Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hernia adalah suatu protrusi atau penonjolan isi viskus atau organ, melalui
suatu celah atau bagian yang lemah pada dinding organ tersebut. 75% dari seluruh
kasus hernia dinding abdomen muncul di daerah lipat paha. Selain itu, kejadian
hernia inguinalis 10 kali lebih banyak ditemukan dibandingkan hernia femoralis
(Rasjad, 2010). Di Amerika, terdapat 4.5 juta penduduk yang menderita hernia
inguinalis. Bahkan setiap tahunnya, terdiagnosis 500.000 kasus hernia inguinalis
baru (Zendejas et al., 2013).
Klasifikasi hernia dibagi berdasarkan kejadiannya, dan lokasi anatominya.
Berdasarkan kejadiannya, hernia dibagi menjadi hernia kongenital dan akuisita.
Hernia kongenital bisa dibagi lagi menjadi hernia kongenital sempurna, yang sudah
tampak saat lahir karena prosesnya terjadi sejak intrauterin, dan tidak sempurna, di
mana hernia baru akan tampak setelah 1-2 minggu setelah kelahiran. Sedangkan
hernia akuisita muncul pada usia lebih dari 15 tahun, dan disebabkan karena
berbagai faktor resiko dan predisposisi (Raftery et al., 2011). Berdasarkan lokasi
anatominya, hernia dibagi menjadi hernia eksterna dan interna. Hernia eksterna
merupakan hernia di mana organ dalam abdomen menonjol keluar melalui suatu
defek pada dinding abdomen atau pelvis. Penonjolan pada hernia eksterna dapat
dirasakan atau dilihat. Sedangkan hernia interna lebih jarang terjadi daripada hernia
eksterna, dan melibatkan bagian dari organ di dalam abdomen yang terdorong
melalui suatu defek pada dinding organ lain di dalam rongga abdomen, sehingga
tidak akan terasa atau teraba. Contoh hernia eksterna yaitu hernia hernia inguinalis,
hernia femoralis, dan hernia umbilikalis. Sedangkan contoh hernia interna yaitu
hernia diafragmatika dan hernia paraduodenal (Wolfson, 2010).
Berdasarkan gejalanya, hernia dibagi menjadi reponibel, ireponibel,
inkarserata, dan strangulata. Pembagian ini digunakan untuk membantu dokter
dalam menentukan diagnosis dan manajemen pada pasien, apakah pasien
membutuhkan tindakan operasi segera atau tidak. Untuk kepentingan ini perlu

1
dilakukan anamnesis yang lengkap. Sebelum itu, perlu diketahui bahwa munculnya
hernia pada seseorang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor
anatomis tubuh pasien, penyakit lain yang diderita pasien, dan life style. Pada saat
anamnesis, perlu digali mengenai gejala yang muncul pada pasien, misalnya nyeri
perut, mual, muntah, kesulitan buang air besar, dan lain-lain. Karena keterkaitan
antara gejala yang muncul dan manajemen yang perlu dilakukan sangat penting
untuk diketahui dan dikenali dengan cepat dan tepat. Selain itu, perlu juga digali
mengenai penyakit lain dan life style pasien yang bisa menimbulkan munculnya
hernia (Kingsnorth and LeBlanc, 2013).
Setelah melakukan anamnesis, dokter juga harus melakukan pemeriksaan
fisik yang sesuai dengan dugaan hernia. Berdasarkan data epidemiologi dan kasus
yang akan dibahas pada makalah ini, penjelasan akan ditekankan pada hernia
inguinalis. Diagnosis hernia inguinalis dibedakan menjadi 2 yaitu, hernia inguinalis
lateralis (HIL), atau indirek, dan hernia inguinalis medialis (HIM), atau direk. Untuk
membedakan keduanya diperlukan pemeriksaan fisik yang cermat, dan ditambah
dengan pemeriksaan penunjang bila perlu. Setelah berhasil ditegakkan
diagnosisnya, selanjutnya adalah menentukan apakah pasien akan mendapatkan
terapi konservatif atau operatif. Setelah tindakan definitif dilakukan, tidak kalah
pentingnya untuk memberikan edukasi untuk pasien dan keluarga supaya hernia
tidak muncul kembali. Oleh karena itu sangat penting bagi dokter umum untuk
memahami tentang hernia, mulai dari penegakan diagnosis, hingga tatalaksana
yang perlu dirujuk atau tidak, serta monitoring kondisi pasien pasca operasi.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn. P
Usia : 65 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama/ Suku : Islam/ Jawa
Pekerjaan : Petani
Alamat : RT. 57 RW. 13 Kel. Bandungrejo Kec. Bantur
Kabupaten Malang
Tanggal Pemeriksaan : 14 Desember 2016
No. RM : 418140

2.2 Anamnesa
Autoanamnesa (14 Desember 2016) pukul 16:10 di IGD
1. Keluhan Utama
Benjolan di buah zakar sebelah kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh keluar benjolan pada buah zakar sebelah kanan sejak 2 hari
SMRS kemudian masuk kembali, namun sejak 1 hari SMRS benjolan keluar
lagi, dan tidak dapat masuk kembali. Pasien juga mengeluh nyeri perut bagian
bawah, mual dan muntah setiap kali selesai makan, serta tidak bisa BAB sejak
2 hari SMRS. Pasien masih bisa kentut dan BAK lancar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah mengalami munculnya benjolan pada buah zakar kanan sejak 3
tahun yang lalu. Namun benjolan hanya keluar saat pasien mengejan, atau
mengangkat beban berat, setelah itu benjolan masuk kembali saat pasien
berbaring. Pasien bekerja sebagai petani sejak usia muda. Pasien memiliki
riwayat sering mengangkat barang yang berat sejak muda. Riwayat batuk lama

3
disangkal.
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat terkait keluhan tersebut. Karena sebelumnya
pasien tidak mengalami gejala yang mengganggu seperti sekarang. Riwayat
pijat pada daerah perut dan bejolan disangkal.

