Anda di halaman 1dari 95

AQIDAH

INILAH PILAR AGAMAMU: RUKUN DAN MAKNA ISLAM

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik


agama kita. Karena dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan
yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan usang di
telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada.
Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat
diukur dengan materi dunia sebesar apapun. Oleh karena itu sudah
selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari
Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita
raih.

Inilah Pilar Itu

Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara
yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi
yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah
memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan
kita pada kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang
sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat
kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya
bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

‫علَي ُكم بِّال ُمؤ ِّمنِّينَ َرؤُ وف َّر ِّحيم‬ َ ‫علَي ِّه َما‬
َ ‫عنِّتُّم َح ِّريص‬ َ ‫سول ِّمن أَنفُ ِّس ُكم‬
َ ‫ع ِّزيز‬ ُ ‫لَقَد َجاء ُكم َر‬

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,


berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang
mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima
perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)
mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan
(5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya


kepada beliau, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang
Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam adalah Engkau bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat,
kemudian Engkau menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada

2
bulan Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.”
Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai
Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau
menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya,
utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir Allah yang baik
maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang


Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana
seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah
sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati.
Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini
menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan
lahir yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-
amalan Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan
keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada
orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah
Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang
durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini
dibangun di atas lima pilar:

1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang


berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan
pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan
kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa
ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Makna Islam

Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat
kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum
yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan
tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya
dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan

3
berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam
dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul
semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama
nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya
bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para
pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan
Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh
kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat
yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri
dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. Agama pengikut
nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau
adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam
dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini
adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ‫َما َكانَ إِّب َراهِّي ُم يَ ُهودِّيا َولَ نَص َرانِّيا َولَ ِّكن َكانَ َحنِّيفا ُّمس ِّلما َو َما َكانَ ِّمنَ ال ُمش ِّركِّين‬

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS.
Ali Imran: 67)

Allah juga berfirman,

‫س َّما ُك ُم ال ُمسلِّمينَ ِّمن قَب ُل‬


َ ‫ه َُو‬

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari


dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)

Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus


yaitu: Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran
yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan
“Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud
dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang
yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa
setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini
tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. Di

4
samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang
berarti berserah diri.

Pilar Islam Pertama: Dua Kalimat Syahadat

Inilah pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa
ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa
adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam dari diri seseorang.
Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut hancur pula bangunan
Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang
muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini
dalam seluruh waktu dan kehidupannya.

Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain
Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah
utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan saja, namun lebih dari
itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui dan meyakini hal yang
dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut.
Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah
melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia
hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu. Demikian
juga, jika ada orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan
lisannya, namun ternyata hatinya tidak meyakininya, maka orang ini
adalah seorang pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya
sebagai orang munafik ketika mereka mengatakan bahwa mereka
bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan
Allah, namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak
muncul keyakinan tersebut. Allah berfirman:

َّ ‫سولُهُ َو‬
َ‫ّللاُ يَش َه ُد إِّ َّن ال ُمنَافِّقِّين‬ ُ ‫ّللاُ يَعلَ ُم إِّ َّنكَ لَ َر‬
َّ ‫ّللاِّ َو‬ ُ ‫إِّذَا َجاءكَ ال ُمنَافِّقُونَ قَالُوا نَش َه ُد إِّنَّكَ لَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ‫لَكَا ِّذبُون‬

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami


mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya;
dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu
benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)

Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa
Ilaha Illallah bukanlah kalimat yang ringan dan sepele. Ada makna yang
sangat dalam dan konsekuensi yang sangat besar di balik kedua kalimat

5
ini. Bahkan Allah pun menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,

ُ ‫ش ِّه َد ّللاُ أَنَّهُ لَ إِّلَـهَ إِّلَّ ه َُو َوال َمالَئِّ َكةُ َوأُولُوا ال ِّعل ِّم قَآئِّ َما بِّال ِّقس ِّط لَ إِّلَـهَ إِّلَّ ه َُو العَ ِّز‬
‫يز ال َح ِّكي ُم‬ َ

“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang


berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-
orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)

Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki


makna:

ُ‫َل َمعبُو َد َحق إِّ َل للا‬

“Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ُ ِّ‫ي ال َكب‬
‫ير‬ َّ ‫اط ُل َوأ َ َّن‬
ُّ ‫ّللاَ ه َُو العَ ِّل‬ ِّ َ‫ّللاَ ه َُو ال َح ُّق َوأ َ َّن َما يَدعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه ه َُو الب‬
َّ ‫ذَلِّكَ بِّأ َ َّن‬

“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan)


Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari
Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)

Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah


subhanahu wa ta’ala yang disembah oleh manusia seperti kuburan,
pohon, para Nabi, malaikat, orang shalih dan lain sebagainya. Namun
sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk
disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan diibadahi
hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.

‫ُون ّللاِّ ِّمن شَيء ِّل َّما َجاء أَم ُر َربِّكَ َو َما زَ ادُوهُم غَي َر‬
ِّ ‫عن ُهم آ ِّل َهت ُ ُه ُم الَّتِّي يَدعُونَ ِّمن د‬
َ ‫فَ َما أَغنَت‬
‫ت َتبِّيب‬

“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-


sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu
datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada
mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)

6
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki
sesembahan selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak
dapat memberikan manfaat pada mereka ketika datang azab Allah.

Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan


sekali ketika kita melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan
kedua kalimat syahadat, namun dia masih melakukan berbagai macam
bentuk peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu
kepada orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di
antara penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama
Islam yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi
tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.

Dalam kalimat ‫ ل اله إل للا‬terkandung dua aspek yang sangat penting. Yang
pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata
‫( ل اله‬Tidak ada sesembahan yang berhak disembah) yang berarti
meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain Allah,
apapun bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan
istilah An Nafyu (‫)النفي‬. Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek
penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata ‫( إل للا‬kecuali Allah) yang
berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah
untuk Allah semata. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini
dengan istilah Al Itsbat (‫)اإلثبات‬.

Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh
seorang muslim yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini.
Karena, jika seorang muslim salah dalam memahaminya, maka ia akan
salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada
orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal),
sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq)
menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada
tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”. Dengan tafsiran
yang salah ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang
disembah manusia. Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan
bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam
penyebutannya. Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini
dan menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.

Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi
salam Imam orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul.
Allah berfirman ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,

7
‫ِّين َو َجعَلَ َها َك ِّل َمة بَاقِّيَة فِّي‬ َ َ‫َوإِّذ قَا َل إِّب َراهِّي ُم ِِّلَبِّي ِّه َوقَو ِّم ِّه إِّنَّنِّي بَ َراء ِّم َّما ت َعبُدُونَ إِّ َّل الَّذِّي ف‬
َ ُ‫ط َرنِّي فَإِّنَّه‬
ِّ ‫سيَهد‬
َ‫ع ِّقبِّ ِّه لَعَلَّ ُهم يَر ِّجعُون‬
َ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:


“Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah,
tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan lbrahim
menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya
supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-
28)

Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan yang


disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau berlepas diri
dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa peribadatan beliau
hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat ‫ل اله إل للا‬
tersebut kekal untuk keturunannya.

Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah
menegaskan bahwa telah ada seorang Rasul di antara manusia ini yang
Allah utus, dan dialah Nabi kita, teladan kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

‫علَي ُكم بِّال ُمؤ ِّمنِّينَ َرؤُ وف َّر ِّحيم‬ َ ‫علَي ِّه َما‬
َ ‫عنِّتُّم َح ِّريص‬ َ ‫سول ِّمن أَنفُ ِّس ُكم‬
َ ‫ع ِّزيز‬ ُ ‫لَقَد َجاء ُكم َر‬

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,


berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

‫َاب َوال ِّحك َمةَ َوإِّن كَانُوا‬ ُ ‫ث فِّي اِل ُ ِّميِّينَ َر‬
َ ‫سول ِّمن ُهم يَتلُو‬
َ ‫علَي ِّهم آيَاتِّ ِّه َويُزَ ِّكي ِّهم َويُعَ ِّل ُم ُه ُم ال ِّكت‬ َ َ‫ه َُو الَّذِّي بَع‬
َ ‫ِّمن قَب ُل لَ ِّفي‬
‫ض َالل ُّمبِّين‬

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)

8
Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah dan
meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah
penutup para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu
Syaikh: hadits kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang berkeyakinan
bahwa beliau tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka
persaksiannya tidaklah sah. Hal ini banyak kita saksikan di zaman
sekarang, ada orang-orang yang meragukan agama Islam. Mereka
mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun
oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut dijalankan oleh
para sahabatnya, wal’iyadzubillah.

Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk


menyampaikan sesuatu yang telah diperintahkan kepada beliau, maka
persaksiannya tidaklah sah. Demikian juga barang siapa yang
menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya tersebut
tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang
mengatakan bahwa ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi
seperti Mirza Ghulam Ahmad (jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-
nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an syarrihaa) dan
lain sebagainya.

Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki


konsekuensi yaitu taat terhadap perintah beliau, membenarkan berita
yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh larangan beliau dan kita
beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa. Syaikh
Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat
dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah
taat pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa
nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal yang
bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan berita yang beliau
bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena
perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan
konsekuensi beriman bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah
adalah membenarkan perkataan beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau
karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya
melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita.
Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena
orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia
telah melakukan bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah

9
bersabda, “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR.
Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).

Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat

Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan
sholat lima waktu. Bahkan sholat ini adalah pembeda antara seorang
yang beriman dan yang tidak beriman, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang
memisahkan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah
meninggalkan sholat.” (HR. Muslim). Oleh karena itu seorang muslim
haruslah memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang
sangat memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini yang
meremehkan masalah sholat bahkan terkadang lalai dari
mengerjakannya.

Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat
Magrib, Sholat Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang
wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita simak sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu
diwajibkan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj
sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu
kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku
tidak akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50 waktu
bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

‫ق اللَّي ِّل َوقُرآنَ الفَج ِّر إِّ َّن قُرآنَ الفَج ِّر َكانَ َمش ُهودا‬
ِّ ‫س‬ َ ‫شم ِّس إِّلَى‬
َ ‫غ‬ َّ ‫وك ال‬ َّ ‫أَقِّ ِّم ال‬
ِّ ُ‫صالَة َ ِّل ُدل‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam


dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)

Pada firman Allah,

‫ق اللَّي ِّل‬
ِّ ‫س‬ َ ‫شم ِّس إِّلَى‬
َ ‫غ‬ َّ ‫وك ال‬ َّ ‫أَقِّ ِّم ال‬
ِّ ُ‫صالَة َ ِّل ُدل‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”

10
Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai
dengan Isya kemudian pada firman-Nya,

‫َوقُرآنَ الفَج ِّر إِّ َّن قُرآنَ الفَج ِّر َكانَ َمش ُهودا‬

“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu


disaksikan (oleh malaikat).” terkandung di dalamnya perintah
mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al Wasithiyyah Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).

Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh dan
berakal. Adapun seorang muslim yang hilang kesadarannya, maka ia
tidak diwajibkan mengerjakan sholat berdasarkan hadits dari
Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
berkata, “Pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai
dia bangun, dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai
dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us
Shaghir 3513 ).

Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya


untuk sholat agar melatih sang anak menjaga sholat lima waktu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Perintahkanlah anak
kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan
pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka
berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih
Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)

Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat

Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,

‫الزكَاة َ َوذَلِّكَ ِّدينُ القَيِّ َم ِّة‬ َّ ‫صينَ لَهُ الدِّينَ ُحنَفَاء َويُ ِّقي ُموا ال‬
َّ ‫ص َالة َ َويُؤتُوا‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِّم ُروا إِّ َّل ِّليَعبُدُوا‬
ِّ ‫ّللاَ ُمخ ِّل‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-


orang yang tidak mau membayar zakatnya,

11
‫ط َّوقُونَ َما بَ ِّخلُوا بِّ ِّه‬ َ ‫سبَ َّن الَّذِّينَ يَب َخلُونَ بِّ َما آت َاهُ ُم ّللاُ ِّمن فَض ِّل ِّه ه َُو خَيرا لَّ ُهم بَل ه َُو شَر لَّ ُهم‬
َ ُ‫سي‬ َ ‫َولَ يَح‬
‫ض َوّللاُ بِّ َما ت َع َملُونَ َخبِّير‬ ِّ ‫ت َواِلَر‬ ِّ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ ُ ‫ير‬
َّ ‫اث ال‬ َ ‫يَو َم ال ِّقيَا َم ِّة َو ِِّلِّ ِّم‬

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah


berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits


dari Abu Hurairoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh Allah namun dia tidak
menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan
yang botak kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring
yang akan mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut
menggigit dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta simpananmu, aku
adalah hartamu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca ayat,

‫ط َّوقُونَ َما بَ ِّخلُوا بِّ ِّه‬ َ ‫سبَ َّن الَّذِّينَ يَب َخلُونَ بِّ َما آت َاهُ ُم ّللاُ ِّمن فَض ِّل ِّه هُ َو خَيرا لَّ ُهم بَل ه َُو شَر َّل ُهم‬
َ ُ‫سي‬ َ ‫َولَ يَح‬
‫ض َوّللاُ بِّ َما ت َع َملُونَ َخبِّير‬ َ
ِّ ‫ت َواِلر‬ ِّ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ ُ ‫ير‬
َّ ‫اث ال‬ َ ‫يَو َم ال ِّقيَا َم ِّة َو ِِّلِّ ِّم‬

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah


berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)

Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan

Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim
yaitu berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan
menahan makan, minum dan berhubungan suami istri serta pembatal lain
dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,

‫علَى الَّذِّينَ ِّمن قَب ِّل ُكم لَعَلَّ ُكم تَتَّقُونَ أَيَّاما‬ ِّ ‫علَي ُك ُم‬
َ ِّ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬ َ ‫ب‬ َ ِّ‫يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا ُكت‬
َّ
َ ‫علَى الذِّينَ ي ُِّطيقُونَهُ فِّديَة‬
‫ط َعا ُم‬ ُ َ
َ ‫سفَر فَ ِّعدَّة ِّمن أيَّام أخ ََر َو‬َ ‫ع لَ ى‬ َ
َ ‫َّمعدُو َدات فَ َمن َكانَ ِّمن ُكم َّم ِّريضا أو‬

12
َ ‫ضانَ الَّذ‬
‫ِّي‬ َ ‫صو ُموا خَير لَّ ُكم إِّن ُكنتُم ت َعلَ ُمونَ شَه ُر َر َم‬ ُ َ ‫ع خَيرا فَ ُه َو خَير لَّهُ َوأَن ت‬َ ‫ط َّو‬ َ َ ‫ِّمس ِّكين فَ َمن ت‬
ُ‫صمه‬ ُ َ‫شه َر فَلي‬َّ ‫ش ِّه َد ِّمن ُك ُم ال‬ ِّ َ‫اس َوبَيِّنَات ِّمنَ ال ُه َدى َوالفُرق‬
َ ‫ان فَ َمن‬ ِّ َّ‫نز َل فِّي ِّه القُرآنُ هُدى ِّللن‬ِّ ُ ‫أ‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits


yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada
bulan Ramadhan karena beriman dengan kewajibannya dan mengharap
pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Allah berfirman, seluruh amal anak cucu Adam adalah
untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang
akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jika kalian berpuasa, maka
janganlah kalian berbicara kotor atau dengan berteriak-teriak. Jika ada
yang menghina kalian atau memukul kalian, maka katakanlah “aku
sedang berpuasa” sebanyak dua kali. Demi Zat yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi
Allah dibandingkan bau minyak kesturi pada hari kiamat nanti. Orang
yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia ketika berbuka

13
berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika bertemu dengan
Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu
yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang sering
berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, “Mana
orang-orang yang berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan
orang-orang selain mereka tidak bisa masuk. Jika mereka sudah masuk,
maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain
mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu

Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu
sekali seumur hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ‫ع إِّلَي ِّه‬
‫سبِّي‬ َ َ ‫ت َم ِّن است‬
َ ‫طا‬ ِّ َّ‫علَى الن‬
ِّ ‫اس ِّح ُّج البَي‬ َ ِّ‫َو ِِّل‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)


orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali
Imran: 97)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits


yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang
selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara keduanya dan tidak ada
pahala yang pantas bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun
‘alaihi)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian ibadah
haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata,
“Apakah pada setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam
sampai-sampai laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau
bersabda, “Seandainya aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian
padahal kalian tidak mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena
sesungguhnya sebab kebinasaan orang setelah kalian adalah banyak
bertanya dan menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka
lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu maka
jauhilah.” (HR. Muslim).

14
Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji?
Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam
melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3 hal yaitu:

Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada


seorang wanita dari Ja’tsam yang mengadu pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku terkena
kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan ia tidak mampu menaiki
tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki


bekal untuk kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri nafkah. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang
disebut sebagai pendosa jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia
nafkahi.” (HR. Abu Daud)

Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena menunaikan haji


padahal kondisi tidak aman adalah sebuah bahaya dan bahaya
merupakan salah satu penghalang yang disyariatkan.

Penutup

Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita kenal
dengan rukun Islam. Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya mujibbas Saailiin…

ISLAM, IMAN, DAN IHSAN

Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya


pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan
Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak
lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat
dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian
keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian
semacam ini dikenal di dalam Islam?

Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi


malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya

15
oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada
beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai
pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada
suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin
Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya
itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”.
Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang
kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh
Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini
terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi
nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam
yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau


menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
(yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan
Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan
berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke
sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq
Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-
amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu


ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan
qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini
mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu
‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini
adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-
duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam
ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman
ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara
mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup
yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho
Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini
sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Tingkatan Ihsan

16
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau
beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila
kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:
Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan
tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan
ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-
Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah
derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai
kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu:
menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan
cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika
kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya
jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi
tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila


dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila
ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau
dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih
luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus
daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka
di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam.
Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan
orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih
istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li
shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

Muslim, Mu’min dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa


setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan
iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan
melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap
muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga
hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia
melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga
statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman
yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang
Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian

17
belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah
berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah
bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana
satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu
islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman,
kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li
shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita


bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat
dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat,
tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian
yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman
dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini
menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi
semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan
Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru
menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah
bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak
ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus
muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang
membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at. Wallohu a’lam.

AGAMA ISLAM UNTUK SELURUH MANUSIA

Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah


beliau diutus oleh Allah untuk seluruh manusia dan jin. Adapun seluruh
Nabi sebelum beliau hanyalah diutus untuk umatnya masing-masing.

Allah Ta’ala berfirman:

18
‫ت‬
ِّ ‫اوا‬ َ ‫س َم‬ َّ ‫سو ُل للاِّ إِّلَي ُكم َج ِّميعا الَّذِّي لَهُ ُملكُ ال‬ ُ ‫اس ِّإنِّي َر‬ُ َّ‫قُل يَاأَيُّ َها الن‬
ِّ ‫سو ِّل ِّه النَّ ِّبي‬ ِّ َ ‫ض آل إِّلَهَ إِّلَّ هُ َو يُحي ِّ َويُ ِّميتُ فَئ‬
ُ ‫امنُوا بِّاهللِّ َو َر‬ ِّ ‫َواِلَر‬
َ‫اِل ُ ِّمي ِّ الَّذِّي يُؤ ِّم ُن بِّاهللِّ َو َك ِّل َماتِّ ِّه َواتَّبِّعُوهُ لَعَلَّ ُكم تَهتَدُون‬
Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan Alloh
kepadamu semua, yaitu Alloh yang mempunyai kerajaan langit dan bumi;
tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan
dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Alloh dan
RosulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada
kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu
mendapat petunjuk. [QS. Al-A’rof (7): 158]

Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya


aku adalah utusan Allah kepadamu semua”, ini menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad diutus untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah,

ِّ َّ‫اس بَ ِّشيرا َونَذِّيرا َولَ ِّك َّن أَكث َ َر الن‬


َ‫اس لَ يَعلَ ُمون‬ ِّ َّ‫َاك إِّلَّ َكآفَّة ِّللن‬ َ ‫َو َمآ أَر‬
َ ‫س لن‬
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui. [QS. Saba’
(34): 28]

Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar dakwah agama
Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad , yang membawa kitab
suci Al-Qur’an, kemudian tidak beriman, tidak percaya dan tidak tunduk,
maka dia adalah orang kafir dan di akhirat menjadi penghuni neraka,
kekal selamanya. Allah Ta’ala berfirman,

ُ‫ار َمو ِّع ُدهُ فَالَ ت َكُ فِّي ِّمريَة ِّمنهُ إِّنَّه‬ ُ َّ‫ب فَالن‬ ِّ ‫َو َمن يَكفُر بِّ ِّه ِّمنَ اِلَحزَ ا‬
َ‫اس لَ يُؤ ِّمنُون‬ ِّ َّ‫ال َح ُّق ِّمن َّر ِّب َك َولَ ِّك َّن أَكث َ َر الن‬
Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-
sekutunya yang kafir kepada al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang
diancam-kan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-
Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Robbmu,
tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. [QS. Hud (11): 17]

19
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

َ‫س ُم َح َّمد بِّ َي ِّد ِّه لَ يَس َم ُع بِّي أ َ َحد ِّمن َه ِّذ ِّه اِل ُ َّم ِّة يَ ُهودِّي َول‬
ُ ‫َوالَّذِّي نَف‬
ِّ ‫نَص َرانِّي ث ُ َّم يَ ُموتُ َولَم يُؤ ِّمن بِّالَّذِّي أُر ِّسلتُ بِّ ِّه إِّلَّ َكانَ ِّمن أَص َحا‬
‫ب‬
ِّ َّ‫الن‬
‫ار‬
Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun di
kalangan umat ini, Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku,
kemudian dia mati, dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus
dengan-nya, kecuali dia termasuk para peng-huni neraka. [Hadits Shohih
Riwayat Muslim, no: 153, dari Abu Huroiroh]

NABI-NABI DAHULU KHUSUS UNTUK KAUMNYA

Adapun seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad , maka mereka semua di


utus khusus kepada umatnya masing-masing. Perkara ini merupakan
perkara yang telah pasti di dalam agama Islam, sebagaimana disebutkan
di dalam hadits di bawah ini,

‫سلَّ َم قَا َل أُع ِّطيتُ خَمسا‬ َ ‫علَي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ي‬ َّ ِّ‫ّللاِّ أ َ َّن النَّب‬
َّ ‫عب ِّد‬
َ ‫عن َجابِّ ِّر ب ِّن‬
َ
‫يرة َ شَهر َو ُج ِّعلَت ِّلي‬ َ ‫ب َم ِّس‬ِّ ‫الرع‬ُّ ِّ‫صرتُ ب‬ ِّ ُ‫ط ُه َّن أ َ َحد قَب ِّلي ن‬ َ ‫لَم يُع‬
َ ُ‫ص َالة ُ فَلي‬
‫ص ِّل‬ َّ ‫ط ُهورا فَأَيُّ َما َر ُجل ِّمن أ ُ َّمتِّي أَد َر َكتهُ ال‬ َ ‫ض َمس ِّجدا َو‬ ُ ‫اِلَر‬
َ‫عةَ َو َكان‬ َّ ‫َوأ ُ ِّحلَّت ِّلي ال َمغَانِّ ُم َولَم ت َ ِّح َّل ِِّل َ َحد قَب ِّلي َوأُع ِّطيتُ ال‬
َ ‫ش فَا‬
‫عا َّمة‬ َ ‫اس‬ ِّ َّ‫صة َوبُ ِّعثتُ ِّإلَى الن‬ َّ ‫ث إِّلَى قَو ِّم ِّه خَا‬ ُ َ‫ي يُبع‬
ُّ ِّ‫النَّب‬
Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Aku diberi
(oleh Allah) lima perkara, yang itu semua tidak diberikan kepada
seorang-pun sebelumku.
Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum kedata-
nganku) sejauh perjalanan sebulan;
Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat
bersuci (untuk tayammum-pen). Maka siapa saja dari umatku yang
(waktu) sholat menemuinya, hendaklah dia sholat.
Ghonimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu tidaklah
halal untuk seorangpun sebelumku.

20
Aku diberi syafa’at (oleh Allah).
Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya,
sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya.
[Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 335]

Di zaman ini banyak orang-orang Kristen menyebarkan agama mereka


ke berbagai pelosok dunia. Mereka menisbatkan agama mereka kepada
Nabi Isa bin Maryam , yang mereka menyebutnya dengan Yesus.
Padahal Nabi Isa bin Maryam hanya diutus kepada Bani Isroil. Allah
Ta’ala berfirman,

‫سو ُل للاِّ إِّلَي ُكم‬ ِّ ‫سى اب ُن َمريَ َم يَا بَنِّي إِّس َر‬
ُ ‫اءي َل إِّنِّي َر‬ َ ‫َوإِّذ قَا َل ِّعي‬
‫سول يَأتِّي ِّمن بَعدِّي‬ ُ ‫ي ِّمنَ التَّو َراةِّ َو ُمبَ ِّشرا بِّ َر‬
َّ ‫ص ِّدقا ِّل َما بَينَ يَ َد‬
َ ‫ُّم‬
‫اس ُمهُ أَح َم ُد‬
Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu, membenarkan kitab
(yang turun) sebelumku, yaitu Taurot dan memberi khabar gembira
dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan datang sesudahku, yang
namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang kepada
mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini
adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff (61): 6]

KESAKSIAN AYAT BIBEL

Dan ternyata kita masih menda-patkan di antara ayat-ayat Bibel (Kitab


yang dianggap suci oleh orang-orang Nashoro) menjelaskan dengan
tegas bahwa Nabi Isa (yang mereka sebut Yesus) hanya diutus kepada
Bani Isroil saja. Marilah kita perhatikan ayat-ayat di dalam kitab mereka:

1-Disebutkan di dalam Bibel: “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada


domba-domba yang hilang dari umat Israel”. (Matius 15: 24)
2-Disebutkan di dalam Bibel: “Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus
dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyim-pang ke jalan
bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melain-kan
pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”. (Matius 10:
6)

Walaupun ayat-ayat Bibel di atas begitu jelas menyatakan bahwa ajaran


Kristen hanya untuk Bani Israel, namun pengikut-pengikut Kristen begitu

21
giat menyebarkan agamanya kepada semua bangsa, termasuk di
Indonesia. Bahkan sampai ke ber-bagai pelosok yang tidak ada orang
Bani Israel di sana! Maka apakah manfaat bangsa selain Bani Israel yang
mengikuti agama Kristen, yang pembawa agama itu telah mene-gaskan
bahwa agamanya hanya untuk umat Israel?!

Atau mungkin mereka berpegang ayat lain pada kitab mereka yang
memerintahkan untuk menyebarkan agama Kristen kepada seluruh
bangsa. Ayat itu berbunyi: “Karena itu pergi-lah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku, dan baptiskan mereka dalam nama Bapa dan anak
dan Roh Kudus”. (Matius 28:19)

Ini berarti ayat ini bertentangan dengan ayat-ayat di atasnya! Maka


manakah yang benar? Yang pasti bahwa tidak ada jaminan kebenaran
terhadap semua isi kitab Bibel, bahkan bukti-bukti menunjukkan banyak
ayat yang dipalsukan. Maha benar Allah Ta’ala yang telah berfirman di
dalam kitab suci Al-Qur’an,

َّ ‫أَفَتَط َمعُونَ أَن يُؤ ِّمنُوا لَ ُكم َوقَد َكانَ فَ ِّريق ِّمن ُهم يَس َمعُونَ َكالَ َم‬
‫ّللاِّ ث ُ َّم‬
َ‫عقَلُوهُ َوهُم يَعلَ ُمون‬
َ ‫يُ َح ِّرفُونَهُ ِّمن بَع ِّد َما‬
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
padahal segolongan dari mereka (Ahli Kitab) mendengar firman Allah,
lalu mereka mengubahya setelah mereka memahaminya, sedang mereka
menge-tahui? [QS. Al-Baqoroh (2): 75]

Dan Allah mengancam dengan keras terhadap orang-orang yang


mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dengan firmanNya,

َ َ ‫فَ َويل ِّللَّذِّينَ يَكتُبُونَ ال ِّكت‬


َّ ‫اب بِّأَيدِّي ِّهم ث ُ َّم يَقُولُونَ َهذَا ِّمن ِّعن ِّد‬
ِّ‫ّللا‬
‫ِّليَشت َ ُروا بِّ ِّه ث َ َمنا قَ ِّليال فَ َويل لَّ ُهم ِّم َّما َكتَبَت أَيدِّي ِّهم َو َويلُُُ لَّ ُهم ِّم َّما‬
َ‫يَك ِّسبُون‬
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”,
(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit (yakni
kesenangan duniawi-pen) dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
besarlah bagi mereka akibat dari apa yang telah mereka tulis dengan

22
tangan-tangan mereka, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari
apa yang mereka kerjakan. [QS. Al-Baqoroh (2): 79]

SYARAT SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH

Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadah
tersebut sah. Seseorang yang hendak sholat tentu akan berwudhu
terlebih dahulu, karena suci adalah syarat sah sholat. Begitu pula ibadah
yang lain seperti haji, puasa dan zakat juga memiliki rukun-rukun dan
syarat yang tidak boleh tidak harus dipenuhi. Segala sesuatu yang harus
dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu yang lain disebut syarat. Lalu
bagaimana pula dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh? Tidak
diragukan lagi bahwa syahadat adalah setinggi-tingginya derajat
keimanan dan rukun islam yang paling utama. Di sana ada syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ucapkan
dianggap sah.

Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki


delapan syarat:

1. Ilmu

Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu,
wajib bagi kita untuk mengucapkan kalimat syahadat ini dengan
mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh berfirman, “Dan sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi
syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az
Zukhruf: 86). Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
mati dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk
surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari
kalimat Laa Ilaaha Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq
melainkan Alloh Ta’ala.

2. Yakin

Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga


tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai cobaan. Alloh
berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-

23
orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Alloh. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al
Hujurat: 15)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau


jumpai dari balik dinding ini dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan
keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira untuknya bahwa dia
masuk surga.” (HR. Muslim)

3. Menerima

Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima


dakwah Nabi Muhammad dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka
dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha Illalloh’ (Tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh) mereka menyombongkan
diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus
meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair
gila?’.” (As Shoffat: 35-36)

Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah


sifat orang kafir, tidak menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh.
Sungguh hanya Alloh lah yang berhak disembah dan diibadahi.

4. Tunduk

Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh


berfirman, “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh,
sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-lah
kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)

Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya


tunduk mengikuti ajaranku.” (HR. Thabrani)

5. Jujur

Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan


(saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar
(jujur) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al
‘Ankabut: 2-3)

24
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi
Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan
kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan neraka untuk
menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)

Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana


syahadat orang munafik ditolak oleh Alloh karena tidak jujur.
Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya
kamu benar-benar Rasul Alloh.’ Dan Alloh mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui
bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta.” (Al Munafiqun: 1)

6. Ikhlas

Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada


selain-Nya. Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

Apa yang dimaksud dengan ikhlas?

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh


mengharamkan bagi neraka menyentuh orang yang mengatakan Laa
Ilaaha Illalloh karena semata-mata mencari wajah Alloh.” (HR. Al Bukhori
dan Muslim)

7. Cinta

Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang


menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang
yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh
amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa


memilikinya pasti akan merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya
lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia mencintai seseorang

25
karena Alloh, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana
kebenciannya jika dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)

8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.

Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho


disembah/diibadahi. Alloh berfirman, “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqoroh: 256)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan


Laa Ilaaha Illalloh dan mengingkari sesembahan selain Alloh, haramlah
harta dan darahnya sedang perhitungannya adalah terserah kepada Alloh
Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim)

Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali jika


sekedar dihafalkan, tanpa diamalkan. apakah kita sudah mengevaluasi
syahadat kita? Sudahkah terpenuhi delapan syarat ini dalam
syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum terlambat.
Berbenahlah! Semoga kita bertemu dengan Alloh sebagai seorang yang
bertauhid, bukan sebagai seorang musyrik. Wal ‘iyaadzu billah.

INILAH TIGA POKOK AJARAN ISLAM

Sejauh Mana Pemahaman Kita?

Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun atau
bahkan lebih) kita menjadi sebagai seorang muslim. Nikmat yang besar
ini patutlah kita syukuri, karena banyak diantara manusia yang tidak
memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah yang sangat menentukan
bahagia atau sengsaranya kita di hari akhir nanti.

Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak kapan kita
masuk islam?’ atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk islam?’ karena
jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu yang paling mendasar dan paling

26
penting. Namun pertanyaan paling penting yang harus kita renungkan
dan kita jawab pada setiap diri kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah kita
telah memahami dan mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah
yang paling penting yang harus direnungkan dan dijawab, karena
jawaban pertanyaan inilah yang nantinya sangat menentukan kualitas
keislaman dan ketakwaan seseorang.

Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar


dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati di dalam
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al
Ashr: 1-3)

Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu


disisi Alloh ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)

Pokok Ajaran Islam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran
yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam,
mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara, Islam telah
memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman, “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama
bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang


musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu
segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits
Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan sempurnanya agama
Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah
seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi,
filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun
juga.

Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya


hanyalah kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas
diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada
ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan ketiga hal
ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan
orang semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh
seorang penyair,

27
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka

Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan


Tauhid

Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni
mengesakan Alloh dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh
menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena
memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah
menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini,
pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak
berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?

Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan


pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh
berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-berhala
yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu
sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi
pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri meraka
sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -
A’rof: 191-192)

Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan


di alam semesta ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru
selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika
kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau
mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan
kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir:
13-14)

Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh


Ketaatan

Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang
mutlak kepada Alloh. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti
kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan perendahan semata
tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah

28
Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata
hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya
semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan
adzab-Nya.

Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian
yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh
berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-
3)

Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan
Rosul-Nya telah menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang
beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya


akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin. Alloh
berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, bila mereka
diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara
mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)

Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya

Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan
Alloh, maka konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus
berlepas diri dan membenci perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia
belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya sebelum ia
mencintai apa yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci Alloh.
Padahal syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena
syirik adalah dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan
sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah
Robb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan kasih
sayang-Nya kepada kita semua.

29
Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri
Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam agar berlepas diri dan memusuhi para
pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada
suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang
kamu sembah selain Alloh, kami mengingkari kamu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Alloh saja.'” (Al-Mumtahanah: 4)

Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada


persatuan agama-agama sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-
tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah memerangi syirik
dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula
Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan
peperangan terhadap segala bentuk kesyirikan dan memusuhi para
pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan
pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan
jawaban yang yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan
syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada Alloh semoga Alloh
memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami agama ini, serta
diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam…

EMPAT KAIDAH UTAMA DALAM MEMAHAMI TAUHID

Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung
semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon
kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di manapun kamu
berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu
termasuk di antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi
kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan
tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah
tonggak kebahagiaan.

Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al


Hanifiyah yaitu agama yang diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah
kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal) untuk-Nya.

30
Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan
hikmah penciptaan mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan


tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56). Apabila kamu telah
menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai
ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya
shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai
dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila
syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak.
Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri orang yang
sudah bersuci.

Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila


menyusupi ibadah akan menghancurkan ibadah tersebut dan
menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi
tergolong penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti
bahwa perkara terpenting bagimu adalah memahami seluk beluknya.
Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini;
yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman tentang syirik ini
(yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi
orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu
akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah
yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:

KAIDAH PERTAMA
Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui
Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan
pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah
yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau
siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan
siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur
segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka
katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus
[10]: 31)

31
KAIDAH KEDUA
Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa
kepada mereka (sesembahan selain Allah, pen) dan bertawajjuh
(menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya dalam
rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan
syafa’at.”

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri


adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang
mengangkat selain-Nya sebagai penolong (sesembahan, pen) beralasan,
‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud agar
mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’
Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka
terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah
tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan
suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan


syafaat dengan kesyirikan yang mereka perbuat adalah firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah;
sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan
tidak pula menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan,
‘Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS.
Yunus [10]: 18)

Syafa’at ada dua macam:

Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.

1. Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain


Allah dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah. Dalil tentang
hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-
orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami
berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu
tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan
orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al
Baqarah [2]: 254)
2. Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada
Allah. Orang yang diperkenankan memberikan syafa’at berarti
mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan syafa’at tersebut.
Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan
dan perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah

32
mendapatkan izin (dari Allah, pen). Hal ini sebagaimana
difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa
memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al
Baqarah [2]: 255)

KAIDAH KETIGA
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat
yang memiliki peribadatan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada
yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang beribadah kepada para
nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah
kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari
dan bulan. Mereka semua sama-sama diperangi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-
bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak
ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan
kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan


adalah firman-Nya (yang artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya
adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kamu
sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada
Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah
hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat


adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan Allah tidak menyuruh
kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai
sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah


firman-Nya yang artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa
putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah
aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa
berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap
sesuatu yang bukan menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya
tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang
ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di
dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang
gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]: 116)

33
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih
adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang
mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah di
antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan
curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’
[17]: 57)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu


adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah
kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu sesembahan lain
yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh
hadits Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika
kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju
Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari agama
kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang
mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk
menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu
Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata,
‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath
seperti Dzatu Anwath yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad
dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)

KAIDAH KEEMPAT
Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya
daripada orang-orang musyrik zaman dahulu. Sebab orang-orang
terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah (berdoa)
dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa
kita melakukan syirik secara terus menerus, baik ketika lapang
ataupun ketika terjepit. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan
diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa)
kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun
setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali
berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)

34
AGAR IBADAH DITERIMA DISISI ALLAH

Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali


dengan hikmah yang agung. Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz
Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena sering kita
dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu
diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat
menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk
beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia
mendapat ridho Alloh serta janji-janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam
Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan
janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa
bahwa ibadahnya pasti diterima.

Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu


tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-
orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-
baiknya.” (Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang
semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih
hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.

APAKAH MAKNA IBADAH?


Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang
secara istilah, ulama banyak memberikan makna. Namun makna yang
paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi segala perbuatan dan
perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh
Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati,
ibadah lisan dan ibadah anggota badan.

35
SYARAT DITERIMANYA AMAL IBADAH
Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima
bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti
tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum
dalam firman Alloh, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu
melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh
Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya
mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.

Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.” (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti
mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada Alloh saja. Berbuat
kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam.

Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama


(persaksian tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab
persaksian ini menuntut kita untuk mengikhlashkan semua ibadah kita
hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah
konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -
shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).

IKHLASH DALAM IBADAH


Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata.
Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash
(dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Alloh
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah

36
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya,


kemanakah maksud hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh,
ataukah untuk selain Alloh. Perhatikanlah jenis amal-amal berikut:

Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya


dilihat makhluk atau karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus,
tidak bernilai sama sekali dan pelakunya pantas mendapat murka Alloh.
Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan disertai riya’ dari sejak awalnya,
maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan
terhapus. Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain
selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan karena
menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang
pahalanya dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.

Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di


tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut
terbersit sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut tidak
berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu menyertai
amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama salaf menyatakan
bahwa amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana
pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa karena riya’nya
tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus.
Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat pujian
sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak
berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.

37
BERIBADAH HANYA DENGAN SYARI’AT
ROSULULLOH SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA
SALLAM
Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah
merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan
mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh kabarkan atau
dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan
telah diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa
sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan
sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala
ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah
ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan
yang baik?” Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim
baik buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah
sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang
melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia
tertolak.” (HR. Muslim)

Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollallohu


‘alaihi wa sallam dalam beberapa hal:

Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan,


maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada
orang melakukan sholat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan
Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat
tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak
ditetapkan syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.

Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya,


contoh seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak

38
sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya. Jenis binatang yang boleh
dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.

Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah


bilangan raka’at sholat zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya
bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat
dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-
orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut
sampai bilangan tertentu, baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau
bahkan jutaan. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan
murka Alloh.

Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara


membasuh tangan dan muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena
tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.

Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha


pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at
menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari tasyriq saja.

Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka


tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.

Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat


ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya
untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan syari’at yang dibawa oleh
Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam setiap tarikan nafas
dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita semua
menjadi hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu
a’lam bish showaab.

39
AWAS SYIRIK!

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah
kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut
mereka yang setia. Amma ba’du, sesungguhnya sebenar-benar ucapan
adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah
pasti sesat.

Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam kitabnya


yang mulia,

‫إِّ َّن ّللاَ لَ َيغ ِّف ُر أَن يُش َركَ بِّ ِّه َويَغ ِّف ُر َما دُونَ ذَلِّكَ ِّل َمن يَشَا ُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya


dan Dia akan mengampuni dosa lainnya yang berada di bawah
tingkatannya bagi siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya.” (QS. An
Nisaa’: 116)

Pengertian dan Ruang lingkup Syirik

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam
perkara yang termasuk kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh
Allah ta’ala saja. Kekhususan Allah itu meliputi tiga hal utama,
Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur alam,
menguasainya, mengabulkan do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah,
seperti berhak untuk diibadahi, menjadi tujuan do’a, permintaan tolong,
permintaan perlindungan, tujuan dalam melaksanakan persembahan atau
sembelihan, menjadi tujuan harapan, rasa takut dan kecintaan yang
disertai dengan ketundukkan. Ketiga, hak kesempurnaan Nama-nama
dan Sifat-sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar Rabb dan Ar
Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang
menyamai-Nya. Jadi kesyirikan itu bisa terjadi dalam hal rububiyah,
uluhiyah maupun nama dan sifat-Nya.

40
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang bisa
membersihkan diri dari ketiga macam syirik ini dalam penghambaaan dan
tauhidnya kepada Allah, dia mengesakan Zat-Nya, beribadah hanya
kepada-Nya dan mengesakan sifat-sifatNya, maka dialah muwahhid
sejati. Dialah pemilik berbagai keutamaan khusus yang dimiliki oleh kaum
yang bertauhid. Dan barangsiapa yang kehilangan salah satu bagian
darinya maka kepadanyalah tertuju ancaman yang terdapat dalam firman
Allah ta’ala, semacam, “Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya akan
terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar termasuk orang yang
merugi”. Camkanlah perkara ini, sebab inilah perkara terpenting dalam
masalah akidah…” (Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, Syarh wa Ta’liq, hal. 17-
18) Adapun yang sering disebut dengan syirik saja oleh para ulama maka
yang dimaksud adalah syirik dalam hal uluhiyah/ibadah, dan inilah yang
akan kita bicarakan sekarang. Yaitu syirik dalam hal ibadah.

Dahsyatnya Bahaya Kesyirikan

Berikut ini beberapa dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang


hendaknya kita perhatikan dengan seksama. Dalil-dalil itu akan
menggambarkan kepada kita sebuah gambaran mengerikan dan sangat
menakutkan tentang dahsyatnya bahaya kesyirikan. Semoga Allah
menyelamatkan diri kita darinya.

Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala
berfirman,

‫إِّ َّن ّللاَ لَ َيغ ِّف ُر أَن يُش َركَ بِّ ِّه َويَغ ِّف ُر َما دُونَ ذَلِّكَ ِّل َمن يَشَا ُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya,


dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan
syirik bagi siapa saja yang dikehndaki oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48 dan
116)

Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat


syirik. Allah ta’ala berfirman,

41
‫صار‬ َّ ‫ار َو َما ِّل‬
َ ‫لظا ِّل ِّمينَ ِّمن أَن‬ ُ َّ‫علَي ِّه ال َجنَّةَ َو َمأ َواهُ الن‬
َ ُ‫إِّنَّهُ َمن يُش ِّرك بِّاِلِّ فَقَد َح َّر َم ّللا‬

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka


sesungguhnya Allah telah mengharamkan surga baginya dan tempat
kembalinya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-
orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)

Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa neraka. Allah
ta’ala berfirman,

‫َار َج َهنَّ َم خَا ِّلدِّينَ فِّي َها أُولَئِّكَ هُم ش َُّر البَ ِّريَّ ِّة‬ ِّ ‫إِّ َّن الَّذِّينَ َكف َُروا ِّمن أَه ِّل ال ِّكت َا‬
ِّ ‫ب َوال ُمش ِّركِّينَ فِّي ن‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan


orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di
dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al Bayyinah: 6)

Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal


shalih, betapapun banyak amal tersebut. Allah ta’ala berfirman,

َ‫ع َملُكَ َولَت َ ُكون ََّن ِّمنَ الخَا ِّس ِّرين‬ َ َ‫ي إِّلَيكَ َوإِّلَى الَّذِّينَ ِّمن قَبلِّكَ لَئِّن أَش َركتَ لَيَحب‬
َ ‫ط َّن‬ ِّ ُ ‫َولَقَد أ‬
َ ‫وح‬

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi


sebelum engkau, ‘Jika kamu berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu
akan lenyap terhapus dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang
yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)

Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala


berfirman,

‫ع ِّظيم‬ ُ َ‫الشركَ ل‬
َ ‫ظلم‬ َّ ِّ‫ي َل تُش ِّرك ب‬
ِّ ‫اِلِّ إِّ َّن‬ ُ ‫َوإِّذ قَا َل لُق َمانُ ِّلبنِّ ِّه َوه َُو َي ِّع‬
َّ َ‫ظهُ يَا بُن‬

“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS.


Luqman: 13)

Allah ta’ala juga berfirman,

ُ َّ‫وم الن‬
‫اس بِّال ِّقس ِّط‬ َ ‫ت َوأَنزَ لنَا َمعَ ُه ُم ال ِّكت‬
َ ُ‫َاب َوال ِّميزَ انَ ِّليَق‬ ِّ ‫سلَنَا بِّالبَيِّنَا‬ َ ‫لَقَد أَر‬
ُ ‫سلنَا ُر‬

42
“Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-
keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
supaya manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al Hadiid: 25)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan


bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitabNya agar
manusia menegakkan yaitu keadilan. Salah satu di antara keadilan yang
paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok terbesar dan pilar penegak
keadilan. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar.
Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan
tauhid merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’ wad Dawaa’, hal.
145)

Keenam, syirik merupakan dosa terbesar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam pernah bertanya kepada para sahabatnya yang
artinya, “Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa-dosa yang paling
besar?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka para sahabat
menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Berbuat syirik
terhadap Allah dan durhaka kepada kedua orang tua…” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Ketujuh, orang yang berbuat syirik sehingga murtad maka menurut


ketetapan syariat Islam dia berhak dihukum bunuh. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak halal menumpahkan
darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga penyebab:
seorang yang sudah menikah tapi berzina, seorang muslim yang
membunuh saudaranya (seagama) atau orang yang meninggalkan
agamanya sengaja memisahkan diri dari jama’ah (murtad dari
Islam).” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Barang siapa
yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Ahmad dan
Bukhari)

Kedelapan, amal yang tercampur dengan syirik akan sia-sia dan sirna
sebagaimana debu-debu yang beterbangan disapu oleh angin. Allah
ta’ala berfirman,

43
‫َوقَدِّمنَا إِّلَى َما َع ِّملُوا ِّمن َع َمل فَ َجعَلنَاهُ َهبَاء َّمنثُورا‬

“Dan Kami akan hadapi semua amal yang pernah mereka amalkan
(sewaktu di dunia) kemudian Kami jadikan amal-amal itu sia-sia seperti
debu-debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)

Kesembilan, orang yang berbuat syirik dalam beramal maka dia akan
ditelantarkan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi
yang artinya, “Aku adalah Zat yang Maha Kaya dan paling tidak
membutuhkan sekutu, oleh sebab itu barang siapa yang beramal dengan
suatu amalan yang dia mempersekutukan sesuatu dengan-Ku di dalam
amalnya itu maka pasti Aku akan telantarkan dia bersama kesyirikannya
itu.” (HR. Muslim)

Kesepuluh, bahaya syirik lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada bahaya


Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Maukah kalian aku beritahukan tentang sesuatu yang paling aku
khawatirkan mengancam kalian dalam pandanganku dan lebih
menakutkan daripada Al Masih Ad Dajjal?” Maka para sahabat
menjawab, “Mau (ya Rasulullah).” Beliau pun bersabda, “Yaitu syirik yang
samar. Apabila seseorang mendirikan shalat sambil membagus-
baguskan shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang
memperhatikan shalatnya.” (HR. Ahmad)

Kesebelas, syirik kecil adalah dosa yang sangat dikhawatirkan terjadi


pada generasi terbaik yaitu para sahabat radhiallahu ‘anhum.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang
artinya, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah
syirik kecil.” Maka beliau pun ditanya tentangnya. Sehingga beliau
menjawab, “Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.” (HR. Ahmad,
dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 951 dan Shahihul
Jami’ no. 1551)

Kedua belas, Syirik adalah bahaya yang sangat dikhawatirkan oleh bapak
para Nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam akan menimpa pada dirinya dan

44
pada anak keturunannya. Allah ta’ala mengisahkan doa yang dipanjatkan
oleh Nabi Ibrahim di dalam ayat-Nya,

َ ‫ي أَن نَّعبُ َد اِلَصن‬


‫َام‬ ِّ ‫ب اجعَل هَـذَا البَلَ َد‬
َّ ِّ‫آمنا َواجنُبنِّي َوبَن‬ ِّ ‫َر‬

“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada


arca-arca.” (QS. Ibrahim: 35)

Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah orang selain Ibrahim yang


bisa merasa aman dari ancaman bencana (syirik)?!” Syaikh Abdurrahman
bin Hasan rahimahullah berkata, “Maka tidak ada lagi yang merasa aman
dari terjatuh dalam kesyirikan kecuali orang yang bodoh tentangnya dan
juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri
darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu
mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik
terhadapnya.” (Fathul Majid, hal. 72).

Ketiga belas, orang yang mati dalam keadaan masih musyrik maka pasti
masuk neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Barang siapa yang menjumpai Allah (mati) dalam keadaan
mempersekutukan sesuatu dengan-Nya maka pasti masuk neraka.” (HR.
Muslim)

Keempat belas, orang yang berbuat syirik maka amalnya tidak akan
diterima. Allah ta’ala berfirman,

‫صا ِّلحا َو َل يُش ِّرك بِّ ِّعبَا َدةِّ َربِّ ِّه أ َ َحدا‬ َ ‫فَ َمن َكانَ يَر ُجو ِّلقَاء َربِّ ِّه فَليَع َمل‬
َ ‫ع َمال‬

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya


hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan apapun
dengan Allah dalam beribadah kepada tuhannya itu.” (QS. Al Kahfi: 110)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata sembari menukilkan ayat, “[Maka


barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya] artinya
barangsiapa yang menginginkan pahala dan balasan kebaikan dari-Nya,
[maka hendaklah dia beramal shalih], yaitu amal yang sesuai dengan
syariat Allah. [dan dia tidak mempersekutukan apapun dalam beribadah

45
kepada kepada Tuhannya] Artinya dia adalah orang yang hanya
mengharapkan wajah Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah
dua buah rukun diterimanya amalan. Suatu amal itu harus ikhlas untuk
Allah dan benar yaitu berada di atas tuntunan syariat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/154).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang
artinya, “Barang siapa yang mendatangi paranormal kemudian
menanyakan sesuatu kepadanya maka shalatnya tidak akan diterima
selama 40 malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Kelima belas, seorang mujahid, da’i atau ahli baca Quran serta
dermawan yang terjangkiti kesyirikan maka akan diadili pertama kali pada
hari kiamat dan kemudian dibongkar kedustaannya lalu dilemparkan ke
dalam neraka dalam keadaan wajahnya tertelungkup dan diseret oleh
Malaikat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang


artinya, “Sesungguhnya orang pertama kali diadili pada hari kiamat
adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan
kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan
kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu
lakukan dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai
aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau
berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau
dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan
harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang
diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang
sudah kamu perbuat dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku
tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu
kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau
dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang
yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah

46
memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas
wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian seorang yang
menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Quran. Dia
didatangkan kemudian ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah
didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang
sudah kau perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut
ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu.” Allah
berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya
disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut sebagai
Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam
neraka.” (HR. Muslim)

Keenam belas, orang yang berbuat syirik akan merasa kecanduan


dengan sesembahannya dan ditelantarkan oleh Allah. Abdullah bin
‘Ukaim meriwayatkan secara marfu’ (sampai kepada Nabi) bahwasanya
beliau bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan sesuatu (jimat
dan semacamnya, red) maka dia akan dibuat bersandar dan tergantung
kepadanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dinilai hasan Al Arna’uth
dalam Takhrij Jami’ul Ushul 7/575)

Ketujuh belas, orang yang menyembah selain Allah adalah orang paling
sesat sejagad raya. Allah ta’ala berfirman,

‫عائِّ ِّهم غَافِّ ُل َوإِّذَا ُح ِّش َر‬ َ ‫وم ال ِّقيَا َم ِّة َوهُم َعن ُد‬ ُ ‫ّللاِّ َمن َّل يَست َِّج‬
ِّ َ‫يب لَهُ إِّلَى ي‬ َّ ‫ُون‬ َ َ ‫َو َمن أ‬
ُ ‫ض ُّل ِّم َّمن يَد‬
ِّ ‫عو ِّمن د‬
َ‫اس كَانُوا لَ ُهم أَع َداء َوكَانُوا بِّ ِّعبَا َدتِّ ِّهم كَافِّ ِّرين‬ ُ َّ‫الن‬

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada
sesembahan-sesembahan selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak
dapat mengabulkan doa hingga hari kiamat, dan sesembahan itu juga
lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan apabila umat manusia nanti
dikumupulkan (pada hari kiamat) maka sesembahan-sesembahan itu
justru akan menjadi musuh serta mengingkari peribadatan yang dilakukan
oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)

47
Kedelapan belas, orang yang berbuat syirik adalah sosok-sosok manusia
yang sangat dungu lagi tidak mau mengambil pelajaran. Allah ta’ala
berfirman,

‫ّللاُ قُ ِّل ال َحم ُد ِّ َِّلِّ بَل‬ َ ‫اء َماء فَأَحيَا بِّ ِّه اِلَر‬
َّ ‫ض ِّمن بَع ِّد َموتِّ َها لَيَقُولُ َّن‬ َّ ‫سأَلت َ ُهم َّمن نَّ َّز َل ِّمنَ ال‬
ِّ ‫س َم‬ َ ‫َولَئِّن‬
َ‫أَكث َ ُرهُم َل يَع ِّقلُون‬

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang


menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi
sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”, Katakanlah,
“Segala puji bagi Allah.” tetapi kebanyakan mereka tidak
memahaminya.” (QS. Al ‘Ankabut: 63)

Allah juga berfirman,

َ‫ص ُرون‬ َ ُ‫أَيُش ِّر ُكونَ َما لَ يَخلُ ُق شَيئا َوهُم يُخلَقُونَ َولَ يَست َِّطيعُونَ لَ ُهم نَصرا َولَ أَنف‬
ُ ‫س ُهم يَن‬

“Apakah mereka itu mau mempersekutukan (dengan Allah) sesuatu yang


tidak bisa menciptakan apa-apa dan mereka sendiri pun sebenarnya
diciptakan, mereka juga tidak sanggup memberikan sedikitpun
pertolongan dan tidak bisa pula menolong diri mereka sendiri.” (QS. Al
A’raaf: 191-192)

Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,

‫س ِّمعُوا َما است َ َجابُوا‬ َ ‫عاء ُكم َولَو‬ َ ‫عوهُم َل يَس َمعُوا ُد‬ ُ ‫َوالَّذِّينَ ت َدعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه َما يَم ِّل ُكونَ ِّمن قِّط ِّمير إِّن ت َد‬
‫لَ ُكم َويَو َم ال ِّقيَا َم ِّة يَكفُ ُرونَ بِّ ِّشر ِّك ُكم َو َل يُنَبِّئُكَ ِّمث ُل َخبِّير‬

“Dan sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian seru itu tidak bisa


menguasai setipis kulit ari sekalipun. Jika kalian menyeru mereka
(berhala), maka mereka itu tidak bisa mendengar doa kalian. Dan
seandainya mereka itu bisa mendengar maka mereka juga tidak akan
bisa mengabulkan permintaan kalian, dan pada hari kiamat nanti mereka
akan mengingkari perbuatan syirik kalian, dan tiada yang bisa
menyampaikan kepadamu tentang hakikat segala hal sebagaimana
(Allah) Zat yang maha mengetahui.” (QS Faathir: 13-14)

48
Kesembilan belas, orang yang berbuat syirik adalah orang yang
berkepribadian rendah dan tidak yakin dengan kemahakuasaan Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Thiyarah
(menganggap sial karena melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu)
adalah syirik. Thiyarah adalah syirik…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
hadits hasan shahih, lihat Al Jadid, hal. 259)

Kedua puluh, amalan orang yang berbuat syirik atau mengangkat thaghut
(sesuatu yang disembah, ditaati atau diikuti sehingga menjadi sosok
tandingan bagi Allah) akan berubah menjadi penyesalan abadi di akhirat
kelak. Allah ta’ala berfirman,

‫اب َوقَا َل الَّذِّينَ اتَّبَعُوا لَو أ َ َّن لَنَا ك ََّرة‬ َّ َ‫اب َوتَق‬
ُ َ‫ط َعت بِّ ِّه ُم اِلَسب‬ َ َ‫إِّذ تَبَ َّرأ َ الَّذِّينَ اتُّبِّعُوا ِّمنَ الَّ ِّذينَ اتَّبَعُوا َو َرأ َ ُوا العَذ‬
ِّ َّ‫َار ِّجينَ ِّمنَ الن‬
‫ار‬ ِّ ‫علَي ِّهم َو َما هُم بِّخ‬ َ ‫س َرات‬َ ‫فَنَتَبَ َّرأ َ ِّمن ُهم َك َما تَبَ َّر ُؤوا ِّمنَّا َكذَلِّكَ ي ُِّري ِّه ُم ّللاُ أَع َمالَ ُهم َح‬

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang
yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan ketika segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-
orang yang mengikuti; “Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti
kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri
dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal
perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak
akan keluardari api neraka.” (QS. Al Baqarah: 166-167)

Kedua puluh satu, orang yang berbuat syirik sehingga mencintai


sesembahan atau pujaannya sebagai sekutu dalam hal cinta ibadah
maka dia tidak akan bisa merasakan manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ada tiga
ciri, barang siapa yang memilikinya maka dia akan bisa merasakan
manisnya iman: (1) Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya
daripada segala sesuatu selain keduanya. (2) Apabila dia bisa mencintai
seseorang hanya karena Allah saja. (3) Apabila dia merasa begitu benci
untuk kembali dalam kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya
sebagaimana orang yang tidak mau dilemparkan ke dalam kobaran
api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

49
Kedua puluh dua, orang yang berbuat syirik maka tidak akan diberikan
kecukupan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,

َّ ‫ّللاَ بَا ِّل ُغ أَم ِّر ِّه قَد َجعَ َل‬


‫ّللاُ ِّل ُك ِّل شَيء قَدرا‬ َّ ‫علَى‬
َّ ‫ّللاِّ فَ ُه َو َحسبُهُ إِّ َّن‬ َ ‫َو َمن يَت ََو َّكل‬

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah (bertauhid dan tidak
menyandarkan hatinya kepada selain Allah) maka Allah akan
mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyelesaikan urusannya,
dan Allah telah menentukan takdir dan ketentuan waktu bagi segala
sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 3)

Kedua puluh tiga, celakalah budak harta benda dan pemuja mode
busana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Binasalah hamba dinar, hamba dirham, hamba Khamishah,
hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau tidak diberi
maka dia murka. Binasalah dan rugilah dia…” (HR. Bukhari)

Khamishah adalah kain dari bahan sutera atau wol yang bercorak,
sedangkan Khamilah adalah kain beludru (lihat Al Jadid, hal. 330
dan Fathul Majid, hal. 365).

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Hadits itu


menunjukkan bahwasanya barang siapa yang menjadikan (kesenangan)
dunia sebagai tujuan akhir kehidupan serta puncak cita-citanya maka
sesungguhnya dia telah menyembahnya dan mengangkatnya sebagai
sekutu selain Allah.” (Al Jadid, hal. 332).

Kedua puluh empat, orang yang berbuat syirik pasti akan tertimpa
bencana atau siksa yang sangat pedih dan menyakitkan. Allah ta’ala
berfirman,

‫عذَاب أ َ ِّليم‬ ِّ ‫صيبَ ُهم فِّتنَة أَو ي‬


َ ‫ُصيبَ ُهم‬ ِّ ُ ‫عن أَم ِّر ِّه أَن ت‬
َ َ‫فَليَحذَ ِّر الَّذِّينَ يُخَا ِّلفُون‬

“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan


Rasul kalau-kalau mereka itu akan tertimpa fitnah (bala/bencana) atau
siksa yang sangat pedih.” (QS. An Nuur: 63)

50
MEMPERKOKOH KEIMANAN PADA ALLAH

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini
sangat penting kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita
untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan akidah yang
benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan Allah
kami mencoba mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang
pertama ini. Semoga ulasan berikut dapat memperkokoh iman kita
kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Makna Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni
keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala
sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan
Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan
beribadah kepada selain-Nya adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,

ُّ ‫اط ُل َوأ َ َّن للاَ ُه َو العَ ِّل‬


ُ ِّ‫ي ال َكب‬
‫ير‬ ِّ َ‫ذَ ِّل َك بِّأ َ َّن للاَ ُه َو ال َح ُّق َوأ َ َّن َمايَدعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه ُه َو الب‬
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah,
Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru
selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang
Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)

Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia,
tersucikan dari segala kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan
tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhdi asma’
wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini,
karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang
keesaan Allah Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan
sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).

Cakupan Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah mencakup empat perkara :

51
• Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
• Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
• Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
• Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.

Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa


yang tidak beriman kepada salah satu saja maka dia bukan seorang
mukmin. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih
al ‘Utsaimin)

Dalil Tentang Keberadaan Allah

Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.

Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada
di alam ini, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu
ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri
atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.

Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh


makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus
diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari fitrah ini
kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari
fitrah itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR.
Bukhari dan Muslim).

Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah.
Kita semua bisa menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang
yang berdoa dan ditolongnya orang-orang yang kesusahan. Ini
menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula
ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang
disaksikan oleh manusia atau yang mereka dengar merupakan bukti yang
nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Ta’ala.

52
Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada
umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk
mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.

Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab


kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang
dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-hukum yang menjamin
kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb
yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya.
Berita-berita yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-
kitab tersebut merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb
yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak
pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al
Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin
Sholih al ‘Utsaimin).

Iman terhadap Rububiyah

Maksudnya adalah beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang


tidak mempunyai sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta,
memiliki, dan memerintah. Tiada yang dapat mencipta selian Allah, tiada
yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan
kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,

‫علَى العَر ِّش‬ َ ‫ض فِّي ِّست َّ ِّة أَيَّام ث ُ َّم است ََوى‬
َ ‫ت َواِلَر‬ ِّ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ َّ ‫إِّ َّن َربَّ ُك ُم للاُ الَّذِّي َخلَقَ ال‬
ُ‫س َّخ َرات بِّأَم ِّر ِّه أَلَلَه‬
َ ‫وم ُم‬َ ‫س َوالقَ َم َر َوالنُّ ُج‬
َ ‫شم‬ َّ ‫ار يَطلُبُهُ َحثِّيثا َوال‬َ ‫يُغ ِّشى الَّي َل النَّ َه‬
َ َ‫الخَل ُق َواِلَم ُر تَب‬
َ‫ار َك للاُ َربُّ العَالَ ِّمين‬
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. Al A’rof: 54).

53
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah
Allah Ta’ala kecuali karena sombong. Namun sebenarnya ia tidak
meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat pada diri
Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,

‫فَقَا َل أَنَا َربُّ ُك ُم اِلَعلَى‬


“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at:
24)

‫علَى‬ َ ‫ان‬ ُ ‫ع ِّلمتُ لَ ُكم ِّمن ِّإلَه غَي ِّري فَأَوقِّد ِّلي يَاهَا َم‬ َ ‫عو ُن يَآأَيُّ َها ال َمل ُ َما‬
َ ‫َوقَا َل فِّر‬
ُ َ ‫سى َو ِّإنِّي ِل‬
َ‫ظنُّهُ ِّمنَ ال َكا ِّذ ِّبين‬ َّ َ ‫صرحا لَّعَ ِّلي أ‬
َ ‫ط ِّل ُع ِّإلَى إِّلَ ِّه ُمو‬ َ ‫ين فَاجعَل ِّلي‬ ِّ ‫الط‬
ِّ
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui
tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat
kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat
naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin
bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)

Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫عاقِّبَةُ ال ُمف ِّسدِّين‬


َ َ‫ف َكان‬ ُ ‫علُ ًّوا فَان‬
َ ‫ظر َكي‬ ُ ُ‫َو َج َحدُوا بِّ َها َواست َيقَنَت َهآ أَنف‬
ُ ‫س ُهم‬
ُ ‫ظلما َو‬
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
(QS. An Naml: 14).

Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam juga mengakui rububiyah Allah, namun mereka
menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫سأَلت َ ُهم َّمن َخلَقَ ُهم لَيَقُولُ َّن للاُ فَأَنَّى يُؤفَ ُكون‬
َ ‫َولَئِّن‬
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka

54
bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS.
Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al
‘Utsaimin)

Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya


kaum musyrikin tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.

Iman Kepada Uluhiyah

Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut
tauhid uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid
ibadah karena penisbatannya kepada makhluk. Adapun yang dimaksud
tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya
Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,

ِّ َ‫ذَ ِّل َك بِّأ َ َّن للاَ ُه َو ال َح ُّق َوأ َ َّن َمايَدعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه الب‬
‫اط ُل‬
” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan
sesungguhnya yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batil” (QS.
Luqman: 30).

Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah
Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka,
sebagaimana Allah jelaskan,

ِّ ‫وحي إِّلَي ِّه أَنَّهُ آل إِّلَهَ إِّآل أَنَا فَاعبُد‬


‫ُون‬ ِّ ُ‫سول إِّلَّن‬ َ ‫َو َمآأَر‬
ُ ‫سلنَا ِّمن قَب ِّل َك ِّمن َّر‬
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“.” (QS. Al
Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin)

Antara Rububiyah dan Uluhiyah

55
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang
tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid
uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah
mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa
yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya
dan mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk
beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan
tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya,
jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid
rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak
menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan
penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,

َ ‫ }فَإِّنَّ ُهم‬76{ َ‫ }أَنتُم َو َءابَآ ُؤ ُك ُم اِلَق َد ُمون‬75{ َ‫قَا َل أَفَ َر َءيتُم َّما ُكنتُم ت َعبُدُون‬
‫عدُو‬
‫ } َوالَّذِّي ُه َو يُط ِّع ُمنِّي‬78{ ‫ِّين‬
ِّ ‫ }الَّذِّي َخلَقَ ِّني فَ ُه َو يَهد‬77{ َ‫ِّلي إِّلَّ َربَّ العَالَ ِّمين‬
ِّ ‫ } َوالَّذِّي يُ ِّميتُنِّي ث ُ َّم يُح ِّي‬80{ ‫ين‬
}81{ ‫ين‬ ِّ ‫ } َو ِّإذَا َم ِّرضتُ فَ ُه َو يَش ِّف‬79{ ‫ين‬
ِّ ‫َويَس ِّق‬
}82{ ‫ِّين‬ ِّ ‫َوالَّذِّي أَط َم ُع أَن يَغ ِّف َر ِّلي خ‬
ِّ ‫َطيئَتِّي يَو َم الد‬

“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang


selalu kamu sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang
dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah
musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah
menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku,
Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku
sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan
aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat
aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).” (QS.
Asy Syu’aroo’:75-82)

Tauhid rububyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka


ketika itu maknanya berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua

56
kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung
menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,

ِّ َّ‫ } ِّإلَ ِّه الن‬2{ ‫اس‬


}3{ ‫اس‬ ِّ َّ‫ } َم ِّل ِّك الن‬1{ ‫اس‬
ِّ َّ‫ب الن‬ ُ َ ‫قُل أ‬
ِّ ‫عوذُ بِّ َر‬

“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan


menguasai) manusia(1). Raja manusia(2). Sesembahan
manusia(3).” (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini adalah Raja
yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan
satu-satunya yang berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa


bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya, maka sudah
mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana ucapan malaikat
maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya,
“Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan
firman Allah,

ِّ َ‫الَّذِّينَ أُخ ِّر ُجوا ِّمن ِّدي‬


}40{ ُ‫ار ِّهم بِّغَي ِّر َحق إِّآلَّ أَن يَقُولُوا َربُّنَا للا‬

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka


tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami
hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)

}164{ ‫للا أَب ِّغي َربًّا‬


ِّ ‫قُل أَغَي َر‬

“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al


An’am :164)

}30{ ‫ِّإ َّن الَّذِّينَ قَالُوا َربُّنَا للاُ ث ُ َّم استَقَا ُموا‬

“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah”


kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30).
Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna

57
uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al
Fauzan)

Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah

Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid


asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa
Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini
mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus
menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia
tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak
menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asma’ dan shifat-
Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,

}11{ ‫ير‬
ُ ‫ص‬ َ ‫لَي‬
َّ ‫س َك ِّمث ِّل ِّه شَى ُءُُ َو ُه َو ال‬
ِّ َ‫س ِّمي ُع الب‬

” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid
bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin).

Cabang Keimanan yang Tertinggi

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-


an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa
ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari
cabang keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di
menjelaskan, “Cabang keimanan yang paling tinggi dan merupakan
pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang
jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat
uluhiyah kecuali Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh
alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya
sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia
Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam
setiap keadaan dan mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya

58
seluruh cabang-cabang keimanan adalah cabang dan buah dari asas ini
(yakni iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa
Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)

Faedah Iman yang Benar

Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung
bagi orang-orang yang beriman, di antaranya:

• Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada


tempat bergantung selain Allah dalam rasa harap dan takut , serta
tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
• Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan
terhadap-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-
sifat-Nya yang mulia.
• 3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman,
Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita


kepada Allah dan memberikan kita istiqomah di atas iman yang
benar. Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallaam.

IMAN KEPADA MALAIKAT

Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam.


AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Rasul telah beriman kepada al-
Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-
orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah:
285) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang iman,
beliau menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para

59
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman
dengan takdir yang baik dan buruk.” (Muttafaq `alaih)

Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia telah


kafir, keluar dari Islam. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-
rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 136)

Batasan Minimal Iman kepada Malaikat

Syaikh Shalih bin `Abdul `Aziz Alu Syaikh hafidzahullah mengatakan:


“Batas minimal (iman kepada malaikat) adalah keimanan bahwasanya
Allah menciptakan makhluk yang bernama malaikat. Mereka adalah
hamba-hamba Allah yang senantiasa taat kepada-Nya. Mereka
merupakan makhluk yang diatur sehingga tidak berhak diibadahi sama
sekali. Diantara mereka ada malaikat yang ditugasi untuk menyampaikan
wahyu kepada para Nabi.” (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh)

Bertambah Iman Seiring dengan Bertambahnya Ilmu

Setelah itu, setiap kali bertambah ilmu seseorang tentang rincian hal
tersebut (malaikat), wajib baginya mengimaninya. Dengan begitu, maka
imannya akan bertambah. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan
apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang
munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah
imannya dengan (turannya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang
beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa
gembira.” (QS. At-Taubah: 124)

Hakikat malaikat

Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-


dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin
(tentang malaikat) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

60
• Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk
ciptaan Allah.
• Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya,
sebagaimana Allah menciptakan jin dan manusia juga untuk
beribadah kepada-Nya semata.
• Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.
• Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia.
Mereka hidup di alam yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat
tersebut di dunia karena kedekatannya, dan untuk melaksanakan
perintah-Nya, baik perintah yang yang bersifat kauniyyah,
maupun syar`iyyah.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang
Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah.
Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang
dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan
mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala
sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang
mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang
yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut
kepada-Nya. Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan:
‘Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu
Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan
pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29)

(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah
wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin hal. 15)

Asal Penciptaan Malaikat

Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut


sebagaimana terdapat dalam hadits dari Ummul Mu`minin
`Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan
dari cahaya.” (HR. Muslim)

61
Jumlah Malaikat

Jumlah mereka sangat banyak. Hanya Allah saja yang tahu berapa
banyak jumlah mereka. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan tidak
ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-
Muddatstsir: 31) Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallammelakukan Isra` Mi`raj, berkata Jibril `alaihis salam kepada beliau:
“Ini adalah Baitul Ma`mur. Setiap hari shalat di dalamnya 70 ribu
malaikat. Jika mereka telah keluar, maka mereka tidak kembali lagi…. ”
(Muttafaqun `alaihi)

Sifat Fisik Malaikat

Berikut ini kami sampaikan sebagian sifat fisik malaikat:

• Kuatnya fisik mereka


Allah Ta`ala berfirman tentang keadaan neraka (yang artinya),
“Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.
Tahrim: 6)
Panas api neraka, yang membuat besi dan batu meleleh, tidak
membahayakan mereka.Demikian juga dengan Malakul jibal (Malaikat
gunung), dimana dia menawarkan kepada Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam untuk menabrakkan dua gunung kepada sebuah
kaum yang mendurhakai beliau. Kemudian beliau menolak tawaran
tersebut. (Hadits yang menceritakan kisah ini terdapat dalam Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim)
• Mempunyai sayap
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta
langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan
(untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap,
masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan
pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fathiir: 1)

62
• Tidak membutuhkan makan dan minum
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya utusan-
utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan
membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim
menjawab: “Selamatlah,” maka tidak lama kemudian Ibrahim
menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala
dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang
aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat
itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-
ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.’” (QS. Huud: 69 –
70)As Suyuthi rahimahullah berkata: “Ar-Razi dalam tafsirnya
mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwasanya malaikat tidak
makan, tidak minum, dan juga tidak menikah.”

Ke-ma`shum-an Malaikat

Allah Ta`ala telah manjadikan malaikat sebagai makhluk yang ma`shum,


dimana mereka tidak akan pernah bermaksiat kepada-Nya.
Allah Ta`alaberfirman: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha
Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah….” (lihat
QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29 di atas)

Buah Iman kepada Malaikat

Diantara buah dari beriman kepada malaikat adalah:

• Mengetahui keagungan Allah Ta`ala yang telah menciptakan makhluk-


makhluk yang mulia, yaitu malaikat.
• Kecintaan kepada malaikat karena ibadah-ibadah yang mereka
lakukan. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh `Utsaimin)

Demikialah sedikit bahasan tentang malaikat. Untuk mendapatkan


pembahasan yang lebih rinci tentang Malaikat, silahkan merujuk ke
kitabMu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah

63
wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin karya DR. Muhammad bin
`Abdul Wahhab al-`Aqiil. Wallahu Ta`ala a`lam.

IMAN TERHADAP KITAB KITAB SUCI

Iman terhadap kitab suci merupakan salah satu landasan agama kita.
AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman dengan Allah, hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi….” (QS. Al-Baqarah: 177) Rasulullah
ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau
menjawab:“(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para Malaikat,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir
yang baik dan buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Kitab (biasa


disebut dengan Kitab suci) adalah kitab yang Allah turunkan kepada
rasul-Nya sebagai rahmat untuk para makhluk-Nya, dan petunjuk bagi
mereka, supaya mereka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” (lihat
kitab Rasaail fil `Aqiidah karya Syaikh Utsaimin)

Cakupan Iman dengan Kitab Suci

Masih dalam kitab yang sama, beliau juga mengatakan: “Iman dengan
kitab suci mencakup 4 perkara:

1.Iman bahwasanya kitab-kitab tersebut turun dari Allah Ta`ala.

2.Iman dengan nama-nama yang kita ketahui dari kitab-kitab tersebut,


seperti al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Muhammad shallallahu
`alaihi wa sallam, Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, dan lain
sebagainya.

64
3.Pembenaran terhadap berita-berita yang shahih, seperti berita-berita
yang ada dalam al-Qur`an dan kitab-kitab suci sebelumnya selama kitab-
kitab tersebut belum diganti atau diselewengkan.

4.Pengamalan terhadap apa -apa yang belum di-nasakh dari kitab-kitab


tersebut, rida terhadapnya, dan berserah diri dengannya, baik yang
diketahui hikmahnya, maupun yang tidak diketahui.” (Rasaail fil `Aqiidah)

Sumber dan Tujuan Penurunan Kitab Suci

Seluruh kitab-kitab suci sumbernya adalah satu, yaitu dari Allah Jalla wa
`Alaa. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “ Allah, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu
dengan sebenarnya; membenarkan Kitab yang telah diturunkan
sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Quran),
menjadi petunjuk bagi manusia, dan dia menurunkan al-Furqaan.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan
memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai
balasan (siksa).” (QS. Ali Imran: 2-4)

Tujuan penurunan kitab-kitab suci juga satu, yaitu tercapainya


peribadatan hanya kepada Allah semata, sebagaimana terdapat dalam
firman Allah Ta`ala dalam surat al-Maidah ayat 44 – 50. (Untuk
pembahasan lebih rinci, lihat kitab ar-Rusul war Risaalaat karya `Umar
bin Sulaiman al-Asyqar, hal 231 – 235)

Kedudukan al-Qur`an di antara Kitab-kitab Suci Lainnya

Al-Qur`an merupakan kitab suci terakhir dan penutup dari kitab-kitab suci
sebelumnya. Selain itu, al-Qur`an juga merupakan hakim atas kitab-kitab
suci sebelumnya. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah
turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain
itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan

65
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu…. ” (QS. Al-Maidah: 48)

Al-Qur`an merupakan kitab suci paling panjang dan paling luas


cakupannya. Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam bersabda: “Saya
diberi ganti dari Taurat dengan as-sab`ut thiwaal (tujuh surat dalam al-
Qur`an yang panjang-panjang). Saya diberi ganti dari Zabur dengan al-
mi`iin (surat yang jumlah ayatnya lebih dari seratus). Saya diberi ganti
dari Injil dengan al-matsani (surat yang terulang-ulang pembacaannya
dalam setiap rekaat shalat) dan saya diberi tambahan dengan al-
mufashshal (surat yang dimulai dari Qaf sampai surat an-Naas).” (HR.
Thabarani dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani)

Di antara perkara lain yang menjadi kekhususan al-Qur`an dari kitab-


kitab suci lainnya adalah penjagaan Allah terhadapnya.
Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sekilas Tentang Taurat

Taurat adalah kitab yang Allah turunkan kepada Musa `alahis salam.
Taurat merupakan kitab yang mulia yang tercakup didalamnya cahaya
dan petunjuk. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kami
Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya
(yang menerangi)….” (QS. Al-Maidah: 44)

Taurat yang ada saat ini – biasa disebut dengan kitab perjanjian lama – ,
setiap orang yang berakal tentu mengetahui bahwa taurat tersebut
bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada Musa `alaihis salam. Hal
itu bisa diketahui dari beberapa bukti berikut:.

• Ketidakmampuan mereka (baik Yahudi maupun Nashrani) dalam


menunjukkan sanad ilmiah yang sampai kepada Musa `alaihis salam,
bahkan mereka mengakui bahwa Taurat pernah hilang selama
beberapa kali.

66
• Terjadi banyak kontradiksi di dalamnya, yang menunjukkan bahwa
sudah banyak terjadi campur tangan para ulama yahudi dalam
merubah isi Taurat.
• Banyak terdapat kesalahan ilmiah.
• Dan masih banyak bukti lainnya.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah


bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang
besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka
sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang
mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)

Sekilas Tentang Injil

Sedangkan Injil, dia adalah kitab yang Allah turunkan kepada Isa `alaihis
salam sebagai penyempurna dan penguat bagi Taurat, mencocoki
dangannya dalam sebagian besar syariatnya, petunjuk kepada jalan yang
lurus, membedakan kebenaran dan kebatilan, dan menyeru kepada
peribadatan kepada Allah Ta`ala semata.

Sebagaimana taurat yang ada sekarang bukanlah taurat yang dahulu


diturunkan kepada Musa, demikian juga injil yang ada sekarang, juga
bukan injil yang diturunkan kepada Isa `alaihimas salam. Di antara bukti
dari penyataan tersebut:

• Penulisan injil terjadi jauh beberapa tahun setelah diangkatnya


Isa`alaihis salam.
• Terputusnya sanad dalam penisbatan penulisan injil-injil tersebut
kepada penulisnya.
• Banyak terdapat kontradiksi dan kesalahan ilmiah di dalamnya
• Dan masih banyak bukti lainnya.

67
(untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci tentang keberadaan Taurat
dan Injil yang ada sekarang, silahkan merujuk ke kitab Izhaarul
Haq karya Rahmatullah al-Hindy)

Bolehkah mengikuti Taurat dan Injil setelah Turunnya al-Qur`an?

Jawabnya: Tidak boleh. Bahkan, kalau seandainya kitab-kitab tersebut


(Taurat atau Injil yang ada sekarang) adalah benar berasal dari para
Nabi mereka, maka kita tetap tidak boleh mengikutinya karena kitab-
kitab tersebut diturunkan khusus kepada umat nabi tersebut dan dalam
tempo yang terbatas, dan kitab-kitab tersebut sudah di-nasakh oleh al-
Qur`an. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah turunkan
kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu;…. ” (QS. Al-
Maidah: 48)

Bahkan wajib bagi Yahudi dan Nashrani saat ini untuk mengikuti al-
Qur`an. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat
Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidaklah seorang pun dari
Yahudi dan Nasrani yang mendengar akan diutusnya aku, kemudian mati
dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya,
kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Bukahri dan Muslim)

MENGIMANI PARA UTUSAN ALLAH

Rukun Iman keempat yang harus diimani oleh setiap mukmin adalah
beriman kepada para Nabi dan Rasul utusan Allah. Diutusnya Rasul
merupakan nikmat yang sangat agung. Kebutuhan manusia terhadap
diutusnya Rasul melebihi kebutuhan manusia terhadap hal-hal lain. Untuk
itu, kita tidak boleh salah dalam meyakini keimanan kita kepada utusan

68
Allah yang mulia ini. Berikut adalah penjelasan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan iman kepada Nabi dan Rasul.

Dalil-Dalil Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para


Rasul, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ‫َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ْن َءا َمنَ ب ِاهللِ َو ْال َي ْو ِم اْأل َ ِخ ِر َو ْال َملَئِ َك ِة َو ْال ِكت َا‬
َ‫ب َوالنَّبِيِن‬

“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS. Al Baqarah:
177)

َ َ ‫س ِم ْعنَا َوأ‬
‫ط ْعنَا‬ ُ ‫س ِل ِه الَ نُف َِر ُق بَيْنَ أ َ َح ٍد ِمن ُّر‬
َ ‫س ِل ِه َوقَالُوا‬ ُ ‫ُك ٌّل َءا َمنَ بِاهللِ َو َمالَئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬

“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-


Nya, dan Rasul-rasul-Nya (mereka mengatakan):’ Kita tidak membeda-
bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dan rasul-rasul-Nya’,
dan mereka mengatakan “Kami dengar dan kami taat…” (QS. Al
Baqarah: 285)

Pada ayat-ayat di atas Allah menggandengkan antara keimanan kepada


para Rasul dengan keimanan terhadap diri-Nya, malaikat-malaikat-Nya,
dan kitab-kitab-Nya. Allah menghukumi kafir orang yang membedakan
antara keimanan kepada Allah dan para Rasul. Mereka beriman terhadap
sebagian namun kafir tehadap sebagian yang lain (Al Irsyaad ilaa
shahiihil I’tiqaad, hal 146)

Pokok-Pokok Keimanan Terhadap Para Rasul

Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah harus mengandung


empat unsur pokok yaitu:

• Beriman bahwasanya risalah yang mereka bawa benar-benar risalah


yang berasal dari wahyu Allah Ta’ala.
• Beriman terhadap nama-nama mereka yang kita ketahui.
• Membenarkan berita-berita yang shahih dari mereka.

69
• Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita, yaitu penutup
para Nabi, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallaam. (Syarhu Ushuuill
Iman, hal 34-35)

Antara Nabi dan Rasul

Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi sama dengan rasul. Namun


pendapat yang benar adalah nabi berbeda dengan rasul, walaupun
terdapat beberapa persamaan. Nabi adalah seseorang yang Allah beri
wahyu kepadanya dengan syariat untuk dirinya sendiri atau diperintahkan
untuk menyampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid. Sedangkan
rasul adalah seorang yang Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat
dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum yang
menyelisihnya. Nabi dan rasul memiliki beberapa persamaan dan
perbedaan.

Persamaan Nabi dan Rasul adalah :

• Nabi dan Rasul sama-sama utusan Allah yang diberi wahyu oleh
Allah, berdasarkan firman Allah,

ُ ‫س ْلنَا ِمن قَ ْبلِكَ ِمن َّر‬


ٍ ‫سو ٍل َوالَنَبِي‬ َ ‫َو َمآأ َ ْر‬

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak
(pula) seorang nabi…” (QS. Al Hajj:52). Dalam ayat ini Allah
membedakan antara nabi dan rasul, namun menjelasakan kalau
keduanya merupakan utusan Allah.

• Nabi dan rasul sama-sama diutus untuk menyampaikan syariat.


• Nabi dan rasul ada yang diturunkan kepadanya kitab, ada pula yang
tidak.

Perbedaan Nabi dan Rasul :

• Nabi diberi wahyu untuk disampaikan kepada kaum yang sudah


bertauhid atau untuk diamalkan bagi dirinya sendiri, sebagaimana

70
dalam sebuah hadist, ”Dan akan datang Nabi yang tidak memiliki satu
pun pengikut”. Sedangkan rasul diutus untuk menyampaikan syariat
kepada kaum yang menyelisihinya.
• Nabi mengikuti syariat sebelumnya yang sudah ada, sedangkan
Rasul terkadang mengikuti syariat sebelumnya -seperti Yusuf yang
diutus untuk kaumnya dengan syariat yang dibawa oleh Ibrahim dan
Ya’qub- dan terkadang membawa syariat baru. (Diringkas dari Syarh
al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal 227-234)

Para Nabi dan Rasul Mengajarkan Agama yang Satu

Seluruh Nabi mengajarkan agama yang satu, walaupun mereka memiliki


syariat-syariat yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman,

‫سى أ َ ْن أَقِي ُموا‬


َ ‫سى َو ِعي‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬
َ ‫ص ْينَا بِ ِه إِب َْراه‬
َّ ‫او‬ َ ‫صى بِ ِه نُوحا َوالَّذِي أ َ ْو َح ْينَآ إِلَيْكَ َو َم‬
َّ ‫او‬ ِ ‫ع لَ ُكم ِمنَ الد‬
َ ‫ِين َم‬ َ ‫ش ََر‬
‫الدِينَ َوالَتَتَف ََّرقُوا فِي ِه‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa,
dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya…. ”(QS. Asy Syuuraa:13)

ِ ‫} َوإِ َّن َه ِذ ِه أ ُ َّمت ُ ُك ْم أ ُ َّمة َو‬51{ ‫ع ِلي ٌم‬


‫اح َدة َوأَنَا‬ َ َ‫صا ِلحا إِنِي بِ َمات َ ْع َملُون‬
َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ َّ َ‫س ُل ُكلُوا ِمن‬
ِ ‫الطيِبَا‬ ُّ ‫يَآأَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬
}52{ َ‫َربُّ ُك ْم فَاتَّقُون‬

“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan


kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama
kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka
bertakwalah kepada-Ku” (QS. Al Mu’minun:51-52)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Sesungguhnya seluruh


nabi memiliki agama yang satu, dan para nabi adalah saudara”
(Muttafaqun ‘alaih).

71
Agama seluruh para Nabi adalah satu, yaitu agama Islam. Allah tidak
akan menerima agama selain Islam. Yang dimaksud dengan islam
adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk
kepada Allah dengan mentaatinya, dan menjauhkan diri dari perbuatan
syirik dan orang-orang musyrik. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 159-
160).

Mendustakan Satu = Mendustakan Semuanya

Kewajiban seorang mukmin adalah beriman bahwa risalah para Rasul


adalah benar-benar dari Allah. Barangsiapa mendustakan risalah
mereka, sekalipun hanya salah seorang di antara mereka, berarti ia telah
mendustakan seluruh para rasul. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

َ ‫ت قَ ْو ُم نُوحٍ ْال ُم ْر‬


َ‫سلِين‬ ْ َ‫َكذَّب‬

“Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul” (QS. Asy Syu’araa’:105)

Dalam ayat in Allah menilai tindakan kaum Nuh sebagai pendustaan


kepada para rasul yang diutus oleh Allah, padahal ketika diutusnya Nuh
belum ada seorang Rasulpun selain Nabi Nuh ‘alaihis salaam.
Berdasarkan hal ini maka orang-orang Nasrani yang mendustakan
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mau mengikuti beliau
berarti mereka telah mendustakan Al Masih bin Maryam (Nab Isa ‘alaihis
salaam) dan tidak mengikuti ajarannya. (Syarhu Ushuulil Iman hal 34-35)

Mengimani Nama Para Rasul

Termasuk pokok keimanan adalah kita beriman bahwa para Rasul Allah
memiliki nama. Sebagiannya diberitakan kepada kita dan sebagiannya
tdak diberitakan kepada kita. Yang diberikan kepada kita seperti
Muhanmad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alahimus shalatu wa salaam.
Kelima nama tersebut adalah para Rasul ‘Ulul Azmi. Allah Ta’ala telah
menyebut mereka pada dua (tempat) surat di dalam Al Quran yakni surat
Al Ahzaab dan As Syuraa,

‫سى اب ِْن َم ْريَ َم‬


َ ‫سى َو ِعي‬ َ ‫َوإِ ْذ أ َ َخ ْذنَا ِمنَ النَّبِيِينَ ِميثَاقَ ُه ْم َو ِمنكَ َو ِمن نُّوحٍ َوإِب َْراه‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬

72
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari
kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa bin Maryam…” (QS. Al
Ahzab:7)

‫سى أ َ ْن أَقِي ُموا‬


َ ‫سى َو ِعي‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬
َ ‫ص ْينَا بِ ِه إِب َْراه‬ َ ‫صى بِ ِه نُوحا َوالَّذِي أ َ ْو َح ْينَآ إِلَيْكَ َو َم‬
َّ ‫او‬ َّ ‫او‬ ِ ‫ع لَ ُكم ِمنَ الد‬
َ ‫ِين َم‬ َ ‫ش ََر‬
…‫الدِينَ َوالَتَتَف ََّرقُوا فِي ِه‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya”
(QS. Asy Syuraa:13)

Adapun terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-namanya, kita
beriman secara global. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫علَيْك‬
َ ‫ص‬ ُ ‫علَيْكَ َو ِم ْن ُهم َّمن لَّ ْم نَ ْق‬
ْ ‫ص‬ َ ‫صنَا‬ ُ ‫س ْلنَا ُر‬
َ َ‫سال ِمن قَ ْبلِكَ ِم ْن ُهم َّمن ق‬
ْ ‫ص‬ َ ‫َولَقَ ْد أ َ ْر‬

“Dan sesungguhnya telah Kami utus bebrapa orang rasul sebelum kamu,
di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara
mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Al
Mukmin:78). (Syarhu Ushuulil Iman,hal 35)

Para Rasul Pemberi Kabar Gembira Sekaligus Pemberi Peringatan

Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan kabar gembira


sekaligus memberikan peringatan. Ini merupakan salah satu dari hikmah
diutusnya para rasul kepada manusia. Maksud menyampaikan kabar
gembira adalah menyebutkan pahala bagi orang yang taat, sekaligus
memberikan peringatan kemudian mengancam orang yang durhaka dan
orang kafir dengan kemurkaan dan siksa Allah. Allah Ta’ala berfirman,

‫س ِّل َو َكانَ للاُ َع ِّزيزا َح ِّكيما‬ ُّ ‫علَى للاِّ ُح َّجةُُُ بَع َد‬
ُ ‫الر‬ ِّ َّ‫سال ُّمبَ ِّش ِّرينَ َو ُمنذ ِِّّرينَ ِّلئَالَّ يَ ُكونَ ِّللن‬
َ ‫اس‬ ُ ‫ُّر‬

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan


pemberi peringatan agar tidak ada lagi alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (QS. An Nisaa’ 165).

73
Ayat ini merupakan dalil bahwa tugas para Rasul ialah memberikan kabar
gembira bagi siapa saja yang mentaati Allah dan mengikuti keridhaan-
Nya dengan melakukan kebaikan. Dan bagi siapa yang menentang
perintah-Nya dan mendustakan para rasul-Nya akan diancam dengan
hukum dan siksaan. (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal
195-196)

Nuh yang Pertama, Muhammad Penutupnya

Termasuk keyakinan Ahlus sunnah adalah beriman bahwasanya Rasul


yang petama diutus adalah Nuh ‘alaihis salaam dan yang terkhir adalah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil yang menunjukkan bahwa
Nuh adalah Rasul pertama adalah firman Allah,

‫إِنَّآأ َ ْو َح ْينَآإِلَيْكَ َك َمآأ َ ْو َح ْينَآإِلَى نُوحٍ َوالنَّبِيِينَ ِمن بَ ْع ِد ِه‬

“Sesungguhnya Kami telah memberkan wahyu kepadamu sebagaman


Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya…” (An Nisaa’:163)

Para ulama berdalil dengan ayat ini bahwa Nuh adalah rasul pertama.
Sisi pendalilannya adalah dari kalimat “dan nabi-nabi yang
kemudiannya”. Jika ada rasul sebelum Nuh tentunya akan dikatakan
dalam ayat ini.

Adapun dalil dari sunnah adalah sebuah hadist shahih tentang syafa’at,
ketika manusia mendatangi Nabi Adam untuk meminta syafaat, beliau
berkata kepada mereka, “Pergilah kalian kepada Nuh, karena ia adalah
rasul pertama yang diutus ke muka bumi”. Maka mereka pun mendatangi
Nuh dan berkata: “engkau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi…”
(Muttafaqun ‘alaihi). Hadist ini merupakan dalil yang paling kuat
menunjukkan bahwa Nuh adalah rasul pertama. Dan Nabi Adam sendiri
menyebutkan bahwa Nuh sebagai Rasul pertama di atas muka bumi.
(Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 196-197)

74
Sedangkan Rasul yang terakhir adalah Muhammad sholallahu ‘alaihi wa
salaam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala.

‫ع ِليما‬
َ ٍ‫َىء‬ ُ ‫َّما َكانَ ُم َح َّم ٌد أَبَآ أ َ َح ٍد ِمن ِر َجا ِل ُك ْم َولَ ِكن َّر‬
ْ ‫سو َل هللاِ َوخَات ََم النَّبِيِينَ َو َكانَ هللاُ بِ ُك ِل ش‬

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara


kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dia adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Ahzab:40).

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Aku adalah penutup


para Nabi, dan beliau berkata :’ Tidak ada Nabi sesudahku”. Hal ini
melazimkan berakhirnya diutusnya para Rasul, karena berakhirnya yang
lebih umum (yakni diutusnya Nabi) melazimkan berakhirnya yang lebih
khusus (yakni diutusnya Rasul). Makna berakhirnya kenabian dengan
kenabian Muhammad yakni tidak adanya pensyariatan baru setelah
kenabian dan syariat yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 173).

Buah Manis Iman yang Benar Terhadap Para Rasul

Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah akan memberikan


faedah yang berharga, di antaranya adalah:

• Mengetahui akan rahmat Allah dan perhatian-Nya kepada manusia


dengan mengutus kepada mereka para Rasul untuk memberi petunjuk
kepada merka kepada jalan Allah dan memberikan penjelasan kepada
mereka bagaimana beribadah kepada Allah karena akal manusia
tidak dapat menjangkau hal tersebut.
• Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini.
• Mencintai para Rasul,, mengagungkan mereka , serta memberikan
pujian yang layak bagi mereka. Karena mereka adalah utusan
Allah Ta’ala dan senantiasa menegakkan ibadah kepada-Nya serta
menyampaikan risalah dan memberikan nasehat kepada para hamba.
(Syarhu Ushuuill Iman hal 36)

75
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menetapkan hati kita kepada keimanan
yang benar. Washolallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

POKOK POKOK KEIMANAN PADA HARI AKHIR

Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya dalam agama
merupakan salah satu di antara rukun iman yang enam. Banyak sekali
Allah Ta’ala menggandengkan antara iman kepada Allah dan iman
kepada hari akhir, karena barangsiapa yang tidak beriman kepada hari
akhir, tidak mungkin akan beriman kepada Allah. Orang yang tidak
beriman dengan hari akhir tidak akan beramal, karena seseorang tidak
akan beramal kecuali dia mengharapkan kenikmatan di hari akhir dan
takut terhadap adzab di hari akhir.[1]

Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, saat
itu merupakan tahapan yang terakhir[2]. Keimanan yang benar terhadap
hari akhir mancakup tiga hal pokok yaitu mengimani adanya hari
kebangkitan, mengimani adanya hisaab (perhitungan)
dan jazaa’ (balasan), serta mengimani tentang surga dan neraka.
Termasuk juga keimanan kepada hari akhir adalah mengimani segala
peristiwa yang akan terjadi setelah kematian seperti fitnah kubur, adzab
kubur, dan nikmat kubur.

Mengimani Adanya Hari Kebangkitan

Hari kebangkitan adalah hari dihidupkannya kembali orang yang sudah


mati ketika ditiupkannya sangkakala yang kedua. Kemudian manusia
akan berdiri menghadap Rabbsemesta alam dalam keadaan telanjang
tanpa alas kaki, telanjang tanpa pakaian, dan dalam keadaan tidak
disunat. Allah Ta’ala berfirman,

76
‫ب َك َما بَ َدأنَآ أ َ َّو َل خَلق‬
ِّ ُ ‫لس ِّج ِّل ِّلل ُكت‬
ِّ ‫طي ِّ ا‬َ ‫س َمآ َء َك‬
َّ ‫يَو َم نَط ِّوي ال‬
}104{ َ‫علَينَآ ِّإنَّا ُكنَّا فَا ِّع ِّلين‬ َ ‫نُّ ِّعي ُدهُ َوعدا‬
“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran –
lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama
begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami
tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al
Anbiyaa’:104)

Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti. Ditetapkan


oleh Al Quran, As Sunnah dan Ijmaa’ (konsensus) kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫{ ث ُ َّم ِّإنَّ ُكم يَو َم ال ِّقيَا َم ِّة تُبعَثُون‬15} َ‫ث ُ َّم إِّنَّ ُكم بَع َد ذَ ِّل َك لَ َميِّتُون‬
{16}
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan
mati(15). Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan
(dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al Mukminun:15-16)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :

‫يحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة غرال‬


“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan
tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak disunat”[3]

Kaum muslimin juga telah sepakat mengenai kepastian adanya hari


kebangkitan ini. [4]

Mengimani Adanya Hari Perhitungan dan Pembalasan

Termasuk perkara yang harus diimani berkenaan dengan hari akhir


adalah mengimani adanya hari perhitungan dan pembalasan. Seluruh
amal perbuatan setiap hamba akan dihisab dan diberi balasan. Hal ini

77
juga telah ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan ijmaa’ kaum
muslimin.

Allah Ta’ala berifrman,

َ ‫{ ث ُ َّم إِّ َّن‬25} ‫إِّ َّن إِّلَينَآ إِّيَّابَ ُهم‬


َ ‫علَينَا ِّح‬
}26{ ‫سابَ ُهم‬
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian
sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al
Ghasiyah:25-26)

‫ط ِّليَو ِّم ال ِّقيَا َم ِّة فَالَ تُظلَ ُم نَفس شَيئا َوإِّن‬ َ ‫ض ُع ال َم َو ِّازينَ ال ِّقس‬
َ َ‫َون‬
َ‫َكانَ ِّمثقَا َل َحبَّة ِّمن خَر َدل أ َتَينَا بِّ َها َو َكفَى بِّنَا َحا ِّس ِّبين‬
{47}
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka
tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan
cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al Anbiyaa’:47)

Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam, beliau bersabda,

‫ومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت له‬
‫عشرا ومن هم بسيئة فلم يعملها لم تكتب شيئا فإن عملها كتبت‬
‫سيئة واحدة‬
“Barangsiapa yang berniat melakukam suatu kebaikan, lalu
mengerjakannya, maka Allah telah menulisnya sepuluh hingga tujuh ratus
kebaikan, bahkan sampai kelipatan yang lebih banyak lagi. Sedangkan
barangsiapa yang berniat melakukan keburukan, lalu mengerjakannya,
maka Allah hanya akan menulisnya satu keburukan saja“ [5].

Kaum muslimin juga telah bersepakat tentang adanya hari perhitungan


dan pembalasan. Dan ini sesuai dengan tuntutan hikmah Allah Ta’ala.[6]

78
Mengimani Adanya Surga dan Neraka

Hal lain yang harus diimani seorang muslim adalah tentang surga dan
neraka. Keduanya merupakan tempat kembali yang abadi bagi makhluk.
Surga adalah kampung kenikmatan yang dipersiapkan oleh
Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan neraka adalah
hunian yang penuh dengan adzab yang dipersiapkan oleh
Allah Ta’ala untuk orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman :

}14{ ‫ار لَ ِّفي َج ِّحيم‬ َ ‫إِّ َّن اِلَب َر‬


َ ‫{ َوإِّ َّن الفُ َّج‬13} ‫ار لَ ِّفي نَ ِّعيم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada
dalam syurga yang penuh keni’matan. dan sesungguhnya orang-orang
yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Al Infithaar:13-14)

Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting yang
merupakan keyakinan ahlus sunnah yang membedakannya dengan ahlul
bid’ah :

Pertama: Surga dan Neraka Benar Adanya

Keberadaan surga dan nereka adalah haq (benar adanya). Tidak ada
keraguan di dalamnya. Neraka disediakan bagi musuh-musuh Allah,
sedangkan surga dijanjikan bagi wali-wali Allah. Penyebutan tentang
surga dan neraka dalam Al Quran dan As Sunnah sangatlah banyak.
Terkadang disebutkan tentang kondisi penduduk surga dan neraka.
Terkadang disebutkan tentang janji kenikmatan surga dan adzab di
neraka. Terkadang disebutkan dorongan agar bersemangat meraih surga
dan ancaman dari neraka. Demikian pula As Sunnah banyak
menyebutkan tentang surga dan neraka. Itu semua menunjukkan bahwa
keberadaan surga dan neraka adalah benar adanya. [7]

79
Kedua: Surga dan Neraka Sekarang Sudah Ada

Ahlus sunnah telah sepakat bahwa keduanya merupakan makhluk Allah


yang telah ada sekarang. Hal ini bertentangan dengan
keyakinan mu’tazilah dan qodariyah yang lebih mengedepankan akal
mereka. Adapun dalilnya adalah firman Allah,

ُ‫اوات‬
َ ‫س َم‬
َّ ‫ض َها ال‬ َ ‫عوا إِّلَى َمغ ِّف َرة ِّمن َّربِّ ُكم َو َجنَّة‬
ُ ‫عر‬ ُ ‫ار‬
ِّ ‫س‬
َ ‫َو‬
}133 { َ‫ض أ ُ ِّعدَّت ِّلل ُمت َّ ِّقين‬
ُ ‫َواِلَر‬
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran:133)

Tentang neraka Allah berfirman,

}131{ َ‫ار الَّتِّي أ ُ ِّعدَّت ِّلل َكافِّ ِّرين‬


َ َّ‫َواتَّقُوا الن‬
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang telah disediakan untuk
orang-orang yang kafir” (QS. Ali Imran:131)

Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah


melihat Sidratul Muntaha, kemudian melihat dan masuk ke dalam surga.
Hal ini terjadi ketika beliau Isra’ Mi’raj.[8]

Ketiga: Penciptaan Surga dan Neraka Sebelum Penciptaan


Makhluk

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ُ ‫نت َوزَ و ُج َك ال َجنَّةَ فَ ُكالَ ِّمن َحي‬


‫ث ِّشئت ُ َما َولَتَق َربَا‬ َ َ ‫َويَائَا َد ُم اس ُكن أ‬
َّ َ‫ش َج َرة َ فَت َ ُكونَا ِّمن‬
}19{ َ‫الظا ِّل ِّمين‬ َّ ‫َه ِّذ ِّه ال‬
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan
isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana

80
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini,
lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.”” (QS. Al
A’raf: 19)

Surga ada setelah ditiupkannya ruh pada diri Adam. Hal ini menunjukkan
surga sudah ada sebelum penciptaan Adam. [9].

Keempat: Surga dan Neraka Sudah Ditentukan Siapakah Yang


Akan Menjadi Penghuninya

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ِّ ‫َولَقَد ذَ َرأنَا ِّل َج َهنَّ َم َكثِّيرا ِّمنَ ال ِّج ِّن َوا ِّإل‬
‫نس‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia … ”(QS. Al A’raf: 179)

Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

‫إن للا خلق للجنة أهال خلقهم لها وهم في أصالب آبائهم وخلق‬
‫للنار أهال خلقهم لها وهم في أصالب آبائهم‬
“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk jannah.
Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya, sedangkan
mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka. Allah juga telah
menciptakan para penghuni bagi neraka. Allah telah menentukan mereka
sebagai penghuninya, padahal mereka masih dalam tulang sulbi bapak-
bapak mereka” [10].[11]

Kelima: Surga dan Neraka Kekal Abadi

Allah Ta’ala berfirman,

81
ُ‫اوات‬
َ ‫س َم‬
َّ ‫ت ال‬ ُ َ‫َوأ َ َّما الَّذِّين‬
ِّ ‫س ِّعدُوا فَ ِّفي ال َجنَّ ِّة خَا ِّلدِّينَ فِّي َها َما َدا َم‬
}108{ ‫طآء غَي َر َمجذُوذ‬ َ ‫ع‬ َ ‫ض إِّلَّ َماشَآ َء َرب َُّك‬ ُ ‫َواِلَر‬
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-
putusnya.” (Huud:108)

Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ينادي مناد إن لكم أن تصحوا فال تسقموا أبدا وإن لكم أن تحيوا‬
‫فال تموتوا أبدا وإن لكم أن تشبوا فال تهرموا أبدا وإن لكم أن‬
‫تنعموا فال تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وجل } ونودوا أن تلكم‬
‫} الجنة أورثتموها بما كنتم تعملون‬
“Datanglah suara berkumandang :Wahai ahli surga, sesungguhnya kamu
sekalian akan sehat dan tak pernah sakit. Kamu sekalian akan menjadi
muda belia dan tak pernah tua lagi. Dan kalian pun akan hidup dan tak
akan pernah mati.”[12].

Keyakinan tentang surga dan neraka di atas, terangkum dalam perkataan


yang disampaikan oleh Imam Abu Ja’far At Thahawy rahimahullah dalam
kitab beliau al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, beliau menjelaskan,

ِ ‫ان أَبَدًا َوال ت َ ِب ْيد‬


َ‫ فَ ِإ َّن هللا‬،‫َان‬ ِ َ‫ الَ ت َ ْفنَي‬،‫ان‬ ُ َّ‫َوال َجنَّةُ َوالن‬
ِ َ ‫ار َم ْخلُ ْوقَت‬
،ً‫ق لَ ُه َما أ َ ْهال‬
َ َ‫ َو َخل‬،‫ق‬ِ ‫ار قَ ْب َل ال َخ ْل‬ َ َّ‫ق ال َجنَّةَ َوالن‬ َ َ‫تَعَالَى َخل‬
“Surga dan neraka merupakan dua makhluk yang tidak akan punah dan
binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum
penciptaan makhluk lainnya dan Allah juga telah menentukan siapakah
penghuninya…”[13].

82
Mengimanai Fitnah, Adzab, dan Nikmat Kubur

Dalil perkara ini sangat gamblang dan jelas.


Allah Ta’ala menerangkannya di banyak tempat dalam Al Quran.
Demikian pula penjabaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamtentang masalah ini sangat banyak dan mencapai
derajat mutawatir. Allah Ta’ala berfirman,

‫ط وا‬ُ ‫ت َوال َمالَئِّ َكةُ بَا ِّس‬


ِّ ‫ت ال َمو‬ِّ ‫غ َم َرا‬ َّ ‫َولَوت َ َرى إِّ ِّذ‬
َ ‫الظا ِّل ُمونَ فِّي‬
‫ون ِّب َما ُكنتُم‬ِّ ‫اب ال ُه‬ َ َ‫ع ذ‬َ َ‫س ُك ُم اليَو َم تُجزَ ون‬َ ُ‫أَيدِّي ِّهم أَخ ِّر ُجوا أَنف‬
}93{ َ‫عن َءايَاتِّ ِّه تَستَكبِّ ُرون‬ َ ‫ق َو ُكنتُم‬ ِّ ‫علَى للاِّ غَي َر ال َح‬ َ َ‫تَقُولُون‬
“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”
Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena
kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar
dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”
(QS. Al An’am: 93). [14]

Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah


pertanyaan malaikat di alam kubur kepada mayit tentang Rabbnya,
agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu meneguhkan orang-orang yang
beriman dengan kata-kata yang mantap, sehingga dengan
kemantapannya ia menjawab, ”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan
nabiku adalah Nabi Muhammad”. Sebaliknya Allah menyesatkan orang-
orang yang dzalim. Orang yang kafir hanya bisa
menjawab, ”Hah…hah!Aku tidak tahu” sementara itu orang munafik atau
orang yang ragu menjawab :” Aku tidak tahu. Aku dengar orang-orang
mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula mengaatkannya”[15].

83
Faedah Iman yang Benar

Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang bermanfaat.


Demikian pula keimanan yang benar terhadap hari akhir akan
memberikan manfaat yang besar, di antaranya :

• Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan dengan


mengharapkan pahalanya kelak di ahri akhir.
• Merasa takut ketika melakukan kemaksiatan dan tidak suka kembali
pada maksiat karena khawatir mendapat siksa di hari akhir.
• Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhadap apa yang tidak
mereka dapatkan di dunia dengan mengharapkan kenikmatan dan
pahala di akhirat. [16].

Demikian penjelasan singkat tentang pokok-pokok keimanan kepada hari


akhir. Terdapat banyak perincian yang harus kita imani dari hal-hal yang
pokok tersebut. Insya Allah akan dijelaskan lebih rinci dalam kesempatan
lain. Semoga Allah meneguhkan iman kita hingga ajal menjemput
kita. Wallahul muwafiq.

MEMAHAMI MACAM MACAM TAKDIR


4 MACAM TAKDIR
• Para ulama menjelaskan ada empat macam takdir, yaitu:

• 1) Takdir Azali

• 2) Takdir ‘umri

• 3) Takdir Sanawi

• 4) Takdir Yaumi.

• Berikut penjelasannya:

84
1) Takdir Azali
• Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum
penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang
merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk.

• Baca Juga:Memahami Takdir Dengan Benar

• Allah berfirman,

‫أأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأ‬


‫أأأأأأأ أأأأأأأأ أأأ أأأ‬


‫ۗ أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأ‬
‫ۗ أأأأأ أأأأأأأ أأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأ أأأأأأأ أأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأأ‬
• “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya
yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-
Hajj/22 : 70)

• Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

•‫أأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأأأأ‬


‫أأأأأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ‬

85
‫‪:‬أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأ‬
‫•‬ ‫‪“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun‬‬
‫‪sebelum menciptakan langit dan bumi. “Beliau bersabda, “Dan adalah‬‬
‫)‪‘Arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim‬‬

‫‪2) Takdir ‘umri‬‬


‫•‬ ‫‪Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin.‬‬

‫•‬ ‫‪Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda‬‬

‫•‬ ‫أأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأأأ‬


‫أأأأأأأأ أأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأ‬
‫أأأ أأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ‬

‫‪86‬‬
‫أأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأأأ‬
• “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya
dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi
segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi
segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang
Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk
menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya,
amalnya, dan celaka atau bahagia(nya).” (HR. Bukhari Muslim)

• Baca Juga:Ingatlah Bahwa Takdir Allah Tidak Kejam

3) Takdir Sanawi
• Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan
setiap malam lailatul qadar.

• Allah berfirman,

• ‫أأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأ‬


‫أأأأأأ أأأأأأأ‬
• “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-
Dukhaan/44 : 4]

• Allah juga berfirman,

•‫أأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأ أأأأأ أأأأأأ‬

87
‫أأأأأأأ أأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
• “Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan
izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr/97 : 4-5]

4) Takdir Yaumi
• Yaitu takdir yang berlaku harian.

• Allah Ta’ala berfirman,

• ‫أأأأأ أأأأأأ أأأأ أأأ‬


‫أأأأأأ‬
• “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [Ar-Rahmaan/55 : 29]

• Perlu diperhatikan bahwa di antara empat takdir ini, takdir utamanya


adalah takdir azali yang tertulis di lauhil mahfudz, sedangkan tiga
takdir yang lainnya (‘umri, sanawi, dan yaumi) adalah takdir yang bisa
merubah. Perhatikan kalimat berikut:

• “Perubahan takdir (‘umri, sanawi dan yaumi) ini tertulis dalam takdir
azali di lauhil mahfudz.”

• Contohnya: bisa saja dalam takdir ‘umri tertulis dia seorang yang
celaka, tetapi karena dia bersungguh-sungguh mencari hidayah, maka
ia menjadi orang yang beruntung. Perubahan takdir ‘umri ini tertulis
dalam lauhil mahfudz.

• Baca Juga: Salah Paham tentang Memahami Tawakal

• Ini juga yang dimaksud dengan “takdir bisa dirubah dengan doa”.

• Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

88
• ۗ ۗۗۗ ۗۗۗۗۗ ۗۗ ۗۗۗۗۗۗ
• “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.” [HR. Al Hakim, hasan]

• Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa takdir


yang berubah tersebut berkaitan dengan doa, beliau berkata:

•‫أأأأأأ أأ أأأأأ أأ أأأأأ‬


‫أأأأأأ أ أأأأأأ أأأأ أأأأأ‬
‫أأأأأ أأأأأأ أ أأأأ أأأ أأأأ‬
‫أأأأأ‬
• “Doa termasuk sebab merubah takdir yang mu’allaq (bergantung pada
sebabnya). Takdir itu ada yang mu’allaq dan ada yg telah tetap, sama
sekali tidak berubah.” [https://binbaz.org.sa/old/38112]

• Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perubahan


takdir dan doa tersebut juga tertulis dalam takdir azali lauhil mahfudz.
Beliau berkata:

‫أأأأ أأ أأأأأأأ أأ أأأ‬


‫أأأأأأأ أأأ أأأأأ أأ أأأأأأ‬


‫أأأأأ أأأ أأأأأأ أأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأ أأ أأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأ أأأ أأ أأأأأ‬
• “Pada hakikatnya takdir (azali) tidak berubah, karena doa tersebut
sudah tertulis (dilauhil mahfudz) bahwa kesembuhan karena adanya
doa, inilah takdir asli yang tertulis dalam takdir azali.” [Majmu’ Fatawa
wa Rasail 2/93]

89
CINTA DAN BENCI DALAM ISLAM

Pembahasan tentang cinta dan benci dalam Islam masuk dalam ranah
pembahasan akidah yang sering diistilahkan dengan al wala’ wal
bara’. Al-Wala’ artinya mencintai kaum muslimin dan membantu mereka
serta memuliakan dan menghormati mereka dan berusaha dekat dengan
mereka. Al-Bara’ artinya membenci orang-orang kafir dan menjauhi serta
memusuhi mereka. Akidah al wala’ wal bara’ merupakan sesuatu yang
penting karena:

• Termasuk pokok akidah Islam


• Termasuk tali keimanan yang paling kuat
• Termasuk agama Ibrahim ‘alaihis salaam dan agama seluruh rasul,
termasuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman :

• ‫أأأأ أأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأ‬


‫أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأ أأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأأأأأأ أأأأ أأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأ أأأأ أأأأأأأ أأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ‬

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata

90
kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dari
apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan
telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali
perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak
sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami
hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada
Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali’”
(Al-Mumtahanah: 4).

Jenis-jenis muwalah

Sikap wala’ (cinta dan loyal) terhadap orang kafir ada dua macam :

• Sikap muwalah kubra (tawalli). Yaitu mencintai kesyirikan dan orang-


orang musyrik serta mencintai kekufuran dan orang-orang kafir. Sikap
ini disertai membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum
muslimin. Hukum sikap seperti ini adalah kufur akbar dan
mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dalilnya adalah firman Allah:

• ‫أأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأ‬


‫أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-


orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka“ (Al-
Ma’idah: 51).

91
• Sikap muwalah sughra. Yaitu sikap mencintai orang-orang kafir dan
musyrik karena alasan dunia dan tidak disertai pembelaan terhadap
mereka. Hukum sikap seperti ini adalah haram dan termasuk dosa
besar, namun bukan merupakan kekufuran. Dalilnya adalah firman
Allah:

• ‫أأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأ أأأأأأأ أأأ‬


‫أأأأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأأأ‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil


musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang“ (Al-Mumtahanah: 1).

Di antara contoh-contoh perbuatan yang termasuk muwalah


sughra adalah:

• Menyerupai mereka dalam berpakaian dan berbicara.


• Bepergian ke negeri mereka tanpa ada keperluan yang penting dan
darurat.
• Tinggal di negeri mereka dan tidak berusaha pindah ke negeri kaum
muslimin.
• Menggunakan sistem penanggalan mereka.
• Bersekongkol dan membantu perayaan hari besar mereka serta hadir
dalam acara tersebut.
• Memberi nama dengan nama-nama yang khusus di kalangan mereka.
(Lihat At-Tauhid Al-Muyassar 38-40)

Tiga Golongan dalam Al Wala’ wal Bara’

Ada tiga golongan orang dalam al wala’ wal bara’ yang harus kita
perhatikan:

92
• Orang yang harus kita cintai secara total dan tidak disertai kebencian.
Mereka adalah mukmin yang sempurna keimanannya, yaitu para
Nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang shalih. Tentu saja yang
paling terdepan di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliaulah yang mendapat kecintaan paling besar
dibandingkan cinta seseorang kepada anaknya, orangtuanya, dan
seluruh manusia. Kemudian setelah itu adalah para istri-istri Nabi dan
keluarga beliau, serta para sahabat Nabiradiyallahu
‘anhum. Kemudian orang-orang yang mengkuti jalannya para sahabat,
seperti imam yang empat. Allah Ta’ala berfirman :

• ‫أأأأأأأأأأأ أأأأأأأ أأأ أأأأأأأأأأ‬


‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأ أأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأ‬

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan


Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”
(Al-Hasyr: 10).

• Orang yang harus kita benci dan kita musuhi secara mutlak, serta
tidak boleh mencintai dan loyal terhadap mereka. Mereka adalah
orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang yang murtad,
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 22.
• Orang yang kita cintai dan sekaligus kita benci. Pada diri mereka
terkumpul kecintaan sekaligus kebencian, mereka adalah orang
mukmin yang bermaksiat. Kita mencintai mereka karena mereka
adalah orang yang beriman, dan kita membenci mereka karena

93
maksiat mereka yang tidak termasuk kemusyrikan dan kekafiran.
Kecintaan kepada mereka menuntut seseorang untuk menasehati
mereka dan mengingkarinya. Tidak boleh diam terhadap maksiat
mereka, bahkan harus mengingkarinya dan memerintahkan mereka
untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Namun tidak boleh
seseorang membenci mereka secara mutlak dan berlepas diri dari
mereka seperti perbuatan khawarij (dalam masalah
ini, khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir.)
terhadap pelaku dosa besar yang bukan dosa kekafiran. Tidak boleh
pula mencintai dan loyal secara mutlak terhadap mereka seperti
perbuatan murji’ah (dalam masalah ini, murji’ah berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tetap seorang mukmin yang sempurna imannya).
Kita harus bersikap adil terhadap mereka, mencintai karena keimanan
mereka, dan membenci karena kemaksiatan yang mereka lakukan.
Inilah madzhab ahlussunnah wal jama’ah (Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil
Islam 27-30).

Balasan Bagi yang Mengamalkan Al Wala’ wal Bara’

Allah Ta’ala berfirman:

• ‫أأأ أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأ‬


‫أأأأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأأ أأأأ أأأأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأ أأأأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأ أأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأ أأأأأ‬
‫أأأأأأ أأأأأأأ أأأأ أأأأأأأأأأأأأأ‬

94
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-
anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.
Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka,
dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka
itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang beruntung” (Al Mujadilah: 22).

Barangsiapa yang merealisasikan dan mengamalkan akidah al wala’ wal


bara’ dengan benar akan mendapat balasan kebaikan sebagai berikut:

• Terkumpulnya iman di dalam hatinya dan iman akan teguh di dalam


ِ ْ ‫ب فِي قلوبِ ِهم‬
َ ‫اْلي َم‬
hatinya. Allah berfirman : (‫انُأ‬ َ َ ‫)ولَئِكَ َكت‬
ْ
• Allah akan memberinya cahaya dan petunjuk. Allah berfirman: (‫َوأَيَّدَهم‬
‫)بِروحٍ ِم ْنه‬
• Mendapat janji akan masuk surga. Allah berfirman: (‫ت تَجْ ِري‬ ٍ ‫َويد ِْخله ْم َجنَّا‬
َ ‫) ِمن تَحْ تِهَا ْاْل َ ْنهَار َخا ِلد‬
‫ِين فِيهَا‬
• Allah akan ridha kepadanya. Allah berfirman: (‫ع ْنه ْم َُر‬ َ ‫َّللا‬
َّ ‫ي‬
َ ‫)ض‬
ِ
• Keridhaan hamba di akherat dengan masuknya ke dalam surga. Allah
berifman: (‫ع ْنه َُو‬ َ ‫)رضوا‬ َ
• Mendapat kemuliaan dari Allah, Allah menjadikannya termauk
golongan orang-orang khusus dan termasuk golongan yang
beruntung. Allah berfirman: (‫ونُأ‬ َ ‫َّللا هم ا ْلم ْف ِلح‬
ِ َّ ‫ب‬َ ‫َّللا أ َ ََل إِنَّ ِح ْز‬
ِ َّ ‫)ولَئِكَ ِح ْزب‬.
ْ
(Tasirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul 37-38)

95

Anda mungkin juga menyukai