Makalah Intermediate Training (LK Ii) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Medan Judul
Makalah Intermediate Training (LK Ii) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Medan Judul
OLEH:
TAUFIK KURNIAWAN
HMI KOMISARIAT FAKULTAS EKONOMI USU - CABANG MEDAN
i
Kata Pengantar
Alhamdulillah puji - syukur atas nikmat dan hidayah Allah swt yang senantiasa
memberi kita kesehatan dan kemampuan menalar untuk merealisasikan tugas ke
khalifaan di muka bumi. Shalawat dan salam semoga tak lupa kita haturkan kepada
Nabi Muhammad Saw, seorang intelek murni yang mampu menerjemahkan kekuatan
langit yang diutus untuk meluruskan akhlak kader Hmi dan ummat manusia.
Ucapan terimah kasih terkhusus kepada orang tua saya, yang telah
mendukung saya secara moral dan materiil sehingga saya bersemangat untuk
melanjutkan jenjang pengkaderan di Hmi. Dan terimah kasih dan hormat kepada
seluruh “insan akademis, pencipta dan pengabdi” Hmi Komisariat Fakultas Ekonomi
USU-Cabang Medan, baik kanda maupun yunda yang telah mendidik dan
menyalurkan pengetahuaannya kepada saya. Terimah kasih.
Wassalam
Yakin Usaha Sampai
Penyusun
Taufik Kurniawan
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................. ........ 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................... ........ 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................... ........ 4
BAB II ISI
2.1 Pengertian fitrah manusia dalam perspektif Al – Qur‟an dan Hadits
(Islam)
2.1.1. Defenisi ..................................................................... 5
2.1.2. Eksistensi Fitrah Manusia ................................. ......... 6
2.2 Pandangan Alqur‟an dan Hadist (Islam) tentang Ilmu,
Pengetahuan, dan Teknologi ......................................... ......... 9
2.2.1 Ilmu dalam Perspektif Alqur‟an dan Hadist ................. 9
2.2.2 Pandangan Ulama tentang Pentingnya Ilmu .............. 11
2.3 Pandangan Ulama tentang kewajiban umat Islam menuntut
Ilmu dan menguasai IPTEK ....................................................... 13
2.4 Konsep IPTEK dalam melaksanakan tanggugjawab sosial
dan kerja kemanusiaan (amal shalih) ........................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama rahmatan lil „alamin artinya Islam merupakan agama yang
membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk
hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam
Alqur‟an yang berbunyi; “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS: Al-Anbiya:107) [1]. Islam adalah agama
yang selaras dengan perubahan dan perkembangan zaman. Ditengah era globalisasi
sekarang ini umat manusia semakin banyak ilmuan menemukan teknologi bagi
kemajuan peradaban dunia. Pada masa sekarang ini menuntut ilmu adalah sebuah
kewajiban jika tidak ingin tertinggal dan terperosok ditengah maraknya perang ideologi
sosialisme, komunisme, dan liberalisme dan praktek sistem ekonomi kapitalis yang
cenderung tidak mementingkan kesejahteraan umat manusia melainkan hanya
berpihak pada segelintir kaum elit pemodal. Tentu saja itu bertentangan dengan ajaran
islam yang menerapkan sistem ekonomi berazaskan keadilan dan kesejahteraan umat
yang diterangkan Allah dalam Alqur‟an yang berbunyi; “wahai orang-orang yang
beriman janganlah kalian saling memakan harta-harta kalian diantara kalian dengan
cara yang bathil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha dan janganlah
kalian membunuh diri-diri kalian sesungguhnya Allah itu maha pengasih sayang
kepada kalian” (QS: An-Nisa:29).[2]
Islam mengalami abad kejayaan yang dibuktikan oleh penemuan-penemuan
kaum muslimin seperti penemu penemu teori Relativitas Al-Kindi (abad ke 2H/8M),
penemu teori aljabar Al-khawarizmi (abad ke 3H/9M), dan juga penemu operasi bedah
Al-Zahrawi (abad ke 4H/10M). Penutupan pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil
dan bebas) selama abad ke 4H/10M dan 5H/11M. telah membawa kepada kemacetan
umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual, khususnya yang pertama [3].
