Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dari sekian banyak masalah yang

sering dialami oleh negara-negara berkembang, bahkan di negara-negara maju

sekalipun kemiskinan tetap merajalela. Di Indonesia sendiri kemiskinan tidak

dapat terelakkan, walaupun dengan sumberdaya alam yang melimpah. Menurut

Prof. Aswanto sekitar 80 persen rakyat Indonesia tergolong miskin. Hal itu

disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam yang kurang dan kemampuan

sumber daya manusianya sendiri yang sangat kurang. Dari sekitar 100 persen aset

yang dimiliki Indonesia, hanya 1 persen yang dikelola oleh rakyat indonesia.

Sedangkan menurut versi Bank Dunia, saat ini kurang dari 45 persen atau sekitar

115 juta rakyat Indonesia yang hidup digaris kemiskinan.

Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi

kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaina, tempat berlindung, pendidikan dan

kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh

kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini

secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi

moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang

telah mapan. Kemiskinan merupakan suatu permasalahn klasik yang secara terus

menerus berlangsung dari zaman dahulu kala hingga saat ini. Berbagai upaya

1
telah dilakukan oleh Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan baik melalui

program bantuan langsung tunai (BLT), dana bantuan operasional sekolah (Dana

BOS), beras rakyat miskin (Raskin), dan berbagai upaya lainnya. Namun,

kesemua hal tersebut tampaknya tidak berpengaruh besar terhadap jumlah

kemiskinan di Indonesia. Hal itu didasari pendistribusian dari bantuan tersebut

tidak tepat sasaran kepada rakyat yang dimaksud.

Kemiskinan merupakan polemik panjang yang dihadapi peradaban manusia.

“Proverty,condition of having insufficient resources or income. In its most

exterme form, proverty is a lackof basic human needs, such as adequate and

nutritious food, clothing, housing, clean water, and health services.”

Kemiskinan selalu membawa masyarakat pada penderitaan, yaitu menjadikan

masyarakat kekurangan nutrisi, mudah terkena penyakit, kelaparan, hingga

akhirnya membawa kematian. Kemiskinan adalah awal dari segala sesuatu yang

buruk seperti pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, hingga pembunuhan.

Indonesia telah diakui Bank Dunia sebagai Negara yang berhasil menurunkan

tingkat kemiskinan dimana tingkat kemiskinan di Indonesia telah berhasil

diturunkan dari sekitar 40% pada tahun 1976 menjadi 11% pada tahun 1996

berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Perhitungan Bank Dunia juga

menunjukkan hal yang sama dimana persentase penduduk yang hidup di bawah

garis kemiskinan 1 dolar PPP per kapita per hari turun dari 20,6% pada tahun

1990 menjadi 7,8% pada tahun 1996. Akan tetapi ketika krisis ekonomi melanda

Indonesia, tingkat kemiskinan kembali meningkat. Berdasarkan data BPS, pada

2
tahun 1998 tingkat kemiskinan tercatat sebesar 24,2% yang utamanya disebabkan

oleh meroketnya harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan.

Sejalan dengan menurunnya kembali harga-harga kebutuhan maknan dan

non-makanan tingkat kemiskinan juga kembali turun menjadi sekitar 19% pada

tahun 2000. Setelah itu tingkat kemiskinan cenderung menurun meskipun

berlangsung cukup lambat. Pada tahun 2008, tingkat kemiskinan tercatat sebesar

15,4%. Sementara itu berdasarkan data Bank Dunia, tingkat kemiskinan Indonesia

pada tahun 2008 adalah sebesar 5,9% jika didasarkan pada garis kemiskinan 1

dolar PPP per kapita per hari, tetapi jika diukur berdasarkan garis kemiskinan 2

dolar PPP per kapita per hari tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar

42,6% (Modjo, 2009). Perlu dicatat bahwa garis kemiskinan Bank Dunia hanya

dapat dipakai untuk membandingkan dan memonitor perkembangan tingkat

kemiskinan secara Internasional atau antar Negara (Global Poverty Monitoring),

sementara Bank Dunia tetap menyarankan penggunaan garis kemiskinan Negara

masing-masing dalam memonitor perkembangan kemiskinan di negaranya baik di

tingkat nasional maupun wilayah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini berjudul hubungan antara

kemiskinan dengan kesehatan. Topik ini signifikan untuk dibahas karena usaha

mengatasi kemiskinan di Indonesia khususnya membahas mengenai factor yang

mempengaruhi dan hubungan kemiskinan dengan kesehatan.

3
C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini untuk memahami dan mengerti mengenai :

1. Defenisi kemiskinan

2. Konsep kemiskinan

3. Faktor-faktor kemiskinan

4. Hubungan kemiskinan dengan kesehatan

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kemiskinan

Kemiskinan dalam pengertian konvensional merupakan pendapatan (income)

dari suatu kelompok masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Oleh

karena itu seringkali berbagai upaya pengentasan kemiskinan hanya berorientasi

pada upaya peningkatan pendapatan kelompok masyarakat miskin.

Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana

yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan

adalah masalah yang sangat kompleks, baik dari faktor penyebab maupun dampak

yang ditimbulkannya.

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk

memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,

pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat

pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan

pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami

istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya

dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut

ilmiah yang telah mapan.

Dinas kesehatan mendefinisikan miskin, lebih luas dari BKKBN, yaitu

dengan menambahkan kriteria tingkat akses ke pelayanan kesehatan pemerintah,

5
ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan makanan

pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan

hubungan kerja atau tidak. Atas dasar kriteria kemiskinan ini, Dinas Kesehatan

mengarahkan sasaran program-programnya yang berkaitan dengan masyarakat

miskin. Data Depkes jumlah penduduk miskin tahun 2005 sebesar 60 juta jiwa.

BPS mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang

dari 2100 kalori/kapita/hari dan kebutuhan minimal non-makanan (Kantor Menko

Kesra dan Taskin, 1999), di samping itu secara ekonomi BPS menetapkan

penghasilan US$0,55 perhari sebagai batas miskin di perkotaan dan US $ 0,4 di

pedesaan.Dari data BPS jumlah penduduk miskin tahun 2004 sebesar 42,8 juta

jiwa.

Menurut BKKBN miskin mempunyai ciri-ciri keluarga sebagai berikut: (1)

Tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya, (2) Seluruh anggota keluarga

tidak mampu makan dua kali sehari, (3) Seluruh anggota keluarga tidak memiliki

pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian, (4) Bagian

terluas dari rumahnya berlantai tanah, (5) Tidak mampu membawa anggota

keluarga ke sarana kesehatan.

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan miskin secara

ekonomi berdasarkan penghasilan kurang US$1 per hari bagi penduduk perkotaan

dan US$0,8 untuk penduduk pedesaan. Bank Dunia mendefinisikan miskin secara

ekonomi berdasarkan penghasilan kurang dari atau sama dengan US$1 per hari.

Definisi kemiskinan yang dipakai MDGs adalah versi Bank Dunia. Dari kriteria

Bank Dunia jumlah penduduk miskin tahun 2004 sebesar 36,15 juta jiwa.

6
Berdasarkan definisi-definisi yang telah diuraikan, umumnya masyarakat

miskin ditandai oleh beberapa hal-hal :

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) seperti pangan,

gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan;

2. Unproductiveness, ketidakmampuan melakukan usaha yang produktif;

3. Inaccessibility, ketidakmampuan menjangkau sumber daya sosial dan

ekonomi baik akibat rendahnya daya tawar (bargaining position) maupun

keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia;

4. Vulnerability, mudah jatuh dalam kemiskinan (rentan) akibat berbagai

resiko penyakit, bencana alam, kegagalan panen, dan sebagainya sehingga

harus menjual aset produksinya. Kerentanan ini sering disebut poverty

rackets atau roda penggerak kemiskinan;

5. No freedom for poor, tidak memiliki kepercayaan diri dan mental untuk

terbebas dari warisan kemiskinan.

Penduduk miskin di Indonesia dapat digolongkan dalam dua kelompok

berikut;

1. Chronic poverty (kemiskinan kronik)

Kemiskinan yang terjadi terus-menerus dari tahun ke tahun atau dari

generasi ke generasi.

2. Transient poverty (kemiskinan sementara)

Kemiskinan ini ditandai dengan penurunan pendapatan sementara sebagai

akibat perubahan siklus ekonomi dan kondisi krisis lainnya.

7
Kemiskinan di Indonesia dapat juga dilihat dari empat di mensi pokok, yaitu:

1. Lack of opportunity, kurang kesempatan untuk berusaha;

2. Low of capabilities, rendahnya kemampuan dalam berbagai sektor;

3. Low of security, kurangnya jaminan, terutama jaminan sosial seperti

kesehatan;

4. Low of capacity or empowerment, ketidakberdayaan.

Dari uraian di atas, dengan adanya beberapa definisi miskin yang berlaku di

Indonesia, maka besaran jumlah penduduk miskin juga beragam antara ILO, Bank

Dunia, BPS, BKKBN, Depkes. Hal ini menjadi masalah tersendiri karena tidak

jelas masyarakat miskin yang mana yang harusnya ideal atau tepat menjadi target

program penanggulangan kemiskinan. Sebagai ilustrasi, adalah bahwa indikator

miskin yang dipakai BPS adalah penghasilan kurang dari US$0,55 per hari, maka

penduduk yang berpenghasilan di US$1,55 tidak tergolong miskin.

Namun jika ia sakit dan harus mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama

rawat inap maka ia tidak akan mampu membayar biaya rawat inap dengan

penghasilan US$1,55 per hari per orang. Dengan mempertimbangkan ilustrasi di

atas, maka perlu dilakukan penyesuaian kriteria miskin agar penentuan miskin

tidak salah sasaran. Yang juga perlu untuk menjadi perhatian adalah dalam

menentukan definisi kemiskinan pada suatu masyarakat suatu daerah dengan

daerah lain, tidak dapat dinilai dengan nilai indikator yang sama antar satu daerah

dengan daerah yang lain, karena keberadaan status ekomoni masyarakat kita tidak

merata dan kebutuhan dasarnyapun berbeda tingkatannya.

8
Melihat kompleksnya permasalahan dalam mendefinisikan kemiskinan, salah

satu upaya pemerintah adalah dengan membentuk Komite Penangulangan

Kemiskinan (KPK) yang dituangkan dalam Keppres No.124/2001/jo/8/2002.

Fungsi KPK adalah perumusan kebijakan dan program penanggulangan

kemiskinan (PK) untuk daerah, pemantauan pelaksanaan PK oleh daerah,

pembinaan pelaksanaan PK di daerah dan pelaporan kepada presiden. Sasaran PK

adalah adanya kesamaan persepsi tentang penduduk miskin dan pelaku PK,

adanya koordinasi antara pelaku, tumbuhnya kepedulian dan kemampuan

pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa dalam upaya PK

meningkatkan partisipasi semua pihak dalam PK dan tumbuhnya kegiatan yang

mengarah pada perlindungan sosial bagi kelompok miskin.Daerah kota/kabupaten

juga membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD).

Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan

absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set

standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat atau negara.

Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang

makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira

2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan

Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $ 1/hari dan

Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah USD $ 2/hari, dengan batasan

ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi kurang

dari USD $ 1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari USD $

2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan

9
ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat pada

periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis

kemiskinan USD $ 1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari USD $

1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.

Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai sebuah

kondisi yang dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia,

termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah,

pendidikan, dan informasi.

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:

1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai

Akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.

2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan

pendidikan keluarga.

3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan

dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam

lingkungan sekitar.

4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang

lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.

5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan

merupakan hasil dari struktur sosial.

Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai

akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di

dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja

10
miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun

masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

B. Konsep Kemiskinan

Penulis akan membahas lebih banyak lagi tentang kemiskinan. Kemiskinan

merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. Misalnya,

menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan

sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai

kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup

dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks

ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan

yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung

dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan

standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Dimensi

kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh

adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang

dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-

faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal.

Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya

pendidikan atau adanya hambatan budaya.

Teori kemiskinan budaya (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis,

misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya

11
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,

mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor

eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi

atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam

memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan

kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan

dikarenakan ketidakmauan si miskin untuk bekerja, melainkan karena

ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-

kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.

Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat

jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan

merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Konsepsi

kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang

memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia

dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya.

Dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara

spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat

kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan

BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada

periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi

49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa. Sementara itu,

International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di

Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari

12
seluruh jumlah penduduk. Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa

selama periode 1996-1998, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin

secara hampir sama di wilayah pedesaan dan perkotaan, yaitu menjadi sebesar

62,72% untuk wilayah pedesaan dan 61,1% untuk wilayah perkotaan. Secara

agregat, presentasi peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang

lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan di perkotaan

(4,72%). Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang

miskin meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan,

sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa.

Adapun pendekatan yang digunakan untuk memperkirakan penduduk miskin

yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dapat dibagi menjadi 2 (dua),

yaitu: (1) Pendekatan Wilayah dan (2) Pendekatan Rumah Tangga. Penjelasan

dari kedua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan wilayah, merupakan pendekatan untuk memperkirakan

penduduk miskin melalui kantong-kantong kemiskinan yang berupa desa

miskin (desa tertinggal). Secara makro, pendekatan wilayah dilakukan

berdasarkan asumsi bahwa penduduk miskin dapat diidentifikasi melalui

fasilitas (infrastruktur), kondisi jalan, akses terhadap alat transportasi,

sarana kesehatan, pendidikan, serta kondisi sosial ekonomi yang

mendukung kehidupan masyarakat di wilayah yang diamati. Apabila

infrastruktur wilayah tersebut tergolong berkualitas rendah, maka besar

kemungkinannya tingkat kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah

13
tersebut tergolong rendah. Sebuah desa yang mempunyai infrastruktur

kurang memadai diasosiasikan sebagai desa kantong kemiskinan.

2. Pendekatan rumah tangga, adalah pendekatan yang mengacu kepada

ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan minimum

hidupnya. Perhitungan jumlah penduduk miskin dengan pendekatan

rumah tangga pada prinsipnya adalah mengukur ketidakmampuan rumah

tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan non-pangan yang paling

minimal.

Data dasar yang digunakan untuk melakukan penghitungan adalah data yang

bersumber dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi.

Survei ini dilakukan setiap tahun oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Dalam setiap

survei ada 2 (dua) kelompok pertanyaan, yaitu : Kor dan Modul. Data Kor

mencakup variabel demografi dan partisipasi sekolah anggota rumah tangga, dan

selalu dikumpulkan setiap tahun. Sedangkan Data Modul dibagi atas 3 (tiga)

kelompok, yaitu : (1) Konsumsi pengeluaran rumahtangga, (2) Kriminalitas,

perjalanan, sosial budaya, dan kesejahteraan masyarakat. (3) Pendidikan,

kesehatan, dan perumahan.

Penghitungan jumlah penduduk miskin didasarkan pada data Susenas Modul

Konsumsi. Kriteria yang digunakan dalam pengukuran batas kemiskinan adalah

ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan minimum pangan setara

dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan minimum non-

pangan.

