Anda di halaman 1dari 15

A.

STBM
1. Latar Belakang Terbentuknya STBM
Program sanitasi total berbasis masyarakat, diantaranya berangkat dari latar
belakang kegagalan berbagai program pembangunan sanitasi selama ini. Jika boleh
mengutip, ini mungkin beberapa diantaranya:
a. Indonesia kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per
orang per tahun karena sanitasi yang buruk. Lebih dari 94 juta penduduk
Indonesia (43% dari populasi) tidak memiliki jamban sehat dan hanya 2%
memiliki akses pada saluran air limbah perkotaan. Sebagai akibat dari sanitasi
yang buruk ini, diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak
121.100 kejadian dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya.
Dampak kesehatan tahunan dari sanitasi yang buruk adalah sebesar Rp 139.000
per orang atau Rp 31 triliun secara nasional (WSP, 2007).
b. Dan lebih dari tiga puluh tahun, akses terhadap sanitasi di pedesaan tidak
berubah. Berdasarkan Joint Monitoring Program WHO-UNICEF, akses terhadap
sanitasi di pedesaan tetap pada angka 38 %. Dengan laju perkembangan seperti
ini, Indonesia akan gagal untuk mencapai target Millenium Development
Goals (MDG) untuk Sanitasi (WSP, 2008).
Sementara kenyataan dilapangan sendiri, misalnya masih banyak sarana yang
dibangun tidak digunakan dan dipelihara oleh masyarakat. Juga cakupan akses pada
sanitasi yang tidak kunjung merangkak naik dalam sekian kurun waktu. Beberapa
faktor dapat menjadi penyebab kegagalan tersebut, diantaranya adalah kurangnya
keterlibatan masyarakat dalam segala proses pelaksanaannya, serta kurangnya
demand atau kebutuhan masyarakat.
Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, kemudian dikenalkan
metode Community Led Total Sanitation (CLTS). Metode ini melakukan pendekatan
dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek, dan dilakukan stimulasi kepada
mereka untuk melakukan self assesment terhadap kondisi sanitasi pada komunitas
mereka. Tahap selanjutnya adalah memicu mereka untuk berubah pada kondisi
sanitasi yang lebih baik.
Metode CLTS merupakan pendekatan perubahan perilaku hygiene dan sanitasi
secara kolektif melalui pemberdayaan masyarakat dengan metoda pemicuan. Langkah
awal perubahan perilaku dengan pemicuan untuk meningkatkan akses terhadap sarana
sanitasi yang difasilitasi oleh pihak diluar komunitas sehingga masyarakat dapat
mengambil keputusan untuk meningkatkan akses terhadap sarana jamban berdasarkan
analisa kondisi lingkungan tempat tinggal dan resiko yang dihadapinya. (Manual
pelaksanaan Program Sanitasi Total & Pemasaran Sanitasi (SToPS), 2008).
Pendekatan Community Led Total Sanitasi (CLTS), diperkenalkan di Indonesia
pada tahun 2005. Fokus pembangunan adalah pencapaian outcome perubahan
perilaku secara kolektip masyarakat dibantu dengan pendekatan yang tepat-guna
untuk memicu perubahan. Hal ini selaras dengan keyakinan masyarakat mencapai
tujuan outcome adalah lingkungan yang bebas dari buang air disembarang tempat.
(Manual pelaksanaan Program Sanitasi Total & Pemasaran Sanitasi (SToPS), 2008).
Adapun Bentuk Gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yaitu :
Metode CLTS merupakan pendekatan perubahan perilaku hygiene dan sanitasi secara
kolekktif melalui pemberdayaan masyarakat dengan pemicuan beserta ciri khususnya
yaitu tanpa subsidi fisik, memanfaatkan potensi lokal, mendorong masyarakat untuk
menentukan jamban pilihanya, dan dilakukan secara total oleh masyarakat. Fokus
pembangunan adalah pencapaian outcome perubahan perilaku secara kolektif
masyarakat dibantu dengan pendekatan yang tepat guna untuk memicu perubahan.
