Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. M DENGAN FRAKTUR FEMUR


SINISTRA
DI ORTOPEDI RSUD SLEMAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pembimbing : Etik Pratiwi, M. Kep

Disusun Oleh :

Vienanda Anggita Sari

(2620152755/2C)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah II yang berjudul “Fraktur Femur


Sinistra” di Ortopedi RSUD Sleman, disusun untuk memenuhi tugas individu
PKK KMB II yang disahkan pada :

Hari :
Tanggal :
Tempat :

Praktikan,

(Vienanda Anggita Sari)

Mengetahui,
CI Lahan, Pembimbing Akademik,

(………………………) (…………………….)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era globalisasi modern ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang
banyak mengakibatkan teruma atau cedera (Fraktur).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas jaringan tulang yang biasanya disertai
dengan cedera jaringan lunak, kerusakan otot repture tendon, kerusakan
pembuluh darah dan luka organ-organ tubuh. Biasanya terjadi karena
disebabkan oleh pukulan langsung gaya majemuk, gerakan memutar
mendadak dan bahkan kontraksi eksterm meskipun tulang patah jaringan
sekitarnya juga akan terpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon kerusakan saraf
dan kerusakan pembuluh darah.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas
pembuatan laporan harian.
2. Tujuan Khusus :
a. Untuk mengetahui definisi tentang Fraktur Femur.
b. Untuk mengetahui etiologi Fraktur Femur.
c. Untuk mengetahui klasifikasi Fraktur Femur.
d. Untuk mengetahui manifestas klinis tentang Fraktur Femur.
e. Untuk mengetahui patofisiologi Fraktur Femur.
f. Untuk mengetahui komplikasi Fraktur Femur.
g. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik Fraktur Femur.
h. Untuk mengetahui penaktalaksanaan Fraktur Femur.
i. Untuk melakukan Asuhan Keperawatan Fraktur Femur.
j. Untuk mengetahui diagnosa dan intervensi Fraktur Femur.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang
patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang. (Price, 2006 : 1365).
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang
rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Patah tulang dapat terjadi dalam
keadaan normal atau patologis. Pada keadaan patologis, misalnya kanker
tulang atau osteoporosis, tulang menjadi lebih lemah. Dalam keadaan ini,
kekerasan sedikit saja akan menyebabkan patah tulang. (Oswari , 2005 : 144).
Fraktur femur adalah terputusnya kontiunitas batang femur yang bisa
terjadi akibat truma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok (FKUI dalam Jitowiyono, 2010 :
15).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bias
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki laki dewasa. Patah pada daerah ini menimbulkan perdarahan
yang cukup banyak menyebabkan penderitaan (Arif Muttakin, 2011).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur
femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya
kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan
fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha
(Helmi, 2012).
B. Etiologi
Menurut Arif Muttakin (2011) adapaun penyebab dari fraktur femur
adalah
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan
kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
2. Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau
calon tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.

C. Klasifikasi
Fraktur femur dibagi dalam fraktur Intertrokhanter Femur, subtrokhanter
femur, dan fraktur batang femur (Helmi, 2012).
1. Fraktur Intertrokhanter Femur
Fraktur intertrokhanter adalah patah tulang yang bersifat ekstrakapsular
dari femur. Sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis.
Fraktur ini memiliki prognosis yang baik dibandingkan fraktur
intrakapsular, di mana resiko nekrosis avaskular lebih rendah.
Pada riwayat umum didapatkan adanya trauma akibat jatuh dan
memberikan trauma langsung pada trokhanter mayor. Pada beberapa
kondisi, cedera secara memuntir memberikan fraktur tidak
langsung pada intertrokhanter.
2. Fraktur Subtrokhanter Femur
Fraktur subtrokhanter femur ialah di mana garis patahnya berada 5 cm
distal dari trokhanter minor. Fraktur jenis ini dibagi dalam beberapa
klasifikasi, tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah
klasifikasi Fielding & Magliato yaitu sebagai berikut:
a. Tipe 1 : Garis fraktur satu level dengan trokhanter minor.
b. Tipe 2 : Garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas
trokhanter minor.
c. Tipe 3 : Garis patah berada 2-3 inci di distal dari batas atas
trokhanter minor.
3. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar atau jatuh dari ketinggian. Patah
daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok, salah satu klasifikasi fraktur
batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Secara klinik fraktur batang femur dibagi dalam
fraktur batang femur terbuka dan tertutup.