2.3 Pemeriksaan Fisik


14 Desember 2016 di IGD
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS 456
BB: 74 kg, TB: 175 cm, BMI: 24,16 kg/m2
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 130/90 mmHg
b. Nadi : 96 x/menit, reguler
c. Laju pernapasan : 18 x/menit
d. Suhu aksiler : 36.30 C
3. Kepala
a. Bentuk : normosefal, benjolan (-), UUB cekung (-)
b. Ukuran : mesosefal
c. Rambut : tipis, putih
d. Wajah : simetris, lonjong, rash (-), sianosis (-), edema (-)
e. Mata
Konjungtiva : anemis (-|-)
Sklera : ikterik (-|-)
Palpebra : edema (-|-)
Reflex cahaya : (+|+)
Pupil : bulat, isokor, 3mm|3mm
f. Telinga : bentuk normal, posisi normal, sekret (-)

4
g. Hidung : sekret (-), PCH (-), perdarahan (-), hiperemia (-)
h. Mulut : mukosa basah, sianosis (-), lidah kotor (-), mulut
dapat terbuka maksimal
4. Leher
a. Inspeksi : massa (-)
b. Palpasi : pembesaran KGB (-|-), JVP R+2cm
5. Thorax
a. Inspeksi : bentuk dada kesan normal dan simetris, retraksi
dinding dada (-), tidak didapatkan deformitas
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis palpable at ICS V MCL S
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 single, regular, ekstrasistol (-), gallop (-),
murmur (-)
c. Paru
Inspeksi : gerak napas simetris pada kedua dinding dada,
retraksi (-)
Palpasi : pergerakan dinding dada simetris
Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
Auskultasi : v | v Rh - | - Wh - | -
v|v -|- -|-
v|v -|- -|-
6. Abdomen
a. Inspeksi : flat, jaringan parut (-)
b. Auskultasi : bising usus (+)
c. Perkusi : timpani, meteorismus (-), shifting dullness (-)
d. Palpasi : soefl, H/L tidak teraba, nyeri tekan regio
hipogastrik (+), defans muskuler (-)

5
7. Genetalia
a. Inspeksi : tampak benjolan mulai dari inguinal D hingga
skrotum D
b. Palpasi : konsistensi lunak, transiluminasi (-), reducible (-)
c. Auskultasi : bising usus tidak terdengar
8. Ekstremitas : akral hangat kering + | +
+|+
anemis - | -, ikterik - | -, edema - | -
-|- -|- -|-
sianosis - | -, ptechiae - | -, CRT <2 detik
-|- -|-
9. Status neurologis : GCS 456
PBI 3mm|3mm, RC (+|+), RK (+|+)
MS (-), KK (-)
Motorik 5 | 5
5|5

Gambar Klinis

6
2.4 Pemeriksaan Laboratorium (14 Desember 2016  15 Desember 2016)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 15,9 13,3 - 17,7
Hematokrit 43,3 40 - 54
Hitung Eritrosit 5,05 4,5 - 6,5
Hitung Leukosit 13.190 4.000 - 11.000
Hitung Trombosit 278.000 150.000 - 450.000
PT 11,5 9,7 - 13,1
aPTT 29,4 22,0 - 30,0
Gula Darah Sewaktu 116 <140
SGOT 18 <36
SGPT 18 <36
Ureum 95  172 20 - 40
Creatinine 2,09  3,74 0,6 - 1,1
Natrium 139 136 - 145
Kalium 4.9 3,5 - 5,5
Klorida 103 97 - 107
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

2.5 Resume
Tn. P/ 65 th

Anamnesis
 Benjolan di buah zakar sebelah kanan sejak 2 hari SMRS kemudian masuk
kembali, sejak 1 hari SMRS benjolan keluar lagi dan tidak dapat masuk
kembali. Nyeri perut bagian bawah (+), mual (+), muntah (+) setiap kali
selesai makan, tidak bisa BAB sejak 2 hari SMRS.
 Benjolan keluar masuk sejak 3 tahun yang lalu. Keluar saat mengejan dan
mengangkat beban berat, masuk saat berbaring. Riwayat sering mengangkat
beban berat (+), riwayat batuk lama (-).
 Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang sama

7
 Pasien belum pernah berobat.

Pemeriksaan fisik
 Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS: 456, BMI: 24,16 kg/m2
 Tanda vital: Tekanan darah : 130/90 mmHg.
Denyut jantung : 96 x/menit reguler.
Pernapasan : 18 x/menit.
Suhu aksiler : 36,30 C.
 Kepala : tidak ditemukan kelainan.
 Leher : tidak ditemukan kelainan.
 Thoraks : tidak ditemukan kelainan.
 Abdomen : flat, jaringan parut (-), bising usus (+)
timpani, meteorismus (-), shifting dullnes (-)
soefl, H/L tidak teraba, nyeri tekan hipogastrik (+),
defans muskuler (-)
 Genetalia : tampak benjolan mulai dari inguinal D hingga skrotum
D
konsistensi lunak, transiluminasi (-), reducible (-)
bising usus tidak terdengar
 Ekstremitas : tidak ditemukan kelainan.
 Status neurologis : tidak ditemukan kelainan.

2.6 Diagnosis
a. Diagnosis Kerja
Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Inkarserata
b. Rencana Diagnosis
- Pemeriksaan DL, OT/PT, Ur/Cr, PPT, APTT, HBsAg (terlampir)
- Thorax AP
- EKG

8
2.7 Rencana Terapi
a. Pro Herniotomi Hernioplasti Dekstra dengan Prostesis
b. Posisi Trendelenburg
c. IVFD RL 1000 cc grojog  maintenance 20 tpm
d. Injeksi Diazepam 10 mg bolus i.v. pelan
e. Injeksi Tramadol 50 mg bolus i.v.
f. Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram i.v.  skin test terlebih dahulu
g. Injeksi Metronidazole 3x500 mg i.v.
h. Injeksi Ranitidine 2x50 mg i.v.
i. Injeksi Ondansetron 3x8 mg i.v.
j. Pemasangan NGT ditoler
k. Pemasangan foley kateter
l. MRS ruangan  rencana operasi:
 Drip Tramadol 100 mg dalam 500 cc RL per 8 jam
 Injeksi Diazepam 3x10 mg bolus i.v. pelan

2.8 Rencana Edukasi


a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita, rencana
pemeriksaan, dan rencana terapi yang akan dilakukan.
b. Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
c. Menjelaskan kemungkinan perkembangan dan komplikasi penyakit dan
pentingnya kerjasama pasien dalam pelaksanaan tindakan medis dan
pengobatan.
d. Mengikuti terapi dengan baik sesuai petunjuk dokter.
e. Menjelaskan kepada pasien pentingnya tindakan cito karena kondisi pasien
termasuk gawat darurat.
f. Menjelaskan bahwa dalam 3 bulan post operasi, pasien harus menghindari
aktifitas berat terutama yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen.

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Hernia adalah suatu protrusi atau penonjolan isi viskus atau organ, melalui
suatu celah atau bagian yang lemah pada dinding organ tersebut, yang secara
normal tidak dapat dilewati. Penonjolan tersebut bisa keluar ke kulit atau masuk ke
rongga lain (Grace dan Borley, 2007). Pada laporan kasus ini akan dibahas
mengenai hernia inguinalis, karena berdasarkan epidemiologi hernia yang paling
banyak ditemukan pada praktek sehari-hari adalah hernia eksterna pada dinding
abdomen bagian bawah.
Hernia pada dinding abdomen bagian bawah memiliki 3 bagian, seperti
tampak pada Gambar 2.1. Hernia memiliki kantung hernia, isi kantung, dan pelapis
kantung hernia. Kantung hernia merupakan kantung atau diverticulum peritoneum
yang memiliki leher dan badan. Isi kantung dapat berupa struktur apapun yang ada
di dalam rongga abdomen dan dapat bervariasi mulai dari bagian kecil dari omentum
hingga organ besar seperti ginjal. Pelapis kentung hernia merupakan lapisan dinding
abdomen di mana kantung hernia berada (Nigam and Nigam, 2008).

