Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan korena yang ditandai oleh
adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea, diskontinuitas jaringan kornea yang
dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea adalah penyebab tersering kedua
kebutaan setelah katarak di negara berkembang. Menurut WHO sekitar 1,5 hingga 2,0
juta kasus baru kebutaan monokuler di negara berkembang setiap tahun disebabkan
ulserasi kornea. Ulkus kornea dapat terjadi akibat adanya trauma oleh benda asing atau
penyakit yang menyebabkan masuknya bakteri atau jamur ke dalam kornea sehingga
menimbulkan infeksi atau peradangan.1
Kejadian tahunan ulserasi kornea di Madurai, India Selatan adalah 113 per
100.000 orang, angka tersebut 10 kali kejadian tahunan di Amerika Serikat yaitu 11 per
100000. Insiden ulkus kornea pada pemakai lensa kontak adalah 130,4 per 100.000
orang-tahun dibandingkan dengan bukan pemakai lensa kontak.2 Di Indonesia, insiden
ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5% dengan prevalensi tertinggi di Bali (11%), DI
Yogyakarta (10,2%), Sulawesi Selatan (9,4%).3
Jamur adalah penyebab ulkus yang penting, biasanya terjadi setelah trauma atau
perawatan infeksi bakteri dengan steroid atau antibiotik. Sekitar 70 jamur berbeda telah
terlibat sebagai penyebab keratitis jamur, yang dikelompokkan menjadi jamur ragi dan
jamur berfilamen. Jamur seperti candida dan aspergillus terjadi pada orang yang
immunocompromised karena penyakit yang mendasarinya atau obat-obatan.
Aspergillus dan Fusarium menjadi penyebab sepertiga dari semua ulkus infeksius
traumatis. Faktor predisposisi lainnya termasuk iklim panas lembab, pekerjaan
pertanian, mata kering atau kornea neurotropik.1

1
BAB II
ULKUS KORNEA

2.1. Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan korena yang ditandai oleh adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea, diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari
epitel sampai stroma.1
2.2 Anatomi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan kristal sebuah
jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea mempunyai tebal 1 mm di perifer dan 0,6
mm di sentral, jari-jari permukaan belakang 6,5mm serta jari-jari permukaan depan 7,8mm.
Kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan
epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement, dan lapisan
endotel. Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea.4

Gambar Anatomi Kornea


Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam:4
1. Lapisan epitel
Lapisan epitel tebalnya 50-90 mikron , terdiri atas 5-7 lapis sel epitel
skuamosa bertingkat tak berkeratin. Sel epitel di bagian basal merupakan lapisan
germinal epitel dan bermitosis saat proses regenerasi. Sel-sel ini akan berdiferensiasi
serta bermigrasi ke arah permukaan. Epitel di permukaan berbentuk gepeng ditutupi
mikrovili yang berperan dalam stabilitas lapisan air mata. Lapisan paling superfisial

2
pada akhirnya akan mengalami apoptosis dan dilepas ke lapisan air mata. Membran
basal dari lapisan sel-sel epitel basal melekat kuat ke lapisan Bowman di bawahnya
dan berperan menjaga keteraturan epitel kornea.

Gambar 2. Lapisan epitel kornea


2. Membran Bowman
Membran bowman memiliki ketebalan 12 mikron, terletak dibawah
membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Struktur ini cukup resisten
terhadap infeksi dan cedera, tetapi sekali mengalami kerusakan, tidak mempunyai
daya regenerasi.
3. Jaringan Stroma
Jaringan stroma terdiri atas lamel yang merupakan sususnan kolagen yang
sejajar satu dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Membran descement merupakan membrana aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
Membran descement bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 µm.

3
Gambar 3. Lapisan stroma pada kornea

5. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40
m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula
okluden.

Gambar 4. Histologi Kornea

4
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan diantara. Daya regenerasi saraf sesudah
dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.4
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous,
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam, avaskularitasnya dan
deturgensinya.4

2.3 Epidemiologi
Kejadian tahunan ulserasi kornea di Madurai, India Selatan adalah 113 per 100.000
orang, angka tersebut 10 kali kejadian tahunan di Amerika Serikat yaitu 11 per 100000.
Dengan menerapkan angka kejadian ulkus kornea 1993 di Madurai ke seluruh India,
diperkirakan ada 840.000 orang per tahun di negara ini yang menderita ulkus. Ekstrapolasi
perkiraan India lebih lanjut ke seluruh Afrika dan Asia, jumlah ulkus kornea yang terjadi
setiap tahun di negara berkembang dengan cepat mendekati 1,5-2 juta,dan jumlah sebenarnya
mungkin lebih besar. Di Bhaktapur, Nepal, kejadian tahunan ulkus kornea ditemukan 799 per
100.000 orang. Glynn RJ et al 1992, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kejadian
tahunan keratitis ulseratif di antara orang-orang afakia pengguna lensa kontak diperkirakan
52 kasus per 10.000 pemakai lensa kontak aphakia. Insiden ulkus kornea pada pemakai lensa
kontak adalah 130,4 per 100.000 orang-tahun dibandingkan dengan non-pemakai lensa
kontak.2 Di Indonesia, insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5 persen dengan prevalensi
tertinggi di Bali (11%), diikuti DI Yogyakarta (10,2%), Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi
kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung lebih tinggi. Pekerjaan seperti petani, nelayan,
buruh memiliki prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi dibanding kelompok pekerja
lainnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum
optimal pada kelompok pekerjaan petani, nelayan dan buruh. 3

2.4 Etiologi
Etiologi ulkus kornea adalah:
1. Infeksi, Infeksi terbagi sebagai berikut4,5:
a. Infeksi Bakteri

5
Infeksi bakteri disebabkan oleh P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan
spesies Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus
berbentuk sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang
keluar bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P
aeruginosa.
b. Infeksi Jamur.
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi); bersifat multiseluler dengan cabang-
cabang hifa.
a. Jamur bersepta : Fusarium sp, Acremonium sp, Aspergilus sp,
Clodosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,
Curvularia sp, Altenaria sp.
b. Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2. Jamur ragi (yeast)
Jamur uniselular dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans,
Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
3. Jamur difasik
Pada jaringan hidup membentuk ragi, sedangkan pada media perbiakan
membentuk misellium : Blastomices sp, Coccididies sp, Histoplasma sp,
Sporothrix sp.
Di Asia Tenggara penyebabnya yang terbanyak adalah Aspergillus sp dan
Fusarium sp.
c. Infeksi Virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit
dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia
(jarang).
d. Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang tercemar
yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh acanthamoeba
adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak lunak,
khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya
ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang
tercemar.

