pada level 6%.
TERAPI GEN PADA KELOMPOK USIA PEDIATRI
Regulasi yang ada saat ini tidak mengijinkan uji coba terapi gen, termasuk pada hemofili,
dilakukan pada kelompok pediatri kecuali kondisi yang terjadi akan menyebabkan kematian atau
degenerasi yang parah bila tidak ditatalaksana sejak masa kanak-kanak. Meskipun begitu, terdapat
beberapa alasan mengapa terapi gen pada hemofili akan lebih menguntungkan bila diberikan pada
anak-anak dibandingkan pada pasien dewasa, terutama jika prosedur ini sudah terbukti aman.
Alasan utama adalah meningkatkan ekspresi faktor pembekuan sejak dini akan memberikan
banyak keuntungan yang sama seperti pemberian profilaksis secara kontinyu, termasuk
perlindungan terhadap sendi dan pencegahan terhadap perdarahan intrakranial atau perdarahan lain
yang mengancam nyawa, namun tanpa risiko potensi komplikasi dari pemberian produk darah
yang repetitif. Dari sudut pandang kesederhanaan dosis, ukuran tubuh pasien anak yang lebih kecil
akan menguntungkan karena tidak perlu dilakukan produksi vektor dan bahan biologis lainnya
dalam jumah yang besar. Pada pasien hemofili anak juga jarang ditemukan jejas pada liver, hal
yang menjadi masalah pada kelompok pasien dewasa sehingga banyak subjek yang dieksklusi dari
penelitian, meskipun pertumbuhan massa liver yang luar biasa pada periode kanak-kanak dapat
mengakibatkan transgen F.VIII dan F.IX yang bertahan sebagai episom akan menghilang seiring
dengan pembelahan hepatosit yang berlangsung. Dan juga pemberian sedini mungkin, sehubungan
dengan paparan alami virus vektor yang terdapat di alam, dapat mengurangi risiko terdapatnya
antibodi spesifik virus vektor yang dapat menghambat proses transfer gen. Uji coba pada baik
hewan coba kecil maupun besar, menunjukkan terapi gen yang dilakukan pada masa fetus atau
neonatus awal memiliki potensi yang lebih baik untuk menginduksi toleransi terhadap materi
transgen.34
SIMPULAN
Kemajuan ilmu biologi molekuler telah membawa harapan ditemukannya solusi untuk
mengatasi berbagai penyakit genetik, tidak terkecuali hemofili. Meskipun terdapat banyak
kendala, penelitian di bidang hemofili terus berkembang memunculkan temuan-temuan baru dan
menunjukkan kemajuan ke arah yang lebih baik. Diharapkan di kemudian hari penyakit genetik,
khususnya hemofili dapat dikoreksi sedini mungkin di masa anak-anak untuk menghindari sekuel
lebih lanjut pada periode kehidupan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bree Z dan Leonard AV. Hemophilia: In Review. Pediatrics in Review. 2013; 34(7):
289-95.
2. Paris M. Gene-based Continuous Expression of FVIIa for the Treatment of Hemophilia.
Frontiers in Bioscience. 2012; S4: 287-99.
3. High KA. Gene Therapy for Haemophilia: A Long and Winding Road. J Thromb
Haemost 2011; 9 (Suppl. 1): 2–11.
4. Lynch CM, Israel DI, Kaufman RJ, Miller AD. Sequences in the Coding Region of
Clotting Factor VIII Act as Dominant Inhibitors of RNA Accumulation and Protein
Production. Hum Gene Ther. 1993; 4(3):259–72.
5. Montgomery RR, Shi Q. Platelet and endothelial expression of clotting factors for the
treatment of hemophilia. Thromb Res. 2012; 129(Suppl 2):S46–8.
6. Wion KL, Kelly D, Summerfield JA, Tuddenham EG, Lawn RM. Distribution of factor
VIII mRNA and antigen in human liver and other tissues. Nature. 1985;
317(6039):726–9.
7. Burton M, Nakai H, Colosi P, Cunningham J, Mitchell R, Couto L. Coexpression of
factor VIII heavy and light chain adeno-associated viral vectors produces biologically
active protein. Proc Natl Acad Sci U S A. 1999; 96(22):12725–30.