Gambar 2.1 Bagian dari Hernia

3.2 Epidemiologi
Kejadian hernia pada pria lebih banyak 6 kali dibandingkan pada wanita.
Prosentase hernia pada pria adalah 97% di ingunal, 2% di femoral, dan 1% di

10
umbilikus. Sedangkan pada wanita, hanya 50% hernia yang terjadi di inguinal, 34%
di femoral, dan 16% di umbilikus. 75% dari seluruh kasus hernia dinding abdomen
muncul di daerah lipat paha. Selain itu, kejadian hernia inguinalis 10 kali lebih
banyak ditemukan dibandingkan hernia femoralis (Rasjad, 2010). Di Amerika,
terdapat 4.5 juta penduduk yang menderita hernia inguinalis. Bahkan setiap
tahunnya, terdiagnosis 500.000 kasus hernia inguinalis baru. Oleh karena itu,
terdapat 20 juta operasi hernia inguinalis yang tercatat di seluruh dunia setiap satu
tahun. Pada masing-masing negara terdapat perbedaan total operasi, namun
jumlahnya sekitar 100-300 prosedur per 100.000 penduduk setiap tahun (Zendejas
et al., 2013).
Bila ditinjau dari prevalensi hernia inguinalis, perbandingan antara prevalensi
HIL dan HIM adalah 2:1. Sedangkan perbandingan HIL pada pria dan wanita adalah
7-9:1. HIL lebih banyak ditemukan pada sisi kanan dibandingkan kiri. Hal tersebut
dikarenakan testis kiri lebih dulu mengalami penurunan ke skrotum dibandingkan
testis kanan. Testis kanan mengalami penurunan dari rongga retroperitoneal lebih
lambat, sehingga obliterasi kanalis inguinalis kanan terjadi lebih lama dibandingkan
sebelah kiri. Berdasarkan usia, terdapat peningkatan insidens hernia inguinalis pada
pria, yaitu 7.3% pada usia 24-39 tahun, 14.8% pada usia 40-59 tahun, dan 22.8%
pada usia 60-74 tahun (Ruhl and Everhart, 2007) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Insidens Hernia Inguinalis Berdasarkan Usia (Ruhl and Everhart,
2007)

11
Di sisi lain, insidens terjadinya hernia inguinalis juga dipengaruhi oleh body
mass index (BMI). Penelitian dengan follow up selama 22 tahun yang dilakukan di
United States, memiliki hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan di Israel
dan Netherlands. Hasilnya menyebutkan bahwa terdapat penurunan angka insidens
hernia inguinalis pada pria dengan berat badan berlebih dan obesitas dibandingkan
dengan pria dengan berat badan normal (Gambar 2.3). Penjelasan mengenai hasil
ini masi sebatas hipotesis, yaitu pada orang dengan berat badan berlebih atau
obesitas, terdapat jaringan lemak yang lebih banyak. Sehingga otot dinding
abdomen kemungkinan akan diperkuat dengan adanya kelebihan lemak. Oleh
karena itu bariernya menjadi semakin kuat terhadap munculnya hernia (Ruhl and
Everhart, 2007).

Gambar 2.3 Insidens Hernia inguinalis Berdasarkan BMI (Ruhl and Everhart,
2007)

3.3 Anatomi
3.3.1 Anatomi Abdomen
Abdomen adalah rongga terbesar pada tubuh manusia, yang terletak di
antara diafragma dan pelvis. Batas superior abdomen adalah processus xiphoideus
dan arcus costae. Batas inferior adalah simphysis pubis, ligamentum inguinalis,
krista pubikum, dan krista iliaka. Bagian posterior dibatasi oleh tulang vertebrae.
Dinding abdomen terdiri dari beberapa lapisan, sebagai berikut (Grace dan Borley,
2007) (Gambar 2.4):

12
1. Kulit
Kulit dinding abdomen dipersarafi oleh ramus anterior dari enam n.
interkostalis terbawah dan n. iliohipogastrikus.
2. Fascia
Fascia superfisialis terdiri dari dua lapisan:
- Fascia Camper (lapisan lemak superfisialis) yang bersambungan dengan
lemak superfisial.
- Fascia Scarpa (lapisan fibrosa profunda) yang akan menghilang di atas
dan lateral, namun di bawah menyatu dengan fascia lata pada paha tepat
di bawah ligamentum inguinale. Di lateral menyatu dengan arcus pubis.
Di perineum disebut fascia Colles.
3. Otot dinding anterior abdomen
- m. obliqus eksternus
- m. obliqus internus
- m. transversus abdominis
- m. rektus abdominis
- m. piramidalis
Struktur neurovaskuler melewati bidang antara m. obliqus internus dan m.
transversus abdominis.
4. Selubung rektus
Selubung rektus melapisi m. rektus abdominis dan merupakan tempat
pembuluh darah epigastrika superior dan inferior, dan ramus anterior n.
torakalis terbawah. Selubung ini terbuat dari aponeuronis otot-otot dinding
anterior abdomen. Linea alba terbentuk dari penyatuan aponeurosis di
tengah. Terdapat perubahan selubung pada batas costae dan simphysis
pubis:
- Batas costae: hanya ada aponeurosis m. obliqus eksternus yang
membentuk selubung anterior.
- Batas simphysis pubis: pada pertengahan antara umbilikus dan
simphysis pubis, lapisan yang berada di belakang m. rektus abdominis

13
menghilang kemudian semua aponeurosis melewati bagian anterior m.
rektus abdominis, kecuali fascia transversalis.
Bagian lateral m. rektus abdominis adalah linea semilunaris.
5. Fascia transversalis
Lapisan fibrosa di posterior m. transversus abdominis dan anterior dari lemak
ekstraperitoneal. Fascia transversalis memiliki pembukaan berbentuk oval di
pertengahan ligamentum ingunalis. Pembukaan ini disebut deep inguinal
ring. Cincin ini dilewati oleh korda spermatika pada pria atau ligamentum
rotundum pada wanita.
6. Lemak ekstraperitoneal
Jaringan lemak tipis di antara fascia transversalis dan peritoneum parietalis.
7. Peritoneum
Peritoneum parietalis merupakan membran serosa yang menjadi lapisan
paling posterior dari dinding abdomen. Sedangkan peritoneum visceralis
adalah lapisan yang melapisi organ viscera.

Gambar 2.4 Anatomi Dinding Abdomen

14
Pembuluh darah arteri pada dinding abdomen adalah a. epigastrika superior
dan inferior, yang merupakan cabang a. torakalis interna dan iliaka eksterna. Selain
itu juga a. iliaka sirkumflexa profunda di anterior yang merupakan cabang dari a.
iliaka eksterna. Dua a. interkostalis terbawah dan empat a. lumbalis memberikan
pasokan darah ke dinding posterolateral abdomen. Sedangkan v. paraumbilikalis
membentuk anastomose dengan arteri di sekeliling umbilicus, kemudian mengalir ke
vena porta (Grace dan Borley, 2007).

