Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Oksigen merupakan substansi yang sangat penting dalam kehidupan


manusia dan mahluk hidup lainnya. Oksigen diperlukan untuk pernapasan normal
oganisme aerobic. Oksigen merupakan 50% komponen penyusun planet bumi,
21% komponen udara, 89% komponen air. Secara normal elemen ini diperoleh
dengan cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernafas. Penyampaian
O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler dan
keadaan hematologis.1,2
Adanya kekurangan O2 ditandai dengan keadaan yang disebut hipoksia,
yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat
mengancam kehidupan.1
Sejak penemuan penting mengenai molekul oksigen oleh Joseph Priestley
(1775) dan bukti adanya pertukaran gas pada proses pernapasan oleh Lavoisier,
oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan pasien. Sebelum tahun
1920, suplementasi oksigen dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya pada tahun
1920 ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi.
Sejak itu efek hipoksia dapat ditolong dan pemberian oksigen pada pasien dengan
penyakit paru membawa dampak meningkatnya jumlah parawatan pasien.3
Dua penelitian dasar di awal tahun 1960an memperlihatkan adanya bukti
membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy
Trial (NOTT), pemberian oksigen selama 12 jam atau 24 jam sehari selama 6
bulan dapat memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan
genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup
mereka.3
Penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasien
hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas
latihan.3

1
Agar pemberian oksigen aman dan efektif diperlukan pemahaman
mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian oksigen, serta
evaluasi penggunaan oksigen tersebut.3

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. System Respirasi


2.1.1. Anatomi dan Fisiologi
Respirasi adalah menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen
(O2) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Dengan kata
lain respirasi adalah suatu proses pertukaran gas-gas antara organisme hidup dan
lingkungan sekitarnya.4,5
Pada manusia dikenal dua macam respirasi, yaitu respirasi eksternal dan
internal. Respirasi eksternal ialah pertukaran gas-gas antara darah dan udara
sekitarnya. Pertukaran ini meliputi proses ventilasi, distribusi, difusi, dan perfusi.
Sedangkan respirasi internal ialah pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan,
yang meliputi proses efisiensi kardiosirkulasi, distribusi kapiler, difusi ke ruang
interstitial, dan metabolism sel yang melibatkan enzim.4
Fungsi utama respirasi adalah pertukaran O2 dan CO2 antara darah dan
udara pernapasan, sedangkan fungsi tambahan ialah pengendalian keseimbangan
asam basa, metabolism hormone, dan pembuangan partikel.4
Secara anatomi, system respirasi dibagi atas bagian atas (upper) dan
bagian bawah (lower). Bagian atas terdiri dari hidung, rongga hidung, sinus
paranasalis, dan faring yang berfungsi menyaring, menghangatkan, dan
melembabkan udara yang masuk ke saluran pernapasan. Bagian bawah terdiri dari
laring, trakea, bronki, bronkioli, dan alveoli.4

3
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Respirasi

Secara fisiologi, sistem respirasi dibagi menjadi bagian konduksi dan


bagian respiratori. Bagian konduksi terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkiolus. Bagian ini berfungsi untuk menyediakan saluran
udara untuk mengalir ke dan dari paru-paru untuk membersihkan, membasahi, dan
menghangatkan udara yang diinspirasi. Sedangkan bagian respiratori terdiri dari
alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran gas antara udara dan darah
terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula struktur yang lain,
seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring partikel-
partikel yang masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam
melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak. 4-6

4
Gambar 2.2. Fisiologi Sistem Respirasi

2.1.2. Mekanisme Pernapasan


Proses fisiologis pernapasan yaitu proses perpindahan O2 dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, yaitu :7
1. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat pada atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot
pernapasan. Rangka torak berfungsi sebagai pompa.
Selama inspirasi, volume torak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus dan intercostalis eksternus mengangkat iga-iga. Torak membesar
ketiga arah, yaitu anteroposterior, lateral, dan vertical. Peningkatan volume
ini menyebabkan penurunan tekanan intrapulmonal sampai sekitar -2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan ini
mengakibatkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas
pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif
akibat elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot intercostalis
eksternus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas
ke dalam rongga torak, menyebabkan volume torak berkurang. Otot
interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dank e dalam pada

5
waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu,
otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdominal
membesar dan menekan diafragma ke atas. Pengurangan volume torak ini
meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Tekanan intrapulmonal meningkat mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg di
atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan
jalan napas dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi.