Hal ini selaras dengan keyakinan masyarakat mencapai tujuan outcome adalah
lingkungan yang bebas dari buang air besar disembarang tempat.
Sedangkan dasar pelaksanaan STBM adalah Keputusan Menteri Kesehatan nomor
852/MENKES/SK/IX/2008 Tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat. Sejarah lahirnya pedoman ini antara lain didahului dengan adanya
kerjasaman antara pemerintah dengan Bank Dunia berupa implementasi proyek Total
Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) atau Sanitasi Total dan pemasaran
sanitasi (SToPS). Kemudian pada tahun 2008 lahir sanitasi total berbasis masyarakat
(STBM) sebagai strategi nasional. Strategi ini pada dasarnya dilaksanakan dalam
rangka memperkuat upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat, mencegah
penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan masyarakat,
serta mengimplementasikan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan akses air
minum dan sanitasi dasar yang berkesinambungan dalam pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015. (Depkes RI, 2008)
2. Pengetian
STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) adalah pendekatan dengan proses
fasilitasi yang sederhana yang dapat merubah sikap lama, kewajiban sanitasi menjadi
tanggung jawab masyarakat. Dengan satu kepercayaan bahwa kondisi bersih, nyaman
dan sehat adalah kebutuhan alami manusia. Pendekatan yang dilakukan dalam STBM
menyerang/menimbulkan rasa ngeri dan malu kepada masyarakat tentang kondisi
lingkungannya. Melalui pendekatan ini kesadaran akan kondisi yang sangat tidak
bersih dan tidak nyaman di timbulkan. Dari pendekatan ini juga ditimbulkan
kesadaran bahwa sanitasi (kebisaan BAB di sembarang tempat) adalah masalah
bersama karena dapat berimplikasi kepada semua masyarakat sehingga
pemecahannya juga harus dilakukan dan dipecahkan secara bersama.
Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia, STBM adalah
pendekatan untuk merubah perilaku hygiene dan sanitasi melalui pemberdayaan
masyarakat dengan metode pemicuan.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat adalah suatu strategi/program yang menitik
beratkan pada pencapai kondisi sanitasi total masyarakat melalui perubahan perilaku
higeinis, dengan melibatkan (memberdayakan) seluruh komponen di dalam
masyarakat.
Sanitasi Total yang dipimpin oleh Masyarakat (STBM/Community Lead Total
Sanitation) melibatkan fasilitasi atas suatu proses untuk menyemangati serta
memberdayakan masyarakat setempat untuk menghentikan buang air besar di tempat
terbuka dan membangun serta menggunakan jamban.
3. Maksud dan Tujuan
Strategi Total Berbasis masyarakat ini merupakan acuan dalam penyusunan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi yang terkait dengan sanitasi
total berbasis masyarakat.
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat mengandung strategi
nasional yang menginduk dan menjadi kelengkapan bagian dari pada Kebijakan
Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat (AMPL-BM).
Tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan masalah air minum, higiene
dan sanitasi masih sangat besar. Hasil studi Indonesia Sanitation Sector Development
Program (ISSDP) tahun 2006, menunjukkan 47% masyarakat masih berperilaku
buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka.
Untuk itu maksud dan tujuan dari STBM tersebut untuk meningkatkan kesadaran
akan kondisi yang sangat tidak bersih dan tidak nyaman di timbulkan.
Metode pemberdayaan masyarakat (dengan metode CLTS) sebagai inti gerakan
STBM ini, bertujuan untuk memicu masyarakat untuk memperbaiki sarana sanitasi,
dengan adanya pemicuan ini target utama dapat tercapai yaitu: merubah perilaku
sanitasi dari masyarakat yang masih melakukan kebiasaan BAB di sembarang tempat.