6
2. Non Infeksi
a. Bahan Kimia
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan
organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi
pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi
maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial
saja. Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang
mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi
penghancuran kolagen kornea.
b. Radiasi atau Suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
c. Defisiensi Vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A
dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun
pemanfaatan oleh tubuh.
d. Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid,
IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
e. Kelainan dari Membrane Basal, seperti karena trauma.
f. Neurotropik
3. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
Penyebab karena system imun misalnya pada penyakit granulomatosa wagener
dan rheumathoid arthritis.

Faktor resiko terjadinya ulkus kornea dapat dibedakan atas dua, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Okular
a. Trauma
Trauma akibat tumbuh-tumbuhan, trauma kimia dan panas, Iatrogenic trauma
ocular, seperti Keratoplasty dan Keratorefractive surgery.
b. Abnormalitas pada permukaan mata
Misdirection of lashes, Incomplete lid closure
c. Infeksi pada adneksa
Blepharitis, Meibomitis, Dry Eye, Dacryocystitis

7
d. Nutrisi : defisiensi vitamin A
e. Penggunaan lensa kontak
2. Faktor Sistemik
Faktor sistemik diantaranya Diabetes mellitus, Stevens-Johnson Syndrome,
Blepharoconjunctivitis, Infeksi Gonococcal dengan konjungtivitis,
Immunocompromised status.

2.5 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu4,6:
1. Ulkus kornea sentral
Merupakan ulkus infeksi yang terjadi sekunder akibat kerusakan pada epitel kornea. Lesi
terletak di sentral, jauh dari limbus yang punya vaskularisasi. Ulkus ini sering disertai dengan
hipopion-kumpulan sel-sel radang yang tampak sebagai suatu lapisan pucat di bagian bawah
bilik mata depan.
A. Ulkus kornea bakterial
i. Ulkus Streptococcus pneumoniae
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea. Ulkus bewarna
kuning keabuabuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.

Ulkus
berbentuk
cakram

Hipopion

Gambar 5. Ulkus Streptococcus pneumoniae


ii. Ulkus Stafilokokus
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik kekuningan disertai infiltrat berbatas
tegas tepat dibawah defek epitel.

8
Abses
intrastroma

Hipopion

Gambar 6. Ulkus kornea Stafilokokus


iii. Ulkus Pseudomonas
Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea yang dapat menyebar ke
samping dan ke dalam kornea. Gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu
dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadangkadang bentuk ulkus
ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak. Secara
histopatologi, khas pada ulkus ini ditemukan sel neutrofil yang dominan.

ulkus

Gambar 7. Ulkus Pseudomonas


iv. Ulkus Pneumokokus
Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi ulkus akan terlihat
menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran karakteristik yang
disebut ulkus serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna
kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang
menggaung dan di daerah ini terdapat banyak kuman.

9
infiltrat

hipopion

Gambar 8. Ulkus Pneumokokus


v. Ulkus Neisseria gonorrhoeae
Ulkus kornea yang terjadi karena Neisseria gonorrhoeae merupakan salah satu dari
penyakit menular seksual. Gonore bisa menyebabkan perforasi kornea dan kerusakan
yang sangat berarti pada struktur mata yang lebih dalam

B. Ulkus kornea jamur


Jamur dapat ditemukan dimanapun, kadang menjadi flora normal eksternal bola mata.
Akan tetapi, infeksi jamur umumnya terjadi akibat trauma yang berhubungan dengan
material bersifat organik seperti kayu, tumbuhan dan padi. Ulkus kornea jamur,
banyak dijumpai pada pekerja pertanian, kini makin banyak dijumpai di antara
penduduk perkotaan sejak mulai dipakainya obat kortikosteroid dalam pengobatan
mata. Sebelum kortikosteroid, ulkus kornea jamur hanya timbul bila stroma kornea
kemasukan organisme dalam jumlah yang sangat banyak, suatu peristiwa yang masih
mungkin terjadi di daerah pertanian atau berhubungan dengan pemakaian lensa
kontak. Ulkus tersebut indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
menginfiltrasi tempat-tempat yang jauh dari daerah ulserasi utama). Di bawah lesi
utama dan juga lesi-lesi satelit terdapat plak endotel disertai reaksi bilik mata depan
yang hebat. Abses kornea sering dijumpai.4,6

10
Lesi satelit

Lesi satelit Infiltrat bentuk cincin


Hipopion
Gambar 9. Ulkus kornea karena jamur
C. Ulkus kornea virus
i. Ulkus kornea Herpes Zoster
Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu timbul 1-3 hari sebelum
timbulnya gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra,
konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan stroma.
Dendrit herpes zoster berwarna abuabu kotor. Gambaran pseudodenrit pada ulkus
kornea herpes zoster sama dengan gambaran dendrit pada ulkus kornea herpes
simpleks, akan tetapi negatif dengan pewarnaan fluoresein.7

pseudodendrit

Gambar 10. Ulkus Herpes Zooster


ii. Ulkus kornea Herpes Simpleks
Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya
suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit atau
bintang infiltrasi. Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulseratif, jelas diwarnai dengan
fluoresein.4,7

