Anda di halaman 1dari 2

PERAN AYAH DALAM PENDIDIKAN ANAK

Sebenarnya bukan hanya di dunia, di akhiratpun manusia-manusia beriman masih


berkemungkinan untuk beroleh passive income : pahala yang terus mengalir walau badan telah
berkalang tanah ! Pilihannya memang tak banyak, hanya tiga. Pertama shadaqah yang` punya
multiplying effect (shadaqah jariyah); Kedua, ilmu yang dimanfaatkan, dan; Ketiga, anak shaleh
yang mendoakan.
Apakah seorang ayah ingin terus dialiri pahala walau maut telah lama menjemput, lewat anak
shaleh yang mendoakannya ? Sayangnya doa ini tidak gratis. Mari kita lihat bunyi doanya :
“Rabbighfir lii wa li walidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiiraa”.
“Rabbku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Dan rahmatilah keduanya,
sebagaimana keduanya telah mendidikku di waktu kecil”.
Sangat jelas, doa ini tidak gratis, karena menuntut syarat (”kamaa...”). Dan syaratnya adalah
pendidikan (”rabbayaa” – tarbiyyah) di waktu kecil (”shaghiiraa”). Apakah syarat ini hanya
berlaku pada Sang Ibu ? Jelas tidak, karena kata ”rabbayaanii” berarti ”keduanya telah mendidik
aku”.
Maka, wahai para ayah kaum beriman sedunia, ada effort yang harus anda keluarkan jika anda
ingin kecipratan doa anak anda. Anda harus mendidiknya. Segera, jangan sampai terlambat,
karena harus dilakukan ketika sang anak masih kecil (shaghiiraa). Atau anda harus gigit jari
karena doa itu hanya sah untuk istri anda.

Ayah, Sang Pendidik


Seorang anak lahir karena adanya kromosom ayah dan kromosom ibu. Maka pada setiap anak
tersimpan sifat maskulin dan feminin, apapun jenis kelaminnya. Adalah sangat logis jika ayah,
bukan hanya ibu, turut bertanggung jawab dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak.
Jika ibu mendidik nilai-nilai cinta, ketulusan, kasih sayang, kebersamaan, tenggang rasa dan
keikhlasan, lalu siapa yang akan membentuk nilai-nilai ketegasan, keberanian, keberbedaan,
profesionalisme dan perjuangan ?
Ayah ! Perannya dalam pendidikan anak bukanlah peran tambahan. Waktu dan tenaga yang
harus digunakannya untuk mendidik anak bukanlah waktu dan tenaga sisa seusai lelah mencari
nafkah. Maka Allah telah menjadikan sosok Luqmanul Hakim, seorang ayah, menjadi figur
pendidikan anak dalam Al-Qur’an. Kenapa ayah dan bukan ibu ? Karena puncak dari seluruh
ikhtiar pendidikan adalah pembentukan hikmah : kebijaksanaan. Dan inilah kekuatan Luqman
dan seluruh ayah beriman di muka bumi ini.
”Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Luqman...” (Q.S. Luqman : 12)
Ayah dan ibu secara bersama-sama harus mengantar anak-anaknya menuju kedewasaan, aqil-
baligh. Aqil artinya dewasa mental, sementara baligh adalah dewasa fisik. Tugas ibu sangat jelas
dan sesuai dengan peran kesehariannya, yaitu mengantar anak menggapai kedewasaan fisiknya
(baligh). Ia siapkan makanan bergizi, ia jaga kebersihan tubuh, pakaian dan lingkungan. Ia
mandikan anak dan cucikan bajunya. Ibu juga mengobati sang anak dari sakit, memberinya
vitamin dan protein, membangunkannya untuk shalat dan berolahraga. Kedewasaan emosional
berupa perhatian, cinta, kasih sayang, ketulusan dan sebagainya juga telah ia berikan.
Maka giliran ayahlah mengantarkan anak pada kedewasaan mentalnya (aqil). Ayah harus
mengajarkannya berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan berkreasi. Adalah
kompetensi ayah untuk membuat anaknya menjadi pribadi yang berani, tegas, bertanggung
jawab dan berdaya juang. Bahkan, kalau perlu, ayahlah yang mendidik anaknya, laki-laki atau
perempuan, untuk tampil beda, melawan, bertarung dan berperang. Begitu pula dengan rasa
tanggung jawab, profesionalisme dan bertindak strategis.
Jika saat ini yang terbentuk adalah sebuah generasi yang dewasa secara fisik (baligh) namun
sangat mentah secara mental (aqil), alias generasi remaja (baligh-non aqil), siapakah yang
bersalah ? Tak salah lagi, malapetaka generasi ini adalah ulah ayah yang tak terlibat dalam
mendidik anaknya. Karena dulu, ketika ayah masih bertanggung jawab dalam pendidikan
anaknya, yang lahir adalah generasi yang sepenuhnya dewasa (aqil-baligh). Setidaknya itulah
yang terjadi hingga akhir abad 19.
Sebuah penelitian menarik dari Badan Narkotika Propinsi DKI Jakarta, juga menyimpulkan
bahwa anak yang kurang dekat dengan sosok ayahnya akan tujuh kali lipat lebih mudah terkena
narkoba dibandingkan dengan anak yang dekat dengan sosok ayahnya. Kesimpulan yang tak
terlalu mengejutkan, karena bukankah ayah yang berkompeten dan seharusnya mengajarkan
anak untuk ”Say no to drugs” ?

Sibuk`?
Kesibukan mencari nafkah seringkali menjadi kambing hitam yang`sangat ampuh bagi seorang
ayah untuk lepas tangan dari pendidikan anak dan menyerahkan tanggung jawab ini seutuhnya
kepada ibu. Sesibuk apakah ayah dibandingkan ibu ? Apakah kesibukan itu termasuk main
games menjelang pulang kantor, bercengkrama atau menbaca`koran ketika tak banyak kerjaan,
atau nongkrong di kafe menunggu kemacetan reda ? Ketika seorang ayah begitu dikepung oleh
berbagai kemudahan teknologi informasi dan komunikasi (HP, Blackberry, internet dsb.), apakah
masih ada cukup alasan di hadapan Allah untuk tidak turut mendidik anak ?
Tentunya seorang ayah tak dituntut untuk secara teknis dan rutin mengurusi pendidikan anak. Ia
dapat berperan menjadi pengarah (director) kebijakan pendidikan anak, sedangkan pengelola
(manager) dan pelaksana (executor) tetap dapat dilakukan ibu. Sudahkan ayah merumuskan visi,
misi dan strategi pendidikan anak di rumah, sesuatu yang dengan terampilnya dia lakukan di
kantor ? Betapa zalimnya seorang ayah jika hal itupun jika ia bebankan kepada istrinya.
Ayah juga dapat berperan sebagai konsultan pendidikan anak bagi istrinya. Dalam keletihan,
kepusingan dan kebosanan dalam menghadapi perilaku anak setiap hari, bukankah seorang istri
butuh second opinion dari seseorang suami yang mampu melihat persoalan dari ”jauh” dari
”luar” dan dari ”atas” ? Justru jarang dan terbatasnya interaksi rutin dan langsung seorang ayah
dengan anak-anaknya, membuatnya lebih mampu untuk menawarkan solusi yang lebih brilyan,
jernih, obyektif dan efektif kepada istrinya.
Wallahu ’alam bishshawab

Anda mungkin juga menyukai