Faktor-faktor yang harus dipicu beserta metode yang digunakan dalam kegiatan
STBM untuk menumbuhkan perubahan perilaku sanitasi dalam suatu komunitas
(Depke RI, 2008).
Berbagai faktor yang harus dipicu beserta cara pelaksanaannya antara adalah
rasa jijik, rasa malu, membangkitkan rasa takut sakit, serta sentuhan pada aspek
agama terkait dogma dan dalil buang air besar sembarangan. Sedangkan metode yang
dipakai untuk membangkitkan kondisi komunitas ini antara lain dengan transect walk
dengan sasaran tempat BAB terbuka yang masih dilakukan oleh masyarakat, demo air
dengan kandungan tinja, perhitungan bersama terhadap jumlah tinja yang berada di
sekitar masyarakat, pemetaan rumah warga yang belum akses jamban, belajar
bersama proses dan alur kontaminasi oleh tinja. Berbagai tool tersebut dilakukan
dengan teknik focus group discussion (FGD).
STBM juga memiliki tujuan pemicu pada anak-anak, diantaranya :
1. Anak-anak tidak lagi bab sembarangan;
2. Anak-anak mengetahui akibat dari bab sembarangan;
3. Anak-anak mengetahui jenis penyakit yang diakibatkan oleh bab
sembarangan;
4. Anak-anak berpartsisipasi dalam rangka membangun sanitasi di
lingkungannya;
5. Anak-anak bisa melindungi diri dari :
a. penyakit ( diare, malaria, penyakit kulit);
b. pelecehan seksual dari terlihatnya aurat ketika bab ditempat terbuka;
c. bahaya binatang buas seperti ular;
d. terinjaknya harga diri (terutama anak perempuan).
B. INDIKATOR KEMISKINAN
Kemiskinan pada dasarnya di definisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang
atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Indikator utama kemiskinan menurut BAPPENAS dapat dilihat dari :
1. kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak;
2. terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif;
3. kuranya kemampuan membaca dan menulis;
4. kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
5. kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi;
6. ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah;
7. akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.

Indikator kemiskinan Menurut Bank Dunia indikator kemiskinan yaitu:


1. kepemilikan tanah dan modal yang terbatas;
2. terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota
3. perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat
4. perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi
5. rendahnya produktivitas
6. budaya hidup yang jelek
7. tata pemerintahan yang buruk
8. dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar


minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakara
Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu kebutuhan gizi 2.100 kalori per orang per hari,
sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan
papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Model ini pada intinya
membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan suatu garis kemiskinan (GK), yaitu
jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Sedangkan data yang digunakan
adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas).

Dalam kehidupan masyarakat yang tergolong klarifikasi penduduk miskin


berdasarkan kemampuannya memenuhi kebutuhan hidupnya, menurut Badan Pusat
Statistik :

1. Penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi


makanan hanya mencapai 900/kalori/orang/hari ditambah kebutuhan dasar atau setara
dengan Rp. 120.000/orang/hari.
2. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya
mencapai antara 1900/2100 kalori/orang/hari ditambah kebutuhan dasar atau setara
dengan Rp. 120.000-Rp. 150.000/orang/bulan.
3. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi
makanan hanya mencapai 2100/23000 kalori/orang/hari dan kebutuhan dasar atau
setara dengan Rp. 150.000-Rp. 175.000/orang/bulan.
Menurut BPS (2007), keluarga yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata
pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang layak bagi
kemanusiaan dengan ciri-ciri atau kriteria sebagai berikut :
1. Pembelanjaan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari
Rp.175.324 untuk masyarakat perkotaan, dan Rp.131.256 untuk masyarakat pedesaan
per orang per bulan di luar kebutuhan non pangan;
2. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah dan tidak ada keterampilan;
3. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK;
4. Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya;
5. Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan; dan
6. Akses informasi (koran, radio, televisi, dan internet) terbatas.
Indikator kemiskinan seluruhnya dari BPS yaitu :
1. Headcount Index: mengukur persentase penduduk miskin terhadap total penduduk
2. Indeks Kedalaman Kemiskinan/ Poverty Gap Index: merupakan ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran
penduduk dari garis kemiskinan.
3. Indeks Keparahan Kemiskinan/ Poverty Severity Index: semakin tinggi nilai indeks,
semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin
Ukuran tingkat kemiskinan :
Formula Foster –Greer- Thorbecke [FGT]
Menurut WHO, 2003, dinyatakan apabila suatu keluarga membelanjakan
pendapatannya diluar makan dan minum lebih dari 40% dari total pengeluarannya, maka
akan dikategorikan keluarga tersebut menjadi katastropik atau bangkrut akibat
pengeluaran kesehatannya. Secara nominal, biaya kesehatan yang melampaui ambang
batas tersebut akan mengurangi nilai nominal pendapatan keluarganya (Household
Income), sehingga ada beberapa keluarga yang secara statistik akan berada pada situasi
kemiskinan (dibawah ambang batas kemiskinan nasional ataupun internasional 1.08$ per
hari).
Berdasarkan penjelasan mengenai indicator kemiskinan di atas, dapat disimpulkan
bahwa di Indonesia untuk mengetahui jumlah angka kemiskinan mengunakan lima versi
indikator kemiskinan, sebagai berikut :
1. Versi Bank Dunia; kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan yang
diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal UU$ 2 per hari
2. Versi International Labour Organization (ILO); Yaitu orang miskin di pedesaan jika
pendapatan maksimal US$ 0,8.
3. Versi BKKBN yang mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator 1) Tidak dapat
menjalankan ibadah menurut agamanya, 2) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua
kali sehari, 3) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk di
rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, 4) Bagian terluas rumahnya terdiri atas
tanah, 5) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan.
4. Versi Dinas Kesehatan menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan
pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan
makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami
pemutusan hubungan kerja atau tidak.
5. Versi BPS mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang dari
2100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan minimal non makanan (sandang, papan,
kesehatan, dan pendidikan). Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan
penghasilan Rp. 175.324,- per bulan sebagai batas miskin perkotaan dan Rp.
131.256,- di pedesaan.
PENJELASAN :
Penentuan indikator di dalam bidang kesehatan, adalah :
1. angka kematian bayi
2. angka kematian balita
3. angka kematian ibu melahirkan
4. prevalensi balita kekurangan gizi
Dari bermacam-macam indicator kemisinan yang di jelaskan di atas, akan
diuraikan indicator yang tepat digunakan di biang kesehatan, diantara :
1. Kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak.
Indikator yang direkomendasikan oleh Widyakara Pangan dan Gizi tahun 1998
yaitu kebutuhan gizi 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan
non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk
pendidikan dan kesehatan.
Kebutuhan pangan seseorang atau asupan yang diperoleh setiap individu harus
mencukupi kebutuhan gizinya. Hal ini jika tidak terpenuhi maka akan berdampak
pada kekurangan gizi pada seseorang terutama anak-anak. Gizi kurang termasuk salah
satu masalah kesehatan.
Kebutuhan sandang juga tidak kalah penting untuk kesejahteraan hidup individu.
Anggota yang tidak mempunyai pakaian yang berbeda untuk bekerja, di rumah,
sekolah maupun berpergian dapat digolongkan miskin. Jika di lihat dari segi
kesehatan, individu yang kekurangan sandang akan mempengaruhi perilaku hidup
bersih dan sehat.
Lingkungan tempat tinggal akan menjadi pusat perhatian pertama di lingkungan
social. Kebutuhan papan yang tidak dapat terpenuhi akan berpengaruh terhadap
kesehatan. Jika pun terpenuhi akan tetapi tidak layak untuk dihuni juga sangat
berpengaruh terhadap kesehatan penguhinya.
2. Rendahnya produktivitas
Sehat menurut UU No. 23/1992 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hidup
produktif adalah hidup yang dapat menghasilkan sesuatu. Jika rendahnya
produktivitas maka semakin banyak manusia yang tidak menghasilkan sesuatu dan
semua itu dapat di katakan tidak sehat.
3. Kesejahteraan hidup dan jaminan yang kurang
Jaminan dan kesejahteraan hidup pada individu merupakan hal yang sangat
penting untuk kehidupannya. Jika kesejahteraan hidupnya kurang maka dapat dapat
digolongkan miskin. Hidup yang kurang sejahtera maka untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya akan terbatas. Kebutuhan hidup yang terbatas ini dapat menimbulkan
datangnya penyakit dan jika sakit tidak mampu untuk berobat.
4. Kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi;
Keterpurukan dalam bidang social dan ekonomi sudah jelas dampaknya pada
kesejahteraan hidup individu. Ekonomi keluarga yang terpuruk akan berdampak
terhadap tidak tercukupinya kebutuhan gizi anggota keluarga maupun kebutuhan
pendamping lainnya.
5. Akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas
Kurangnya akses terhadap ilmu pengetahuan akan berdapak panjang kedepannya
pada suatu individu. Anak-anak yang tidak mendapat pendidikan yang layak seperti
anak-anak kebanyakan akan kurang pengetahuannya. Kurangnya pengetahuan yang
jika di biarkan begitu saja akan menghasilkan SDM yang tidak produktif untuk
kedepannya. Jika hal ini terjadi, maka akan semakin banyak pula individu yang
kurang produktif dan akan berdampak pada kemiskinan yang tentu saja berpengaruh
terhadap angka kesehatan.
6. Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota
Kurangnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan akan mempengaruhi seseorang
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya akses jalan menuju tempat
kesehatan terdekat sangat sulit dijangkau dan tidak tersedianya transportasi. Hal ini
akan berdampak pada sulitnya individu untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
7. Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat
Istilah yang sering terdengar pada saat ini adalah “orang miskin dilarang sakit”.
Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat ini akan menjadi suatu indicator
terhadap kemiskinan itu sendiri. terlihat jelas tingkat social yang ada dimasyarakat.
Hal ini akan berdampak saling membedakan antara satu sama lain.
8. Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi
Pada dasarnya kemampuan seseorang berbeda satu sama lainnya. Cara berpikir,
cara kerja dan hasil yang didapat pun berbeda. Perbedaan ini mendasari penghasilan
yang diperoleh setiap individu. Jika angka penghasilan rendah maka sulit untuk
memenuhi kebutuhan. Kebutuhan yang sulit terpenuhi ini akan berdampak pada
angka kesakitan.
9. Budaya hidup yang jelek
Budaya sama halnya dengan kebiasaan seseorang. Kebiasaan hidup yang tidak
baik akan menimbulkan bermacam-macam masalah, terutama masalah kesehatan.