8. Chen L, Zhu F, Li J, Lu H, Jiang H, Sarkar R, Arruda VR, Wang J, Zhao J, Pierce GF,
Ding Q, Wang X, Wang H, Pipe SW, Liu XQ, Xiao X, Camire RM, Xiao W. The
enhancing effects of the light chain on heavy chain secretion in split delivery of factor
VIII gene. Mol Ther. 2007; 15(10): 1856–62.
9. Sarkar R, Xiao W, Kazazian HH Jr. A single adeno-associated virus (AAV)-murine
factor VIII vector partially corrects the hemophilia A phenotype. J Thromb Haemost.
2003; 1(2):220–6.
10. Finn JD, Ozelo MC, Sabatino DE, Franck HW, Merricks EP, Crudele JM, Zhou S,
Kazazian HH, Lillicrap D, Nichols TC, Arruda VR. Eradication of neutralizing
antibodies to factor VIII in canine hemophilia A after liver gene therapy. Blood. 2010;
116(26):5842–8.
11. Yarovoi HV, Kufrin D, Eslin DE, Thornton MA, Haberichter SL, Shi Q, Zhu H, Camire
R, Fakharzadeh SS, Kowalska MA, Wilcox DA, Sachais BS, Montgomery RR, Poncz
M. Factor VIII ectopically expressed in platelets: efficacy in hemophilia A treatment.
Blood 2003; 102: 4006–13.
12. Shi Q, Wilcox DA, Fahs SA, Fang J, Johnson BD, Du LM, Desai D, Montgomery RR.
Lentivirus-mediated platelet-derived factor VIII gene therapy in murine haemophilia
A. J Thromb Haemost 2007; 5: 352–61.
13. Shi Q, Fahs SA, Wilcox DA, Kuether EL, Morateck PA, Mareno N, Weiler H,
Montgomery RR. Syngeneic transplantation of hematopoietic stem cells that are
genetically modified to express factor VIII in platelets restores hemostasis to
hemophilia A mice with preexisting FVIII immunity. Blood 2008; 112: 2713–21
14. Neyman M, Gewirtz J, Poncz M. Analysis of the spatial and temporal characteristics
of platelet-delivered factor VIII-based clots. Blood 2008; 112: 1101–8.
15. Mingozzi F, High KA. Therapeutic in vivo gene transfer for genetic disease using
AAV: progress and challenges. Nat Rev Genet. 2011; 12(5):341–55.
16. Arruda VR, Hagstrom JN, Deitch J, Heiman-Patterson T, Camire RM, Chu K, Fields
PA, Herzog RW, Couto LB, Larson PJ, High KA. Posttranslational modifications of
recombinant myotubesynthesized human factor IX. Blood. 2001; 97(1):130–8.
17. Nakai H, Yant SR, Storm TA, Fuess S, Meuse L, Kay MA. Extrachromosomal
recombinant adenoassociated virus vector genomes are primarily responsible for stable
liver transduction in vivo. J Virol. 2001; 75(15):6969–76.
18. Wu Z, Asokan A, Samulski RJ. Adeno-associated virus serotypes: vector toolkit for
human gene therapy. Mol Ther. 2006; 14(3):316–27.
19. Herzog RW, Hagstrom JN, Kung SH, Tai SJ, Wilson JM, Fisher KJ, High KA. Stable
gene transfer and expression of human blood coagulation factor IX after intramuscular
injection of recombinant adeno-associated virus. Proc Natl Acad Sci U S A. 1997;
94(11):5804–9.
20. Herzog RW, Yang EY, Couto LB, Hagstrom JN, Elwell D, Fields PA, Burton M,
Bellinger DA, Read MS, Brinkhous KM, Podsakoff GM, Nichols TC, Kurtzman GJ,
High KA. Long-term correction of canine hemophilia B by gene transfer of blood
coagulation factor IX mediated by adeno-associated viral vector. Nat Med. 1999;
5(1):56–63.
21. Manno CS, Chew AJ, Hutchison S, Larson PJ, Herzog RW, Arruda VR, Tai SJ, Ragni
MV, Thompson A, Ozelo M, Couto LB, Leonard DG, Johnson FA, McClelland A,
Scallan C, Skarsgard E, Flake AW, Kay MA, High KA, Glader B. AAV-mediated
factor IX gene transfer to skeletal muscle in patients with severe hemophilia B. Blood.