D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
3. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
6. Mobilisasi abnormal
Pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan.
7. Krepitasi
Rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
8. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

E. Patofisiologi
Pada kondisi trauma diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan femur
pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang
mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mengalami jatuh dari
ketinggian. Biasanya pasien mengalami multipel trauma yang menyertainya.
Secara klinis fraktur femur terbuka sering didapatkan adanya kerusakan
neurovaskuler yang akan memberikan manifestasi peningkatan resiko syok,
baik syok hipovolemik karena kehilangan darah (pada setiap patah satu
tulang femur diprediksi akan hilangnya darah 500 cc dari sistem vaskular),
maupun syok neurologik disebabkan rasa nyeri yang sangat hebat akibat
kompresi atau kerusakan saraf yang berjalan di bawah tulang femur (Helmi,
2011).
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena
kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau
putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang
seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang menurun, tulang
rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan kedua
penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang
dapat merobek periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut
terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila
digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade
I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan
kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada
kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan
nyeri yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas
pada kulit otot periosteum dan sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya
sumsum kuning yang dapat masuk ke dalam pembuluh darah sehingga
mengakibatkan emboli lemak yang kemudian dapat menyumbat pembuluh
darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital
seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat menyebabkan infeksi.
Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam. Setelah cidera
gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi. Peningkatan isi
kompartemen otot karena edema atau perdarahan, mengakibatkan kehilangan
fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf sehingga menimbulkan
kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan
dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Tindakan
pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen yang hilang kembali ke
posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila
perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan maka akan
lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai
letak anatominya dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Price & Wilson,
2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

F. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. X-Ray dapat dilihat gambaran
fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/ anterogram
menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur
fraktur yang kompleks.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
H. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan dengan konservatif dan operatif (Marilynn
Doenges, et.all. 2000).
1. Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan
terjadinya pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena
adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang
dilakukan adalah dengan gips dan traksi.
a. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan
bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotic
b. Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan
tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian
rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang
yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain:
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan
pada keadaan emergency.
2) Traksi mekanik, ada 2 macam:
a) Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang
lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan
beban < 5 kg.
b) Traksi skeletal
Traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal /
penjepit melalui tulang / jaringan metal.
2. Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak
keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini
disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi
dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang
bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur.
Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati
diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-
fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, dan paku.
a. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan
dengan K-Wire (kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.
b. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF: Open Reduction
internal Fixation). Merupakan tindakan pembedahan dengan
melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant
pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah.

I. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien dan isi identitasnya yang
meliputi: nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama,
dan tanggal pengkajian serta siapa yang bertanggung jawab terhadap
klien.
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang apa
pernah mengalami tindakan operasi apa tidak.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka (pre/post
op).
c. Riwayat kesehatan keluarga
Didalam anggota keluara tidak / ada yang pernah mengalami
penyakit fraktur / penyakit menular.
4. Keadaan umum
Kesadaran: compos mentis, somnolen, apatis, sopor koma dan koma dan
apakah klien paham tentang penyakitnya.
5. Pengkajian Kenutuhan Dasar
a. Rasa nyaman/nyeri
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada
imobilisasi), tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
b. Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Kebersihan Perorangan
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri.
d. Cairan
Perdarahan dapat terjadi pada klien fraktur sehingga dapat
menyebabkan resiko terjadi kekurangan cairan.
e. Aktivitas dan Latihan
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena dimana Aktifitas dan
latihan mengalami perubahan/gangguan akibat adanya luka sehingga
perlu dibantu.
f. Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi
urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
g. Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
h. Neurosensory
Biasanya klien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke
dalam jaringan.
Gejala : Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan.
i. Keamanan
Tanda dan gejala : laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan local.
j. Seksualitas
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.
k. Keseimbangan dan Peningkatan Hubungan Resiko serta Interaksi
Sosial
1) Psikologis : gelisah, sedih, terkadang merasa kurang sempurna.
2) Sosiologis : komunikasi lancar/tidak lancar, komunikasi
verbsl/nonverbal dengan orang terdekat/keluarga, spiritual
tak/dibantu dalam beribadah.

J. Diagnosa dan Intervensi


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Intervensi:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor pencetus.
b. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (teknik nafas dalam)
c. Berikan informasi yang akurat untuk meningkatkan pengetahuan dan
respon keluarga terhadap pengalaman nyeri.
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan program pembatasan
gerak
Intervensi :
a. Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera
b. Instruksikan pasien untuk / bantu dalam rentang gerak pasien / aktif
pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
c. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan prosedur pembedahan
a. Observasi keadaan luka.
b. Kaji adanya tanda dan gjala infeksi.
c. Berikan perawatan luka.
d. Motivasi pasien agar menjaga kebersihan di area luka dan
menganjurkan agar tidak terkena air.
e. Kelola pemberian terapi farmakolohi
DAFTAR PUSTAKA

Jitowiyono, Sugeng. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta: Nuha


Medika.
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Noor Helmi, Zairin. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Jilid 1. Jakarta:
Salemba Medika.
Oswari, E. 2005. Bedah dan Perawatannya. Jakarta: FKUI.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai