terAP! O2
terAP! O2
PENDAHULUAN
1
Agar pemberian oksigen aman dan efektif diperlukan pemahaman
mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian oksigen, serta
evaluasi penggunaan oksigen tersebut.3
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Respirasi
4
Gambar 2.2. Fisiologi Sistem Respirasi
5
waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu,
otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdominal
membesar dan menekan diafragma ke atas. Pengurangan volume torak ini
meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Tekanan intrapulmonal meningkat mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg di
atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan
jalan napas dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi.
2. Transportasi
a. Difusi
Tahap kedua dari proses pernapasan mencangkup proses difusi
gas-gas melewati membrane alveolus kapiler yang tipis (< 5µm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan partial O2 (PO2) dalam
atmosfer pada permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21%
dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan
partial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg
karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan napas (760-47 x
0,21 = 149).
6
Tekanan partial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg.
Tekanan partial O2 yang diinspirasikan akan menurun kira-kira 103
mmHg pada saat mencapai alveoli karena bercampur dengan udara
dalam ruang mati anatomic. Ruang mati ini dalam keadaan normal
mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan
ventilasi efektif.
Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di
kapiler paru kira-kira sebesar 40 mmHg. PO2 kapiler lebih rendah
daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg) sehingga O2
mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara
darah dan PaCO2 yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan
CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke
atmosfer, yang konsentrasinya pada hakekatnya nol.
Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil
namun memadai, karena dapat berdifusi melintasi membrane
alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat disbanding O2 karena
daya larutnya yang lebih besar.
Dalam keadaan istirahat normal, difusi dan keseimbangan
antara O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira
0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan
waktu difusi. Pada beberapa penyakit, sawar darah dan udara dapat
menebal dan difusi melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak
lengkap, terutama sewaktu olahraga.
b. Hubungan antara ventilasi-perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi
dalam kapiler. Dengan kata lain, ventilasi dan perfusi harus
seimbang. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi-perfusi (V/Q) adalah
0,8.
7
3. Respirasi sel
Merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi
untuk mendapatkan energy, dan CO2 terbentuk sebagai sisa proses
metabolism sel dan dikeluarkan oleh paru.
8
2.1.4. Volume dan Kapasitas Paru4,6,8
- Volume alun napas (TV, tidal volume)
Volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi setiap kali bernapas
normal. Pada dewasa, volume tidal sekitar ± 500 ml.
- Volume cadangan inspirasi (IRV, inspiratory reserve volume)
Volume maksimal udara yang dapat diinspirasikan setelah akhir
inspirasi tenang, ± 1500 ml
- Volume cadangan ekspirasi (ERV, ekspiratory reserve volume)
Volume maksimal udara yang dapat diekspirasikan setelah akhir
ekspirasi tenang, ± 1200 ml
- Volume residu (RV, residual volume)
Volume udara yang tersisa dalam paru-paru setelah akhir ekspirasi
maksimal atau ekspirasi paksa, ± 2100 ml.
- Kapasitas inspirasi (IC, inspiratory capacity), TV + IRV
Volume maksimal udara yang dapat diinspirasi setelah akhir ekspirasi
tenang, ± 2000 ml.
- Kapasitas sisa fungsional (FRC, functional residual capacity), ERV +
RV
Volume udara yang tersisa dalam paru setelah akhir ekspirasi tenang,
± 3300 ml.
- Kapasitas vital (VC, vital capacity), IRV + TV + ERV
Volume maksimal udara yang dapat diekspirasikan dengan usaha
maksimal setelah inspirasi maksimal, ± 3200 ml.
- Kapasitas paru total (TLC, total lung capacity), IRV + TV + ERV +
RV
Volume udara dalam paru setelah akhir inspirasi maksimal, ± 5300 ml.
9
Gambar 2.4. Volume dan Kapasitas Paru
2.2. Hipoksia
2.2.1. Definisi
Hipoksia adalah suatu keadaan tidak adekuatnya aliran O2 utk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan anoksia,
sebab jarang dijumpai bahwa benar-benar tidak ada O2 tertinggal dalam
jaringan.2,9-10
10
a. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik)
Suatu keadaan dimana PO2 darah arteri berkurang. Hipoksia ini
merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian serta
merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit system
pernapasan. Penyebab nya seperti V/Q mismatch, aliran shunt (ex:
atelectasis), dan hypoventilation.
b. Hipoksia anemik
Suatu keadaan dimana darah kekurangan oksigen, seperti pada keadaan
anemia, keracunan karbon monoxide, dan methemoglobin. Sewaktu
istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat
peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah,kecuali apabila
defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita anemia
mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan latihan
fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan
O2 kejaringan aktif.
c. Hipoksia stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti
ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak
mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan pada gagal jantung
kongestif. Pada keadaan normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar,
dan dibutuhkan hipotensi jangka waktu lama untuk menimbulkan
kerusakan yang berarti. Namun, syok paru dapat terjadi pada kolaps
sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah paru yang letaknya lebih tinggi
dari jantung.
d. Hipoksia histotoksik
Hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling
sering diakibatkan oleh keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom
oksidasi serta mungkin beberapa enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit
digunakan untuk mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut bekerja
dengan sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu senyawa non
toksik. Kemampuan pengobatan menggunakansenyawa ini tentu saja
11
terbatas pada jumlah methemoglobin yang dapat dibentuk dengan aman.