3.3.2 Anatomi Regio Inguinal


Lapisan pada region ingunal mulai dari lapisan terluar hingga terdalam
adalah sebagai berikut (Gray, 2000) (Gambar 2.5):

Gambar 2.5 Anatomi Regio Inguinal

1. Aponeurosis m. obliqus eksternus


Fascia superfisialis dan profundus menyatu setelah mencapai dinding
anterior abdomen kemudian membentuk aponeurosis m. obliqus eksternus.
Aponeurosis terbagi menjadi 2 bagian di dekat tuberkulum pubikum, yaitu
crus superior dan crus inferior.

15
2. M. obliqus internus
Mulai dari tepi lateral m. rektus abdominis berjalan ke arah posterolateral
menuju pertengahan lateral ligamentum inguinalis.
3. Ligamentum Poupart
Ligamentum inguinalis merupakan penebalan aponeurosis m. obliqus
eksternus. Berjalan mulai dari SIAS hingga ramus superior pubis.
4. Ligamentum Gimbernat
Ligamentum lakunare terbentuk dari serabut tendon obliqus internus.
Ligamentum ini membentuk sudut <450 sebelum melekat pada ligamentum
pektineal. Ligamentum ini juga membentuk dinding medial kanalis femoralis.
5. Fascia transversalis
6. Trigonum Hasselbach
Gambar 2.6. Segitiga ini dibatasi oleh:
- Superolateral : a./v. epigastrica inferior
- Medial : batas lateral m. rectus abdominis
- Inferior : ligamentum inguinalis

Gambar 2.6 Anatomi Trigonum Hasselbach

7. Kanalis inguinalis
Merupakan saluran oblik yang berjalan di atas ligamentum inguinalis. Batas-
batas kanalis inguinalis adalah:

16
- Anterior : aponeurosis m. obliqus esternus dan 1/3 lateral oleh m.
obliqus internus.
- Posterior : fascia transversalis yang diperkuat cojoint tendon di 1/3
medial.
- Inferior : ligamentum ingunalis dan lakunare.
Pada pria kanalis ini dilewati oleh vas deferens, arteri spermatika interna,
arteri diferential, arteri spermatika eksterna, plexus pampiniformis, m.
kremaster, n. genitofemoral, dan n. ilioinguinalis. Sedangkan pada wanita
dilewati ligamentum rotundum dan n. ilioinguinalis.
8. Annulus internus
Dibentuk oleh ligamentum inguinalis dan conjoint tendon. Merupakan tempat
keluarnya funikulus spermatikus dari cavum abdomen.
9. Annulus eksternus
Terdiri dari crus lateral dan medial. Tempat keluarnya n. ilioinguinalis dan
funikulus spermatikus ke skrotum.

3.4 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan terjadinya, hernia dibagi menjadi (Raftery et al.,
2011):
1. Hernia kongenital
Hernia kongenital dibagi menjadi hernia kongenital sempurna, yang sudah
tampak saat lahir karena prosesnya terjadi sejak intrauterin, dan tidak
sempurna, di mana hernia baru akan tampak setelah 1-2 minggu setelah
kelahiran.
2. Hernia akuisita
Hernia akuisita muncul pada usia lebih dari 15 tahun, dan disebabkan karena
berbagai faktor resiko dan predisposisi.
Klasifikasi berdasarkan lokasinya, hernia dibagi menjadi (Wolfson, 2010):
1. Hernia eksterna, contohnya:
a. Hernia Inguinalis Lateralis
b. Hernia Inguinalis Medialis

17
c. Hernia Femoralis
d. Hernia Umbilikalis
e. Hernia Sikatrikalis
f. Hernia Sciatic
g. Hernia Petit
h. Hernia Spigelian
i. Hernia Perinealis
2. Hernia interna, contohnya:
a. Hernia Obturatoria
b. Hernia Diafragmatika
c. Hernia Foramen Winslowi
d. Hernia Ligamentum Treit
Klasifikasi berdasarkan gejalanya, hernia dibagi menjadi (Kingsnorth and
LeBlanc, 2013):
1. Hernia reponibel
Hernia dapat keluar masuk dengan sendirinya. Keluar ketika pasien berdiri
atau sedang mengejan, dan akan masuk ketika pasien berbaring.
2. Hernia ireponibel
Terjadi ketika hernia tidak bisa keluar masuk lagi, karena terjadi perlekatan
antara isi kantung dengan peritoneum kantung hernia. Namun pada tahap ini
juga belum muncul keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
3. Hernia inkarserata
Terjadi bila isi kantung terjepit oleh cincin hernia sehingga terperangkap dan
tidak dapat kembali ke rongga abdomen. Setelah itu akan muncul gejala
gangguan pasase usus. Pasien akan mengeluhkan rasa nyeri, gangguan
pasase usus seperti mual, muntah, gangguan flatus, dan BAB.
4. Hernia strangulata
Sama seperti hernia inkarserata, namun juga disertai gangguan
vaskularisasi. Pada tahap ini pasien akan mengeluhkan nyeri, gejala
gangguan pasase usus, disertai gejala toksik akibat gangguan vaskularisasi
hernia.

18
3.5 Etiologi
Hernia inguinalis bisa terjadi akibat anomali kongenital atau didapat karena
berbagai faktor resiko dan predisposisi. Pada bayi dan anak-anak, munculnya HIL
bisa terjadi karena prosesus vaginalis yang persisten, sehingga terdapat jalur antara
rongga abdomen yang turun ke skrotum. Faktor predisposisi yang meningkatkan
kemungkinan seseorang bisa terkena hernia adalah jenis kelamin pria, terdapat
kelemahan otot abdomen yang terdapat sejak lahir, atau karena faktor usia, serta
memiliki riwayat hernia di tempat lain. Hernia inguinalis yang didapat atau akuisita
bisa terjadi karena dua kondisi, yaitu (Ahmad dan Kamardi, 2007):
1. Kelemahan otot dinding abdomen:
a. Trauma dinding abdomen.
b. Lemahnya otot abdomen karena kesalahan diet (kekurangan protein
dan kalori), kekurangan olahraga, atau keduanya.
c. Kelemahan dinding otot abdomen karena faktor usia.
d. Gangguan saraf karena kerusakan n. ilioinguinalis dan n. iliofemoralis
setelah operasi appendiktomi.
2. Peningkatan tekanan intraabdominal:
a. Obesitas (masih kontroversi)
b. Penurunan berat badan yang drastis
c. Tumor
d. Mengangkat beban berat
e. Mengejan  konstipasi, obstruksi usus, BPH, kanker prostat
f. Kehamilan
g. Ascites
h. Batuk kronis  penyakit paru atau merokok

3.6 Patofisiologi
Sebenarnya secara fisiologis, terdapat beberapa faktor protektif yang
terdapat pada tubuh manusia agar tidak terjadi hernia. Kanalis inguinalis yang
berjalan miring, m. obliqus interus yang menutup annulus inguinalis internus saat
berkontraksi, dan fascia transversalis yang kuat menutup trigonum Hasselbach.