Gambar 2.3. Mekanisme Bernapas

2. Transportasi
a. Difusi
Tahap kedua dari proses pernapasan mencangkup proses difusi
gas-gas melewati membrane alveolus kapiler yang tipis (< 5µm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan partial O2 (PO2) dalam
atmosfer pada permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21%
dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan
partial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg
karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan napas (760-47 x
0,21 = 149).

6
Tekanan partial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg.
Tekanan partial O2 yang diinspirasikan akan menurun kira-kira 103
mmHg pada saat mencapai alveoli karena bercampur dengan udara
dalam ruang mati anatomic. Ruang mati ini dalam keadaan normal
mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan
ventilasi efektif.
Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di
kapiler paru kira-kira sebesar 40 mmHg. PO2 kapiler lebih rendah
daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg) sehingga O2
mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara
darah dan PaCO2 yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan
CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke
atmosfer, yang konsentrasinya pada hakekatnya nol.
Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil
namun memadai, karena dapat berdifusi melintasi membrane
alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat disbanding O2 karena
daya larutnya yang lebih besar.
Dalam keadaan istirahat normal, difusi dan keseimbangan
antara O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira
0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan
waktu difusi. Pada beberapa penyakit, sawar darah dan udara dapat
menebal dan difusi melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak
lengkap, terutama sewaktu olahraga.
b. Hubungan antara ventilasi-perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi
dalam kapiler. Dengan kata lain, ventilasi dan perfusi harus
seimbang. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi-perfusi (V/Q) adalah
0,8.

7
3. Respirasi sel
Merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi
untuk mendapatkan energy, dan CO2 terbentuk sebagai sisa proses
metabolism sel dan dikeluarkan oleh paru.

2.1.3. Transfor O2 dalam Darah


Oksigen dapat diangkut dari paru ke jaringan melalui dua jalan, yaitu :7
a. secara fisik larut dalam plasma
b. secara kimia berikatan dengan Hb sebagai oksiHb.
Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible. Jumlah yang diangkut
dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinier dengan tekanan parsial O2
dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut
dalam plasma yang mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial O2
dalam alveolar (PAO2). Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam
plasma. Hanya sekitar 1% dari jumlah O2 total yang diangkut ke jaringan. 7
Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah merah.
Dalam keadaan tertentu, misalnya keracunan karbon monoksida atau hemolysis
massif dengan insufisiensi Hb, O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup
dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O2
bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer. (ruang O2 hiperbarik). 7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam
darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah dapat
mengangkut 20,1 ml O2 (15x1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%. Tetapi
sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronkial ditambah ke darah yang
meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. 7
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma
dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
jaringan yang bersangkutan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan
disebut Hb tereduksi. Hb yang tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna
kebiruan pada darah vena. Sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan
menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri. 7