2003; 101(8):2963–72.
22. Herzog RW, Mount JD, Arruda VR, High KA, Lothrop CD Jr. Muscle-directed gene
transfer and transient immune suppression result in sustained partial correction of
canine hemophilia B caused by a null mutation. Mol Ther 2001; 4: 192–200.
23. Arruda VR, Schuettrumpf J, Herzog RW, Nichols TC, Robinson N,
LotfiY,MingozziF,XiaoW,CoutoLB,HighKA.Safetyandefficacy of factor IX gene
transfer to skeletal muscle in murine and canine hemophilia B models by adeno-
associated viral vector serotype 1. Blood 2004; 103: 85–92.
24. Herzog RW, Fields PA, Arruda VR, Brubaker JO, Armstrong E, McClintock D,
Bellinger DA, Couto LB, Nichols TC, High KA. Influence of vector dose on factor IX-
specific T and B cell responses in muscle-directed gene therapy. Hum Gene Ther 2002;
13: 1281–91.
25. Mingozzi F, Liu YL, Dobrzynski E, Kaufhold A, Liu JH, Wang Y, Arruda VR, High
KA, Herzog RW. Induction of immune tolerance to coagulation factor IX antigen by
in vivo hepatic gene transfer. J Clin Invest. 2003; 111(9):1347–56.
26. Herzog RW. Immune responses to AAV capsid: are mice not humans after all? Mol
Ther. 2007; 15(4):649–50
27. Mingozzi F, Maus MV, Hui DJ, Sabatino DE, Murphy SL, Rasko JE, Ragni MV,
Manno CS, Sommer J, Jiang H, Pierce GF, Ertl HC, High KA. CD8(+) T-cell responses
to adeno-associated virus capsid in humans. Nat Med. 2007; 13(4):419–22.
28. Gao GP, Alvira MR, Wang L, Calcedo R, Johnston J, Wilson JM. Novel adeno-
associated viruses from rhesus monkeys as vectors for human gene therapy. Proc Natl
Acad Sci U S A 2002; 99: 11854–9.
29. Cooper M, Nayak S, Hoffman BE, Terhorst C, Cao O, Herzog RW. Improved induction
of immune tolerance to factor IX by hepatic AAV-8 gene transfer. Hum Gene Ther.
2009; 20(7):767– 76.
30. Boutin S, Monteilhet V, Veron P, Leborgne C, Benveniste O, Montus MF, Masurier C.
Prevalence of serum IgG and neutralizing factors against adeno-associated virus
(AAV) types 1, 2, 5, 6, 8, and 9 in the healthy population: implications for gene therapy
using AAV vectors. Hum Gene Ther. 2010; 21(6):704–12.
31. Ferrari FK, Samulski T, Shenk T, Samulski RJ. Second-strand synthesis is a rate-
limiting step for efficient transduction by recombinant adeno-associated virus vectors.
J Virol. 1996; 70(5):3227– 34.
32. Martino AT, Suzuki M, Markusic DM, Zolotukhin I, Ryals RC, Moghimi B, Ertl HC,
Muruve DA, Lee B, Herzog RW. The genome of self-complementary adeno-associated
viral vectors increases Toll-like receptor 9-dependent innate immune responses in the
liver. Blood. 2011; 117(24):6459– 68.
33. Nathwani AC, Tuddenham EG, Rangarajan S, Rosales C, McIntosh J, Linch DC,
Chowdary P, Riddell A, Pie AJ, Harrington C, O'Beirne J, Smith K, Pasi J, Glader B,
Rustagi P, Ng CY, Kay MA, Zhou J, Spence Y, Morton CL, Allay J, Coleman J, Sleep
S, Cunningham JM, Srivastava D, Basner-Tschakarjan E, Mingozzi F, High KA, Gray
JT, Reiss UM, Nienhuis AW, Davidoff AM. Adenovirus-associated virus vector-
mediated gene transfer in hemophilia B. N Engl J Med. 2011; 365(25):2357–65.
34. Hu C, Cela RG, Suzuki M, et al. Neonatal helper-dependent adenoviral vector gene
therapy mediates correction of hemophilia A and tolerance to human factor VIII. Proc
Natl Acad Sci USA. 2011; 108:2082-7.

Anda mungkin juga menyukai