19
Apabila terjadi gangguan pada mekanisme protektif tersebut, akan muncul hernia.
Hal apapun yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen disertai dengan
adanya kerusakan pada struktur protektif di atas, dapat menyebabkan hernia. Bagan
patofisiologi dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Hernia inguinalis indirek/ lateralis (HIL) biasanya muncul karena prosesus
vaginalis persisten. Sehingga meninggalkan kantung peritoneum yang kosong di
dalam kanalis inguinalis. Pada minggu ke 12 usia gestasi, akan terbentuk prosesus
vaginalis, yang merupakan proses pembuatan kantung dari peritoneum. Testis
dengan bantuan gubernakulum akan mengalami penurunan dari rongga
retroperitoneal menuju kantung skrotum. Prosesus vaginalis akan mengalami
obliterasi setelah testis turun sempurna, yaitu sekitar usia 2 tahun. Hernia akan
nampak secara klinis ketika usus atau organ abdomen yang lain mengisi dan
memperbesar kantung tersebut. Kantung hernia mengikuti funikulus spermatikus
turun ke kantung skrotum pada pria, atau mengikuti ligamentum rotundum pada
wanita menuju tuberkulum pubikum. HIL bisa kongenital, menempel pada vas
deferens, atau akuisita, terpisah dari vas deferens (Burcharth et al., 2013).
Hernia inguinalis direk/ medialis (HIM) selalu akuisita, sehingga jarang sekali
ditemukan pada usia kurang dari 25 tahun. HIM muncul karena degenerasi dan
perubahan jaringan lemak pada aponeurosis fascia transversalis sebagai dasar
inguinal atau dinding posterior trigonum Hasselbach. Kebanyakan HIM tidak memiliki
batas peritoneum yang jelas dan tidak mengandung usus, namun terutama lemak
preperitoneal, atau bahkan vesica urinaria. HIM yang besar dan lama bisa melebar
hingga ke skrotum dan dapat mengandung usus atau isi abdomen. Karena defek
pada HIM sering dikarenakan kelemahan dan peregangan pada jaringan dasar
inguinal, bukan defek berupa cincin yang berbatas tegas, HIM jarang mengalami
strangulasi. Strangulasi sering terjadi pada HIL. Saat terjadi prolaps usus melalui
defek pada dinding anterior abdomen, akan terjadi sekuestrasi cairan di dalam
lumen usus yang mengalami herniasi. Pertama akan terjadi gangguan drainase limfe
dan vena, kemudian akan terjadi pembengkakan, lalu aliran arteri juga akan
terganggu. Bila sudah muncul gangrene dan tidak segera diobati, akan terjadi

20
perforasi. Peritonitis juga bisa terjadi karena penyebaran dari kantung hernia ke
ruang peritoneum (Lawrence, 2013).

Gambar 2.7 Patofisiologi Hernia Inguinalis

3.7 Diagnosis
3.7.1 Anamnesis
Pertama tanyakan mengenai identitas pasien secara lengkap, termasuk jenis
kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, pekerjaan, penyakit lain yang menyertai
seperti penyakit paru, pembesaran prostat, gangguan gastrointestinal, serta riwayat
keluhan yang sama dalam keluarga. Pertanyaan tersebut perlu ditanyakan untuk
mengetahui faktor resiko dan predisposisi. Pasien biasanya akan datang dengan
keluhan muncul benjolan pada perut bagian bawah, lipat paha, atau skrotum pada
pria, atau labium mayor pada wanita. Pasien harus ditanya mengenai onset
munculnya benjolan, apakah ini baru pertama kalinya muncul benjolan seperti

21
sekarang. Kemudian juga perlu digali kapan benjolan tersebut keluar. Apakah
benjolan keluar setelah pasien mengejan, mengangkat beban yang berat, batuk,
atau menangis (pada anak-anak). Selanjutnya apakah benjolan masuk kembali
ketika pasien beristirahat dengan berbaring (Ahmad dan Kamardi, 2007).
Gejala lain yang muncul selain benjolan perlu ditanyakan kepada pasien
secara detail. Apakah pasien merasa nyeri perut atau nyeri pada benjolannya.
Gejala gangguan pasase juga dapat muncul saat terjadi inkarserata atau
strangulata. Pada kondisi inkarserata akan terjadi ileus, sehingga akan muncul
gejala obstruksi usus seperti mual, muntah, dan gangguan BAB. Gejala yang sama
juga bisa muncul pada saat hernia mengalami strangulata karena adanya gangguan
vaskularisasi. Hernia strangulata akan terasa sangat nyeri, bahkan dapat diikuti
dengan gejala sepsis. Usaha untuk mereduksi hernia yang sudah mengalami
strangulata adalah kontraindikasi. Hernia strangulata bisa berkembang menjadi
gangrene dan mengalami nekrosis. Sedangkan HIM memiliki gejala yang lebih
sedikit dibandingkan HIL (Ahmad dan Kamardi, 2007).

3.7.2 Pemeriksaan Fisik


Inspeksi (Way, 2003):
- Inspeksi dilakukan pada posisi berdiri dan berbaring, untuk melihat
simetris atau asimetrisnya kedua lipat paha, skrotum, atau labia pasien.
- Pasien diminta untuk berdiri. Lokasi benjolan biasanya di lipat paha.
Lakukan valsava manuver jika benjolan tidak muncul.
- Pada hernia reponibel, hernia akan muncul saat pasien melakukan
manuver yang meningkatkan tekanan intraabdomen, dan akan hilang
saat pasien berbaring atau direposisi.
- Pada hernia ireponibel, hernia akan muncul saat pasien melakukan
manuver yang meningkatkan tekanan intraabdomen, namun tidak hilang
saat pasien berbaring atau direposisi.
- Bila anak sering menangis, gelisah, dan disertai perut kembung, bisa jadi
terjadi hernia strangulata.
- Benjolan berbentuk lonjong pada HIL, dan bulat pada HIM.