8
2.1.4. Volume dan Kapasitas Paru4,6,8
- Volume alun napas (TV, tidal volume)
Volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi setiap kali bernapas
normal. Pada dewasa, volume tidal sekitar ± 500 ml.
- Volume cadangan inspirasi (IRV, inspiratory reserve volume)
Volume maksimal udara yang dapat diinspirasikan setelah akhir
inspirasi tenang, ± 1500 ml
- Volume cadangan ekspirasi (ERV, ekspiratory reserve volume)
Volume maksimal udara yang dapat diekspirasikan setelah akhir
ekspirasi tenang, ± 1200 ml
- Volume residu (RV, residual volume)
Volume udara yang tersisa dalam paru-paru setelah akhir ekspirasi
maksimal atau ekspirasi paksa, ± 2100 ml.
- Kapasitas inspirasi (IC, inspiratory capacity), TV + IRV
Volume maksimal udara yang dapat diinspirasi setelah akhir ekspirasi
tenang, ± 2000 ml.
- Kapasitas sisa fungsional (FRC, functional residual capacity), ERV +
RV
Volume udara yang tersisa dalam paru setelah akhir ekspirasi tenang,
± 3300 ml.
- Kapasitas vital (VC, vital capacity), IRV + TV + ERV
Volume maksimal udara yang dapat diekspirasikan dengan usaha
maksimal setelah inspirasi maksimal, ± 3200 ml.
- Kapasitas paru total (TLC, total lung capacity), IRV + TV + ERV +
RV
Volume udara dalam paru setelah akhir inspirasi maksimal, ± 5300 ml.

9
Gambar 2.4. Volume dan Kapasitas Paru

2.2. Hipoksia
2.2.1. Definisi
Hipoksia adalah suatu keadaan tidak adekuatnya aliran O2 utk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan anoksia,
sebab jarang dijumpai bahwa benar-benar tidak ada O2 tertinggal dalam
jaringan.2,9-10

2.2.2. Mekanisme Hipoksia


Pada saat istirahat, rata-rata laki-laki dewasa membutuhkan kira-kira 225-
250 ml O2 per menit, dan meningkat sampai 10 kali saat beraktifitas. Jaringan
akan mengalami hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi
kebutuhan metabolism jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah
ventilasi spontan berhenti.3
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan berlebih
di jaringan maka etabolisme akan berubah dari aerobic ke metabolism anaerobic
untuk menyediakan energy yang cukup untuk metabolism. 3
Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi asam laktat
berlebih, sehingga menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolism selular
terganggu dan mengakibatkan kematian sel. 3

2.2.3. Jenis Hipoksemia9-10

10
a. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik)
Suatu keadaan dimana PO2 darah arteri berkurang. Hipoksia ini
merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian serta
merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit system
pernapasan. Penyebab nya seperti V/Q mismatch, aliran shunt (ex:
atelectasis), dan hypoventilation.
b. Hipoksia anemik
Suatu keadaan dimana darah kekurangan oksigen, seperti pada keadaan
anemia, keracunan karbon monoxide, dan methemoglobin. Sewaktu
istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat
peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah,kecuali apabila
defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita anemia
mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan latihan
fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan
O2 kejaringan aktif.
c. Hipoksia stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti
ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak
mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan pada gagal jantung
kongestif. Pada keadaan normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar,
dan dibutuhkan hipotensi jangka waktu lama untuk menimbulkan
kerusakan yang berarti. Namun, syok paru dapat terjadi pada kolaps
sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah paru yang letaknya lebih tinggi
dari jantung.
d. Hipoksia histotoksik
Hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling
sering diakibatkan oleh keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom
oksidasi serta mungkin beberapa enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit
digunakan untuk mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut bekerja
dengan sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu senyawa non
toksik. Kemampuan pengobatan menggunakansenyawa ini tentu saja

11
terbatas pada jumlah methemoglobin yang dapat dibentuk dengan aman.
Pemberian terapi oksigen hiperbarik mungkin juga bermanfaat.