14
C. Faktor-Faktor Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu masalah penting yang ingin diberantas oleh

pemerintah. Namun, dari sekian banyak usaha yang dilakukan, kemungkinan

untuk berhasil hanya 50%. Jika dilihat dari bantuan keuangan (BLT), dengan

adanya program tersebut rakyat miskin mendapatkan bantuan hidup. Namun,

sasaran yang dimaksudkan untuk program tersebut tidak tepat sasaran, banyak

rakyat mampu dengan penghasilan diatas standar nasional untuk digolongkan

sebagai rakyat miskin juga menerima bantuan tersebut. Jika dilihat dari Dana

Bantuan Operasional Sekolah (BOS), masih kentalnya anggapan masyarakat

Indonesia apalagi yang berada di bawah garis kemiskinan bahwa pendidikan tidak

ada gunanya mengakibatkan bertambah rendahnya mutu sumber daya manusia

yang ada di Indonesia. Pendidikan menurut mereka hanyalah membuang-buang

waktu sedangkan jika digunakan untuk bekerja akan lebih bermanfaat. Jika dilihat

dari RASKIN, sasarannya juga tidak tepa dengan harga yang jauhdibawah rata-

rata mengakibatkan banyaknya masyarakat yang berminat untuk membelinya.

Namun, sangat disayangkan bahwa kualitas beras yang ditawarkan adalah kualitas

rendah dan bahkan yang sudah tidak layak untuk dijadikan sebagai makanan. Dari

beberapa program tersebut, tidak lepas dari peranan pemerintah untuk

mengentaskna kemiskinan secara menyeluruh.

Kemiskinan merupakan fenomena yang berwayuh wajah. David Cox

membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan

pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara

15
maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin

terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat

globalisasi

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem

(kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan

(kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan),

kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan

kecepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak,

dan kelompok minoritas.

4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-

kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik,

bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi, yaitu :

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang

dan papan)

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,

pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk

pendidikan dan keluarga).

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.

5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.

6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

16
7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang

berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita

korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal

dan terpencil)

Secara umum terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

kemiskinan antara lain :

1. Kelebihan penduduk

Suatu situasi dimana jumlah penduduk lebih banyak dari sumber daya

yang tersedia. Jumlah pengguna sumber alam yang terbatas digunakan

oleh penduduk yang jumlahnya dari hari ke hari semakin bertambah.

Sebenarnya hal ini merupakan suatu permasalahan yang kompleks.

Memang, populasi penduduk di Indonesia semakin bertambah seiring

bertambahnya waktu, namun seperti yang disebutkan sebelumnya, jumlah

aset atau sumber daya alam dari Indonesia yang begitu luas hanya dapat

dimanfaatkan secaa maksimal kurang dari 1 persen oleh rakyat Indonesia.

Dilihat dari kebijakan pemerintah pada aset pertambangan minyak bumi,

kebijakan tersebut memberikan 70 persen hasil tambang untuk diekspor

sedangkan 30 persen untuk dikelola oleh negara. Kebijakan seperti itu

hanya akan mengakibatkan kemiskinan semakin bertambah padahal jika

70% digunakan untuk dikelola dan 30% untuk diekspor tentu akan lebih

menguntungkan bangsa Indonesia dari segi ekonomi.

17
2. Ketidak merataan sumber daya hidup

Maksudnya adalah distribusi sumber daya kepada masyarakat tidak

dapat dilakukan secara merata. Hal ini menyebabkan terdapat daerah-

daerah tertentu yang mengalami kelebihan dan kekuarangan sumber daya.

Daerah yang kekurangan sumber daya ini akhirnya menjadi daerah dengan

penduduk miskin. Sumber daya yang dimaksud bukan hanya sumbe daya

manusia tapi juga berupa bantuan finansial untuk mengelola sumber daya

alam yang ada didaerah tersebut. Ketidak merataan sumber daya ini

merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah dalam mengelola

APBN dan sebarannya. Dengan tidak meratanya penyebaran sumber daya

ini kemiskinan akan semakin bertambah. Misalnya, di salah satu daerah di

sulawesi barat, sumber daya alam disana melimpah ruah, namun karena

keterbatasan akses jalan raya menuju ke daerah perkotaan untuk menjual

hasil alamnya sehingga menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu

daerah miskin. Sama halnya dengan beberapa daerah di perbatasan-

perbatsan Indonesia dengan negara lain, ketidakmerataan sumber daya

hidup menyebabkan daerah tersebut sebagai daerah terpencil dan miskin.

Pemerataan sumber daya hanya terpusat pada daerah perkotaan dan

beberapa daerah disekitarnya.

3. Standar hidup dan pengeluaran yang tinggi

Situasi masyarakat dimana kondisi sosial menuntut standar hidup

layak yang membutuhkan pengeluaran tinggi. Pada umumya harga-harga

kebutuhan pokok melambung tinggi hingga sulit dicapai. Kondisi ini

18
secara otomatis akan mendatangkan kemiskinanapabila kenaikan jumlah

peneluaran tidak diikuti dengan kenaikan jumlah pemasukan. Sesuai

dengan standar minimal unutk dinyatakan miskin yaitu pengeluaran harus

setengah dari pemasukan. Dengan naiknya harga-harga bahan kebutuhan

pokok, maka semakin menyebabkan bertambahnya kemiskinan di

Indonesia. Misalnya, pada tahun-tahun sebelumnya harga bahan bakar

minyak bertambah, hal itu berdampak pada semua sektor kehidupan

masyarakat. Terdapat banyak PHK dimana-mana, harga kebutuhan pokok

meningkat tajam, namun tidak diringi dengan pemasukan yang naik pula.

Hal seperti inilah yang dapat meningkatkan bertambahnya kemiskinan.

4. Tidak diperolehnya pendidikan dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan

Buta huruf dan tidak adanya pendidikan menjadi sebuah karakteristik

utama yang terjadi pada masyarakat dalam kategori miskin. Tanpa

pendidikan masyarakat tidak akan mampu mencari penghasilan dengan

kehidupan yang maksimal. Maksudnya tanpa pendidikan masyarakat

terancam memiliki cara hidup yang minim, padahal di zaman sekarang

sangat mustahil untuk bertahan pada cara hidup yang minim. Diperlukan

teknologi yang hanya dapat dicapai masyarakat terdidik untuk tetap

bertahan hidup. Masyarakat miskin juga identik dengan masyarakat yang

hidup dengan kondisi minimnya lapangan pekerjaan ketidaktersediaan

lapangan pekerjaan membuat masyarakat sulit mendapatka penghasilan.

Pengeluaran yang tiada batas diikuti dengan tidak adanya penghasilan

19
otomatis membuat masyarakat menjadi kesulitan memenhuhi

kebutuhannya, dan kemudian diikuti dengan ancaman kemiskinan.

Menurut Kuncoro (2000:107) sebagai berikut :

1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola

kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan

timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah

yang terbatas dan kualitasnya rendah

2. kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena

kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga

rendah, upahnyapun rendah

3. kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal

Sendalam ismawan (2003:102) mengutarakan bahwa penyebab

kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat

keterbatasan dan ketertiadaan akses manusia mempunyai keterbatasan

(bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali

menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan apa yang

seharusnya dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai

keterbatasan dalam melakukan pilihan, akibatnya potensi manusia untuk

mengembangkan hidupnya menjadi terhambat.

Beberapa Faktor penyebab kemiskinan di Indonesia:

1. Tingkat pendidikan yang rendah

2. Produktivitas tenaga kerja rendah

3. tingkat upah yang rencah

20
4. distribusi pendapatan yang timpang

5. kesempatan kerja yang kurang

6. kualitas sumberdaya alam masih rendah

7. penggunaan teknologi masih kurang

8. etos kerja dan motivasi pekerja yang rendah

9. kultur/budaya (tradisi)

10. politik yang belum stabil

Kesemua faktor tersebut di atas saling mempengaruhi, dan sulit memastikan

penyebab kemiskinan yang paling utama atau faktor mana yang berpengaruh

langsung maupun tidak langsung. Kesemua faktor tersebut merupakan VICIOIS

CIRCLE (Lingkaran setan) dalam masalah timbulnya kemiskinan.

