Anda di halaman 1dari 71

GAMBARAN KADAR HEMOGLOBIN DARAH

PADA PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS POASIA


KOTA KENDARI

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Pendidikan


Diploma III Analis Kesehatan di Politeknik Kesehatan Kendari

Oleh:

NURANI GAFAR
NIM : P00341014025

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2017
ii
iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Penulis
1. Nama : Nurani Gafar
2. Tempat Tangal Lahir : Katukobari, 03 Mei 1995
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Suku/Bangsa : Buton / Indonesia
6. Alamat : Anduonohu Kota Kendari
B. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 1 Lantongau, Tamat Tahun 2008
2. SMP Negeri 1 Mawasangka Tengah, Tahun Tamat 2011
3. SMA Negeri 1 Mawasangka Tengah, Tamat Tahun 2014
4. Terdaftar sebagai Mahasiswa Poltekes Kendari Jurusan Analis Kesehatan
Tahun 2014 sampai sekarang.

v
MOTTO

Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok adalah harapan.
Hadir terlambat memang lebih baik dari pada tidak hadir sama sekali,
Tetapi bila terlambat berkali kali adalah suatu kecerobohan.

Cara terbaik untuk keluar dari suatu persoalan adalah memecahkannya.


Kalau hari ini kita menjadi penonton bersabarlah
menjadi pemain esok hari.

Kupersembahkan untuk almamaterku


Ayah dan ibunda tercinta
Keluargaku tersayang.
Doa dan nasehat untuk menunjang keberhasilan

vi
ABSTRAK

Nurani Gafar (P00341014025), “Gambaran Kadar Hemoglobin pada


Penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari”. Dibimbing Oleh: St.
Nurahayani dan Anita Rosanty. (xii + 6 Bab VI + 51 halaman + 6 tabel + 3
lampiran)
Latar Belakang : Penderita TB Paru masih banyak di Indonesia termasuk
Sulawesi Tenggara. Efek yang timbul baik yang melaksanakan pengobatan
maupun yang sementara pengobatan adalah anemia.
Tujuan : Tujuan penelitian memperoleh gambaran kadar hemoglobin darah pada
pada penderita pada penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari.
Metode : Penelitian ini merupakan metode deskriptif. Penelitian ini dilakukan di
Puskesmas Poasia Kota Kendari pada bulan Juli 2017. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua penderita TB paru yang datang berkunjung dan masih
melakukan pengobatan di Puskesmas Poasia Kota Kendari hingga April 2017
sebanyak 30 orang, dengan jumlah sampel sebanyak 30 responden diambil
secara total sampling.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin darah pada
penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari sebanyak 9 (30,0%) orang
memiliki kadar Hemoglobin normal dan 21 (70,0%) orang memiliki kadar
Hemoglobin tidak normal (anemia)
Kesimpulan : Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebanyak 21 (70,0%) orang
memiliki kadar Hemoglobin tidak normal (anemia)
Saran : Bagi Puskesmas Poasia agar hal ini menjadi bahan Pertimbangan bagi
pengobatan TB Paru selanjutnya

Kata Kunci : Hemoglobin, Penderita TB, OAT


Daftar Pustaka : 33 literatur (2006 – 2017)

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah ini dengan
judul “Gambaran Kadar Hemoglobin pada Penderita TB Paru di Puskesmas
Poasia Kota Kendari Tahun 2017”. Penulis menyadari bahwa semua ini dapat
terlaksana karena dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, secara langsung
maupun tidak langsung dalam memberikan bimbingan dan petunjuk sejak dari
pelaksanaan kegiatan awal sampai pada penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih teristimewah kepada ayahanda terkasih
Gafar dan ibunda tercinta Nandi yang telah mengasuh, membesarkan dengan
cinta dan penuh kasih sayang, serta memberikan dorongan moril, material dan
spiritual. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan rasa
terimakasih kepada Ibu Hj. St. Nurhayani, S. Kep., Ns.,M. Kep. selaku
pembimbing I dan Ibu Anita Rosanty, S.ST., M.Kes. selaku pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan, kesabaran dalam membimbing dan atas segala
pengorbanan waktu dan pikiran selama menyusun karya tulis ini. Ucapan
terimakasih penulis juga tunjukan kepada :
1. Bapak Petrus, SKM., M.Kes., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kendari.

2. Ibu Ruth Mongan, B.Sc., S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Analis

Kesehatan Poltekkes Kemenkes Kendari.

3. Ibu Hj. St. Nurhayani, S. Kep., Ns.,M. Kep., selaku pembimbing I

4. Ibu Anita Rosanty, S.ST., M.Kes., selaku pembimbing II

5. Bapak dr. H. Juriadi Paddo, M.Kes., selaku Kepala Puskesmas Poasia dan staf

yang telah membantu dalam memberikan informasi selama pengambilan data

penelitian ini berlangsung.

6. Seluruh Dosen dan staf pengajar Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Analis

Kesehatan yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu pengetahuan

viii
maupun motivasi selama mengikuti pendidikan di Poltekkes Kemenkes

Kendari.

7. Untuk keluargaku, Nursia, Nuria, Nuriati, Nursaba,Nursaida, Nurdia, Hajima

dan Rahmad gafnan terima kasih telah memberikan semangat dan support

dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Analis

Kesehatan angkatan 2014.

Tiada yang dapat penulis berikan kecuali memohon kepada Allah SWT,

semoga segala bantuan dan andil yang telah diberikan oleh semua pihak selama

ini mendapat berkah dari Allah SWT. Akhir kata penulis mengharapkan semoga

karya tulis ilmiah ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan serta dapat

bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Kendari, Juni 2017

Peneliti

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv

RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. v

MOTTO .............................................................................................................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

DAFTAR TABEL................................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Tentang Penyakit Tubercolusis Paru ........................... 6
B. Tinjauan Tentang Darah ............................................................. 15
C. Tinjauan Tentang Hemoglobin ................................................... 19

BAB III KERANGKA KONSEP


A. Dasar Pemikiran ......................................................................... 27
B. Kerangka Konsep ....................................................................... 28
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ................................. 29

BAB IV METODE PENELITIAN

x
A. Jenis Penelitian ............................................................................ 30
B. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... 30
C. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................. 30
D. Instrumen Penelitian ................................................................... 31
E. Jenis Data ................................................................................... 32
F. Analisis Data .............................................................................. 32
G. Penyajian Data ............................................................................ 33
H. Etika Penelitian ........................................................................... 33

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian ........................................................................... 34
B. Pembahasan ................................................................................ 39

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ................................................................................. 43
B. Saran ........................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Kadar Hemoglobin Normal .......................................................................... 20
2.2. Batas Normal Kadar Hemoglobin Setiap kelompok Umur .......................... 20
4.1. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Poasia ....................................................... 37
4.2. Distribusi Umur Penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari ..... 38
4.3. Distribusi Jenis Kelamin Penderita TB Paru di Puskesmas Poasia
Kota Kendari ................................................................................................. 38
4.4 Distribusi Kadar Hemoglobin Penderita TB Paru di Puskesmas Poasia
Kota Kendari ................................................................................................. 39

xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Izin Penelitian Dari Jurusan Analis Kesehatan.

Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian Dari Politeknik Kementrian Kesehatan


Kendari.

Lampiran 3 : Surat Izin Penelitian Dari Badan Penelitian dan Pengembangan.

Lampiran 4 : Surat Izin Pengambilan Data Awal

Lampiran 5 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian.

Lampiran 6 : Lembar Hasil Penelitian

Lampiran 7 : Dokumentasi

Lampiran 8 : Tabulasi Data

Lampiran 9 : Master Tabel

xiii
xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih
menjadi permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di
dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB
yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB
paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam
Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam
pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka
kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global
dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun
dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap
besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta
(termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal
karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7%
kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang
(Kemenkes RI, 2013).
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama
pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Meskipun
Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka
penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di sebagian besar
rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan
berdasarkan International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) (Kemenkes
RI, 2013).
Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB paru terbesar
ketiga di dunia, yang setiap tahunnya diperkirakan terdapat penderita baru TB
paru menular sebanyak 176.677 kasus baru (Kemenkes RI, 2014). Kemudian
mengalami peningkatan jumlah kasus baru sebanyak 188.405 kasus baru
(Kemenkes RI, 2015). Namun, mengalami penurunan sebanyak 156.723 kasus
baru (Kemenkes RI, 2016).
Di Sulawesi Tenggara, jumlah kasus baru TB paru BTA positif setiap
tahunnya mengalami penurunan sebanyak 3.932 kasus (2,23%) (Kemenkes
RI, 2014). Kemudian mengalami penurunan sebanyak 3.078 kasus (1,63%)
(Kemenkes RI, 2015), dan terus mengalami penurunan jumlah kasus baru
sebanyak 2.830 kasus (1,81%) (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan jumlah kasus baru TB paru BTA positif tersebut, Kota
Kendari termasuk dalam tiga besar Kabupaten/Kota terbanyak di Sulawesi
Tenggara dimana yang tertinggi kasus adalah Kabupaten Muna dan
Kabupaten Konawe. Pada tahun 2014, jumlah kasus baru TB paru BTA positif
di Kota Kendari sebanyak 551 kasus (14,01%) dan pada tahun 2015
mengalami penurunan jumlah kasus sebanyak 545 kasus (17,71%) (Dinkes
Prov. Sultra, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Poasia Kota Kendari,
jumlah kasus baru TB paru BTA positif tahun 2015 sebanyak 61 kasus baru.
Sedangkan tahun 2016 sebanyak 49 kasus baru TB paru BTA positif. Untuk
periode Januari-April 2017, jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang
berkunjung di Puskesmas Poasia Kota Kendari sebanyak 13 kasus baru,
dimana secara kumulatif hingga bulan April 2017 jumlah penderita yang
masih melakukan pengobatan sebanyak 33 orang dan yang telah selesai
melakukan pengobatan sebanyak 24 orang serta penderita yang drop out
sebanyak 6 orang (Puskesmas Poasia, 2017).
Upaya penanggulangan tuberkulosis mengacu pada strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh
WHO untuk memutuskan rantai penularan tuberkulosis, strategi ini digunakan
oleh pemerintah Indonesia. Proses pengobatan tuberkulosis menjalani waktu
yang cukup lama yaitu berkisar 2-6 bulan pengobatan. Obat-obatan yang
digunakan adalah obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan beberapa
tahap. Tahap awal adalah 2 bulan dengan obat yang diberikan adalah INH,

2
rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Tahap yang kedua adalah tahap akhir
dengan obat yang diberikan adalah INH dan rifampisin. Pasien diberikan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT). Pada fase pengobatan yaitu selama fase intensif
selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 6 bulan banyak pasien tuberkulosis
yang tidak jarang masih mengalami keluhan saat pengobatan. Hal ini
memungkinkan terjadinya kelainan hematologis.
Dalam pemakaian obat-obatan anti tuberkulosis tidak jarang
ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) ini dapat menimbulkan banyak efek samping kelainan
hematologis diantaranya adalah anemia, trombositosis, trombositopenia,
leukositosis, leukopenia dan eosinofilia (Widoyono, 2008).
Pada masa pengobatan pasien dipantau dengan pemeriksaan
mikroskopis (BTA) Basil Tahan Asam dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah pemeriksaan hematologi.
Pemeriksaan hematologi diantaranya adalah pemeriksaan hemoglobin, yaitu
untuk membantu mendiagnosis anemia. Sebelumnya ada 36% penderita
tuberkulosis yang sedang menjalani pengobatan pada akhir bulan ke 2 dan
akhir bulan ke enam mengalami anemia (hasil penelitian rahmawati) Kelainan
kelainan hematologis pada pemeriksaan laboratorium adalah sebagai petanda
diagnosis atau petunjuk adanya komplikasi terhadap obat-obat anti
tuberkulosis (OAT) (Amaliya dalam Herawati, 2016).
Hemoglobin (Hb) merupakan zat protein yang ditemukan dalam sel
darah merah, yang memberi warna merah pada darah. Hemoglobin terdiri atas
zat besi yang merupakan pembawa oksigen. Tujuan pemeriksaan hemoglobin
antara lain untuk memantau kadar hemoglobin dalam sel darah merah, untuk
membantu mendiagnosis anemia, serta untuk menentukan defisit cairan tubuh
akibat peningkatan kadar hemoglobin (Kee, 2007).
Sel darah merah berfungsi mengangkut O2 ke jaringan dan
mengembalikan (CO2) dari jaringan ke paru, untuk mencapai hal ini sel darah
merah mengandung protein spesial yaitu hemoglobin. Tiap sel darah merah
mengandung 640 juta molekul hemoglobin (Hb). Nilai umum kadar Hb

3
adalah kurang dari 13,5 g/dL pada pria dewasa dan kurang dari 11,5 g/dL pada
wanita dewasa, penurunan kadar Hb dibawah nilai normal didefinisikan
sebagai anemia. Anemia adalah fitur utama pada pasien dengan infeksi
bakteri, terutama infeksi yang berlangsung lebih dari satu bulan, termasuk
tuberkulosis paru di mana mekanisme yang tepat dari anemia pada TB paru
tidak jelas diketahui (Devi dkk dalam Lasut, 2014).
Pada pasien TB paru meningkatnya level Hb digunakan sebagai
penanda respon pengobatan (Al-Omar dalam Lasut, 2014). Trombosit
mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu pembentukan dan stabilisasi
sumbat trombosit. Pembentukan sumbatan trombosit terjadi melalui beberapa
tahap yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan (Oesman
dalam Lasut, 2014).
Trombositosis reaktif ditemukan dalam sejumlah situasi klinis
termasuk penyakit menular seperti tuberkulosis paru. Trombositosis TB paru
merupakan indeks hematologi yang penting dan fitur biasa dalam penilaian
prognosis penyakit. Trombositopenia pada TB biasanya adalah komplikasi
dari terapi, Rifampin telah diketahui sebagai penyebab trombositopenia (Al-
Muhammadi dalam Lasut, 2014).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti telah melakukan
penelitian dengan judul ”Gambaran Kadar Hemoglobin Darah pada Penderita
TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2017”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimanakah gambaran kadar hemoglobin darah pada
penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2017”?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kadar hemoglobin darah pada penderita TB Paru
dengan menggunakan metode sahli di Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun
2017

4
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini menjadi bahan Pertimbangan bagi pengobatan
TB Paru selanjutnya
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi
pengetahuan khususnya mengenai kadar hemoglobin darah pada penderita
TB Paru dalam pencegahan anemia.
3. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama ini, khususnya di
bidang laboratorium.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk menambah wawasan bagi peneliti selanjutnya mengenai
gambaran kadar Hemoglobin darah pada penderita TB Paru di Puskesmas
Poasia Kota Kendari

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Penyakit Tuberculosis Paru


1. Pengertian
Mycobacterium Tuberculosis termasuk familie Mycobateriacea
yang mempunyai berbagai genus, satu di antaranya adalah
Mycobacterium, yang salah satu spesiesnya adalah M. Tuberculosis.
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap
pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil
tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman
tuberculosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin (Widoyono,
2008).
Menurut Misnadiarly (2006) Tuberculosis (TBC) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh kuman Tuberculosis mycobakterium
tuberculosis yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop dengan
pewarnaan dan metode khusus, berwarna merah, berbentuk batang, tahan
asam. Kuman TBC terutama menyerang paru. TBC buka penyakit
keturunan dan bukan disebabkan oleh kutukan atau guna-guna. TBC dapat
disembuhkan dengan pengobatan yang tepat, bila tidak dapat
menyebabkan kematian.
World Health Organization (WHO) memperkenalkan strategi
Direct Obsevation therapy short couse (DOTS), pada tahun 1993 untuk
mengontrol penyakit TB. Strategi DOTS diperkenalkan terutama untuk
mengurangi penularan TB yang biasnya terjadi pada septum BTA (+). Di
Indonesia, strategi DOTS diperkenalkan sejak tahun 1995 dan termasuk
dalam program Departemen Kesehatan (Icksan, 2008).
Penyakit ini menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin,
serta mulai merambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi rendah
saja. Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase
penderita TB terbesar adalah Usia 25-34 tahun (23,67%), di ikuti 35-44

6
tahun (20,46%), 15- 24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64
tahun (12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0-
14 tahun (1,31%). Gambaran di seluruh dunia menunjukkan bahwa
morbilitas dan mortalitas meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, dan
pada pasien berusia lanjut ditemukan bahwa penderita laki-laki lebih
banyak daripada wanita. Laporan dari seluruh provinsi di Indonesia pada
tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TB BTA positif (+)
terdapat 43.294 laki-laki (56,79%), dan 32.936 perempuan (43,21%). Dari
seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan hanya mencapai 70,03%
dari 85% yang ditargetkan. Rendahnya angka kesembuhan disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu penderita (perilaku, karakteristik, sosial dan
ekonomi), petugas (perilaku, dan keterampilan), PMO (pengawas minum
obat) (Widoyono 2008).
2. Gejala
Secara umum gejala Tuberculosis Paru mula-mula ia merasa lesu,
dan badannya merasa lemah, selama waktu 6 bulan pertama, wajahnya
pucat dan kelihatan kurang darah; pencernaannya sering terganggu
ditandai dengan sering mencret dan membocor (Alvian, 2007). Selain itu,
keluhan yang dirasakan oleh penderita tubercolosis (TBC) Paru
bermacam-macam dengan gejala utamanya adalah batuk disertai dahak
lebih dari 3 minggu, sesak nafas dan nyeri dada. Badan lemah, kurang
enak badan, berkeringat pada malam hari walau tanpa kegiatan dengan
berat badan menurun (Misnadiarly, 2006).
a. Demam
Penderita biasanya mengalami demam subfebris yang
menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang suhu badan dapat
mencapai 400C-410C. Serangan demam ini hilang timbul sehingga
penderita tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini
sangat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya
infeksi bakteri tubercolosis yang masuk.
b. Batuk