2.2.4. Penyebab Hipoksia


Klasifikasi penyebab hipoksia, yaitu :8
a. Oksigenasi paru yang tidak memadai karena keadaan intrinsic
- Kekurangan oksigen dalam atmosfer
- Hipoventilasi (gangguan saraf otot)
b. Penyakit paru
- Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau
penurunan compliance paru
- Rasio perfusi-ventilasi alveolus tidak sama (termasuk peningkatan
ruang rugi fisiologis dan pintas fisiologis)
c. Pintas vena ke arteri (pitas jantung dari kanan ke kiri)
d. Transfor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan
- Anemia atau hemoglobin abnormal
- Penurunan sirkulasi umum
- Penurunan sirkulasi local (perifer, serebral, pembuluh darah jantung)
- Edema jaringan
e. Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai
- Keracunan enzim sel
- Penurunan kapasitas metabolic sel karena toksisitas, defisiensi
vitamin, atau factor lain

2.2.5. Manifestasi Hipoksia


Manifestasi klins hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi, tergantung
pada lamanya hipoksia (akut atau kronik), kondisi kesehatan individu dan
biasanya timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi klinis dpat
berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing, dispneu, takipneu
respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering dianggap tanda hipoksie, namun
hal ini hanya dapat dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.3

12
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisa gas darah. Bila nilai saturasinya < 90% diperkirakan
hipoksia, dan membutuhkan oksigen. 3
Adapun gejala dan tanda klinis hipoksia akut adalah sebagai beikut : 3

Sistem Gejala dan tanda


Respirasi Sesak napas
Sianosis
Kardiovaskular Curah jantung meningkat
Palpitasi
Takikardia
Aritmia
Hipotensi
Angina
Vasodilatasi
Syok
Sistem syaraf pusat Sakit kepala
Perubahan perilaku
Bingung
Euphoria
Delirium
Gelisah
Papil edema
Koma
Neuromuscular Lemah
Tremor
Hiperrefleks
Inkordinasi
Metabolik Retensi cairan dan kalium
Asidosis laktat

2.2.5. Pemeriksaan Laboratorium


Karena berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak spesifik,
maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan yang paling sering adalah pemeriksaan PaO2 arteri atau saturasi
oksigen arteri melalui pemeriksaan invasive yaitu analisa gas darah arteri maupun
non invasive yaitu pulse oximetri (dengan menjepitkan alat oksimetri pada ujung
jari atau daun telinga). 3
Pada pemeriksaan analisa gas darah, darah diambil dari pembuluh darah
arteri (a.radialis atau a. femoralis) dan akan diperoleh nilai PaO2, PaCO2, saturasi
oksigen dan parameter lain. 3

13
Pada pemeriksaan oksimetri hanya diperoleh saturasi oksigen saja. Namun
pengukuran saturasi dengan oksimetri ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 ≥ 60 mmHg atau PaCO2 <
60 mmHg. 3

2.3. Terapi Oksigen


2.3.1. Definisi
Oksigen adalah suatu molekul berbentuk gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, dengan rumus kimia O2. Oksigen diperlukan oleh sel hidup sebagai bahan
bakar untuk mendapatkan energi.11-12
Terapi oksigen merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat, meningkatkan persentase
oksigen pada udara inhalasi yang akan meningkatkan konsentrasi oksigen pada
alveoli dan kenaikan tekanan oksigen di dalam darah, serta meminimalkan
asidosis respiratorik.1,3

2.3.2. Jenis Terapi Oksigen


a. Short-term Oxygen Therapy 3
Short-term Oxygen Therapy atau yang disebut juga terapi oksigen
jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien
dengan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia, PPOK eksaserbasi akut,
asma bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan
tersebut oksigen harus segera diberikan dengan adekuat. Pemberian
oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat tetap dan kematian.
Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam
waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi
hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen
harus diberikan terus-menerus.

14
b. Long-term Oxygen Therapy 3
Long-term Oxygen Therapy atau yang disebut juga terapi oksigen
jangka panjang. Banyak pasien dengan hipoksemia membutuhkan terapi
oksigen ini.
Berdasarkan penelitian, terapi jangka panjang dapat memperbaiki
harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi oksigen jangka
panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2
< 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%, oksigen dapat diberikan secara
terus-menerus 24 jam dalam sehari.
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO2 24-28 %) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil
pmeriksaan analisa gas darah, dengan tujuan mengkoreksi hipoksemia dan
menghindari penurunan pH di bawah 7,26.
Pasien dengan terapi oksigen jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada
perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen.