Berikut dibahas Salah satu factor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan

yaitu;

1. Pendidikan Yang Terlampau Rendah

Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan

seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan

dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan / keterampilan yang

dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia

kerja. Atas dasar kenyataan di atas dia miskin karena tidak bisa berbuat

apa-apa untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

2. Malas Bekerja

Sikap malas bekerja merupakan suatu masalah yang cukup

memprihatinkan. Karena masalah ini menyangkut mentalitas dan

21
kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap acuh

tak acuh dan tak bergairah untuk bekerja atau bersikap pasif dalam

hidupnya (sikap bersandar dan pasrah pada nasib).

Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidup pada orang lain,

baik dari keluarga, saudara atau famili yang di pandang mempunyai

kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.

3. Keterbatasan Sumber Alam

Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya

tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering

dikatakan oleh para ahli bahwa masyarakat itu miskin karena memang

dasarnya “alamiyah miskin” . Alamiyah miskin yang dimaksud disini

adalah kekayaan alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu, tidak

menyimpan kekayaan mineral, dan sebagainya. Dengan demikian layaklah

kalau miskin sumber daya alam miskin juga masyarakatnya.

4. Terbatasnya Lapangan Kerja

Keterbatsan lapangan kerja akan membawa konsekwensi kemiskinan

bagi masyarakat, secara ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang /

masyarakat harus mampu menciptakan lapangan kerja baru, tetapi secara

factual hal tersebut kecil kemungkinannya. Karena adanya keterbatasan

kemampuan seseorang baik yang berupa skill maupun modal.

5. Keterbatasan Modal

Keterbatasan modal adalah sebuah kenyataan yang ada di Negara-

negara yang sedang berkembang. Kenyataan tersebut membawa

22
kemiskinan pada sebagaian masyarakat di Negara tersebut.

Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi

alat atau bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka

miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.

Keterbatasan modal bagi Negara-Negara yang sedang berkembang dapat

diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal baik dari

segi permintaan akan modal maupun dari segi penawaran akan modal.

6. Beban Keluarga

Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak/meningkat

pula tuntutan / beban untuk hidup yang harus dipenuhi. Seseorang yang

mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak di imbangi dengan

usaha peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan

karena mereka memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan

yang dibarengi dengan pertambahan jumlah keluarga, berakibat

kemiskinan akan melanda dirinya dan bersifat latent.

D. Hubungan Kemiskinan dengan Kesehatan

1. Kaitan Kemiskinan dan Kesehatan dengan Aspek Lain

Kondisi kemiskinan dan kesehatan di Indonesia merupakan kondisi

yang tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling terkait, dan dipengaruhi

oleh aspek lain yang dapat memperberat ataupun memperingan kondisi

kemiskinan dan kesehatan. Di bawah ini akan diuraikan analisa situasi

kemiskinan dan kesehatan, dari aspek geografi, demografi, sumber daya

23
alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan

keamanan.

a. Aspek Geografi

Kondisi geografi Indonesia yang merupakan negara

kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan dengan wilayah

lautan yang amat luas, merupakan salah faktor penghambat bagi

pemerintah dalam berupaya meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat miskin di daerah yang letaknya terpencil, dikarenakan

untuk menjangkau daerah terpencil tersebut dibutuhkan sarana

transportasi dan komunikasi dengan biaya operasional yang tinggi,

sementara pemerintah kita belum mampu menyediakannya.

Sedangkan letak Indonesia yang berada di daerah tropis

merupakan reservoir yang tepat bagi berkembang biaknya

berbagai penyakit malaria, TB Paru, dan lain-lain, yang juga

banyak menyerang masyarakat miskin. Penyakit Malaria

menyebar cukup merata di seluruh kawasan Indonesia, yang

paling banyak terdapat di luar Jawa-Bali. Di beberapa tempat

merupakan daerah endemis malaria. Perkembangan penyakit

malaria dalam beberapa ahun lalu cenderung meningkat di semua

wilayah, mulai tahun 2001 sudah mulai terjadi penurunan. Untuk

penyakit TB Paru menurut Suskernas 2001, TB Paru menempati

urutan ke 3 penyebab kematian umum. WHO memperkirakan

24
Indonesia merupakan negara dengan kasus TB Paru terbesar ke 3

di dunia.

b. Aspek Demografi

Dari Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan

Pembangunan Milllenium Indonesia yang dikeluarkan oleh

BAPPENAS pada tanggal 23 Agustus 2005, diperoleh informasi

sebagai berikut:

“Jumlah penduduk Indonesia telah meningkat dari 119 juta

pada tahun 1971 menjadi 179 juta pada tahun 1990, dan

diperkirakan menjadi 219 juta pada tahun 2005. Laju pertumbuhan

penduduk menunjukkan kecenderungan menurun dari 2,32 persen

per tahun pada kurun waktu 1971-1980 menjadi 1,97 persen

pertahun pada kurun waktu 1980-1990, dan menjadi 1,48 persen

per tahun pada kurun waktu 1990-2000. Penurunan laju penduduk

tidak terlepas dari keberhasilan Indonesia menurunkan tingkat

kelahiran (Total Fertility Rate/ TFR) dari 5,6 anak per keluarga

pada tahun 1971 menjadi 2,6 anak per keluarga pada tahun 2003.

Penurunan tingkat kelahiran erat kaitannya dengan meningkatnya

pemakaian kontrasepsi. Pada tahun 1980 tingkat pemakaian

kontrasepsi hanya 26 persen, meningkat menjadi 60,3 persen pada

tahun 2002. Namun demikian, setiap tahun (sampai tahun 2015)

diperkirakan masih akan terjadi kelahiran sekitar 4 juta jiwa, dan

pertambahan penduduk baru sekitar 2,4- 2,7 juta jiwa.”

25
Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah

penduduk yang relatif besar akan membawa permasalahan

tersendiri di sektor kesehatan, bila tidak diimbangi

dengan penyediaan sarana pelayanan kesehatan dan tenaga

kesehatan yang memadai, untuk kemudahan akses pelayanan

kepada masyarakat. Jumlah penduduk yang relatif besar ini,

penyebarannya tidak merata antar pulau dan antar propinsi di

Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002

(dikutip dari Profil Kesehatan Indonesia 2002), ketimpangan

penyebaran penduduk dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Penyebaran Penduduk Antar Pulau di Indonesia Tahun 2002

Nama Pulau Distribusi penduduk (%)

Jawa 61,08

Sumatera (tanpa Propinsi NAD) 20,01

Kalimantan 5,79

Nama Pulau Distribusi penduduk

Sulawesi 7,56

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara 5,56

Timur

Penyebaran penduduk di Indonesia terkonsentrasi di Pulau

Jawa, hal ini merupakan dampak dari pembangunan ekonomi

yang tidak merata di wilayah Indonesia, sehingga terjadi

26
perpindahan penduduk ke Pulau Jawa, dengan harapan

memperoleh kehidupan yang lebih layak dibandingkan di daerah

asalnya. Penyebaran Penduduk selain terkonsentrasi di Pulau

Jawa, juga terkonsentrasi di wilayah pedesaan dibandingkan

perkotaan, berdasarkan data BPS tahun 2002, didapat data sebagai

berikut:

Penyebaran Penduduk Indonesia Berdasarkan Wilayah Pada Tahun 2002

Wilayah Distribusi penduduk (%)

Desa 55,56

Kota 44,44

Data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2004

menyebutkan bahwa sekitar 69,0 persen penduduk di pedesaan

termasuk miskin, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian.

Indonesia ditinjau dari komposisi penduduknya, berdasarkan

kelompok umur, usia produktif menempati posisi tertinggi,

merupakan pangsa pasar dan sumber daya yang potensial untuk

pengembangan upaya kesehatan secara nasional. Komposisi

penduduk Indonesia menurut kelompok umur, berdasarkan data

BPS tahun 2002, ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.

27
Komposisi Penduduk Indonesia Tahun 2002

Kelompok Umur Jumlah ( %)

usia muda (0-14 th) 29,75

usia produktif (15-64 th) 65,60

usia tua (lebih 65 th) 4,65

c. Aspek Sumber Daya Alam

Indonesia merupakan negara yang dianugrahi kekayaan alam

berlimpah. Kekayaan alam Indonesia terbentang dari Sabang

hingga Merauke, berupa sumber daya hutan, sumber daya

tambang minyak dan mineral, dan lain sebagainya.Sumber daya

hutan memegang peranan penting dalam meningkatkan

pendapatan, menciptakan kesempatan kerja, menghasilkan devisa

dan sebagai penghasil bahan baku industri. Hanya saja

pengelolaan hutan Indonesia masih sembrawut, yang ditandai

dengan maraknya praktek-praktek ilegal logging yang merugikan

negara milyaran rupiah, dan ekspolarasi hutan yang tidak

diimbangi dengan semangat melaksanakan reboisasi untuk

pelestarian hutan.

Seharusnya pelestarian hutan tetap dipertahankan agar

nantinya dapat dimanfaatkan kembali oleh generasi bangsa

Indonesia berikutnya. Hal lain yang juga memprihatinkan dalam

pengelolaan hutan kita adalah kebijakan pemerintah memberikan

28
izin pengelolaan hutan kepada perusahaan-perusahaan swasta

penuh dengan praktek-praktek KKN dan bersikap tidak adil pada

masyarakat di sekitar hutan, terlihat dari kondisi masyarakat

disekitar hutan masih banyak hidup dalam keterbelakangan

ekonomi. Kondisi ini menggambarkan hutan belum bisa menjadi

sumber daya yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat.

Pengelolaan sumber-sumber alam lain yang dimiliki

Indonesia, juga belum dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan

kesejahterakan rakyat, khususnya masyarakat yang hidup di

sekitarnya. Yang didapat masyarakat di sekitar justru hasil dari

kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang

dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang mengekpolarasi

sumber alam. Pencemaran lingkungan ini akan berpengaruh pada

gangguan kesehatan masyarakat sekitar untuk jangka panjang.

Sungguh keadaan yang menyedihkan, Indonesia negara

dengan kekayaan alam berlimpah, tetapi masyarakatnya masih

banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan dan terpapar

lingkungan yang tercemar, yang membahayakan kesehatan. Ini

semua karena kurangnya kepedulian dan penegakan hukum yang

belum ditaati. Pemerintah seharusnya lebih bijak di dalam

mengelola sumber-sumber alam, yang apabila dikelola dengan

baik, hasilnya dapat digunakan untuk pembiayaan yang bertujuan

mendukung Indonesia keluar dari kemiskinan.

29
d. Aspek Ideologi

Pancasila merupakan dasar ideologi dan pandangan hidup

bangsa Indonesia, yang didalamnya berisi nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia. Pancasila lebih menitikberatkan kepada perjuangan

melawan ketidakadilan, penderitaan, kemiskinan, dengan

menggunakan nilai yang telah ada seperti Ketuhanan, persatuan,

keadilan sosial, demokrasi dan humanisme. Pancasila bertujuan

mendorong seluruh rakyat Indonesia secara gotong-royong saling

membantu dan menciptakan kemakmuran secara menyeluruh.

Pancasila secara gamblang menentang sumber kemiskinan dan

penghisapan manusia atas manusia atau negara atas negara lain,

seperti yang diyakini oleh faham kapitalisme.

Seiring berjalannya waktu, Pancasila sebagai ideologi dan

pandangan hidup secara perlahan terdegradasi dan mulai luntur

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seiring dengan

semakin kuatnya pengaruh ideologi kapitalis, penyusupan ideologi

terjadi perlahan- lahan melalui sains dan teknologi termasuk

teknologi kedokteran yang dikuasai oleh negara- negara maju

khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sebagai

paham kapitalisme kendati memiliki tujuan akhir yang sama

(kesejahteraan), tetapi lebih menekankan kepada keuntungan

ekonomi tanpa memiliki rambu-rambu untuk mencegah

ketidakadilan.

30
Menghadapi derasnya pengaruh ideologi kapitalis, kita

sebagai bangsa yang ingin berdiri kokoh harus memegang teguh

pandangan hidup, dengan pandangan hidup yang jelas, suatu

bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman dalam memecahkan

masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Maka

sudah sepantasnya bangsa Indonesia memahami, menghayati, dan

mengamalkan Pancasila dalam semua segi kehidupan. Dengan

memahami, menghayatidan mengamalkan Pancasila, bangsa

Indonesia akan mampu menyaring nilai-nilai yang sesuai dengan

kepribadian bangsa dan menolak nilai-nilai yang merusak

kepribadian bangsa.

e. Aspek Politik

Dalam bidang politik, etika berpolitik yang ditunjukkan para

politikus tidak bisa lagi dikatakan sesuai dengan nilai-nilai

Pancasila. Para elit politik tidak lagi memikirkan kepentingkan

rakyat tetapi lebih mementingkan diri dan partainya. Para elit

politik membungkus kepentingannya dalam setiap kebijakan yang

dikeluarkan. Setiap kegiatan politik selalui dibumbui dengan

kecurigaan tentang kemungkinan adanya permainan uang dan

suap-menyuap.

Para elit politik kurang perhatian terhadap masalah-masalah

kemiskinan dan kesehatan, ini terlihat jarangnya para elit politik

menyuarakan masalah kemiskinan dan kesehatan. Tanpa adanya

31
kepedulian elit politik, sulit bagi bangsa ini untuk keluar dari

kungkungan kemiskinan dan derajat kesehatan yang masih rendah.

Peran Ormas dan LSM yang seharusnya memperjuangkan

masyarakat, justru menjadi alat pemicu bagi timbulnya situasi dan

kondisi tidak kondusif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,

juga menjadi alat politik untuk kepentingan partai tertentu. Begitu

juga dengan peran media massa, yang seharusnya memberikan

informasi, edukasi kepada masyarakat, sering menjadi media

provokasi partai tertentu, di samping mengejar keuntungan

finansial.

f. Aspek Ekonomi

Indonesia terletak pada jalur lalu lintas perdagangan bagi

negara-negara di Asia dan Australia, karena letak Indonesia yang

berada di antara dua benua dan dua samudera. Dari letak Indonesia

yang strategis seharusnya membawa dampak positif bagi

peningkatan perekonomian bagi Indonesia. Pada kenyataannya

sampai saat ini status Indonesia masih sebagai negara yang sedang

berkembang, tidak jauh berbeda dengan negara-negara di Afrika

yang kemiskinan masih menjadi tantangan utama pemerintah.

Perekonomian Indonesian semakin sulit sejak terjadi krisis

berkepanjangan yang berawal dari krisis moneter yang berlanjut

dengan krisis ekonomi, yang kemudian menjadi krisis multi

dimensial. Pada akhirnya untuk mengatasi krisis ini, pemerintah

32
mengeluarkan kebijakan utang luar negeri, agar pembangunan di

segala sektor tetap berjalan, termasuk sektor kesehatan. Dana yang

berasal dari utang luar negeri sebagian dipergunakan untuk

membiayai sebagian Program-Program Penanggulangan

Kemiskinan. Pada akhirnya untuk mengatasi krisis ini, pemerintah

mengeluarkan kebijakan utang luar negeri, agar pembangunan di

segala sektor tetap berjalan, termasuk sektor kesehatan. Dana yang

berasal dari utang luar negeri sebagian dipergunakan untuk

membiayai sebagian Program-Program Penanggulangan

Kemiskinan.

Pengelolaan utang luar negeri memerlukan perhatian serius,

karena bila tidak tertangani dengan baik akan, utang luar negeri

bisa menjerat bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka dan

berdaulat menjadi bangsa yang sangat bergantung dan berada di

bawah tekanan ekonomi, politik, serta budaya dari negara-negara

kaya yang menjadi donor atas utang bangsa Indonesia.

g. Aspek Sosial Budaya

Dahulu bangsa Indonesia terkenal ramah tamah dan berbudi

luhur, sejalan dengan adanya krisis moneter, telah merubah bangsa

Indonesia menjadi bangsa yang mudah marah, beringas, perusak,

penjarah sehingga seringkali terjadi bentrok-bentrok sosial dalam

negeri yang terus meningkat akibat kesenjangan dan kecemburuan

sosial yang kian luas dan menajam, di Indonesia dari 219 juta

33
penduduk Indonesia, 100 juta penduduk hidup di bawah garis

kemiskinan. Mereka yang super kaya mendiami rumah-rumah

super mewah, dan lebih memilih pengobatan ke luar negeri,

sementara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan hidup di

gubuk-gubuk reyot dan tidak mampu memperoleh pelayanan

kesehatan dasar. Kondisi seperti inilah yang terjadi di Indonesia,

jurang pemisah sangat lebar antara si miskin dan si kaya.

Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan, perlu ada upaya dari

semua komponen bangsa untuk bersama-sama menciptakan

kondisi untuk mempersempit jurang pemisah antara masyarakat

mampu dan masyarakat miskin. Di sini sektor kesehtan juga

berperan mempersempit jurang pemisah antara masyarakat mampu

dan masyarakat miskin dengan menyediakan kemudahan bagi

masyarakat miskin untuk mengakses pelayanan kesehatan, salah

satunya dengan dengan penyediaan sarana kesehatan yang

jaraknya dekat dengan masyarakat yang membutuhkan, yang

ditunjang dengan SDM yang memadai dan tarif yang terjangkau.

h. Aspek Pertahanan Keamanan

Kemiskinan berimplikasi pada instabilitas keamanan.

Stabilitas keamanan yang buruk tidak bisa disangkal sangat

merugikan bagi keberlangsungan pembangunan di semua sektor

termasuk sektor kesehatan, karena instabilitas keamanan akan

mengurangi kepercayaan investor yang akan berinvestasi di

34
Indonesia. Instabilitas keamanan yang banyak terjadi di negara

kita adalah tindak kejahatan dengan kekerasan yang akhir-akhir ini

cukup meresahkan masyarakat. Keterbatasan jumlah personil

kepolisian mengesankan lambannya penanganan tindak kejahatan.

Rakyat Indonesia harus mawas diri, menghadapi kondisi ini,

dan kendala ini maka sudah sewajarnya pemerintah dan para elit

politik mewujudkan Sistem Pertahanan dan Keamaan Rakyat

Semesta (Sishankamrata) yang diamanatkan GBHN.

Sishamkamrata berazaskan kerakyatan, kewilayahan, dan

kesemestaan, berakar semangat kekeluargaan, kebersamaan, dan

gotong royong, yang menjadi ciri khas rakyat Indonesia.

Upaya penciptaan situasi aman di Republik ini juga

memerlukan peran elit politik dalam bersikap dan berperilaku

hendaknya tidak kontra produktif dalam memprovokasi

masyarakat untuk melakukan hal-hal yang justru merugikan

bangsa dan negara. Para elit politik dan kaum intelektual harus

memiliki pemahaman yang jernih tentang Pancasila, UUD 45,

serta Sishamkamrata dan upaya bela negara. Selain itu yang tidak

kalah pentingnya adalah fungsi aparat penegak hukum dalam

menegakkan kebenaran dan keadilan.seperti diuraikan dalam tabel

di bawah ini, (dikutip dari laporan Tim Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan)

35
Pengelolaan utang luar negeri memerlukan perhatian serius,

karena bila tidak tertangani dengan baik akan, utang luar negeri

bisa menjerat bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka dan

berdaulat menjadi bangsa yang sangat bergantung dan berada di

bawah tekanan ekonomi, politik, serta budaya dari negara-negara

kaya yang menjadi donor atas utang bangsa Indonesia.

2. Sejarah Singkat MDG’s

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melenium Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara

anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala negara sepakat

untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun

komitmen para pemimpin dunia yang tidak pernah ada sebelumnya untuk

menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi dan

kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam konteks inilah, negara-

negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan

Milenium (Millenium Development Goals). Setiap tujuan memiliki satu

atau beberapa target beserta indikatornya. MDGs menempatkam

pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki

tengat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan pada

konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab

negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka,

sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

36
a. Target MDGs

Setiap Tujuan Pembangunan Milenium memiliki satu atau

beberapa target beserta indikatornya.Berikut ini tujuan dan target

serta indikator MDGs:

1. Tujuan 1: Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan

 Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat

pendapatannya di bawah US$ 1 perhari menjadi

setengahnya antara 1990-2015.

 Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita

kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015.

2. Tujuan 2:Mencapai pendidikan dasar untuk semua.

 Target 3: Memastikan tahun 2015 semua anak laki-laki dan

perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar.

3. Tujuan 3: Mendorong kesadaran gender dan pemberdayaan

perempuan.

 Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat

pendidikan dasar dan lanjutan tahun 2005 dan di semua

jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.

4. Tujuan 4: Menurunkan angka kematian anak.

 Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua

pertiganya antara 1990-2005.

37
5. Tujuan 5: Meningkatkan kesehatan ibu.

 Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga

perempatnya antara 1990- 2015.

6. Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS/Malaria dan penyakit

menular lainnya.

 Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai

menurunkan kasus baru pada tahun 2015.

 Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai

menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya

pada tahun 2015.

7. Tujuan 7: Memastikan keberlangsungan lingkungan hidup

 Target 9: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta

mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang.

 Target 10: Menurunkan sebesar separuh proporsi penduduk

tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan

berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015.

 Target 11: Mencapai pembangunan yang berarti dalam

kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada

tahun 2020.

8. Tujuan 8: Mengembangkan kemitraan global dalam

pembangunan.

38
 Target 12: Mengembangkan kemitraan global

menanggulangi kebutuhan negara-negara berkembang

dalam hal perdagangan dan keuangan, utang negara

berkembang pengadaan laporan pelaksanaan keterlibatan

sektor swasta dalam hal penyediaan obat-obatan yang

terjangkau dan mengunakan tehnologi baru khususnya

tehnologi informasi dan komunikasi.

b. Tantangan Pelaksanaan MDGs

Tekad pemerintah untuk merealisasikan target MDGs pada

tahun 2015, memerlukan komitmen dari semua pihak yang terkait

dalam pembuatan kebijakan, program dan pelaksana di lapangan

serta masyarakat yang menjadi sasaran MGDs. Salah satunya adalah

pembuatan Kebijakan Kesehatan. Kebijakan ini harus bisa menjadi

alat strategis untuk mencapai tujuan yang tertuang dalan MDGs yang

terkait dengan masalah kesehatan masyarakat miskin. Yang menjadi

tantangan, dengan kondisi kesehatan Indonesia yang masih rendah

saat ini, mampukah kebijakan kesehatan yang ada saat ini berfungsi

menambah daya ungkit untuk meningkatkan secara optimal kondisi

kesehatan saat ini.

c. Kajian Pelaksanaan Kebijakan Kesehatan Nasional dalam

Mendukung MDG’s terhadap Kesehatan Masyarakat Miskin

Penulis mencoba mengkaji apakah pelaksanaan Kebijakan

Kesehatan Nasional sudah cukup mendukung realisasi komitmen

39
MDGs yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat miskin. Dari

pengetahuan dan penilaian penulis terhadap kebijakan yang

mendukung pelaksanaan Program pelayanan kesehatan untuk

masyarakat miskin, yang telah ada sejak tahun 1998, banyak isu-isu

yang muncul sehubungan dengan pelaksanaannya, diantaranya

adalah:

1. Isu tidak tepatnya sasaran dalam penentuan keluarga miskin

2. Isu pembiayaan yang kurang memadai

3. Isu mutu dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata

4. Isu pembiayaan yang kurang memadai

5. Isu upaya kesehatan kuratif lebih ditonjolkan

Isu-isu ini akan sangat mempengaruhi kualitas dan efisiensi

pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Di bawah ini penulis

mencoba membahas isu-isu tersebut.