7
Gejala ini banyak ditemukan pada penderita karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar dan akibat terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu
atau berbulan-bulan setelah peradangan. Sifat batuk mulai dari batuk
kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Batuk darah dapat timbul karena
terdapat pembuluh darah yang pecah dan paling sering terjadi pada
kavitas, meskipun dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak napas
Sesak nafas belum ditemukan bagi penderita tergolong ringan.
Pada penderita tindak lanjut sesak napas akan ditemukan, dimana
inflitrasinya sudah setengah bagian paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan, namun akan timbul bila
inflitrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
e. Malaise
Tubercolosis bersifat radang yang menahun, karena itu gejala
sering ditemukan berupa lemah badan, tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus, sakit kepala, nyeri otot, rasa kurang enak badan (malaise)
dan berkeringat pada malam hari tanpa disertai kegiatan (Amir &
Bahar, 2009).
3. Penularan
Sumber penularan adalah penderita tubercolosis (TB) paru positif
dan dan ditularkan lewat udara. Penularan penyakit tubercolosis (TB)
menurut kondisinya dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu, secara
langsung dan secara tidak langsung. Penularan Kuman TB umumnya
ditularkan dari penderita manusia secara langsung pada saat bernapas dan
pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara

8
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman ini juga dapat menular
melalui inokulasi kulit, ketika sudah masuk ke dalam tubuh, kuman akan
menyebar ke paru-paru atau bersama darah dan limfe menyebar ke
berbagai organ viseral lainnya (Jumiarti, 2007).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam pernapasan. Sedangkan secara tidak langsung
terjadi karena dahak atau ludah yang dikeluarkan dibuang sembarangan
dan mengering lalu tercampur oleh partikel debu, kemudian dalam kondisi
tertentu kuman dihembuskan oleh angin sehingga terhirup orang lain.
Setelah kuman tubercolosis (TB) paru masuk ke dalam tubuh manusia
melalui sistem pernapasan kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke
bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran pernapasan atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya (Depkes RI, 2015).
Perlu diketahui bahwa kuman TB paru dari dalam paru tidak hanya
keluar ketika penderita batuk saja, kuman ini juga dapat keluar bila
penderitanya bernyanyi, bersin atau bersiul. Secara umum dapat dikatakan
bahwa penularan penyakit TB paru banyak tergantung dari beberapa faktor
seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman, dan daya tahan
tubuh orang yang tertular (Aditama, 2006).
4. Diagnosa
Diagnosis sebagian besar penyakit paru selalu dilengkapi dengan
foto toraks. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan bila belum
dilakukan pemeriksaan foto toraks, sebaliknya foto toraks yang normal
dapat dipakai untuk menuntun ke tindakan yang lebih canggih dan invasif
pada pasien yang dicurigai ada kelainan paru secara kelinis dan tidak
sembuh-sembuh dengan pengobatan (Icksan, 2008).
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, tuberkulin skin test, pemeriksaan radiologis, dan bakteriologis.

9
Diagnosis pasti TB paru ditegakkan berdasarkan ditemukannya kuman
mycobacterium tuberculosis.
Dalam konteks diagnosis Tuberculosis dalam strategi Directly
observedtreatment, Shortcourse hanya akan dibicarakan peranan
pemeriksaan hapusan dahak miskroskopis, langsung yang merupakan
metode diagnosis standar. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi Basil
Tahan Asam (BTA) yang memegang peranan utama dalam diagnosis
Tuberculosis paru. Selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah
dilakukan, akurat. Pemeriksaan mikroskopis merupakan teknologi
diagnostik yang paling sesuai karena mengindikasikan derajat penularan,
resiko kematian serta prioritas pengobatan.
5. Pengobatan dan Penyembuhan
Menurut Misnadiarly (2006), cara pengobatan TB yakni penderita
harus minum obat secara teratur sesuai anjuran sampai dinyatakan
sembuh, penderita dapat OAT di puskesmas secara gratis, lama
pengobatan 6-8 bulan, perlu pemeriksaan dahak ulang untuk menentukan
kesembuhannya dan perlu pengawas minum obat bagi setiap penderita.
Tujuan pengobatan merupakan hal paling penting sebagai langkah
penyembuhan, yang pertama dan terpenting dari program penanggulangan
penyakit TB adalah untuk mencapai paling sedikit 85% angka
kesembuhan pada pasien TB paru dengan asupan spurtum positif. Hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya prevalensi penyakit dan angka
penularan penyakit dengan cepat serta secara bertahap menurunkan
insiden TB (Wulandari, 2008).
a. Tujuan Pengobatan
1) Menyembuhkan penderita
2) Mencegah kematian
3) Mencegah kekambuhan
4) Menurunkan tingkat penularan
b. Jenis dan dosis OAT (Obat Anti Tuberculosis)

10
1) Isoniazid (INH), Bersifat bakteria, dapat membunuh populasi 90%
kuman, dosis 5 mg /kg BB.
2) Rifampisin (RMP), Bersifat bakterisia membunuh kuman somi
jarman (pensten) dosis 10 mg/kg BB.
3) Pirazinomid (P2A), Bersifat bakterisia membunuh kuman yang
berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis 25 mg/kg BB.
4) Streptomicin (SM), Bersifat bakterisia, dosis 15 mg/kg BB.
5) Etam butol (EMB), Bersifat sebagai bakterrostatik 15 mg/kg BB.
c. Prinsip Pengobatan
Biasanya pemberian obat dibagi dalam dua fase, fase pertama;
mencakup dua bulan pertama pengobatan, biasanya diberikan 3 atau 4
obat sekaligus setiap hari. Obat yang biasa diberikan pada fase ini
adalah rifampisin, INH, pirazinamid dan etambutol. Pada fase kedua
biasanya hanya diberikan dua macam obat saja, rifampisin dan INH.
Yang dapat diberikan setiap hari ataupun dua atau tiga kali seminggu
(Aditama, 2006).
Pengobatan Tuberculosis Paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu
tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap insentif
Pengawasan ketat dalam tahap pengawasan intensif sangat penting
untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2) Tahap lanjutan
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman perister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Prinsip pengobatan juga dipengaruhi oleh aktivitas obat yaitu
terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap TB Paru yakni;
1) Aktivitas bakterisida; disini obat bersifat membunuh kuman-kuman
yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif).
2) Aktivitas Sterilisasi; disini obat bersifat membunuh kuman-kuman
yang pertumbuhannya lambat (matabolismenya kurang aktif)
(Sudoyo, 2010).

11
d. Monitoring Pengobatan
Agar penderita Tuberculosis Paru dapat berobat sampai
lengkap dan sembuh, dilakukan monitoring dengan 2 cara yaitu:
1) Monitoring hasil pemeriksaan sputum pada interval waktu tertentu
dalam pengobatan, biasanya pada akhir bulan ke 2 (akhir bulan ke
3 untuk kasus pengobatan ulang), akhir bulan ke 5 dan akhir
pengobatan (awal bulan ke 8).
2) Monitoring pengambilan obat oleh penderita apakah obatnya
diambil sesuai jadwal, ditambah dengan monitoring hasil
pengobatan yaitu melalui pembiakan sputum (pada awal bulan dan
setelah pengobatan lengkap) Pemeriksaan sputum untuk melihat
konversi Basil Tahan Asam (+) menjadi (-) adalah indikator yang
baik untuk melihat fase intensif pengobatan diambil secara teratur
dan efektif, Sedangkan untuk kasus Tuberculosis Paru BTA (+)
adalah dengan memeriksa kartu pengambilan obat pada waktu
pengobatan, dapat dilihat apakah penderita mengambil obat teratur
dan tepat sesuai jadwal. Penderita Tuberculosis Paru yang
rumahnya dekat dengan Puskesmas, (pustu, polijos, kader, tenaga
pelatih) dan unit kesehatan lainnya, pengawas pengobatannya
adalah petugas puskesmas atau melibatkan keluarga penderita atau
yang disebut PMO (pendamping minum obat).
e. Hasil Pengobatan dan Tindak lanjut
1) Hasil pengobatan
Penilaian hasil pengobatan seorang yang terkena
Tuberculosis dapat dikategorikan dengan 6 kemungkinan yaitu:
a) Sembuh ialah selesai pengobatan dan hasil Basil Tahan
Asamnya negatif 2 kali atau lebih yang berurutan yaitu bulan
kelima dan akhir pengobatan pada kategori 1 dan bulan ke 7
pada akhir pengobatan kategori 2.
b) Pengobatan lengkap yaitu Penderita Tuberculosis yang telah
selesai pengobatan, tetapi dilakukan pemeriksaan dahak ulang