22
- HIM terjadi karena peningkatan tekanan intraabdomen kronis dan
kelemahan otot abdomen trigonum Hasselbach, sehingga biasanya
terjadi pada orang tua dan muncul bilateral.
- HIL berbentuk lonjong karena harus melalui kanalis inguinalis. Pada bayi
dan anak-anak HIL terjadi karena adanya prosesus vaginalis yang
persisten.
Palpasi (Saha, 2013):
- Palpasi hernia dilakukan dalam keadaan terdapat benjolan.
- Raba bagaimana konsistensinya, reducible, dan transiluminasi +/-.
- Coba lakukan reposisi pada hernia ireponibel.
- Lakukan pemeriksaan khusus untuk menentukan apakah HIL atau HIM:
o Zieman test, Gambar 2.8:
 Benjolan direduksi terlebih dahulu.
 3 jari yang digunakan untuk memeriksa, memeriksa sisi
kanan dengan tangan kanan dan sebaliknya. Kemudian
pasien diinstruksikan untuk batuk:
 Jari telunjuk pada annulus internus  HIL
 Jari tengah pada trigonum Hasselbach  HIM
 Jari manis pada fossa ovalis  hernia femoralis

Gambar 2.8 Zieman Test

23
o Finger test, Gambar 2.9:
 Pasien diposisikan berbaring. Kemudian benjolan
direduksi terlebih dahulu.
 Dengan menggunakan jari telunjuk, dorong kulit skrotum
mulai dari bagian atas testis menuju annulus eksternus.
Evaluasi ukuran annulus eksternus. Kemudian lanjutkan
mendorong hingga jari telunjuk berda di dalam kanalis
inguinalis.
 Pasien diminta untuk batuk:
 Impuls di ujung jari  HIL
 Impuls di sisi jari  HIM

Gambar 2.9 Finger Test

o Thumb test, Gambar 2.10:


 Pasien diposisikan berbaring atau berdiri. Benjolan
direduksi terlebih dahulu.

24
 Ibu jari ditekankan pada annulus internus. Kemudian
pasien diminta untuk melakukan valsava maneuver:
 Bila benjolan keluar  HIM
 Bila benjolan tidak keluar  HIL

Gambar 2.10 Thumb Test

Auskultasi:
- Terdengar suara bising usus pada benjolan.

3.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, serum elektrolit, dan
urinalisis. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah ada leukositosis
yang biasa akan muncul pada pasien mengalami sepsis. Sedangkan pemeriksaan
fungsi ginjal (ureum, kreatinin) dan serum elektrolit dilakukan untuk mendeteksi
adanya azotemia pre renal akibat dehidrasi dan gangguan elektrolit akibat muntah
yang biasanya muncul pada pasien hernia. Bila terjadi peningkatan kreatinin pada
pemeriksaan laboratorium kedua dibandingkan pertama, bisa jadi pasien sudah
mengalami gagal ginjal akut yang memerlukan penanganan segera. Sedangkan
pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk melihat apakah ada masalah pada traktus
urinarius untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada kasus hernia adalah
USG. Pada pemeriksaan USG dapat dievaluasi apakah ada massa pada lipat paha
atau dinding abdomen dan juga dapat membedakan penyebab pembengkakan testis.

25
Selain itu juga bisa dicari penyebab peningkatan tekanan intraabdomen, seperti
adanya ascites atau tumor pada abdomen. Pemeriksaan foto thorax juga bisa
dilakukan bila pasien mengalami batuk kronis (Jones, 2013).

3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding masa pada daerah inguinal atau lipat paha adalah
sebagai berikut:
 Inguinal hernia  Hematoma
 Femoral hernia  Lipoma
 Hidrokel testis  Tumor testis
 Limfadenopati  Torsio testis
 Limfadenitis  Epididimitis
 Abses inguinal  Testis ektopik
 Varikokel  Femoral aneurysm

3.9 Tatalaksana
Tatalaksana konservatif pada pasien hernia inguinalis adalah dengan
melakukan reposisi dan menggunakan penyangga untuk mempertahankan posisi
hernia yang telah direposisi. Reposisi dilakukan untuk kasus hernia inguinalis kecuali
yang sudah mengalami inkarserata dan strangulata. Namun, hernia strangulata pada
anak boleh dilakukan tindakan reposisi. Langkah-langkah reposisi adalah sebagai
berikut (Fitzgibbons et al., 2013):
- Reposisi dilakukan dengan memberikan obat sedasi dan analgetik kuat
terlebih dahulu agar pasien tenang dan mencegah peningkatan tekanan
intraabdomen.
- Untuk menurunkan tekanan intraabdomen pasien diposisikan berbaring
supinasi dengan posisi Trendelenburg dan bantal yang diletakkan di
bawah lutut.
- Kompres dingin juga bisa dilakukan untuk membantu mengurangi rasa
nyeri.

26
- Posisikan kaki ipsilateral seperti kaki katak (rotasi eksterna pada sendi
panggul dan fleksi pada sendi lutut).
- Tangan kiri memegang isi hernia membentuk corong sedangkan tangan
kanan mendorong ke arah cincin hernia dengan tekanan lambat tapi
menetap sampai terjadi reposisi.
- Konsul ke ahli bedah jika usaha reposisi tidak berhasil dalam 2 kali
percobaan.
- Pada anak-anak dengan hernia inguinalis strangulata, bila berhasil
direposisi, rencanakan operasi hari berikutnya, namun bila gagal, harus
segera dioperasi dalam waktu 6 jam.
- Setelah dilakukan reposisi, diberikan sabuk penyangga untuk
mempertahankan supaya hernia tidak muncul kembali. Nama lain dari
sabuk penyangga ini adalah truss, seperti Gambar 2.11. Namun
penggunaan truss ini tidak dapat menyembuhkan sehingga harus dipakai
seumur hidup. Sebaiknya cara ini tidak dianjurkan karena menimbulkan
komplikasi, antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding perut di
daerah yang tertekan. Pada anak-anak cara ini dapat menimbulkan atrofi
testis karena tekanan pada tali sperma yang mengandung pembuluh
darah testis.

Gambar 2.11 Truss

27
Dokter umum harus segera mengkonsultasikan pasien ke dokter bedah jika
didapatkan kondisi sebagai berikut (Fitzgibbons et al., 2013):
- Reposisi hernia 2 kali tidak berhasil
- Hernia yang mengalami inkarserata dan strangulata
- Kondisi pasien yang buruk
- Pada hernia inkarserata dan strangulata harus segera dilakukan operasi
walaupun terdapat kontraindikasi.
- Untuk pasien geriatri, sebaiknya operasi direncanakan secara elektif
guna mempersiapkan kondisi pasien untuk anestesi dan operasi.
- Pada hernia inkarserata dan strangulata, operasi cito harus di lakukan.
Penatalaksanaan non operatif untuk mereduksi hernia inkerserata dapat
dicoba terlebih dahulu. Pasien di posisikan dengan panggul dielevasikan
dan diberi analgetik serta sedasi untuk melemaskan otot.
- Operasi hernia dapat ditunda jika massa hernia dapat masuk kembali dan
tidak ada gejala strangulata.
Operasi hernia dilakukan pada (Ahmad dan Kamardi, 2007):
- Semua anak-anak dengan HIL, karena untuk mencegah komplikasi
inkarserata, strangulata, dan gangren usus serta testis.
- Pasien dewasa dengan HIL inkarserata dan strangulata harus dilakukan
operasi cito. Sedangkan untuk HIL reponibel atau ireponibel, dapat
dilakukan operasi elektif.
Operasi hernia dilakukan dalam 3 tahap:
1. Herniotomi
Membuang kantung hernia dan memperkecil leher kantung hernia.
2. Herniorafi
Membuang kantung hernia dan memperkecil leher kantung hernia, serta
merekonstruksi dinding abdomen.
3. Hernioplasti
Membuang kantung hernia dan memperkecil leher kantung hernia,
menggunakan mesh patch untuk memperkuat dinding abdomen.
Hernioplasti pada hernia inguinalis lateralis ada beberapa metode, yaitu

