Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

KONFLIK ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA MENGENAI


PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN

OLEH

MORRY DOFFI PEBRIANAS


166516

TP 2017/2018
SMK SMAK PADANG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan
terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²)
dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′ 43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²)
dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini
melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini
melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-
negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut dinamakan
geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitarnya tak terkecuali
Indonesia. Indonesia pun harus memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan dengan
kondisi kepulauannya yang unik dan letak Geografi. 73 negara Indonesia diatas permukaan
planet bumi. Geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara. Wawasan nusantara
tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan UUD 1945 yang
merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat serta menjiwai
tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai tujuan nasional. Dalam hal ini sebagai
warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan
dan menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik
perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya
antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah
negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu
daerah. Dan yang terus bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan
dan Ligitan..
Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, Malaysia membuat penginapan
hampir 20 buah untuk dijadikan tempat pariwisata. Pemerintah Indonesia, yang juga merasa
memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan
disana dihentikan. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus
siapa pemiliknya. Pada tahun1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau
tersebut ke dalam peta nasionalnya. Pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati
“Special Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between
Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan”.
Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional
pada tanggal 2 November 1998 melalui Notifikasi Bersama (Joint Letter). Masalah pokok
yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum
Internasional memutuskan siapa yang berdaulat terhadap Pulau Sipadan dan Pulai Ligitan
berdasarkan perjanjian, bukti dan dokumen dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah
Malaysia. Dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah
memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini
Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang
kepemilikannya. Dengan ditolaknya perjanjian ini maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan
oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan
kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya
keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Maka dalam makalah
ini, akan dibahas bagaimana penyelesaian sengketa Konflik antara Indonesia dengan Malaysia
mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

1.2 Pokok Permasalahan


1. Bagaimana awal permasalahan perebutan wilayah pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
antara Indonesia dengan Malaysia?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dengan Malaysia?
3. Keputusan dalam sengketa perebutan wilayah pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Awal Permasalahan Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua
delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala
Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut
Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai
miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah
Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian
utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia.
Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia
dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan
adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar.
Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Titik awal klaim pemerintah
Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun
1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.
Dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun
pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut.
Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969
menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun
dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia
berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta
yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin
kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau
Sipadan dan mendirikan instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap
bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.

2.2 Proses Penyelesaian Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan
Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official
Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak
berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996,
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat
utusan khusus dari masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan
empat kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah
Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar
perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).
Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement
for the submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and
Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Naskah tersebut
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Desember 1997 melalui
Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia pada tanggal 19
November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ
memiliki kewenangan juridiksi atas perkara ini. Special Agreement tersebut kemudian
disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui
suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan
dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapa
yang berdaulat atas kepemilikan Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian,bukti
dan dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah
Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum
Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final and binding).
Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan
argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah
(territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan pada tanggal 17 Desember 2002
Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik
dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian
Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara
adalah garis lintang 4o 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau
Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berart i milik
Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan
sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi
laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam
periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi
legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan
Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah
membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang
terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut
pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup
meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau
tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu
negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun
1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus
keefektifan Malaysia.

2.3 Putusan Mahkamah Internasional mengenai Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan
Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga
itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim
merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh
karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan
satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi
mercu suar sejak 1960-an.

Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal
dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

Berikut ini ada tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari sengketa pulau
sipadan ligitan ,yaitu :
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian
dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan
Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan
terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun
dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil
penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk
kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah
berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi
1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong Pulau
Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh
kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status
kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting.
Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran
Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak
menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia
mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan
1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada
Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun
1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi
hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas
kedua pulau yang bersengketa Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan
kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan
diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan
Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti
misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan
persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu
model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang
masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan
hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah
tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama
regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang
sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High
Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk
memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun
keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan
utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.

Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang
tak kalah hebatnya, yaitu hilangnya salah satu pulau berharga milik Indonesia dan banyak
komentar maupun anggapan dari masyarakat bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab
utama lepasnya Sipadan- Ligitan mengingat seharusnya Departemen Luar Negeri dibawah
kepemiminan Menteri Luar Negeri.

2.4 Pendapat saya tentang sipadan dan ligitan


Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan adalah karena Indonesia tidak bisa
menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu,
sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan
mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris”
yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas
penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah
“warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi
Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun
1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969
telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas
pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindngan satwa.
Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk
mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari
Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat
mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam
ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan
harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di BALI).
Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa kasus mereka
ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu gugat.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda
adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang
nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan
dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan
argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan
wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya
menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke
sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat
yang tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari
Malaysia bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga
berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).
Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah
Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga
memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang lebih kuat dari Inggris pada
masanya. Lebih dari itu, Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah
pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, Belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata
apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan
invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan
argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan
wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya
menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke
sipadan dan Ligitan.
Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis atau
ekonomis Belanda, sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan
dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia
memang agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul
sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia
tetap melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk
yang terus meningkat.
Terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan
wilayah. Ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah
Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah
memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari
Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di
Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai
untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan
memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional.
Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritoria Aairs Deplu, Arif Havas
Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional. Namun,
tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak
percaya diri. Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat
bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense ofbelonging yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat
kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan
kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal
33 Piagam PBB. Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan
garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari
Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan
Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo,
masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan
pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional.
Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan
di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip
okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan
efektivitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga
keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan
tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.
Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau
inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan
pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan
wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara
yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar
yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau
tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana,
Batek, Marampit dan Pulau Bras.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan, dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan
Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan
landas kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan sebagai miliknya.
2. Permasalahan selanjutnya berawal setelah disepakatinya status quo terhadap wilayah
tersebut kemudian Malaysia melakukan kegiatan pemerintahan dan membangun tempat
wisata. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar
kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
3. Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional
(International Court of Justice)
4. Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia
5. Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis
yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan untuk
menjadikan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah
6. Penyebab lainnya adalah faktor kependudukan. Selama bertahun-tahun, fasilitas-
fasilitas yang ada di pulau tersebut adalah milik Malaysia. Indonesia tidak memiliki
andil apapun terhadap proses pembangunan yang terjadi di pulau tersebut.
3.2 Saran
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga
keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan
tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau kecil ini secara
geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan.
Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak
menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya
pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki
perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Pemerintah juga perlu mengembangkan pengelolaan
pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai wilayah konservasi dan objek wisata
bahari. Pembangunan sarana pengamanan, antara lain membangun Pos Pengamatan TNI-
AL dengan personil yang memadai jumlahnya dan sarana pendukungnya.
Daftar Pustaka

http://newsprincezza.blogspot.com/2008/08/indonesia-malaysia-sipadan-ligitan.html. (6 Maret
2014)

https://www.academia.edu/23546255/STUDI_KASUS_SENGKETA_PULAU_SIPADAN_LIGITAN_ANTA
RA_INDONESIA_DAN_MALAYSIA

Anda mungkin juga menyukai