12
atau diperiksa satu kali dengan Basil Tahan Asam (-) pada
bulan ke-2 pada bulan ke-5 dan akhir pegobatan.
c) Gagal (Basil Tahan Asam positif) yaitu Basil Tahan Asam (+)
pada bulan ke-5 atau lebih, atau berhenti berobat lebih dari 2
bulan ke-5 pengobatan dan hasil sputum terakhir Basil Tahan
Asam (+) atau penderita Basil Tahan Asam (-) menjadi (+)
pada pemeriksaan sputum bulan ke-2.
d) Defaultez yaitu penderita yang tidak mengambil obat lebih dari
2 bulan tetapi Basil Tahan Asamnya negatif sebelum berhenti
berobat.
2) Tindak lanjut pengobatan
a) Sembuh dan pengobatan lengkap, tidak perlu tindak lanjut,
diberi tahu bila gejala muncul kembali supaya memeriksakan
diri kembali mengikuti prosedur tetap. Penderita yang sembuh
diharapkan ikut berperan terutama supaya menjaga
kesembuhannya agar penyakitnya tidak sembuh lagi.
b) Pengobatan tak teratur yaitu penderita yang pernah terlambat
minum obat sekurang-kurangnya 3 hari pada fase intensif dan 1
minggu pada fase lanjutan. Tindak lanjutnya penderita harus
mengikuti ulang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Disamping itu petugas perlu memberitahukan bila berobat tak
teratur dapat timbul resistensi obat sehingga penyakit sulit
disembuhkan.
c) Pindah yaitu apabila penderita pindah maka sisa obat dikirim
ke unit pelayanan kesehatan tempat berobat penderita beserta
pencatatnya.
d) Kambuh/gagal, maka pengobatan dilanjutkan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan dan perlu dicantumkan benar-
benar karena mungkin merupakan kesempatan terakhir untuk
sembuh, penderita harus benar-benar minum obat setiap hari
sesuai jadwal, kronis/sembuh ialah penderita dengan

13
pengobatan ulang dengan Basil Tahan Asam tetap positif.
Tindak lanjut kasus tersebut sebaiknya dirujuk pada ahli paru.
Jika tidak mungkin diberi vitamin atau INIT seumur hidupnya.
6. Panduan OAT di Indonesia
Menurut Komala (1996), Program Nasional Penanggulangan TB di
Indonesia menggunakan panduan OAT sebagai berikut:
a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Fase intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z)
dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2
bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan fase lanjutan yang
terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita
baru TB paru BTA positif, penderita TB paru BTA negatif (rontgen
positif, yang sakit berat) dan penderita TB ekstra paru berat.
b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Fase intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E)
dan suntikan Streptomisin (S) setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E)
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan fase lanjutan selama 5 bulan
dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Suntikan
streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini
diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal dan penderita
dengan pengobatan setelah lalai.
c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Fase intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan fase lanjutan terdiri dari HR selama 4
bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk
penderita baru BTA negatif (rontgen positif, yang sakit ringan), dan
penderita ekstra paru ringan.
d. OAT Sisipan (HRZE)

14
Bila pada fase intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
B. Tinjauan Tentang Darah
1. Pengertian
Darah adalah jaringan tubuh berbeda dengan jaringan tubuh yang
lain, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertentu
yang dinamakan sebagai pembuluh darah yang menjalankan transport
sebagai bahan serta hemostasis. Darah adalah cairan yang terdapat pada
semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi
mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh,
mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai
pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri (Frandson, 2006).
Darah merupakan medium transport tubuh, volume darah manusia
sekitar 7% - 10% berat badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter.
Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap orang tidak sama, bergantung pada
usia, pekerjaan, serta keadaan jantung atau pembuluh darah (Handayani
dan Haribowo, 2008)
Darah merupakan bagian penting dari sistem transport, darah
merupakan jaringan yang berbentuk cairan yang terdiri dari dua bagian
besar yaitu plasma darah (merupakan bagian cair dalam tubuh) dan bagian
korpuskuli yakni benda-benda darah yang terdiri dari sel darah putih atau
leukosit, sel darah merah atau eritrosit dan sel pembekuan darah atau
trombosit (Depkes RI, 2009).
Penggolongan darah sebagai suatu jaringan berdasarkan atas
defenisi jaringan yaitu kelompok sel atau beberapa jenis sel yang
mempunyai bentuk yang sama dan menjalankan fungsi tertentu. Berbeda
dengan jaringan lain sel-sel yang terdapat dalam jaringan darah dinamai
sebagai sel-sel darah tidaklah terikat satu sama lain membentuk suatu

15
struktur yang bernama organ melainkan berada dalam suatu cairan
(Sadikin, 2007).
2. Volume Darah
Menurut Pearce (2009), darah adalah jaringan cair yang terdiri atas
dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Volume darah secara
keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan. Sekitar 55% adalah
plasma darah, sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah. Sel darah
terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit yang tampak merah karena kandungan
hemoglobinnya, sel darah putih atau leukosit dan trombosit (keping-
keping darah) yang merupakan keping-kepingan halus sitoplasma.
Volume darah pada orang sehat ditentukan oleh jenis kelamin,
volume darah pada laki-laki dewasa adalah 5 liter, sedangkan pada
perempuan dewasa agak lebih rendah yaitu 4,5 liter. Nilai ini tidak mutlak
karena ditentukan oleh dua hal, pertama ada keseimbangan antara vena
pulmoner yang membawa kembali darah ke dalam atrium kiri. Setelah
penuh, atrium kiri berkontraksi serentak dengan atrium kanan dan darah
dipompa melalui katub atrio-ventrikular kiri ke dalam ventrikel kiri.
Ventrikel kanan dan memompa darah ke dalam aorta yang merupakan
arteri utama dalam tubuh (Guntur H, 2008).
Darah mengalir ke dalam atrium dari vena-vena besar sampai
kedua atrium penuh dan kemudian berkontraksi secara serentak
mendorong darah ke dalam ventrikel. Kontraksi ventrikel akan
mengalirkan darah ke semua bagian tubuh melalui sejumlah pipa disebut
arteri yang kemudian bercabang menjadi pembuluh-pembuluh kecil yang
disebut arteriol. Arteriol bercabang lagi untuk membentuk jaringan
pembuluh mikroskopis yang disebut kapiler. Darah kemudian terkumpul di
dalam pembuluh-pembuluh kecil yang disebut venul yang kemudian
bersatu dan membentuk vena. Vena-vena akan bergabung satu sama lain
dan akhirnya membawa kembali darah ke jantung.
Kapiler membentuk suatu jejaring antara anterior da venula.
Kapiler terdiri dari selapis tunggal sel-sel endotel, sama dengan sel-sel

16
yang membentuk tunika intima semua ruang intra pembuluh darah (ruang
intra vaskuler) dengan antar sel. Meskipun secara anatomis sistem
pembuluh darah adalah ruang tertutup mudah dilihat secara mikroskopis
ada celah diantara sel-sel yang dapat dillalui oleh cairan. Kedua nilai
tersebut tergantung pada cara pengukuran (Guntur H, 2008).
Suatu senyawa yang tidak diolah oleh sel-sel tubuh dan mudah
dikeluarkan melalui kencing setelah beberapa waktu digantikan dalam
jumlah dan konsentrasi tertentu dalam pembuluh darah balik. Beberapa
menit kemudian setelah dianggap bahwa senyawa telah tersebar rata
diseluruh ruang pembuluh darah. Konsentrasi senyawa tersebut dalam
darah diukur oleh karena volume dan konsentrasi senyawa tersebut di
dalam cairan yang disuntikan diketahui dan konsentrasi dalam darah
beberapa waktu. Pasca penyuntikan dapat diukur berdasarkan rumus
umum pengenceran V1 x C1 = V2 x C2, volume darah dapat dihitung (V1
adalah volume cairan senyawa yang disuntikan, C1 adalah konsentrasi
senyawa tersebut di dalam cairan yang disuntikan, C2 adalah konsentrasi
senyawa tersebut diukur dalam darah dan V2 adalah volume darah).
Senyawa yang akan dipakai untuk pengukuran tersebut selain tidak
dimetabolisme oleh sel dan tidak toksik, tidak boleh keluar dengan mudah
melalui dinding pembuluh darah (Sadikin, 2007).
3. Fungsi Darah
Darah bergerak dalam sitem sirkulasi sampai kapiler dari organ dan
jaringan kemudian manjalankan tugas fungsinya untuk mengangkut bahan
yang dibutuhkan oleh sel dari sel mengangkut bahan yang tidak
dibutuhkan untuk dibuang. Yang paling penting dari bahan yang ditransfer
menuju sel serta membawa glukosa menuju ke sel dan jaringan yang
sangat dibutuhkan untuk reaksi metabolisme, oksidatif yang sangat penting
untuk kehidupan.
Fungsi darah adalah sebagai berikut:
a. Membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan
menuju ke jaringan tubuh

17
b. Mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh
c. Mengangkut produk buang dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk
di ekskresikan
d. Mengangkut hasil sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzim dari
organ ke organ
e. Ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, sistem buffer
seperti bicarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH
yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh
f. Berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh dengan cara
mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke
permukaan tubuh
g. Mengatur konsentrasi ion hydrogen dalam tubuh (keseimbangan asam
dan basa)
h. Membantu pertahanan tubuh terhadap penyakit
i. Pembekuan darah pada luka mencegah terjadinya kehilangan darah
yang berlebihan pada waktu luka serta mengandung faktor-faktor
penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit (Guyton, 2006).
Selain itu darah berfungsi sebagai transport asam amino, asam
lemak, mineral dan bahan nutrisi lainnya. Vitamin ke sel untuk mengatur
proses metabolisme di dalam sel. Melalui pertukaran ion-ion dan molekul
pada cairan interstisial, darah membantu mempertahankan pH dan
konsentrasi elektrolit pada cairan intenstisial dalam batasan yang
dibutuhkan untuk fungsi sel yang normal. Darah mengangkut hasil
metabolisme dari sel seperti karbondioksida dari paru-paru, bilirubin
menuju ke hati dan bahan toksik lainnya. Darah mentransport panas
menuju ke kulit dan paru-paru dengan demikian ikut suhu tubuh. Selain
fungsi tersebut fungsi lainnya untuk memepertahankan tubuh dan invasi
mikroorganisme dan untuk reaksi imunologis akibat masuknya benda-
benda asing. Selain itu darah juga berperan penting dalam proses
hemostasis. Jadi dapat disimpulkan darah mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. Berfungsi sebagai transport.