28
sebagai berikut (Simons et al., 2009):
1. Ferguson
Menjahitkan conjoint tendon ke ligamentum inguinalis. Kemudian
funikulus spermatikus diletakkan di sebelah dorsal dari aponeurosis m.
obliqus eksternus dan internus abdominis.
2. Bassini
Biasa digunakan untuk HIL atau HIM berukuran kecil. Conjoint tendon
dijahitkan ke ligamentum inguinalis.
3. Halsted
Aponeurosis m. obliqus eksternus, m. obliqus internus, dan m.
transversus abdominis dijahitkan pada ligamentum inguinalis dan
meletakkan funikulus spermatikus di ventral m. obliqus eksternus,
sehingga terletak pada subkutis. Biasanya dilakukan pada pasien tua.
4. Shouldice
4 lapisan pada dinding posterior kanalis inguinalis dengan jahitan jelujur:
1. Aponeurosis transversus abdominis  traktus iliopubic
2. Conjoint tendon  ligamentum inguinalis
3. Conjoint tendon  m. obliqus eksternus
4. Conjoint tendon  m. obliqus eksternus
5. Lichtenstein
Teknik ini menggunakan mesh prostetik untuk untuk mencegah terjadinya
tegangan. Nama lain dari teknik ini adalah tension free repair, yaitu
dengan menjahitkan mesh patch di atas hernia di depan otot dinding
abdomen. Dilakukan dengan pendekatan anterior. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa teknik ini memberikan outcome yang lebih baik.
Pasien lebih cepat kembali berkerja, nyeri pasca operasi yang lebih
minimal, pasien lebih nyaman, dan rekurensi yang lebih minimal. Teknik
ini dapat digunakan baik pada hernia direk maupun hernia indirek. Teknik
ini membuat otot dinding abdomen lebih kuat karena mesh dijahitkan
pada jaringan sehat di sekitarnya. Gambar 2.12

29
Gambar 2.12 Hernioplasti dengan Metode Lichtenstein

6. Mc.Vay
Conjoint tendon dijahitkan ke ligamentum Cooper dengan menggunakan
jahitan interrupted.

3.10 Komplikasi
Pada hernia reponibel, tidak didapatkan gejala obstruksi usus, hanya
didapatkan benjolan. Isi hernia dapat terperangkap oleh cincin hernia sehingga
terjadi hernia strangulata yang menimbulkan gejala obtruksi usus. Bila cincin hernia
sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia femoralis dan hernia
obturatoria, lebih sering terjadi inkarserata retrograde, yaitu dua segmen usus
terperangkap di dalam kantong hernia dan satu segmen lainya berada dalam rongga
peritoneum.
Jepitan cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan di dalam
hernia. Pertama akan terjadi bendungan vena sehingga terjadi kongesti organ di
dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya edema
menyebabkan jepitan pada cincin hernia akan semakin kuat, sehingga akhirnya
peredaran darah juga terganggu. Isi hernia akan mengalami nekrosis dan kantong
hernia akan berisi transudat berupa cairan serosanguinus. Bila isi hernia terdiri atas
usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel,
atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan cavum abdomen.

30
Gambaran klinis hernia inkarserata yang mengandung usus dimulai dengan
gambaran obstruksi usus dengan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan
asam basa. Bila terjadi strangulata karena gangguan vaskularisasi, akan muncul
gejala toksik akibat gangren dan gambaran klinis menjadi sangat serius dan perlu
penanganan segera.
Komplikasi lain dari hernia yang termasuk dalam kondisi emergency adalah
hernia reduced en masse, seperti pada Gambar 2.13. Kondisi ini terjadi saat hernia
tereduksi, di mana kantung hernia yang awalnya berada di luar kembali masuk ke
dinding abdomen namun isi kantung hernia tetap dalam kondisi inkarserata atau
strangulata, terutama di rongga pre peritoneal. Bila terjadi kondisi ini, butuh tindakan
urgent dengan tindakan trans abdominal. Bila keadaan seperti ini terjadi, dibutuhkan
pemeriksaan CT Scan segera (Berney, 2015).

Gambar 2.13 Hernia Reduced en Masse

3.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis hernia inguinalis yang telah dioperasi adalah
dubia ad bonam. Namun, tidak ada satu pun teknik yang dapat menjamin bahwa
hernia tidak akan residif. Yang penting diperhatikan adalah mencegah terjadinya
tegangan pada jahitan dan kerusakan jaringan. Umumnya dibutuhkan plastik dengan
bahan prostesis mesh misalnya, untuk mempertahankan. Terjadinya hernia residif
lebih banyak dipengaruhi oleh teknik reparasi dibandingkan dengan faktor konstitusi.
Pada HIL penyebab residif yang paling sering ialah penutupan annulus inguinalis

31
internus yang tidak memadai, di antaranya karena diseksi kantong yang kurang
sempurna, adanya lipoma preperitoneal, atau kantung hernia tidak ditemukan. Pada
HIM penyebab residif umumnya karena tegangan yang berlebihan pada jahitan
plastik atau kekurangan lain dalam teknik. Perlu diperhatikan 3 bulan post operasi,
pasien diedukasi untuk menghindari aktifitas berat yang dapat meningkatkan
tekanan intraabdominal dengan tujuan mempertahakan hasil operasi hernianya.

32
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis hernia inguinalis lateralis D inkarserata


berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan bahwa
pasien mengeluh muncul benjolan pada skrotum kanan sejak 2 hari yang lalu,
namun sejak 1 hari yang lalu tidak dapat masuk kembali. Pasien juga merasa nyeri
perut bagian bawah, mual dan muntah, serta tidak bisa BAB sejak 2 hari yang lalu.
Pasien sudah mengalami benjolan yang keluar masuk sejak 3 tahun yang lalu.
Benjolan keluar saat pasien mengejan atau mengangkat beban berat, dan benjolan
menghilang saat pasien beristirahat dengan berbaring. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan abdomen flat, BU (+), perkusi timpani, meteorismus (-), nyeri tekan regio
hipogastrik (+). Pada genetalia tampak benjolan pad inguinal D hingga skrotum D,
konsistensi lunak, transiluminasi (-), reducible (-), tidak terdengar bising usus.
Pemeriksaan fisik khusus seperti Zieman, Finger, atau Thumb test tidak dapat
dilakukan karena hernia pada pasien ini inkarserata. Diagnosis pada pasien ini juga
sesuai dengan epidemiologi, terutama mengenai sisi yang terkena, yaitu paling
banyak hernia inguinalis terjadi pada sebelah kanan. Sedangkan berdasarkan BMI,
pasien termasuk overweight, yaitu 24,16 kg/m2. Namun keterkaitan antara BMI
dengan kejadian hernia masi menjadi perdebatan.
Terapi yang diberikan:
a. Pro Herniotomi Hernioplasti Dekstra dengan Prostesis
b. Posisi Trendelenburg
c. IVFD RL 1000 cc grojog  maintenance 20 tpm
d. Injeksi Diazepam 10 mg bolus i.v. pelan
e. Injeksi Tramadol 50 mg bolus i.v.
f. Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram i.v.  skin test terlebih dahulu
g. Injeksi Metronidazole 3x500 mg i.v.
h. Injeksi Ranitidine 2x50 mg i.v.
i. Injeksi Ondansetron 3x8 mg i.v.
j. Pemasangan NGT ditoler