10. Tata pemerintahan yang buruk
Pemerintah tentunya mempunyai peran penting terhadap kesejahteraan
masyarakatnya. Jika tata pemerintahan tidak baik, maka kesejahteraan rakyatnya pun
terganggu. Hal ini akan menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Angka
kesakitan juga akan terpengaruh oleh pemerintahan yang buruk.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai indicator kemiskinan yang tepat
digunakan dibidang kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kurang terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan
2. Kuranya sdm yang produktif
3. Penghasilan ekonomi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
4. Kurang sarana dan prasarana yang dibutuhkan
5. Tata pemerintahan yang tidak baik
6. Budaya yang buruk
C. PROGRAM KESEHATAN YANG MENDUKUNG MDG’s
Tujuan Melenium Development Goals (MDG’s)
1. tujuan 1 : menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
2. tujuan 2 : mencapai pendidikan dasar untuk semua
3. tujuan 3 : mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4. tujuan 4 : menurunkan kematian anak
5. tujuan 5 : meningkatan kesehatan ibu
6. tujuan 6 : mengendalikan HIV dan AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya (TB)
7. tujuan 7 : menjamin kelestarian lingkungan hidup
8. tujuan 8 : Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Pada dasarnya program MDG’s berpengaruh terhadap kesehatan, namun hanya
beberapa yang terkait bidang kesehatan, diantaranya :
1. tujuan 1 : menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
2. tujuan 4 : menurunkan kematian anak
3. tujuan 5 : meningkatan kesehatan ibu
4. tujuan 6 : mengendalikan HIV dan AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya (TB)
Tujuan 1. Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan
Target 1c : menurunkan separuh proporsi penduduk yang menderita kelaparan
Strategi :
1. Meningkatkan akses penduduk miskin, terutama anak balita dan wanita hamil untuk
memperoleh makanan yang aman dan bergizi cukup serta mendapatkan intervensi
pelayanan lainnya seperti suplementasi gizi
2. Memperkuat pemberdayaan masyarakat dan merevitalisasi posyandu
3. Meningkatkan ketahanan pangan pada tingkat daerah terutama untuk mengurangi
diparitas ketahanan pangan antar daerah
4. Memperkuat lembaga di tingkat pusat dan daerah yang mempunyai kewenangan kuat
dalam merumuskan kebijakan dan program bidang pangan dan gizi
Tujuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak
TARGET 4A : Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua-pertiga dalam
kurun waktu 1990-2015 Kecenderungan dan proyeksi Angka Kematian Anak Balita,
Bayi dan Neonatal (1991-2015) Sumber: SDKI berbagai tahun Angka kematian anak
balita menurun dari 97 (1991) menjadi 44 per 1.000 kelahiran (2007) dan diperkirakan
target 32 per 1.000 kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai.
Strategi :
1. Memastikan program imunisasi dengan sumber daya yang memadai
2. Menerapkan strategi MTBS
3. Menjamin penguatan program gizi yang terfokus dalam mencapai target nasional
untuk menurunkan stunting pada balita dari 36,8 persen menjadi 32 persen pada
4. Memperkuat peran keluarga, termasuk penguatan strategi komunikasi untuk
perubahan perilaku (PHBS)
5. Memperkuat pelayanan kesehatan neonatal dan ibu
6. Memperkuat dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan
7. Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan posyandu
8. Mengurangi kesenjangan geografis, sosial-ekonomi maupun aspek gender terhadap
status kesehatan anak dan gizi
9. Upaya pencapaian indikator continuum of care dengan fokus pada peningkatan akses
pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin serta penduduk yang berada di Daerah
Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK)
10. Memadukan strategi lintas sektoral untuk mempercepat penurunan kematian angka
kematia balita
Tujuan 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu
Target 5a : menurunkan angka kematian ibu hingga tiga-perempat dalam kurun waktu
1990- 2015
Strategi :
1. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas
2. Peningkatan pelayanan continuum of care
3. Peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, baik dari segi jumlah, kualitas dan
persebarannya
4. Peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran
tentang kesehatan dan keselamatan ibu di tingkat masyarakat dan rumah tangga
5. Perbaikan status gizi ibu hamil dengan menjamin kecukupan asupan gizi
6. Penciptaan lingkungan kondusif yang mendukung manajemen dan partisipasi
stakeholder dalam pengembangan kebijakan dan proses perencanaan
7. Penguatan sistem informasi kematian ibu
8. Penguatan koordinasi dengan memperjelas peran dan tanggung jawab pusat dan
daerah dalam rangka memperkuat survailans, monitoring, evaluasi, serta pembiayaan
9. Pelaksanaan pencapaian indikator-indikator ‘Standar Pelayanan Minimum’ (SPM)
bidang kesehatan yang juga merupakan indikator sasaran MDGs
Tujuan 6. Mengendalikan HIV dan AIDS, Malaria Dan Penyakit Menular
Lainnya (TB)
Target 6a : mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru hiv/aids
hingga tahun 2015
Srategi 1 :
1. Meningkatkan akses melalui penguatan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan
kemampuan dan sumber daya yang memadai untuk mengantisipasi dan menghadapi
epidemi yang ada
2. Meningkatan mobilisasi masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan,
perawatan dan pengobatan HIV/AIDS pada populasi rentan
3. Mobilisasi sumber dana untuk penanggulangan HIV/AIDS dan good governance
4. Meningkatkan koordinasi lintas sector
5. Memperkuat sistem informasi dan sistem monitoring dan evaluasi
strategi 2 :
1. Mobilisasi sosial yang berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat tentang
intervensi pencegahan dan pengendalian malaria
2. Memperkuat pelayanan kesehatan dalam pencegahan, pengendalian, dan pengobatan
3. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di semua aspek
4. Meningkatkan struktur manajemen dan tata kelola yang meliputi strategi, program
kerja, dan sistem informasi
5. Peningkatan dukungan pendanaan
Periode 2010-2014, Kementrian kesehatan melaksanakan terobosan dalam bentuk
Reformasi Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dengan menghilangkan kesenjangan
pembangunan kesehatan antar daerah, antar sosial ekonomi, serta meningkatkan akses
masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu. Reformasi Bangkes dilakukan
melalui 7 upaya, yaitu revitalisasi primary health care (PHC) dan sistem rujukannya, serta
pemenuhan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK); ketersediaan, keterjangkauan obat di
seluruh fasilitas kesehatan, termasuk saintifikasi jamu; ketersediaan, distribusi SDM
Kesehatan yang bermutu secara adil dan merata; pengembangan jaminan kesehatan;
penanganan daerah bermasalah kesehatan (PDBK), dan peningkatan pelayanan kesehatan
di Daerah Terpencil, Perbatasan Dan Kepulauan (DTPK); pelaksanaan reformasi
birokrasi serta world class health care.
8 fokus prioritas nasional bidang kesehatan :
1. peningkatan KIA dan KB
2. Perbaikan gizi masyarakat
3. Pengendalian penyakit menular & tidak menular dan kesling
4. pemenuhan SDm kesehatan
5. peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, safety, mutu, penggunaan obat atau
makanan.
6. Jamkesmas
7. pemberdayaan masyarakat, penanggulangan bencana dan kritis
8. peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier.
7 prioritas reformasi kesehatan :
1. reformasi yankes
2. ketersedian obat dan alkes
3. pendayagunaan dan pemeratan SDM
4. reformasi birokrasi
5. bantuan operasional kesehatan
6. penanganan daerah bermasalah kesehatan (PDBK) Ddan DTPK
7. rumah sakit Indonesia kelas dunia (World Class Hospital)

Salah satu program kesehatan yang mendukung MDG’s adalah Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM).
Pemerintah telah memberikan perhatian di bidang hygiene dan sanitasi dengan
menetapkan Open Defecation Free dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat pada
tahun 2009 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2004 - 2009. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mencapai
target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air
minum dan sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi
penduduk yang belum mendapatkan akses. Menyadari hal tersebut di atas, pemerintah
telah melaksanakan beberapa kegiatan, antara lain melakukan uji coba
implementasi Community Led Total Sanitation (CLTS) di 6 Kabupaten pada tahun 2005,
dilanjutkan dengan pencanangan gerakan sanitasi total oleh Menteri Kesehatan pada
tahun 2006 di Sumatera Barat serta pencanangan kampanye cuci tangan secara nasional
oleh Menko Kesra bersama Mendiknas dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun
2007.
Sebagai tindak lanjut, dilakukan replikasi CLTS di berbagai lokasi oleh berbagai
lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang menghasilkan perubahan
perilaku buang air besar di sembarang tempat, sehingga pada tahun 2006 sebanyak 160
desa telah ODF dan tahun 2007 mencapai 500 desa. (Depkes, 2007).

Anda mungkin juga menyukai