18
b. Berfungsi sebagai regulasi.
c. Berfungsi sebagai pertahanan tubuh.

4. Komponen Darah
Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit). Beberapa
jenis sel darah putih (leukosit) dan fragmen sel yang disebut trombosit.
Eritrosit berfungsi sebagai transport atau pertukaran oksigen, leukosit
berfungsi untuk mengatasi infeksi dan trombosit untuk hemostasis (Sylvia.
A dan M. Wilson, 2006).
Darah terdiri atas 2 komponen utama:
a. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit, dan protein darah.
b. Butir – butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas:
1) Eritrosit: sel darah merah (SDM)- red blood cell (RBC)
2) Leukosit: sel darah putih (SDP)-white blood cell (WBC)
3) Trombosit: butir pembeku platelet (Bakta I Made, 2006).
C. Tinjauan Tentang Hemoglobin
1. Pengertian
Hemoglobin (Hb) adalah metalprotein pengangkut oksigen yang
mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan
lainnya. Molekul Hb terdiri dari globin, apoprotein dan empat gugus
heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Hb adalah protein
yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen
dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah
merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke
jaringan-jaringan (Pearce, 2009).
Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.
Hb dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat
digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hb
adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks
tersebut berwarna merah dan terdapat didalam eritrosit. Sebuah molekul

19
Hb memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi dan empat rantai
globin. HB adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan
conjugated protein. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka protoperphyrin
dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah karena Fe ini.
Eryt Hb berikatan dengan karbondioksida menjadi karboxy hemoglobin
dan warnanya merah tua. Darah arteri mengandung oksigen dan darah
vena mengandung karbondioksida (Depkes RI dalam Widayanti, 2008).
2. Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin ialah ukuran pigmenrespiratorik dalam butiran-
butiran darah merah. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-
kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100
persen” (Pearce, 2009). Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang
sukar ditentukan karena kadar hemoglobin bervariasi diantara setiap suku
bangsa. Namun WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal
berdasarkan umur dan jenis kelamin (WHO dalam Arisman, 2007).

Tabel 2.1. Kadar Hemoglobin Normal Menurut WHO


No Kelompok Umur Batas Nilai Hemoglobin
(gr/dl)
1 Anak 6 bulan - 6 tahun 11,0
2 Anak 6 tahun - 14 tahun 12,0
3 Pria dewasa 13,0
4 Ibu hamil 11,0
5 Wanita dewasa 12,0
Sumber: Arisman (2007)

20
Tabel 2.2. Batas Normal Kadar Hemoglobin Setiap kelompok Umur
Menurut WHO

No Umur Hb (gr/100ml)
1 Wanita > 15 tahun 12
2 Wanita Hamil 11
3 Laki-laki > 15 tahun 13
Sumber: WHO dalam Sopny (2010)
Hb di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh
jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke
paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai
reservoir oksigen yaitu; menerima, menyimpan dan melepas oksigen di
dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam
hemoglobin (Sunita, 2006).
3. Fungsi Hemoglobin
Menurut Departemen kesehatan Republik Indonesia dalam
Widayanti (2008) fungsi Hb antara lain:.
a. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam
jaringan-jaringan tubuh.
b. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh
jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
c. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah
seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan
pengukuran kadar Hb. Penurunan kadar Hb dari normal berarti
kekurangan darah yang disebut anemia.
Menurut Pearce (2009), fungsi utama hemoglobin adalah mengikat
oksigen yang kemudian bersama dengan sirkulasi udara melakukan proses
difusi osmosis dalam proses respirasi sel. Sedangkan menurut Sadikin
(2007), berfungsi mengikat dan membawa oksigen dari paru untuk
diedarkan dan dibagikan ke seluruh sel di berbagai jaringan.
4. Struktur Hemoglobin

21
Pada pusat molekul terdiri dari cincin heterosiklik yang dikenal
dengan porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan
situs/lokal ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme.
Nama hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin, globin
sebagai istilah generik untuk protein globular. Ada beberapa protein
mengandung heme dan hemoglobin adalah yang paling dikenal dan
banyak dipelajari.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4
submit protein), yang terdiri dari dari masing-masing dua sub unit alfa dan
beta yang terikat secara non kovalen. Sub unitnya mirip secara struktural
dan berukuran hampir sama. Tiap sub unit memiliki berat molekul kurang
lebih 16.000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi
64.000 Dalton. Tiap sub unit hemoglobin mengandung satu heme,
sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat
molekul oksigen (Wikipedia, 2007).
5. Penyebab Penurunan Kadar Hemoglobin
Beberapa penyebab penurunan kadar hemoglobin menurut
Riswanto (2013) adalah:
a. Gangguan pembentukan eritrosit
1) Penyakit defisiensi: anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik,
anemia megaloblastik, anemia persiosa, anemia pada penyakit
kronis (kanker, penyakit ginjal, sirosis hati dsb).
2) Gangguan fungsi sumsum tulang dalam memproduksi eritrosit,
seperti: sindrom myelodisplastik, anemia aplastik, leukemia.
b. Kehilangan eritrosit yang berlebihan
1) Kehilangan darah akut atau kronis (menahun)
2) Peningkatan dekstruksi eritrosis (hemolisis)
3) Hemodilusi (pengenceran darah), misalnya pada kehamilan
4) Pengaruh obat-obatan, seperti antibiotik, aspirin, primakuin
6. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin

22
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin
adalah:
a. Kecukupan besi dalam tubuh
Menurut Parakkasi, Besi dibutuhkan untuk produksi
hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan
terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan
hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil
dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen
dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara
pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim
pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase. Besi
berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan
mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%)
terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam
hati, hemosiderin di dalam limpa dan sumsum tulang (Zarianis, 2006).
Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin
dan senyawa-senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom
dan flavoprotein. Walaupun jumlahnya sangat kecil namun
mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam
transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk kedalam sel-
sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawa-senyawa mitokondria
yang mengandung besi lainnya, memegang peranan penting dalam
proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang
merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh
mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan
bekerja. Pada anak sekolah berdampak pada peningkatan absen
sekolah dan penurunan prestasi belajar (WHO dalam Zarianis, 2006).
Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang
direkomendasikan adalah jumlah minimum besi yang berasal dari
makanan yang dapat menyediakan cukup besi untuk setiap individu

23
yang sehat pada 95% populasi, sehingga dapat terhindar kemungkinan
anemia kekurangan besi (Zarianis, 2006).
b. Metabolisme besi dalam tubuh
Menurut Wirakusumah, Besi yang terdapat di dalam tubuh
orang dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada
di dalam sel-sel darah merah atau hemoglobin (lebih dari 2,5 g),
myoglobin (150 mg), phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum
tulang (> 200-1500 mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu
bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik dan bagian
yang merupakan cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom, serta
enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi fungsional dan berjumlah
antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi cadangan apabila
dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-25 mg/kg
berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan
yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang.
Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi,
pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Zarianis,
2006).
7. Metode Pemeriksaan Kadar Hemoglobin
Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan
yang paling sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah
metode cyanmethemoglobin (Bachyar, 2008). Metode sahli merupakan
metode estimasi kadar hemoglobin yang tidak teliti, karena alat
hemoglobinometer tidak dapat distandarkan dan pembanding warna secara
visual tidak teliti. Metode sahli juga kurang teliti karena
karboxygemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin tidak dapat
diubah menjadi hematin asam (Gandasoebrata, 2010).
Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisi dengan HCl menjadi
globin ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi
menjadi ferriheme yang akan segera bereaksi dengan ion Cl membentuk
ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna

24
cokelat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar
(hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna
standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk.
Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa
sehingga warnanya sama dengan warna standar. Karena yang
membandingkan adalah dengan mata telanjang, maka subjektivitas sangat
berpengaruh. Di samping faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman,
penyinaran dan sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan.
Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah yang belum mempunyai
peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode sahli ini masih
memadai dan bila pemeriksaannya telat terlatih hasilnya dapat diandalkan.
Metode yang lebih canggih adalah metode cyanmethemoglobin.
Pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi
methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida membentuk
sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca
dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang
membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Namun,
fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga belum semua laboratorium
memilikinya.
Penentuan kadar hemoglobin dalam penelitian ini ditentukan
dengan menggunakan alat tes kadar hemoglobin dengan menggunakan
metode sahli. Alat, bahan dan cara kerjanya sebagai berikut
(Gandasoebrata, 2010):
a. Alat
1) Spuit
2) Hemometer sahli
3) Pipet pasteur
4) Kapas
5) Tisu
b. Bahan
1) Alkohol

25
2) HCL 0,1 N
3) Darah vena
c. Cara Kerja
1) Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Isi tabung sahli dengan HCL 0,1 N sampai tanda batas angka 2 (± 5
tetes)
3) Lakukan sterilisasi lokal dengan kapas alkohol 70 persen
4) Lakukan tusukan pada vena
5) Ambil darah dengan menggunakan pipet sahli sebanyak 20 Μl
6) Maukan segera darah tersebut pada tabung sahli yang berisi HCL
0,1 N, dicampur sampai homogen (terbentuk warna tengguli)
7) Encerkan isi tabung dengan aquadest sampai dengan menyamai
warna standar. Batang pengaduk jangan diangkat sebelum
pengenceran selesai.
8) Baca hasilnya dengan memperhatikan miniskus cairan diserahkan
pada angka skala.
Evalusia nilai hemoglobin juga perlu memperhatikan usia
penderita karena nilai normal berbeda pada bayi dan pada orang dewasa.
Nilai normal pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah sebagai berikut:
a. Lelaki dewasa (21-45 tahun) adalah 14-18 g/dl
b. Wanita dewasa (21-40 tahun) adalah 14-18 g/dl
c. Lelaki tua adalah 12,4-14,9 g/dl
d. Wanita tua adalah 11,7-13,8 g/dl (WHO dalam Arisman, 2007).