Pemberian terapi oksigen hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
12
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisa gas darah. Bila nilai saturasinya < 90% diperkirakan
hipoksia, dan membutuhkan oksigen. 3
Adapun gejala dan tanda klinis hipoksia akut adalah sebagai beikut : 3
13
Pada pemeriksaan oksimetri hanya diperoleh saturasi oksigen saja. Namun
pengukuran saturasi dengan oksimetri ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 ≥ 60 mmHg atau PaCO2 <
60 mmHg. 3
14
b. Long-term Oxygen Therapy 3
Long-term Oxygen Therapy atau yang disebut juga terapi oksigen
jangka panjang. Banyak pasien dengan hipoksemia membutuhkan terapi
oksigen ini.
Berdasarkan penelitian, terapi jangka panjang dapat memperbaiki
harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi oksigen jangka
panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2
< 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%, oksigen dapat diberikan secara
terus-menerus 24 jam dalam sehari.
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO2 24-28 %) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil
pmeriksaan analisa gas darah, dengan tujuan mengkoreksi hipoksemia dan
menghindari penurunan pH di bawah 7,26.
Pasien dengan terapi oksigen jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada
perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen.
15
- Infark miokard tanpa komplikasi
- Sesak napas tanpa komplikasi
- Krisis sel sabit
- Angina
Indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah direkomendasi adalah
sebagai berikut :
a. Pemberian oksigen secara kontinyu
- PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
- PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada salah satu
keadaan :
o Edema yang disebabkan karena CHF
o P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada
lead II, III, aVF)
- Eritrositemia (hematocrit > 56%)
- PaO2 > 59 mmHg atau saturasi > 89%
b. Pemberian oksigen tidak kontinyu
- Selama latihan : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
- Selama tidur : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan aritmia
16
Tekhnik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung
pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O 2
sistem aliran rendah ini ditujukan untuk pasien yang memerlukan O2 tetapi
masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya pasien
dengan volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali per
menit.
Alat oksigen pada sistem aliran rendah ini adalah :
(1) Katater Nasal
Kateter nasal merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi 24% - 44%.
Keuntungan, pemberian O2 stabil, pasien bebas bergerak,
makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai
sebagai kateter penghisap.
Kerugian, tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih
dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula
nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput
lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat
menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter
mudah tersumbat.
(2) Kanula Nasal
Kanula nasal merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan
konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
Keuntungan, pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter,
pasien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir
pasien dan nyaman.
Kerugian, tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari
44%, suplai O2 berkurang bila pasien bernafas lewat mulut, mudah
lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
17
(3) Sungkup muka sederhana
Sungkup muka sederhana merupakan alat pemberian O2
kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi O 2 40 –
60%.
Keuntungan, konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari
kateter atau kanula nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan
melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam
pemberian terapi aerosol.
Kerugian, tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari
40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
(4) Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Sungkup muka dengan kantong rebreathing merupakan suatu
tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt
Keuntungan, Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir
Kerugian, tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika
aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong
O2 bisa terlipat.
(5) Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Sungkup muka dengan kantong non rebreathing merupakan
tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan
udara ekspirasi
Keuntungan, konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi
100%, tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugian, kantong O2 bisa
terlipat.
b. Sistem arus tinggi (high flow)
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak
dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat
menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh
tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip
18
pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan
menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai
O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar dapat diisap dan
aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini
sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
Keuntungan, Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan
petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap
FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi
penumpukan CO2.
Kerugian sistem ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup
muka yang lain pada aliran rendah.
19
2.3.7. Efek Samping dan Pencegahan
Adapun bahaya dan efek samping dari terapi oksigen adalah :
a. Kebakaran dan ledakan
Bahaya kebakaran dan ledakan ada apabila terkonsentrasi oksidan
dan bahan bakar di dekatnya. Sehingga tidak diijinkan merokok atau
menggunakan api ketika sedang menggunakan oksigen. Oksigen tidak
meledak, namun dapat membesarkan api sehingga api akan berkobar lebih
besar lagi.11,14
Jangan pernah menggunakan minyak atau pelumas di sekitar tabung
oksigen. Minyak dan pelumas yang berdekatan dengan oksigen kosentrasi
tinggi dapat menyebabkan ledakan. 11
Bahaya kebakaran juga dapat terjadi pada senyawa oksigen dengan
potensi oksidatif tinggi, seperti peroksida, klorat, nitrat, perklorat, dan
dikromat karena mereka dapat menyumbangkan api ke oksigen.14
b. Hypoventilasi
c. Atelektase
d. Iritasi Lokal
e. Keracunan oksigen
Meskipun oksigen dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme
aerobic, zat ini juga bersifat toksik. Toksisitas tersebut disebabkan oleh
dihasilkannya anion superoksida, yaitu suatu radikal bebas, serta H2O2. Apabila
O2 80-100% diberikan kepada manusia selama 8 jam atau lebih, saluran napas
akan teriritasi, menimbulkan distress substernal, kongesti hidung, nyeri
tenggorokan dan batuk.10
Bayi dengan sindrom gawat napas yang diterapi dengan O2, selanjutnya
mengalami gangguan menahun yang ditandai dengan kista dan pemadatan
jaringan paru (dysplasia bronkopulmonal). 10
20
BAB III
KESIMPULAN
21