11
dendrit

Gambar 11. Ulkus kornea karena Herpes Simpleks

dendrit

Gambar 12. Ulkus dendritik dengan pewarnaan fluororesen

D. Ulkus kornea Acanthamoeba


Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya, kemerahan dan
fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat
perineural.3
2. Ulkus kornea perifer
A. Ulkus marginal
Ulkus marginal bukan merupakan sebuah proses infeksi, dan kerokan tidak
mengandung bakteri penyebab. Kondisi ini muncul akibat sensitisasi terhadap toksin
bakteri yang menyebabkan antibodi dari pembuluh darah limbus bereaksi dengan
antigen yang telah tersebar di epitel kornea. Ulkus marginal berawal sebagai infiltrat

12
oval atau linear, terletak di tepi kornea. Infiltrat berkembang menjadi ulkus dan
neovaskularisasi.6

Infiltrat marginal,
lesi berbatas tegas

Gambar 13. Ulkus kornea marginal

B. Ulkus mooren
Penyebab ulkus mooren sampai saat ini masih belum diketahui, tetapi diduga akibat
proses autoimun. Ulkus moreen merupakan kondisi di mana terjadi ulserasi bagian
perifer kornea ditandai dengan rasa nyeri, penggaungan limbus serta kornea perifer
yang berjalan progresif sehingga berisiko terjadi perforasi.

Ulkus dengan tepi


tukak bergaung

Gambar 14. Ulkus mooren.

2.6 Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya
tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior
dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu

13
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di
daerah pupil.8
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,
seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,
wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel
mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya
infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.8
Ulkus kornea terjadi karena respon sel pejamu dan respon imunologi terhadap agen
penyebab infeksi seperti virus, bakteri, jamur maupun protozoa. Selain karena infeksi, bisa
terjadi ulkus kornea steril yang mungkin disebabkan oleh penyakit jaringan ikat dan trauma
kimia. Respon sel pejamu bertanggung jawab terhadap destruksi kornea pada infeksi dan
peleburan kornea steril. Ulkus terjadi secara sekunder karena kegiatan jaringan kolagenase.
Sel Polimorfonuklear (PMN) disekresikan sebagai respon terhadap perlukaan kornea, sel
PMN akan mensekresikan berbagai enzim litik seperti kolagenase, elastase dan katepsin
sehingga terjadi destruksi kornea. Secara bersamaan, fibroblas reaktif mensintesa kolagen dan
terjadi perbaikan kornea.
Terlepas dari proses infeksi, mekanisme imunologi akibat infeksi dapat pula berperan.
Misalnya pada keratitis interstisial herpes simpleks, kerusakan sel stroma terjadi karena
mekanisme imunologi terhadap antigen herpes, kemudian PMN dan fagosit disekresikan
sehingga terjadi destruksi jaringan.
Pada fase reparasi ulkus kornea, diperlukan interaksi antara keratosit dan pembuluh
darah. Vaskularisasi stroma dapat menghambat proses ulserasi dengan mengirimkan nutrisi
seperti askorbat dan antiprotease melalui pembuluh ke area ulkus. Peristiwa yang terjadi pada
ulkus kornea dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1. Fase Progresif
Pada tahap ini, mikroba melekat pada epitel, melepaskan toksin dan enzim yang dapat
mendestruksi jaringan. Perlekatan organisme difasilitasi oleh fili serta selubung glikokalik
seperti yang terdapat pada Pseudomonas dan Gonococcus. Respon selanjutnya akan
dihasilkan PMN, PMN ini berasal dari air mata dan pembuluh di limbus. Invasi progresif
kornea oleh PMN dan fagosit karena pelepasan berbagai enzim litik mikroba maupun

14
eksotoksin seperti fosfolipase (pada Pseudomonas aeruginosa), hemolisin dan eksotoksin A
akan meningkatkan ukuran ulserasi. Hal ini menyebabkan nekrosis dan peluruhan epitel,
membran Bowman serta stroma. Protease dan elastase bakteri menyebabkan kerusakan
kornea dengan menghancurkan membran basal, laminin, proteoglikan, matriks ekstraselular
dan kolagen. Ulkus dapat berkembang lebih lanjut dengan perluasan ke lateral mengarah ke
ulkus superfisial difus atau penetrasi infeksi yang lebih dalam membentuk desmatocele serta
kemungkinan perforasi kornea.6
2. Fase Regresif
Penghentian tahap progresif dan onset tahap regresif ditentukan oleh mekanisme pertahanan
alamiah pejamu (respon antibodi humoral dan sel yang memediasi pertahanan imun) serta
pengobatan antimikroba. Terdapat perbaikan gejala dan tanda-tanda klinis. Sebuah garis
pemisah terbentuk di sekitar ulkus sehingga batas, dasar ulkus menjadi lebih halus dan
transparan. Garis pemisah tersebut terdiri dari leukosit yang memfagosit organisme penyebab
serta debris sel yang nekrotik.
3. Fase Penyembuhan
Proses epitelisasi terjadi pada tahap ini. Histiosit dan keratosit diubah menjadi fibroblas
sehingga terbentuk jaringan parut. Vaskularisasi terjadi ke area ulkus, yang selanjutnya
mendorong penyembuhan sebagai akibat masuknya fibroblas dan antibodi. Ketika
penyembuhan selesai, pembuluh akan regresi. Tingkat jaringan parut dari penyembuhan
bervariasi sesuai kedalaman. Membran Bowman tidak beregenerasi digantikan jaringan
fibrosa, selama periode tertentu menjadi kurang padat. Proses penyembuhan terjadi karena
regenerasi kolagen dan jaringan fibrosa.