26
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran
Penderita TB Paru seringkali mengalami anemia, yang disebabkan
oleh obat-obat anti tuberkulosis (OAT). Tuberkulosis dapat menimbulkan
kelainan hematologi. Kelainan-kelainan tersebut sangat bervariasi dan
kompleks. Kelainan-kelainan hematologis ini dapat merupakan bukti yang
berharga sebagai petanda diagnosis, pentunjuk adanya komplikasi atau
merupakan komplikasi obat-obat anti tuberkulosis (OAT).
Pemeriksaan hematologi yakni pemeriksaan hemoglobin untuk
membantu mendiagnosis anemia. Sebelumnya ada 36% penderita tuberkulosis
yang sedang menjalani pengobatan pada akhir bulan ke 2 dan akhir bulan ke
enam mengalami anemia. Kelainan kelainan hematologis pada pemeriksaan
laboratorium adalah sebagai petanda diagnosis atau petunjuk adanya
komplikasi terhadap obat-obat anti tuberkulosis (OAT).
Hemoglobin (Hb) merupakan zat protein yang ditemukan dalam sel
darah merah, yang memberi warna merah pada darah. Hemoglobin terdiri atas
zat besi yang merupakan pembawa oksigen. Tujuan pemeriksaan hemoglobin
antara lain untuk memantau kadar hemoglobin dalam sel darah merah, untuk
membantu mendiagnosis anemia, serta untuk menentukan defisit cairan tubuh
akibat peningkatan kadar hemoglobin.

27
B. Kerangka Konsep
Kerangka Konsep Penelitian

Kadar Hemoglobin
Penderita TB Paru
Darah

28
C. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
1. Penderita TB Paru
Penderita TB Paru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pasien yang datang berkunjung ke Puskesmas Poasia yang didiagnosa oleh
dokter menderita TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.
2. Kadar Hemoglobin Darah
Kadar haemoglobin darah yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah jumlah haemoglobin dalam sel darah merah per 100 ml darah yang
diukur dengan menggunakan metode sahli. Dalam penelitian ini
pemeriksaan kadar haemoglobin dibagi menjadi dua yakni laki-laki dan
wanita dengan kriteria objektif:
a. Laki-Laki
Normal Jika nilai Hb yang diperoleh 14-16 g/dl
Tidak Normal Jika nilai Hb yang diperoleh < 14 g/dl
b. Wanita
Normal Jika nilai Hb yang diperoleh 12-14 g/dl
Tidak Normal Jika nilai Hb yang diperoleh < 12 g/dl

29
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui
gambaran kadar hemoglobin darah pada penderita TB Paru di Puskesmas
Poasia Kota Kendari Tahun 2017.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Tanggal 21- 24 Juli 2017.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Puskesmas Poasia Kota
Kendari Tahun 2017.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB paru yang
datang berkunjung dan masih melakukan pengobatan di Puskesmas Poasia
Kota Kendari hingga April 2016 ditetapkan sebanyak 30 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil dari objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita TB Paru sebanyak 30 orang
yang telah melakukan terapi OAT paket dan menjalankan pengobatan
pada akhir bulan ke II dan akhir bulan ke VI serta melakukan pemeriksaan
hematologi.
Teknik pengambilan sampel 37
dalam penelitian ini menggunakan
teknik total sampling, dimana mengambil semua penderita yang telah
melakukan terapi OAT paket dan menjalankan pengobatan pada akhir
bulan ke II dan akhir bulan ke VI serta melakukan pemeriksaan
hematologi untuk dijadikan sampel penelitian.

30
D. Instrumen Penelitian
Penentuan kadar hemoglobin dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan alat tes kadar hemoglobin dengan menggunakan metode sahli.
Dalam proses penelitian ini, ada tiga tahapan dalam proses pengukuran kadar
hemoglobin darah pada penderita TB Paru, yakni (Gandasoebrata, 2010):
1. Pra Analitik
a. Persiapan menentukan penderita TB Paru sebagai responden penelitian
b. Persiapan sampel darah kapiler yang diperoleh melalui vena penderita
TB Paru
c. Persiapan alat
1) Spuit
2) Hemometer sahli
3) Pipet pasteur
4) Kapas
5) Tisu
d. Persiapan bahan-bahan
1) Alkohol
2) HCL 0,1 N
3) Darah vena
2. Analitik (Proses Kerja)
a. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Isi tabung sahli dengan HCL 0,1 N sampai tanda batas angka 2 (± 5
tetes)
c. Lakukan sterilisasi lokal dengan kapas alkohol 70 persen
d. Lakukan tusukan pada vena
e. Ambil darah dengan menggunakan pipet sahli sebanyak 20 μl
f. Masukan segera darah tersebut pada tabung sahli yang berisi HCL 0,1
N, dicampur sampai homogen (terbentuk warna tengguli)
g. Encerkan isi tabung dengan aquadest sampai dengan menyamai warna
standar. Batang pengaduk jangan diangkat sebelum pengenceran
selesai.

31
h. Baca hasilnya dengan memperhatikan miniskus cairan diserahkan pada
angka skala.
3. Pasca Analitik (Evaluasi)
Evaluasi nilai hemoglobin juga perlu memperhatikan usia
penderita karena nilai normal berbeda pada bayi dan pada orang dewasa.
Nilai normal pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah sebagai berikut:
a. Lelaki dewasa (21-45 tahun) adalah 14-18 g/dl
b. Wanita dewasa (21-40 tahun) adalah 14-18 g/dl
c. Lelaki tua adalah 12,4-14,9 g/dl
d. Wanita tua adalah 11,7-13,8 g/dl (WHO dalam Arisman, 2007).
E. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari responden berupa
pengambilan sampel darah responden. Sedangkan data sekunder yakni data
yang bersumber dari lokasi penelitian dan instansi terkait lainnya yang berupa
gambaran umum puskesmas, jumlah kasus TB Paru dan data dokumentasi
lainnya.

F. Analisis Data
Analisa data dilakukan secara manual dengan menggunakan
kalkulator, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi disertai
penjelasan-penjelasan. Sedangkan dalam pengolahan data maka digunakan
rumus:
f
P  100%
N
Keterangan:
f : Frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N : Number Of Cases (jumlah frekuensi atau banyaknya individu)
P : Angka persentase (Sugiyono, 2008).

32
G. Penyajian Data
Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti disertai dengan narasi secukupnya.
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapatkan rekomendasi izin
penelitian dari Institusi Pendidikan Poltekkes Kendari. Setelah mendapatkan
persetujuan/rekomendasi kemudian melakukan penelitian dengan menekankan
masalah etika yang meliputi:

1. Informed concent
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti
dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subyek menolak
maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati
hak-hak subyek.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan
nama responden pada sampel darah, tetapi pada sampel darah tersebut
diberikan kode responden.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya
kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

33
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Sejarah Berdirinya Puskesmas Poasia
Puskesmas Poasia didirikan pada tahun 1970-an tepatnya bulan
Juli 1973 di atas tanah seluas 4.032 m2, dikepalai oleh seorang Dokter
yang belum kami ketahui namanya dan beberapa staf yang berfungsi
melaksanakan pemeriksaan pasien rawat jalan sebagaimana mestinya.
Puskesmas Poasia pada tahun 1978 Kepala Puskesmas Poasia
adalah Thomas Yusuf Malaka, dia adalah seorang perawat kemudian
pada tahun 1981 Kepala Puskesmas Poasia diserah terimakan kepada
dr. Sukmawati kemudian pada tahun 1984 Kepala Puskesmas Poasia
diserah terimakan kepada dr. Ferdinan J. Laihad kemudian pada tahun
1987 Kepala Puskesmas Poasia diserah terimakan kepada dr. Lubis
dan pada tahun 1990 diserah terimakan kepada dr. Jerry Siahaan.
Puskesmas Poasia mempunyai wilayah kerja pada tahun
tersebut sebanyak 19 kelurahan dengan Kepala Puskesmas Poasia dr.
Jerry Siahaan dari tahun 1990 sampai tahun 2002 Puskesmas Poasia
dimekarkan menjadi tiga Puskesmas Induk yang dikenal saat ini yaitu
Puskesmas Poasia, Puskesmas Abeli dan Puskesmas Mokoau.
Begitu pula dengan Kelurahan yang ada juga ikut dimekarkan
menjadi tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Poasia, Kecamatan Abeli
dan Kecamatan Kambu sehingga Puskesmas Poasia sisa mempunyai
wilayah kerja hanya empat Kelurahan yaitu Anduonohu, Rahandouna,
Anggoeya dan Mata Bubu yang berada di wilayah Kecamatan Poasia
selebihnya berada di dua Kecamatan Abeli dan Kecamatan Kambu.
Pada Bulan Maret tahun 2002 Kepala Puskesmas Poasia dr.
Jerry Siahaan kemudian di serah terimakan oleh dr. Hj. Asridah
Mukaddim M.Kes dan tahun 2003 Puskesmas Poasia mulai membuka

34
rawat Inap dengan 10 tempat tidur dan UGD untuk pasien buka 24
jam, pada tahun 2008 Puskesmas Poasia mendapat gelar Citra
Pelayanan Prima dari Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Puskesmas terbaik untuk Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pada Bulan Maret tahun 2009 Kepala Puskesmas Poasia dari dr.
Hj. Asridah Mukaddim, M.Kes diserah terimakan kepada dr. H. Juriadi
Paddo, M.Kes., sampai saat ini tahun 2013 sudah mempunyai 15
tempat tidur dan UGD 24 jam serta mempunyai ruang Persalinan
tersendiri (Poned) dengan tiga tempat tidur, Klinik Psikologi, Klinik
Aquprussur, Klinik KTPA dan Klinik Ahli Penyakit Dalam, Klinik
Ahli Anak dan Klinik Ahli Kandungan yang dilaksanakan 2 kali
seminggu serta mempunyai Laboratorium.
Puskesmas Poasia menjalankan program puskesmas pada tahun
berdirinya puskesmas adalah 18 program kemudian saat ini berubah
menjadi 6 program dengan sebutan pola pelayanan minimal demikian
sekilas latar belakang Puskesmas Poasia.
Puskesmas poasia dibangun bertujuan sesuai yang terdapat
dalam Undang-Undang Kesehatan RI No 23 Tahun 1992, yaitu
tercapainya derajat kesehatan secara optimal bagi seluruh penduduk.
Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari pembangunan nasional, karena kesehatan menyentuh
hampir semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu membangun
suatu masyarakat atau manusia harus dipandang secara holistik sebagai
manusia yang utuh untuk memenuhi berbagai aspek kebutuhannya
agar tetap hidup secara seimbang lahir dan bathin. Tanpa ada
keseimbangan maka akan berpengaruh terhadap interaksi hidupnya
yang dapat mengakibatkan jatuh sakit.
b. Keadaan Geografis
Puskesmas Poasia terletak di Kecamatan Poasia Kota Kendari,
sekitar 9 km dari ibukota provinsi serta memiliki kondisi geografis
daerah daratan rendah yang berbatasan dengan:

35
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kendari
2) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kambu
3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Abeli
Luas wilayah kerja Puskesmas Poasia sekitar 4.175 Ha atau
44,75 km2 atau 15,12% dari luas daratan Kota Kendari yang terdiri
dari 4 kelurahan definitif, yaitu Anduonoohu seluas 1.200 Ha,
Rahandouna seluas 1.275 Ha, Anggoeya seluas 1.400 Ha dan
Matabubu seluas 300 Ha. Dengan 82 RW/RT dan jumlah penduduk
sebanyak 19.433 jiwa serta tingkat kepadatan penduduk 46 orang/m2
atau 465 orang/km2, dengan tingkat kepadatan hunian rumah rata-rata
5 orang/rumah.
c. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Sarana Kesehatan yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas
Poasia terdiri dari:
1) Sarana Kesehatan Pemerintah
a) Puskesmas Induk 1 unit yang merupakan puskesmas
perawatan yang menyelenggarakan rawat jalan, rawat inap,
rawat umum dan kebidanan serta unit gawat darurat 24 jam
yang berlokasi di Kecamatan Poasia.
b) Puskesmas pembantu 2 unit, masing-masing terletak di
Kelurahan Anggoea dan Kelurahan Batumarupa.
2) Sarana Kesehatan
a) Rumah bersalin 1 unit, yang berlokasi di Kelurahan Poasia.
b) Pondok bidan bersalin sebanyak 2 unit, berlokasi di Kelurahan
Andonoohu dan Kelurahan Matabubu.
Sarana dan prasarana lainnya antara lain: kendaraan roda 4
sebanyak 2 unit, kendaraan roda dua sebanyak 14 unit, Posyandu aktif
sebanyak 16 unit, Posyandu Usia Lanjut sebanyak 4 unit, Dukun
terlatih sebanyak 4 orang, Kader posyandu sebanyak 75 orang, dan
Toko obat berizin sebanyak 4 buah.

36
d. Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan yang berkerja di Puskesmas Poasia adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.1. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Poasia
No Jumlah tenaga Status Jumlah
PNS Honorer
1 Dokter Umum 3 - 3

2 Dokter Gigi 2 - 2

3 Sarjana Keperawatan 5 3 8

4 Kesehatan Masyarakat 4 2 6

5 Akademi Perawat 16 4 20

6 Perawat SPK 2 - 2

7 Perawat Gigi 2 1 3

8 Bidan Puskesmas 15 5 20

9 Tenaga Gizi 5 2 7

10 Sanitarian 4 1 5

11 SMA/SPPM 2 1 3

12 Apoteker 3 2 5

13 Laboran 3 1 4

14 Asisten Apoteker - 2 2

Sumber: Data Sekunder, Tahun 2017.


2. Karakteristik Responden
a. Umur Responden
Umur penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota Kendari
disajikan pada tabel berikut:

37
Tabel 4.2. Distribusi Umur Penderita TB Paru di Puskesmas
Poasia Kota Kendari Menurut Depkes RI ( 2009)

No Umur (Tahun) Frekuensi (f) Persentase (%)


1 26 – 35 5 16,66
2 36 – 45 5 16,66
3 46 – 55 6 20,00
4 56 -65 9 30,00
5 >65 5 16,66
Total 30 100
Sumber: Data Primer, 2017.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 30 responden sebagian
besar berumur 46 – 65 tahun, yakni sebanyak 14 orang (46,7%), dan
yang paling sedikit berumur > 65 tahun sebanyak 6 orang (20,0%).
b. Jenis Kelamin Responden
Jenis kelamin penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota
Kendari disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.3. Distribusi Jenis Kelamin Penderita TB Paru di
Puskesmas Poasia Kota Kendari

No Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)


1 Perempuan 10 33,3
2 Laki-Laki 20 66,7
Total 30 100
Sumber: Data Primer, 2017.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 30 responden sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki, yakni sebanyak 20 orang (66,7%), dan
yang paling sedikit berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 orang
(33,3%).
3. Analisis Variabel Penelitian
Kadar Hemoglobin penderita TB Paru di Puskesmas Poasia Kota
Kendari disajikan pada tabel berikut:

38
Tabel 4.4. Distribusi Kadar Hemoglobin Penderita TB Paru di
Puskesmas Poasia Kota Kendari

No Kadar Hemoglobin Frekuensi (n) Persentase (%)


(g/dl)
1 Normal 9 30,0
2 Tidak Normal/Anemia 21 70,0
Total 30 100
Sumber: Data Primer, 2017.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 30 responden sebagian besar
memiliki kadar hemoglobin tidak normal atau mengalami anemia, yakni
sebanyak 21 orang (70,0%) dan responden yang memiliki kadar
hemoglobin normal atau tidak anemia sebanyak 9 orang (30,0%)
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin darah pada
penderita TB Paru dengan menggunakan metode sahli di Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2017 berkisar antara 9,7 hingga 15,1 g/dl, dimana dari 30
responden sebagian besar memiliki kadar hemoglobin tidak normal sebanyak
21 orang (70,0%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Lasut (2014) bahwa kadar hemoglobin pada penderita TB paru ditemukan
terbanyak dengan kadar Hb yang rendah atau anemia.
Rendahnya kadar Hb pada penderita TB Paru tersebut disebabkan
karena keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, vitamin, zat besi yang
mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Orang dengan TB Paru aktif
sering kekurangan gizi dan mengalami defisiensi makronutrien serta
penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan. Selain itu, akibat
pemakaian Obat Anti Tiberkolusis yang mengakibatkan terjadinya anemia
pada penderita. Hal ini sejalan dengan pendapat Widoyono (2008), bahwa
dalam pemakaian obat-obatan anti tuberkulosis tidak jarang ditemukan efek
samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) ini dapat menimbulkan banyak efek samping kelainan hematologis