1. Tidak tepatnya sasaran dalam penentuan keluarga miskin

Prediksi membengkaknya jumlah penduduk miskin tahun

2005 mudah kita pahami karena ketidakpastian ekonomi, seperti

kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan membuat

masyarakat yang berada dalam kelompok miskin akan terpuruk

dalam katogeri kemiskinan absolut, yakni kelompok masyarakat

yang berada di bawah garis kemiskinan.

Program JPKMM, dalam penetapan sasarannya

menggunakan definisi kemiskinan BPS, dimana BPS spesifik

40
untuk melihat miskin dari sudut pandang ekonomi. Sedangkan

Depkes sendiri mempunyai definisi yang berbeda untuk melihat

kemiskinan, dengan lebih melihat miskin dari sudut pandang

kemampuan akses terhadap pelayanan kesehatan. Perbedaan ini

sangat berpengaruh pada perbedaan besaran penduduk miskin.

Perbedaan yang cukup besar ini akan berakibat fatal dalam

kebijakan dan pendanaan penduduk miskin jika pemerintah

salah menafsirkan data tersebut. Sebagai contoh adalah bila

suatu keluarga diindikasikan tidak miskin menurut versi BPS

(karena penghasilannya sedikit diatas ketentuan kriteria miskin

BPS), maka bila keluarga tersebut sakit dan harus dirawat inap

di rumah sakit, pasien tersebut sudah dipastikan tidak akan

sanggup membayar biaya pengobatan dan membatalkan

perawatannnya karena tidak ada jaminan bebas biaya. Kondisi

seperti ini tentunya akan menghambat realisasi pencapaian

target pemerintah dalam mewujudkan peningkatan derajat

kesehatan masyarakat miskin.

Setelah ditetapkan sasaran masyarakat miskin, permasalahan

lain adalah keterlambatan distribusi, pengawasan distribusi yang

lemah, adanya non-gakin yang meminta kartu sehat/askeskin,

penyalahgunaan kartu sehat pada saat berobat oleh non-gakin.

Menurut penelitian Litbangkes dan Bappenas (2001), 20 % kartu

sehat yang salah sasaran.

41
Semua permasalahan di atas akan berdampak pada inefisiensi

penggunaan dana, untuk menanggulanginya perlu ditingkatkan

kualitas koordinasi dari pihak-pihak yang terkait, perlu adanya

sanksi-sanksi tegas bagi nongakin yang meminta kartu

sehat/askeskin.

2. Pembiayaan yang kurang memadai

Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu

hanya rata-rata 2,2% dari (GDP), masih jauh dari anjuran WHO

yakni paling sedikit 5% dari GDP per tahun. Sementara dari

total pembiayaan yang dibutuhkan pemerintah hanya mampu

membiayai 30% saja selebihnya berasal dari swasta.

Pengalokasian anggaran kesehatan dari pusat ke daerah, dengan

adanya kebijakan desentralisasi melalui Dana Alokasi Umum

(DAU) yang berbasis pada formula yang ditetapkan berdasarkan

pada potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal oleh suatu

daerah. Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak

hanya ke provinsi tetapi sampai ke sekitar 400-an

kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini merupakan perkembangan

baru untuk fungsi pemerintahan daerah di sektor kesehatan,

yaitu harus merencanakan dan menganggarkan program

kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk

mendapatkannya.

42
Inggris mengalokasikan dananya sebesar 7,3% dari GDP

(th.2000). Pembiayaan pelayanan kesehatan umum dari pajak

(81,5%) dan National Insurance (12,2%). Australia

mengalokasikan pembiayaan kesehatan sebesar 8,4% dari GDP

(th.1998). Biaya pembelanjaan kesehatan 70% di-cover oleh

pemerintah, yang 48% dari total pembelanjaan dibiayai

pemerintah persemakmuran sebagai pendana utama.

Kecilnya alokasi dana untuk sektor kesehatan menunjukkan

kecilnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat

termasuk kesehatan masyarakat miskin. Sistem pembiayaan

program pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di era

desentralisasi, dapat mendorong peningkatan pelayanan

kesehatan masyarakat kearah positif dan negatif sekaligus.

Mengapa demikian? Karena dalam kerangka desentralisasi,

pemerintah pusat telah memberikan kewenangan pada

pemerintah daerah tingkat I dan II untuk menjabarkan kebijakan

tersebut. Termasuk mendapat kewenangan untuk

mengalokasikan anggaran, merencanakan dan melaksanakan

program pembangunan kesehatan.

Pemerintah Pusat hanya sebagai regulator penentu arah

kebijakan. Permasalahnya adalah kemampuan pemerintah

daerah tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainya.

Sehingga dalam mengalokasikan anggaran kesehatan bervariasi

43
antar propinsi/kabupaten/kota tergantung kekuatan pembiayaan

daerahnya masing-masing. Dampaknya daerah yang sumber

PAD-nya kecil, kesulitan untuk membiayai pelayanan kesehatan

untuk masyarakat miskin di daerahnya. Pada akhirnya akan

mempengaruhi peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara

keseluruhan.

3. Mutu dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata

Sumber daya manusia adalah ancaman bagi pelaksanaan

program JKPMM apabila tidak dikelola dengan seksama.

Tenaga kesehatan yang ada di Indonesia belum dikelola dengan

tepat, hal terlihat pada tidak meratanya distribusi tenaga

kesehatan antara daerah yang maju dengan daerah yang

terbelakang.

Pendistribusian tenaga kesehatan yang merata sangat penting

karena berkaitan dengan pemberian pelayanan kesehatan bagi

keluarga miskin, yang justru kantong-kantong kemiskinan

terkonsentrasi pada daerah-daerah yang terbelakang. Dengan

adanya desentralisasi, perencanaan tenaga kesehatan sudah

berada di tingkat kabupaten/kota tetapi belum semua daerah

mampu melaksanakannya, akibatnya permasalah klasik tidak

meratanya tenaga kesehatan di Indonesia belum terpecahkan.

Mutu tenaga kesehatan di Indonesia juga menentukan

keberhasilan program kesehatan yang dijalankan, mutu tenaga

44
kesehatan harus selalu mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan berusaha untuk menguasai iptek

yang mutakhir. Di samping itu, mutu sumber daya tenaga

kesehatan ditentukan pula oleh nilai-nilai moral yang dianut dan

diterapkan dalam menjalankan tugas.

4. Upaya kesehatan kuratif lebih ditonjolkan daripada promotif dan

preventif

Dalam merumusankan program JPKMM, terlihat penerapan

subsistem upaya kesehatan dalam SKN belum diterapkan

sepenuhnya, ini terlihat dari penyelenggaraan program banyak

berupa kegiatan-kegiatan kuratif, sesungguhnya upaya untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat miskin juga harus

lebih menitikberatkan kegiatan promotif dan preventif. Di era

desentralisasi ini penerapan Subsistem Upaya Kesehatan belum

sepenuhnya berjalan dengan baik, dalam melaksanakan tugas

pelayanan kesehatan yang menyangkut lintas batas sering

menemui kendala dalam pembiayaan karena belum samanya

persepsi dalam penentuan prioritas masalah kesehatan diantara

pemerintah kabupaten/kota.

Sistem layanan kesehatan berjenjang sudah diatur dalam

subsistem Upaya Kesehatan tetapi belum terlaksana dengan baik

karena belum adanya ketentuan yang mengaturnya.