2.3.3. Indikasi Pemberian Terapi Oksigen


Indikasi pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus
diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat
terapi dan menghindari toksisitas. 3
Untuk indikasi terapi oksigen jangka pendek telah ada rekomendasi dari
The American College of Chest Physician dan The National Heart, Lung, and
Blood Institute, yaitu : 3
a. Indikasi yang sudah direkomendasi :
- Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
- Henti jantung dan henti napas
- Hipotensi (Tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
- Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic (bikarbonat <18
mmol/L)
- Respiratory distress (frekuensi pernapasan > 24 kali/menit)
b. Indikasi yang masih dipertanyakan :

15
- Infark miokard tanpa komplikasi
- Sesak napas tanpa komplikasi
- Krisis sel sabit
- Angina
Indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah direkomendasi adalah
sebagai berikut :
a. Pemberian oksigen secara kontinyu
- PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
- PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada salah satu
keadaan :
o Edema yang disebabkan karena CHF
o P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada
lead II, III, aVF)
- Eritrositemia (hematocrit > 56%)
- PaO2 > 59 mmHg atau saturasi > 89%
b. Pemberian oksigen tidak kontinyu
- Selama latihan : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
- Selama tidur : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan aritmia

2.3.4. Kontra Indikasi


Suplemen oksigen tidak drekomendasi pada :3
a. pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama
dispneu, tetapi dengan PaO2 ≥ 60 mmHg, dan tidak mempunyai
hipoksemia kronik
b. pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang
buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran.
c. Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.

2.3.5. Metode Pemberian


Cara pemberian oksigen dibagi 2 jenis yaitu :1,3
a. Sistem arus rendah (low flow)

16
Tekhnik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung
pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O 2
sistem aliran rendah ini ditujukan untuk pasien yang memerlukan O2 tetapi
masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya pasien
dengan volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali per
menit.
Alat oksigen pada sistem aliran rendah ini adalah :
(1) Katater Nasal
Kateter nasal merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi 24% - 44%.
Keuntungan, pemberian O2 stabil, pasien bebas bergerak,
makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai
sebagai kateter penghisap.
Kerugian, tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih
dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula
nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput
lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat
menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter
mudah tersumbat.
(2) Kanula Nasal
Kanula nasal merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
Keuntungan, pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter,
pasien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir
pasien dan nyaman.
Kerugian, tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari
44%, suplai O2 berkurang bila pasien bernafas lewat mulut, mudah
lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.

17
(3) Sungkup muka sederhana
Sungkup muka sederhana merupakan alat pemberian O2
kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi O 2 40 –
60%.
Keuntungan, konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari
kateter atau kanula nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan
melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam
pemberian terapi aerosol.
Kerugian, tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari
40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
(4) Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Sungkup muka dengan kantong rebreathing merupakan suatu
tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt
Keuntungan, Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir
Kerugian, tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika
aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong
O2 bisa terlipat.
(5) Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Sungkup muka dengan kantong non rebreathing merupakan
tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan
udara ekspirasi
Keuntungan, konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi
100%, tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugian, kantong O2 bisa
terlipat.
b. Sistem arus tinggi (high flow)
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak
dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat
menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh
tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip

18
pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan
menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai
O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar dapat diisap dan
aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini
sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
Keuntungan, Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan
petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap
FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi
penumpukan CO2.
Kerugian sistem ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup
muka yang lain pada aliran rendah.