33
k. Pemasangan foley kateter
l. MRS ruangan  rencana operasi:
 Drip Tramadol 100 mg dalam 500 cc RL per 8 jam
 Injeksi Diazepam 3x10 mg bolus i.v. pelan
Terapi yang diberikan pada pasien ini sesuai dengan teori, yaitu pemberian analgetik
dan sedasi. Analgetik dimaksudkan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.
Sedangkan sedasi yang dimaksud pada pasien ini adalah pemberian Diazepam
yang juga memiliki efek muscle relaxant. Pada anak-anak, Diazepam juga
dimaksudkan untuk memberikan efek sedasi sebelum dilakukan reposisi. Pada
orang dewasa juga demikian, tapi pada kasus ini pemberian Diazepam dimaksudkan
untuk merelaksasi otot annulus, agar hernia bisa masuk kembali. Karena hernia
pasien tidak masuk kembali, kemudian pasien direncanakan untuk operasi
herniotomi dan hernioplasti dengan metode Lichtenstein, yaitu dengan
menggunakan mesh prostesis. Metode ini adalah metode yang paling sering
digunakan untuk operasi hernia sekarang, karena lebih cepat pemulihannya dan
angka rekurensinya rendah.
Namun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Ur/Cr 2 hari berturut-
turut, menunjukkan adanya trend Ur/Cr yang meningkat padahal sudah diberikan
cairan untuk rehidrasi karena awalnya diduga pasien mengalami dehidrasi akibat
muntah. Oleh karena itu pasien diduga menderita AKI dan akhirnya pasien
diputuskan untuk dirujuk ke RSSA untuk operasinya. Pertimbangan tersebut
mempertimbangkan kondisi pasien dan usia pasien terkait resiko pembiusan.

34
BAB 5
KESIMPULAN

Penegakan diagnosis pada pasien ini didasarkan pada anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pasien terdiagnosis HIL D inkarserata karena pasien memiliki
riwayat benjolan yang keluar masuk di skrotum kanan dan saat ini tidak bisa masuk
kembali. Selain itu pasien sudah mengeluhkan gejala gangguan pasase usus. Pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan benjolan pada inguinal kanan hingga skrotum
kanan, konsistensi lunak, transiluminasi negatif, dan tidak reducible. Sedangkan
pemeriksaan penunjang laboratorium dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada
abnormalitas DL, ketidak seimbangan elektrolit, apakah ada peningkatan RFT akibat
dehidrasi, PPT/APTT, HBsAg untuk persiapan operasi. Pemeriksaan radiologis tidak
rutin dilakukan dan tidak dilakukan pada pasien ini.
Rencana terapi pada pasien ini diberikan terapi infus cairan, muscle relaxant,
analgetik, antibiotik, antihistamin, dan antagonis serotonin di IGD, kemudian
direncanakan operasi. Operasi yang akan dilakukan untuk pasien ini adalah
herniotomi dan herniopasti dengan menggunakan metode Lichtenstein. Prognosis
pada pasien ini dubia dikarenakan adanya penyulit AKI.
KIE pada pasien dan keluarga adalah mengenai penyakitnya, rencana
tindakannya, dan memberi tahu bahwa operasi bukan berarti menjamin 100% hernia
tidak akan rekuren. Perlu diperhatikan mengenai life style dan kondisi lain yang
sejak awal menjadi faktor resiko atau predisposisi munculnya hernia pada pasien ini.
Yang terpenting adalah mencegah kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan
tekanan intraabdominal terutama 3 bulan post op.

35
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, L., Kamardi, T. 2007. Buku Ajar ilmu Bedah: Dinding Perut, Hernia,
Retroperitoneum, dan Omentum, Edisi Ketiga. Jakarta: EGC. Hal. 615-641.

Berney, C. R. Beware of spontaneous reduction "en masse" of inguinal hernia.


Hernia. 2015 Dec;19(6):995-7.

Burcharth J, Pommergaard HC, Rosenberg J. The inheritance of groin hernia: a


systematic review. Hernia. 2013;17:183-189.

Fitzgibbons RJ Jr, Ramanan B, Arya S, et al. Long-term results of a randomized


controlled trial of a nonoperative strategy (watchful waiting) for men with
minimally symptomatic inguinal hernias. Ann Surg. 2013;258:508-515.

Grace, P. A., Borley, N. R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah, Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga. Page. 119.

Gray, H. 2000. Gray’s Anatomy of Human Body XII: Surface Anatomy and Surface
Markings. Philadelphia: Bartleby. Page. 350-351.

Jones, D.B. 2013. Master Techniques in Surgery: Hernia. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins. Page. 164.

Kingsnorth, A. N., LeBlanc, K. A. 2013. Management of Abdominal Hernias, Fouth


Edition. London: Springer. Page. 171-174.

Lawrence, P. F. 2013. Essentials of General Surgery, Fifth Edition. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins. Page. 206-207.

Nigam, V. K., Nigam, S. 2008. Essentials of Abdominal Wall Hernias. New Delhi: I.K.
International Publishing House. Page. 127-131.

Raftery, A. T., Delbridge, M. S., Wagstaff, M. J. D. 2011. Churchill’s Pocketbooks of


Surgery, Fourth Edition. London: Elsevier.

Rasjad, C. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah: Hernia, Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG. Hal. 619-29.

Ruhl, C. E., Everhart, J. E. Risk Factors for Inguinal Hernia among Adults in the US
Population. Am. J. Epidemiol. 2007; 165 (10): 1154-1161.

Saha, M. L. 2013. Beside Clinics in Surgery. New Delhi: JaypeeBrothers, Medical


Publishers. 45-50.

36
Simons MP, Aufenacker T, Bay-Nielsen M, Bouillot JL, Campanelli G, Conze J, et al.
European Hernia Society guidelines on the treatment of inguinal hernia in
adult patients. Hernia. 2009 Aug. 13(4):343-403.

Way, L. W. 2003. Hernia and Other Lesions of Abdominal Wall: Current Surgical
Diagnosis and Treatment, Ninth Edition. New York: Prentice Hall International
Inc. Page. 700-710.

Wolfson, A. B. 2010. Hardwood-Nuss’: Clonical Practice of Emergency Medicine,


Fifth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Page. 592-595.

Zendejas B, Ramirez T, Jones T, et al. Incidence of inguinal hernia repairs in


Olmsted County, MN: a population-based study. Ann Surg. 2013;257:520-
526.

37

Anda mungkin juga menyukai