15
Mikroba melekat pada epitel

Melepaskan toksin dan enzim

Sekresi PMN
Fase Progresif

Invasi PMN dan Fagositosis

meningkatkan
Nekrosis & ukuran
peluruhan epitel, ulkus bowman, stroma
membran

Ulkus dapat berkembang lebih lanjut

Respon antibodi humoral dan sel yang memediasi imun

Terbentuk garis pemisah ulkus, batas dan dasar ulkus Fase Regresif
lebih jelas

Perbaikan gejala dan klinis

Vaskularisasi ke daerah ulkus


Fase Penyembuhan

Histiosit dan keratosist diubah menjadi fibroblas


terbentuk jaringan parut

16
2.7 Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa9:
1. Gejala subjektif
a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
b. Sekret mukopurulen
c. Merasa ada benda asing di mata
d. Pandangan kabur
e. Mata berair
f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
g. Silau
h. Nyeri
2. Gejala objektif
a. Injeksi silier
b. Hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrat
c. Hipopion.

2.8 Diagnosis
Diagnosis dari ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan
pemeriksaan laboratorium.
1.Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma, benda asing dan abrasi pada kornea,
riwayat penyakit kornea misalnya keratitis akibat inveksi virus yang sering kambuh,
pemakaian lensa kontak, serta kortikosteroid yang merupakan presdiposisi infeksi virus dan
jamur.4
2.Pemeriksaan Oftalmologi
Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi siliar, kornea edema,
terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya jaringan nekrotik. Pada kasus
berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion. Disamping itu perlu juga dilakukan
pemeriksaan diagnostik seperti ketajaman penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek
pupil, pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur
(pulasan gram, giemsa atau KOH).4
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pengambilan spesimen harus dari tempat ulkusnya, dengan membersihkan jaringan nekrotik
terlebih dahulu, dilakukan secara aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril,

17
kertas saring atau Kalsium alginate swab. Pemakaian media penyubur BHI (Brain Heart
Infusion Broth) akan memberikan hasil positif yang lebih baik daripada penanaman langsung
pada medium isolasi. Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media
coklat, medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat preparat untuk
pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat memberikan informasi morfologik tentang
kuman penyebab yaitu termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat digunakan sebagai
dasar pemilihan antibiotika awal sebagai pengobatan empirik.4

2.9 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non-medikamentosa10:
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
2. Penatalaksanaan medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat
sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Adapun obat-
obatan antimikrobial yang dapat diberikan berupa:
a. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum luas diberikan
dapat berupa salep, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak
diberikan salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat menimbulkan
erosi kornea kembali. Berikut ini contoh antibiotik : Sulfonamide 10-30%, Basitrasin 500
unit, Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg, Tobramisin 3 mg, Eritromisin
0,5%, Kloramfenikol 10 mg, Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg, Polimisin B 10.000 unit.
b. Untuk penatalaksanaan jamur pada kornea pengobatan didasarkan pada jenis dari jamur.
- Jamur berfilamen : topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin, imidazole.
- Ragi (yeast) : Amphotericin B, Natamycin, imidazole
- Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai jenis
antibiotik.11

18
Tabel 1. Pengobatan Ulkus bakterial, fungal, dan amoeba4

c. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal untuk
mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas untuk infeksi sekunder, analgetik
bila terdapat indikasi serta antiviral topikal berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam.
d. Anti acanthamoeba
Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat atau salep klorheksidin
glukonat 0,02%.
Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan:
a. Sulfas atropin sebagai salep atau larutan.
Kebanyakan dipakai sulfas atropin karena bekerja lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas
atropin:
1. Sedatif, menghilangkan rasa sakit
2. Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang

19
3. Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga mata dalam
keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga
sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan dapat mencegah pembentukan sinekia posterior
yang baru.10
b. Skopolamin sebagai midriatika.
c. Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau tetrakain tetapi jangan
sering-sering.

2.10 Komplikasi
Komplikasi ulkus kornea antara lain12:
1. Sikatrik: Penyembuhan ulkus kornea selalu akan meninggalkan sikatrik yaitu
jaringan parut pada kornea. Beberapa bentuk sikatrik yaitu :
 Nebula, kabut halus pada kornea yang hanya dapat terlihat dengan slit
lamp.
 Makula, kekeruhan kornea yang berbatas tegas.
 Leukoma, kekeruhan kornea berwarna putih padat.
 Leukoma adheren : kekeruhan kornea atau sikatriks kornea dengan
menempelnya iris di dataran belakang, merupakan komplikasi yang
terjadi pada kasus ulkus kornea perforasi.
2. Glaukoma sekunder: timbul karena adanya blok dari eksudat yang fibrinous pada
sudut segmen anterior (inflamatori glaukoma).
3. Sekuel dari ulkus kornea perforasi, termasuk:
 Prolaps iris: muncul segera mengikuti perforasi.
 Subluksasi atau dislokasi anterior dari lensa dapat muncul karena
adanya peregangan dan ruptur zonula secara tiba-tiba.
 Anterior capsular katarak: Terbentuk saat terjadi kontak antara lensa dan
ulkus pada saat perforasi pada area pupil.
 Uveitis purulen, endoftalmitis, bahkan panoftalmitis yang berkembang
karena penyebaran infeksi secara intraokular.
 Fistula kornea: Terbentuk saat perforasi pada area pupillary tidak diikuti
oleh iris dan dibatasi oleh epithelium yang membuat jalan secara cepat.

20
 Terjadinya kebocoran aquos secara terus menerus melalui fistula ini.
 Endoftalmitis: Terjadi akibat agen infeksi kornea yang dapat menembus
melalui descematokel yang berlubang.

2.11 Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya
mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi
yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena
jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya
mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.12

21
BAB III
Ulkus Kornea Jamur

3.1 Epidemiologi
Keratitis jamur atau keratomikosis relatif jarang terjadi pada negara maju. Namun,
lebih umum terjadi di negara pertanian dan tropis. Di Florida Selatan, survei tahun 1968
hingga 1977 mengungkapkan bahwa 133 dari 633 kasus ulkus kornea berasal dari jamur. Di
Filipina, survei 25 tahun tentang keratitis mikroba pusat mengungkapkan total 430 kasus
dengan agen etiologi yang umum adalah Fusarium, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus
flavus. Di India, studi sepuluh tahun tentang keratitis jamur menunjukkan agen etiologi yang
paling umum Fusarium, Aspergillus, dan Curvularia spp.13

3.2 Patogenesis
Jamur dapat ditemukan dimanapun dan kadang menjadi flora normal eksternal bola
mata. Akan tetapi, infeksi jamur umumnya terjadi akibat trauma yang berhubungan dengan
material yang bersifat organik seperti kayu, tumbuhan, padi dan lainnya. Jamur masuk
melalui defek epitel yang diakibatkan oleh trauma atau riwayat pembedahan sebelumnya,
Jamur berkembangbiak dan berpenetrasi dengan cepat ke stroma bahkan sampai endotel,
yang akan terlihat sebagai plak endotel. Respon inflamasi terhadap infeksi bergantung pada
reproduksi jamur, mikotoksin, sekresi enzim proteolitik dan antigen jamur.6 Jamur dapat
menembus lamella stroma, menyerang membran Descement, menyebar ke ruang anterior dan
memicu endophthalmitis. Pembentukan biofilm merupakan faktor penting dalam patogenesis,
terutama untuk jamur berfilamen seperti Fusarium sp. Kortikosteroid dan agen imunosupresif
lainnya memfasilitasi perkembangan infeksi jamur dengan menghambat transkripsi sitokin
proinflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi aktivitas makrofag serta mengurangi
kemampuan perlekatan neutrofil.14

3.3 Faktor Risiko


Infeksi jamur berfilamen paling sering terjadi pada kornea sehat dalam konteks pemakaian
lensa kontak, diikuti oleh operasi kornea atau trauma kornea karena bahan tanaman(cabang
pohon). Profesi tertentu yang melibatkan kegiatan di luar ruangan (pertanian). Terdapat
variasi musiman, dengan kasus lebih sering terjadi pada musim semi dan musim gugur,
selama musim panen. Trauma kornea oleh karena jari, kuku, benda asing logam, serangga
juga telah dilaporkan. Imunosupresan lokal atau sistemik merupakan faktor risiko utama

22
untuk infeksi ragi. Candida dan ragi lainnya adalah jamur oportunistik, yang menginfeksi
permukaan okular yang sakit seperti pada keratokonjungtivitis atopik, keratitis sicca berat,
herpes stroma, konjungtivitis fibrosis, konjungtivitis neurotropik, keratitis neurotrofik atau
keratopati pajanan. Beberapa penyebab imunosupresi sistemik dapat dikaitkan dengan
keratomycosis: diabetes, infeksi HIV, kanker dan imunosupresi yang disebabkan oleh obat.14

3.4 Diagnosa
Satu atau beberapa faktor risiko umumnya hadir pada riwayat pasien. Ketajaman visus
menurun bervariasi tergantung pada lokasi lesi kornea. Biomikroskopi ditemukan tanda-tanda
yang menunjukkan infeksi kornea aktif: edema kelopak, injeksi konjungtiva, kemosis,
infiltrat cincin perifer, defek epitel, terlokalisasi (abses) atau infiltrat stroma supuratif difus
(keratitis). Lokasi, warna, kepadatan, dimensi, bentuk, keteraturan tepi dan kedalaman
infiltrasi harus dicatat, serta nekrosis, penipisan stroma, edema peri-lesional, infiltrat satelit,
neovaskularisasi, atau reaksi ruang anterior (hypopyon, fibrin, plak endotel). Sensitivitas
kornea harus diuji jika diduga terdapat keratitis neurotropik.14
Tanda-tanda keratitis jamur14:

 epitel kornea yang keabu-abuan dengan permukaan yang mengalami ulserasi atau
infiltrasi; epitel kadang-kadang utuh, disembuhkan melalui infiltrat stroma yang
memanjang lebih dalam
 infiltrat stroma dengan tepi yang tidak teratur, menunjukkan sedikit atau tidak ada
peradangan, pada pembesaran kadang-kadang menunjukkan hifa jamur berserabut
 mikroinfiltrat "lesi satelit" menyebar luas ke seluruh kornea
 deposit pigmen pada ulkus (jamur berfilamen berpigmen)
 plak endotel, hipopion
Gambar 15. Ulkus kornea karena jamur

Ulkus dengan
tepi feathery

23
Plak tebal di sentral

hipopion

Gambar 16. Ulkus Fusarium

Lesi satelit

Lesi utama

hipopion

Gambar 17. Ulkus kornea karena jamur

Identifikasi proses infeksi kadang-kadang lebih sulit dalam kasus infeksi yang terjadi
sekunder akibat patologi kornea atau dalam kasus perawatan antibiotik sebelumnya.
Perjalanan waktu infeksi tergantung pada virulensi jamur, ukuran inokulum dan resistensi
inang. Perkembangan keratitis jamur umumnya lebih lambat daripada keratitis bakteri.
Tanda-tanda pertama muncul beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma atau pemakaian
lensa kontak yang terinfeksi. Namun, infeksi Aspergillus atau Fusarium dapat berkembang
sangat cepat menjadi perforasi kornea dan endophthalmitis, terutama ketika kortikosteroid
telah diresepkan. Infeksi supuratif yang parah juga dapat terjadi akibat infeksi ragi.14
Corneal scraping adalah metode standar untuk mendapatkan spesimen. Prosedur ini
dilakukan oleh dokter spesialis mata pada slit lamp, atau di bawah mikroskop operasi dalam
prosedur bedah terkait. Untuk mengoptimalkan hasil diagnostik, lebih baik untuk melakukan

24
prosedur sebelum perawatan antijamur. Fluorescein dan obat bius harus dihilangkan dari
permukaan mata dengan irigasi salin steril. Pada awalnya, pisau bedah stainless steel steril
digunakan. Penting untuk mengambil sampel dasar dan tepi ulkus secara selektif tanpa
menyentuh konjungtiva atau kelopak mata pasien. Sampel dari goresan disebarkan ke slide
sitologi. Slide kemudian ditempatkan dalam wadah transportasi. Setelah pewarnaan Gram,
slide ini digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis dan mikologis langsung. KOH, May-
Grünwald Giemsa. Semua spesimen kornea ini, harus dipindahkan ke laboratorium
mikrobiologi dalam waktu 2 jam setelah pengikisan. Kultur akan menjadi positif dalam 24
hingga 48 jam untuk keratitis ragi dan 2 hingga 4 hari rata-rata untuk keratitis jamur
berfilamen, meskipun jamur tertentu mungkin memerlukan periode inkubasi yang lebih lama
(dari 1 hingga 3 minggu), seperti Fusarium.14

Pemeriksaan penunjang15:
1. Pewarnaan
 KOH dengan evaluasi mikroskopis langsung adalah alat diagnostik cepat yang
sensitif.
o Filamen jamur: tampak sebagai hifa refraktil dengan filamen bercabang eatau
filamen yang tidak bercabang. Beberapa filamen terlihat berwarna coklat
karena pigmen melanin masuk dinding sel mereka seperti pada beberapa
spesies jamur dematiaceous.

Gambar 18. Kerokan kornea pada pewarnaan KOH. Filamen terlihat


berpigmen dan bersepta
o Ragi berbentuk oval atau bulat, tidak berwarna dan kadang-kadang dapat
menghasilkan pseudohifa

25
Gambar 19. Sel ragi berbentuk oval pada pewarnaan KOH
 Filamen jamur:Tampak sebagai hifa refraktil dengan filamen bercabang septate atau
aseptateatau filamen yang tidak bercabang. Beberapa filamen terlihat berwarna coklat
karena pigmen melanin masuk dinding sel mereka seperti pada beberapa spesies
jamur dematiaceous.

 Pewarnaan Gram dan Giemsa keduanya memiliki sensitivitas sekitar 50%


Jamur: Jamur berfilamen memiliki beragam respon terhadap pewarnaan Gram.
Metode ini juga berguna untuk mengidentifikasi infeksi bakteri yang hidup
berdampingan. Bakteri gram positif tampak berwarna ungu (Biru), dapat berupa
coccus atau basil. Bakteri gram negatif tampak berwarna merah muda - merah, dapat
berbentuk coccus atau basil. Nocardia adalah gram positif filamen bercabang tipis.
Ragi berwarna ungu bentuk bulat atau oval

Gambar 20. Pewarnaan gram menunjukkan filamen jamur bercabang


2. Kuktur
Corneal scrap diletakkan pada agar Sabouraud dextrose

26
3. Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) dari spesimen cepat dan sangat sensitif (hingga
90%)
4. Biopsi kornea
Biopsi kornea diindikasikan pada keratitis jamur yang dicurigai dengan tidak adanya
perbaikan klinis setelah 3-4 hari dan jika tidak ada pertumbuhan dari kultur setelah seminggu.

3.5 Tatalaksana
Sejak Food and Drug Administration (FDA) menyetujui natamycin pada 1960-an, banyak
agen antijamur telah dievaluasi dalam beberapa penelitian. Setiap agen anti jamur memiliki
manfaat dan keterbatasannya, sehingga perlu pertimbangan yang cermat sebelum pemilihan
agen antijamur. Tidak ada satu agen pun yang muncul sebagai agen terbaik dan paling hemat
biaya.

 Anti fungal
1. Amfoterisin B 0.1-0.3%
Amfoterisin B aktif melawan spesies Aspergillus dan Candida, umumnya diberikan sebagai
larutan topikal. Digunakan sebagai agen lini pertama keratitis Candida bila natamycin tidak
tersedia. Amfoterisin B memiliki penetrasi okuler yang buruk setelah pemberian intravena
dan merupakan racun bagi sel manusia pada dosis yang lebih tinggi. Mengingat efek samping
dan kurangnya cakupan Fusarium sp, amfoterisin B saat ini bukan agen lini pertama dalam
mengobati keratitis jamur di mana pilihan yang lebih baik tersedia.16
Pemberian amfoterisin secara sistemik hanya menghasilkan sedikit penetrasi ke dalam
jaringan mata dan tidak mencapai tingkat terapeutik dalam kornea, aqueous atau vitreous
humor. Menurut literatur obat ini digunakan melalui subkonjungtiva, intrastromal, intraviteal
serta topikal.17
2. Natamycin 5%
Natamycin terus menjadi pengobatan lini pertama pada keratitis jamur . Natamycin saat ini
dianggap sebagai obat paling efektif melawan Fusarium dan Aspergillus. Natamycin terikat
pada ergosterol membran plasma jamur sehingga menyebabkan gangguan membran lokal
dengan mengubah permeabilitas membran. Terdapat penelitian yang membandingkan
penggunaan tetes mata natamycin 5% setiap jam dan itraconazole tetes mata 1% per jam,
dengan hasil natamisin lebih baik daripada itrakonazol pada keratitis Fusarium. Namun,
dalam kasus Fusarium yang diobati dengan vorikonazol, perforasi kornea lebih mungkin
terjadi daripada pada kasus Fusarium yang diobati dengan natamycin. Meskipun natamycin

27
cenderung menjadi pengobatan lini pertama di mana Fusarium endemik, tetapi tidak untuk
organisme jamur lain seperti Candida. Lebih lanjut, natamycin hanya dapat diberikan secara
topikal, sementara amfoterisin B, mikonazol, ketokonazol, itrakonazol, dan flukonazol dapat
diberikan melalui berbagai rute. Hal ini mebuat penggunaan natamycin untuk pengobatan
keratitis jamur superfisial dibandingkan dengan invasi jamur stroma yang dalam. Adanya lesi
yang dalam mungkin memerlukan penambahan terapi sistemik, seperti mikonazol
subkonjungtiva atau intravena, ketokonazol oral, itrakonazol oral, atau flukonazol oral. 16
3. Voriconazole 1%
Vorikonazol mungkin menjadi pilihan pertama pada pasien yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk keratitis Candida tetapi juga memerlukan memiliki cakupan antijamur yang baik
terhadap spesies lain. Pemberian secara oral dengan dosis 200 mg setiap 12 jam, tercapai
konsentrasi plasma puncak setelah 2-3 jam.Penggunaan oral dapat digunakan dalam
pengobatan keratitis yang dalam, scleritis, dan endophthalmitis dan sebagai profilaksis
setelah penetrating keratoplasty. Terdapat literatur yang menyebutkan pemberian
voriconazole secara topikal efektif pada pengobatan ulkus karena Candida, Aspergilus,
Fusarium.16,17
4. Econazole 2%
Diteorikan bahwa penggunaan natamycin dan econazole dalam pengelolaan keratitis jamur
dapat menghasilkan resolusi ulkus kornea yang lebih cepat, terutama karena mekanisme
kerjanya berbeda. 16
5. Flukonazol 0,2%
Flukonazol tersedia dalam sediaan oral, topikal, dan IV. Flukonazol terbukti memiliki efek
samping yang rendah, penetrasi intraokular yang baik, dan agen yang layak untuk digunakan
dalam keratitis Candida. Flukonazol juga ditemukan berkhasiat pada pasien yang tidak
menanggapi natamisin atau mikonazol dalam pengobatan di pengobatan keratitis
Candida.Keterbatasan flukonazol adalah cakupannya yang sempit terhadap organisme
berfilamen. Namun, ada bukti yang menunjukkan kemanjuran flukonazol subconjunctival
sebagai tambahan pada amfoterisin topikal B untuk memperluas cakupan pada pengobatan
keratomikosis. 16
6. Ketokonazol 1-2%
Ketoconazole tersedia dalam bentuk oral dan topikal. Diketahui memiliki aktivitas in vitro
baik terhadap Aspergillus sp, Candida sp, dan Curvularia sp. Namun, pemberian oral
memiliki konsentrasi baik di ruang anterior mata. Pemberian ketokonazol oral dan mikonazol
topikal secara bersamaan dilaporkan berkhasiat untuk keratitis mikotik klinis.16

28
Tabel 2. Obat anti jamur17
Nama obat Pemberian Dosis Indikasi
Amfoterisin -Topikal 1.5-5mg/ml -Ulkus karena ragi
B -Intrastromal 5-10μg -Ulkus dalam yang berespon parsial
terhadap topikal
-Intravitreal 1-10μg/0.1ml -Lini pertama pengobatan endoftalmitis
jamur
Natamycin Topikal 50mg/ml Lini pertama pengobatan ulkus jamur
berfilamen
Voriconazole -Topikal 1mg/ml -Pengobatan yang resisten terhadap
polyenes, triazol golongan pertama
-Intrastromal 50μg/0,1ml -Ulkus dalam yang berespon parsial
terhadap topikal
-Intravitreal 50μg/0,1ml -Alternatif amfoterisin pada endoftalmitis
jamur
-Oral 200mg setiap 12 -Profilaksis setelah trauma mata karena
jam tanaman
Econazole Topikal 20mg/ml Alternatif natamycin pada ulkus jamur
berfilamen
Flukonazol -Topikal 2mg/ml -Alternatif pengobatan polyenes
-Subkonjungtival 2mg/ml -Berhubungan dengan terapi pada pasien
yang tidak patuh memakai topikal
-Oral 200-400mg/hari -Terkait dengan terapi topikal pada keratitis
yang dalam atau yang memengaruhi
jaringan intraokular
Ketokonazol Oral 100-400mg setiap Terkait dengan terapi topikal pada keratitis
12 jam yang dalam atau yang memengaruhi
jaringan intraokular

 Pemberian siklopegik berupa sulfas atropin 0.5% bertujuan untuk menekan


peradangan dan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior, karena sulfas atropin
memiliki efek siklopegik yang menyebabkan pupil midriasis, sehingga mencegah
perlekatan iris pada kornea.
 Antibiotik spektrum luas, seperti moxifloxacin 0,5% eye drops, cefotaxim tablet
2x500mg,
 Artificial tears diberikan sebagai air mata buatan agar terjadi penyerapan obat tetes
mata dengan baik

Terapi pembedahan
Intervensi bedah saat ini menjadi pilihan bagi pasien yang sulit disembuhkan dengan
pengobatan medikamentosa untuk mengendalikan infeksi jamur yang dalam dan parah.
Corneal scraping sebagai intervensi bedah untuk keratitis jamur telah direkomendasikan
sebelumnya karena dengan menghilangkan lapisan epitel superfisial, dapat meningkatkan

29
penetrasi obat antijamur serta menghilangkan elemen jamur dari lapisan superfisial kornea.
Namun, terdapat bukti menunjukkan corneal scraping yang berkelanjutan dapat
memperburuk BCVA 3 bulan pada pasien yang diobati dengan natamycin atau voriconazole
dan disarankan corneal scraping terbatas pada pengambilan sampel. Intervensi bedah lainnya
penetrating keratoplasty dan lamellar keratoplasty.16
1. Keratoplasti
Transplantasi kornea (keratoplasti) diindikasikan bagi banyak kornea yang
serius, misalnya jaringan parut, edema, penipisan dan distorsi. Istilah keratoplasti
penetrans berarti penggantikan kornea seutuhnya dan keratoplasti lamelar berarti
penggantian sebagian dari ketebalan kornea.
Donor yang lebih muda lebih disukai untuk keratoplasti penetrans dan terdapat
hubungan langsung antara umur dengan kesehatan dan jumlah sel endotel. Karena
sel endotel sangat cepat mati, mata hendaknya segera diambil segera setelah donor
meninggal dan segera dibekukan. Mata utuh harus dimanfaatkan dalam 48 jam, dan
sebaiknya dalam 48 jam. Untuk keratoplasti lamelar, kornea tersebut dapat
dibekukan, didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es selama beberapa minggu, sel
endotel tidak penting untuk prosedur ini.

Gambar Keratoplasti. (A) Penetrating, (B) Lamellar

2. Transplantasi Membran Amnion


Transplantasi membran amnion dapat mengurangi potensi penolakan allograft. Bila
transplantasi kornea diperlukan, tingkat keberhasilan meningkat jika dilakukan pada mata
yang menjalani transplantasi membran amnion karena dapat mengurangi inflamasi. Untuk
ulkus kornea yang dalam, beberapa lapis membran amnion digunakan untuk mengembalikan
ketebalan kornea yang normal. Terdapat literatur yang menyebutkan penggunaan ProKera

30
pada kasus infeksi kornea, nyeri dan inflamasi mereda pada 96 jam setelah penggunaan,
defek epitel kornea dan ulkus pada stroma sembuh dengan cepat hasilnya penglihatan
membaik.18

a. ProKera adalah sistem dual-ring yang menguatkan lembaran membran amnion


semitranpasran cyropreserved. ProKera dimasukkan dibawah anestesi topikal ke fornix
superior lalu diselipkan di bawah kelopak mata inferior.
b. Pada pemeriksaan slit lamp tampak terpasang ProKera
c. Epitelisasi dapat dipantau dengan pewarnaan fluororesen

31
BAB IV
KESIMPULAN

Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan korena yang ditandai oleh adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea, diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari
epitel sampai stroma. Ulkus kornea adalah penyebab tersering kedua kebutaan setelah katarak
di negara berkembang. Menurut WHO sekitar 1,5 hingga 2,0 juta kasus baru kebutaan
monokuler di negara berkembang setiap tahun disebabkan ulserasi kornea. Salah satu
penyebab ulkus ialah infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur, dan virus.
Ulkus kornea jamur masih merupakan penyebab penting morbiditas okulardi antara
orang-orang bertempat tinggal di daerah pedesaan dan terlibat dalam bidang pertanian. Pria
dewasa muda lebih rentan mengalami cedera kornea dengan masalah vegetatif. Selain itu,
ulkus kornea karena jamur makin banyak dijumpai di antara penduduk perkotaan sejak mulai
dipakainya obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Bila terlambat didiagnosis atau
diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan
parut yang luas. Oleh karena itu, ulkus kornea jamur membutuhkan penanganan segera
dengan kecurigaan ulkus kornea jamur setelah dilakukan pemeriksaan mata dan deteksi
elemen jamur menggunakan KOH 10% sehingga dapat membatasi morbiditas okular dan
untuk mencegah komplikasi.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh et al. A restropective study of fungal corneal ulcer from the western part of Uttar
Pradesh. Int J Res Med Sci. 2015;3(4):880-2
2. Saleh LH. Epidemiology and Etiology of Corneal Ulcer Worldwide Systematic Review.
Int J Adv Res.2017;5(1):199-200
3. Rahayu R, Wulan AJ. Laki-laki 24 tahun dengan ulkus kornea dan prolaps iris occuli
dextra. J Medula Unila.2016;5(2):81-4
4. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan, P. Oftalmologi Umum. 14th Ed. Alih bahasa:
Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widya Medika. 2012
5. Amatya, R., Shrestha, S., Khanal, B., Gurung, R., Poudyal, N., Badu., BP., et al.
Etiological agents of corneal ulcer: five years prospective study in eastern Nepal. Nepal Med
Coll J. 2012 Sep;14(3):219-22
6. Susiyanti. Keratitis Dalam Buku Ajar Oftalmologi. Badan Penerbit FK UI. Jakarta:2017.
Hal 149-60
7. Vrcek I, Choudhury E, Durairaj V. Herpes zoster ophtalmicus: a review for the internist.
The American Journal of Medicine. 2017;130(1):22-3
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ulkus Kornea dalam: Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Penerbit Sagung Seto Jakarta. 2012.
9. Sharma K et al. Clinino-Epidemiological Profile of Corneal Ulcer Cases from Rural
Hospital of Haryana, India. Int J Curr Microbiol App Sci.2017;6(9):2410-16
10. Kunwar M, Adhikari, R.K., Karki, D.B. Microbial flora of corneal ulcers and their drug
sensitivity. MSJBH.2013;12(2):14-16
11. Lalitha, P., Sun, C.Q., Prajna, N.V., Karpagam, R., Geetha, M., O’Brien, K.S., et al. In
vitro susceptibi-lity of filamentous fungal isolates from a corneal ulcer clinical trial. Am J
Ophtalmol. 2014 Feb;157(2):31826.
12. Charisma AN. Anak-anak dengan ulkus kornea sebagai faktor resiko dari trauma. J
Medula Unila.2015;4(2):34-9
13. Florcruz NV, Pecson IV, Evans JR. Medical intervention for fungal keratitis. London
School of Hygiene&Tropical Medicine.2012.p2
14. Bourcier et al. Fungal Keratitis. Journal Français d'Ophtalmologie. 2017;40(9):307-13
15. Denniston AKO, Murray PI. Oxford Handbook of Ophthalmology.3rd Edition. 2014.
United Kingdom:Oxford University Press
16. Ansari Z, Miller D, Galot A. Current thoughts in fungal keratitis: Diagnosis and
treatment. Curr Fungal Infect Rep.2013;7(3):209-18
17. Muller GG, Jose NK, Castro RS. Antifungals in eye infections:drugs and routes of
administration. Rev Bras Oftalmol.2013;72(2):132-41
18. Liu J et al. Update on amniotic membrane transplantation. Expert Rev
Ophtalmol.2010;5(5):649-50

33

Anda mungkin juga menyukai