2.3.6. Evaluasi dan Monitoring13


Terapi Oksigen harus diberikan terus menerus dan tidak boleh berhenti
tiba-tiba sampai pasien telah pulih, karena penghentian mendadak dapat mencuci-
out toko tubuh kecil oksigen yang mengakibatkan jatuhnya tekanan oksigen
alveolar. Dosis oksigen harus dihitung dengan hati-hati. Tekanan parsial oksigen
dapat diukur dalam darah arteri.
Lengkap saturasi hemoglobin dalam arteri darah tidak harus dicoba. Arteri
PO2dari 60 mmHg dapat memberikan saturasi 90% dari arteri darah, tetapi jika
asidosis hadir, PaO2 lebih dari 80 mmHg diperlukan. Pada pasien dengan
pernapasan kegagalan, anemia harus diperbaiki agar tepat transportasi oksigen ke
jaringan. Sebuah kenaikan kecil dalam hasil ketegangan arteri oksigen secara
signifikan peningkatan saturasi hemoglobin. Bawah situasi normal, tidak ada
manfaat tambahan ini dijamin dengan meningkatkan PaO2 tingkat untuk lebih
besar dari 60 sampai 80 mmHg. Peningkatan konsentrasi% oksigen mengangkat
ketegangan oksigen oleh 7 mmHg. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan
tingkat hemoglobin normal dalam adanya penyakit pernapasan seperti oksigen
yang tepat transportasi ke jaringan harus dipertahankan.
Pengukuran gas darah arteri berulang kali sehingga sulit dan non-invasif
teknik sederhana seperti oksimeter pulsa dapat digunakan untuk menilai oksigen
terapi

19
2.3.7. Efek Samping dan Pencegahan
Adapun bahaya dan efek samping dari terapi oksigen adalah :
a. Kebakaran dan ledakan
Bahaya kebakaran dan ledakan ada apabila terkonsentrasi oksidan
dan bahan bakar di dekatnya. Sehingga tidak diijinkan merokok atau
menggunakan api ketika sedang menggunakan oksigen. Oksigen tidak
meledak, namun dapat membesarkan api sehingga api akan berkobar lebih
besar lagi.11,14
Jangan pernah menggunakan minyak atau pelumas di sekitar tabung
oksigen. Minyak dan pelumas yang berdekatan dengan oksigen kosentrasi
tinggi dapat menyebabkan ledakan. 11
Bahaya kebakaran juga dapat terjadi pada senyawa oksigen dengan
potensi oksidatif tinggi, seperti peroksida, klorat, nitrat, perklorat, dan
dikromat karena mereka dapat menyumbangkan api ke oksigen.14
b. Hypoventilasi
c. Atelektase
d. Iritasi Lokal
e. Keracunan oksigen
Meskipun oksigen dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme
aerobic, zat ini juga bersifat toksik. Toksisitas tersebut disebabkan oleh
dihasilkannya anion superoksida, yaitu suatu radikal bebas, serta H2O2. Apabila
O2 80-100% diberikan kepada manusia selama 8 jam atau lebih, saluran napas
akan teriritasi, menimbulkan distress substernal, kongesti hidung, nyeri
tenggorokan dan batuk.10
Bayi dengan sindrom gawat napas yang diterapi dengan O2, selanjutnya
mengalami gangguan menahun yang ditandai dengan kista dan pemadatan
jaringan paru (dysplasia bronkopulmonal). 10

20
BAB III
KESIMPULAN

Terapi oksigen merupakan sistem pengobatan yang telah dikenal sejak


lama, dapat diberikan pada pasien-pasien dengan hipoksemia akut meupun kronik.
Pemberian oksigen dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan
penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek
maupun jangka panjang.3
Untuk pemberian oksigen, kita selaku tenaga medis harus mengerti
indikasi pemberian oksigen, tekhnik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan
diberikan, dan lamanya oksigen perlu dievaluasi melalui pemeriksaan analisis gas
darah atau dengan oksimetri, sehingga mengoptimalkan pemberian oksigen dan
mencegah terjadinya retensi CO2. 3

21

Anda mungkin juga menyukai