39
diantaranya adalah anemia, trombositosis, trombositopenia, leukositosis,
leukopenia dan eosinofilia.
Berdasarkan jenis kelamin, anemia pada penderita TB Paru banyak
dialami oleh penderita dengan jenis kelamin laki-laki, yakni sebanyak 17
orang (56,7%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan
oleh Sei Won Lee dkk, dari 281 pasien (31,9%) yang didapati anemia, 133
pasien (28,2%) adalah laki-laki dan 148 pasien (36,3%) adalah perempuan.
Supresi eritropoiesis oleh media inflamasi adalah faktor penyebab anemia dan
defisiensi nutrisi dapat memperburuk anemia. Menurut Hiswani (2009) yang
dikutip dari WHO, penderita TB paru cenderung lebih tinggi daripada laki-
laki dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih
tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga menurunkan
sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar agen penyebab TB
paru.
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global dan penyebab
kematian tersering oleh infeksi setelah HIV. Penurunan kadar hemoglobin
dibawah nilai normal didefinisikan sebagai anemia, anemia sendiri adalah fitur
utama pada pasien dengan infeksi bakteri. Kadar Hemoglobin merupakan
indikator untuk menentukan seseorang menderita anemia atau tidak.
Untuk meningkatkan kadar hemoglobin penderita TB Paru di
Puskesmas Poasia, pihak puskesmas memberikan suplemen penambah darah
yaitu sangobion. Setiap kapsul sangobion mengandung Ferous Gluconate,
Manganese Sulphate, dan Cooper Sulfate yang merupakan zat pembentuk sel
darah merah yang cepat. Dilengkapi dengan Vitamin C yang berfungsi
meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh, Vitamin B12 dalam
pembentukan sel-sel darah merah dan Asam Folat yang baik untuk
perkembangan janin dalam kandungan berperan penting, serta Sorbitol yang
bermanfaat untuk meningkatkan absorbsi zat besi dan mencegah susah buang
air besar yang umumnya terjadi pada suplementasi zat besi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi penderita TB
Paru yang mengalami anemia selain melalui pemberian tablet tambah darah

40
dan transfusi darah, namun juga dapat dilakukan dengan pemberian asupan
makanan yang telah diperhitungkan nilai gizinya. Salah satu zat gizi yang
berfungsi sebagai pembentukan hemoglobin baru adalah zat besi, selain itu zat
besi juga berfungsi untuk mengembalikan kadar hemoglobin ke nilai normal
setelah terjadi perdarahan dan menggantikan kehilangan zat besi lewat darah.
Namun, di dalam tubuh, zat besi tidak terdapat bebas, tetapi berasosiasi
dengan molekul protein. Protein berperan dalam proses hemopoiesis atau
pembentukan sel darah merah yaitu dalam sintesa hemoglobin. Sedangkan
tablet tambah darah dan transfusi akan diberikan apabila sudah diberi
intervensi melalui perbaikan gizi namun kadar hemoglobin penderita TB Paru
tidak mengalami peningkatan (Sediaoetama, 2008).
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang
berfungsi sebagai media transportasi oksigen dari paru-paru ke seluruh
jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-
paru. Kandungan zat besi dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah.
Hemoglobin merupakan unsur terpenting dalam sel darah merah. Molekul
hemoglobin terdiri dari globin, protoporfirin dan besi. Hemoglobin adalah
parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan prevalensi anemia.
Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah
(Supariasa, 2010).
Kandungan hemoglobin yang rendah dapat mengakibatkan
berkurangnya kadar oksigen di dalam paru-paru, sehingga dapat menyebabkan
sesak nafas atau dispnea yang merupakan salah satu gejalan TB. Anemia yang
berarti kadar Hb berada di bawah normal merupakan salah satu kelainan
hematologi. Tuberkulosisi dapat menimbulkan kelainan hematologi, baik sel-
sel hematopoiesis maupun komponen plasma. Kelainan-kelainan hematologis
ini dapat merupakan bukti yang berharga sebagai petanda diagnosis, petunjuak
adanya komplikasi atau merupakan komplikasi obat-obat anti tuberkulosis
(OAT). Jenis dan dosis pengobatan TB Paru adalah ianisid, rimfapisin,
pirasinamid, steptomicin dan embutol, keseluruhan obat TB tersebut bersifat
bakterisid yang berfungsi untuk membunuh populasi bakteri. Pada umumnya

41
tuberkulosis menimbulkan peningkatan atau penurunan jumlah komponen seri
hematopoiesis. Tuberkulosis dapat memberikan kelainan-kelainan hematologi
yang sangat berfariasi dan dapat mengenai seri eritrosit, lekosit, trombosit
serta gangguan pada sumsum tulang. Kelainan hematologi pada seorang
penderita TB Paru dapat disebabkan karena proses infeksi TB, efek samping
OAT atau kelainan dasar hematologis yang sudah ada sebelumnya. Kelainan-
kelainan hematologis tersebut merupakan pertimbangan dalam pemilihan
OAT, pemantauan aktivitas penyakit serta sebagai pemeriksaan penunjang
untuk menilai respon pengobatan (Oehadian, 2009).

42
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka
penulis menarik kesimpulan bahwa kadar hemoglobin darah pada penderita
TB Paru dengan menggunakan metode sahli di Puskesmas Poasia Kota
Kendari Tahun 2017 berkisar antara 9,7 hingga 15,1 g/dl, dimana dari 30
responden sebagian besar memiliki kadar hemoglobin tidak normal sebanyak
21 orang (70,0%).
B. Saran
1. Bagi Puskesmas Poasia agar hasil penelitian ini menjadi bahan
Pertimbangan bagi pengobatan TB Paru selanjutnya
2. Bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
tambahan informasi pengetahuan khususnya mengenai kadar hemoglobin
darah pada penderita TB Paru dalam pencegahan anemia.
3. Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti
mengenai gambaran kadar Hemoglobin darah pada penderita TB Paru di
puskesmas Poasia Kota Kendari
4. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian mengenai
gambaran kadar Hemoglobin darah pada Penderita TB berdasarkan lama
pengobatan

43
DAFTAR PUSTAKA

Aditama. 2006. Tuberkulosis Paru (Masalah dan Penanggulangannya). Jakarta:


Universitas Indonesia.

Alvian, Fenty, 2007. Faktor Risiko Tuberculosis. Jurnal Tubercolosis Indonesia. Vol.
5. Oktober 2008. Jakarta.

Amir & Bahar, 2009. Tuberkulosis Paru; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan I.
Jakarta: Interna Publishing.

Arisman, 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan; Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC.

Bakta I Made, 2006. Hematologi Klinik Ringkasan. Jakarta: EGC.

Depkes RI, 2009. Hematologi. Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.

Depkes RI, 2015. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Jakarta: Depkes


RI.

Dinkes Prov. Sultra, 2014. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara Tahun 2014.
Kendari: Dinkes Prov. Sultra.

Dinkes Prov. Sultra, 2015. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
Kendari: Dinkes Prov. Sultra.

Guntur, H. 2008. Sepsis: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Guyton. A.C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Handayani dan Haribowo, 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Herawati, V., 2016. Gambaran Kadar Hemoglobin pada Penderita Tuberculosis


yang Menjalani Pengobatan Akhir Bulan Kedua dan Akhir Bulan Keempat di
RSUD Ciamis Tahun 2016. Karya Tulis Ilmiah. Ciamis: STIK
Muhammadiyah.

Icksan & Luhur, 2008. Radiologi Toraks Tuberculosis. Jakarta: Sagung Seto.

Jumiarti, 2007. Kuman TBC Mematikan. Jakarta: EGC.


Kee, Joyce LeFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi
6. Jakata: EGC.

Kemenkes RI, 2013. Pedoman Naional Pelayanan Kedokteran; Tata Laksana


Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI, 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI, 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI, 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Kemenkes RI.

Lasut, N.M., 2014. Gambaran Kadar Hemoglobin dan Trombosit pada Pasien
Tubercolusis Paru di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado Periode
Januari-Desember 2014. Ringkasan Penelitian. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.

Misnadiarly. 2006. Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru,


Anak, dan pada Kehamilan. Jakarta: Populer Obor.

Oehadian, 2009. Aspek Hematologi Tuberkulosis. Http://www.repository.unpad.ac.id.


Diakses Tanggal 27 Mei 2017.

Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka.

Puskesmas Poasia, 2017. Rekapitulasi Laporan Puskesmas Poasia Tahun 2017.


Kendari: Puskesmas Poasia.

Riswanto, 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Yogyakarta: Kanal Media.

Sadikin, M., 2007. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.

Sudoyo. 2010. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Depertemen Ilmu Penyakit
Dalam. Fakultas Kedokteran.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian. Bandung: CV. Alfa Beta.

Sylvia, A dan M. Wilson, 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam Patofisiologi Konsep


Klinis Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Widayanti, 2008. Analisis Kadar Hemoglobin Pada Anak Buah Kapal PT. Salam
Pacific Indonesia Lines di Belawan Tahun 2007. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Wulandari. 2008. Pengobatan Tuberkulosis. Jakarta: Hipokrates.


2
2
DOKUMENTASI PENELITIAN

Pengambilan sampel darah

Sampel darah Penambahan aquades

3
Pengamatan hasil hb mengunakan alat hb sahli

4
5
6

Anda mungkin juga menyukai