45
Untuk lebih mengembangkan subsistem Upaya Kesehatan,

Departemen Kesehatan sudah harus mempunyai standar

nasional untuk pemantauan mutu pelayanan. Sementara

ditingkat pemerintah daerah, Dinas Kesehatan lebih

meningkatkan pelayanan dan kegiatan yang mengandung unsur

public goods misalnya kegiatan preventif dan promotif,harus

mampu berfungsi sebagai perancang sistem kesehatan

wilayah,pemantau mutu pelayanan, dan penjaga sistem rujukan

kesehatan.

46
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia termasuk salah satu Negara berkembang. Negara

berkembang adalah negara yang belum keseluruhan rakyatnya menikmati taraf

hidup yang layak. Secara tidak langsung berdampak pada masalah kesehatan.

Masyarakat di negara berkembang belum dapat menjangkau akses kesehatan yang

layak. Lain halnya dengan negara maju.

Salah satu penyakit yang ada di Negara berkembang adalah diare. Faktor

resiko terjadinya diare adalah perilaku dan lingkungan.

Berdasarkan pendekatan epidemiologi dapat di analisa faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadi diare yang terkait dengan kemiskinan, diantaranya:

1. Epidemiologi Deskriptif

a. Variable Orang

1) Umur

Golongan umur yang rentan terkena diare adalah bayi dan

balita. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) pada

Tahun 2007, penderita diare di Indonesia berasal dari semuaumur,

tetapi prevalensi tertinggi penyakit diare diderita oleh balita dan

disusul oleh lansia yang berusia lebih dari 75 tahun.

2) Status gizi

Status gizi berpengaruh pada diare. Terkait dengan golongan

umur, pada anak yang kurang gizi karena pemberian makanan

47
yang kurang, episode diare akut lebih berat, berakhir lebih lama

dan lebih sering. Jika dikaitkan dengan kemiskinan, pendapatan

ekonomi yang rendah pada setiap keluarga, akan mempengaruhi

asupan gizi yang dikonsumsi per harinya.

3) Faktor pendidikan

Pendidikan termasuk salah satu indicator kemiskinan.

Pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang

tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak.

4) Faktor social ekonomi

Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap

faktor-faktor penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita

diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang rendah,

kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih

yang memenuhi persyaratan kesehatan.

b. Variable Tempat

1) Faktor lingkungan

Pertumbuhan penduduk di Negara berkembang akan

mempengaruhi terjadinya diare. Penduduk yang terlalu padat di

suatu daerah akan berdampak pada sanitasi lingkungan yang buruk

dan penyediaan air bersih yang tidak memadai. Hal ini akan

mempengaruhi angka kejadian diare.

48
2) Kondisi pembuangan kotoran dirumah

Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang akibat dari

pembuangan kotoran (tinja) sembarangan akan menimbulkan

berbagai macam penyakit. Rumah yang tidak memiliki system

pembuangan kotoran (tinja) termasuk ke dalam rumah tidak sehat.

Ekonomi dan pendidikan akan mempengaruhi persepsi individu

untuk memilih tempat tinggal dan kebiasaan yang tentunya sangat

berpengaruh terhadap terjadinya penyakit diare.

c. Variable Waktu

1) Musim hujan

Musim hujan dapat menimbulkan kejadian penyakit diare lebih

tinggi karena musim hujan akan menjadikan udara dan tanah

menjadi lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan atau

penyakit (kuman, virus, dan bakteri penyebab diare akan lebih

cepat berkembang). Selain itu semakin banyaknya genangan air

dan banjir yang telah tercemar dengan bakteri dari tinja seperti

Escherichia Coli juga dapat menyebabkan penyakit diare.

2) Musim kemarau

Musim kemarau juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit

diare, terutama kemarau yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan

karena pada musim kemarau yang berkepanjangan dapat

menyebabkan kekeringan dan kondisi ini akan menyebabkan

ketersediaan air bersih semakin sulit. Dengan terbatasnya air

49
bersih maka penggunaan air dengan kualitas yang tidak memenuhi

standar kesehatan akan menyebabkan penyakit diare.

2. Epidemiologi Analitik

Determinan merupakan faktor, baik fisik, biologis, sosial, kultural,

dan perilaku, yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit. Secara

umum faktor risiko Diare pada dewasa yang sangat berpengaruh

terjadinya penyakit Diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih ,

jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku

hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran

pencernaan, alergi, malabsorpsi, keracunan, immuno defisiensi serta

sebab-sebab lain.

Sedangkan pada balita faktor risiko terjadinya Diare selain

factor intrinsik dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh prilaku ibu

atau pengasuh balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya

sendiri dan sangat tergantung pada lingkungannya, jadi apabila ibu balita

atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat

maka kejadian Diare pada balita tidak dapat dihindari.

B. Saran

Intervensi dari program penyakit Diare yaitu pengembangan model promosi

kesehatan terpadu dan terkoordinir antara stakeholders dan petugas di puskesmas

sehingga dapat meningkatkan peran serta masyarakat Sedangkan untuk implikasi

50
praktis berkaitan dengan kontribusinya dari temuan penelitian terhadap penguatan

pelaksanaan program promosi kesehatan adalah :

1. Pengelolaan promo kesehatan terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi dalam implementasinya perlu disuaikan dan dikembangkan sesuai

dengan karaktaristik wilayah dan program yang dilaksanakan.

2. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tentang potensi masyarakat dan

sumber daya manusia agar output yang dihasilkan benar-benar dapat

meningkatkan pemahaman pada masyarakat.

Saran yang kelompok berikan terhadap program penyelenggaraan Diare

antara lain :

1. Kegiatan promosi kesehatan direncanakan dengan baik secara rutin dan

berlanjut.

2. Materi untuk promosi kesehatan sebaiknya difokuskan untuk

menghilangkan berbagai anggapan yang kurang tepat mengenai diare,

mencakup pengaruh lingkungan dan pemberian air susu ibu terhadap

terjadinya diare dengan proses perencanaan kegiatan yang dilakukan

secara terpadu dengan program-program yang lain. Sumber informasi yang

dapat memberikan promosi kesehatan adalah petugas kesehaan, tetapi

dengan adanya keterbatasan jumlah petugas kesehatan maka diperlukan

peningkatan peran kader kesehatan melalui cv pelatihan dan pembirian

pelatihan dan pembinaan kader agar dapat menjadi promotor kesehatan di

lingkungan masing-masing.

51
3. Proses perencanaan dan pelaksanaan program sebaiknya dilakukan dengan

koordinasi antara puskesmas dengan dinas kesehatan sehingga tidak terjadi

perencanaan dan pendanaan ganda.

4. Sebaiknya ditunjuk petugas yang menangani promosi kesehatan tanpa

tugas rangkap dengan program lain dan memilki latar belakang di bidang

promosi kesehatan.

5. Media yang sebaiknya dipergunakan adalah keterangan tertulis baik

berupa leaflet, booklet maupun folder yang dapat dipelajari bersama-sama

dan dibaca ulang lagi apabila dibutuhkan.

6. Untuk mengatasi kebiasaan masyarakat menggunakan mandi, cuci,

kakusdi sungai perlu adanya strategi khusus penyadaran hidup sehat.

7. Pelatihan modul promosi kesehatan terpadu pada stakeholders dan petugas

Puskesmas.

52
DAFTAR PUSTAKA

http://www.menegpp.go.id/v2/index.php/datadaninformasi/ketenagakerjaan?down

load=14%3Akemiskinan

http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/

http://www.korantempo.com/korantempo/2006/12/19/Opini/krn,20061219,68.id.h

tml.

http://id.wikipedia.org/kemiskinan/html.

http://eone87.wordpress.com/konsepkemiskinan&penanggulangannya/html.

http://www.bbc.co.uk/indonesian/definisikemiskinandanjumlah/html.

Statistic Indonesia, 2011, BPS Publication on www.statistik.go.id

53

Anda mungkin juga menyukai