[1]QS: Al-Anbiya:107
[2] QS: An-Nisa:29
[3] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka
Firdaus), 510.
Pengucilan dalam menempuh ilmu intelektual yang dianggap sekuler dan lebih
mengarah ke ilmu filsafat dan juga seperti yang dibawa oleh sufisme membuat
degradasi peradaban umat muslim dari sendi pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya
seperti kehancuran besar yang dialami oleh kota Baghdad dan Granada sebagai
pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan islam. Sebaliknya ilmu pengetahuan dipelajari
dan dikuasai kaum barat pada era barat pertengahan yang memajukan peradaban di
eropa yang tercetus pada revolusi industri di abad ke-18.
Bagi kaum muslimin menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban bagi tiap-tiap
muslim baik laki-laki maupun perempuan seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw
yang berbunyi: “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam” [4]. Manusia
sungguh memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya. Allah menciptakan
manusia dalam bentuk yang paling sempurna [5]. Meskipun demikian, manusia juga
berpotensi untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling hina. Perbuatan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar yang menjadi pembedanya. Potensi inilah yang menjadikan
manusia sangat disayang oleh Allah. Di antara bukti kasih sayang-Nya adalah
penciptaan alam semesta ini. Alam sengaja diciptakan oleh Allah dengan penuh
keseimbangan dan keteraturan, bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini
terkait dengan kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi
ini), karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar manusia
dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.
Manusia, sebagai makhluk Allah Swt, memiliki sifat fitrah (kesucian) dan hanif
(cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan dengan ikrar kesaksian pada
ketauhidan [6]. Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan senantiasa
beriman kepada Allah. Namun Allah tidak membiarkan manusia berkata seperti itu
begitu saja. Allah akan menguji kebenaran janji mereka. Ujian keimanan itu adalah
menjadi makhluk penghuni bumi. Lantas Allah juga membekali manusia dengan hati,
akal, dan nafsu untuk menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang
menempatkan manusia layak menerima amanat “khalifah Allah Swt di muka bumi ini”.
9[7]
[4] Lihat Hadist Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin
Malik
[5] Lihat QS At-Tin:4-6
[6] Lihat QS: Al-A’raf:172
[7] Lihat QS: Al-Baqarah: 30
[8] Nurcholis Madjid - Islam Doktrin & Peradaban ( Paramadina, 1992) hal 305
[9] Murthada Mutahhari - Perspektif Al – Qur’an Tentang Manusia dan Agama, (Mizan, 1992)
hal. 60
1. Bagaimana pemahaman fitrah manusia sebagai khalifah fil-ardh dalam Alqur'an dan
Hadist?
2. Bagaimana pemahaman al-Qur‟an tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi?
3. Kenapa setiap muslim wajib menuntut ilmu dan menguasai IPTEK?
4. Bagaimana konsep IPTEK dalam melaksanakan tanggugjawab sosial dan kerja
kemanusiaan (amal shalih)?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian fitrah manusia dalam perspektif Al – Qur’an dan Hadits (Islam)
2.1.1 Defenisi
Fitrah, secara etimologis berasal dari kata (fi‟il) fathara, berasal dari bahasa arab
yang berarti asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar. Fitrah dengan arti asal
kejadian bersinonim dengan kata ibda‟ dan khalq [10]. Menurut M. Quraish Shihab,
istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang berarti belahan. Dari makna ini, lahir
makna – makna lain, yakni “pencipta” atau “kejadian” [11]. Dalam Ensiklopedia Islam,
Fitrah manusia atau asal kejadiaannya sebagaimana diciptakan Allah SWT, menurut
ajaran islam, adalah bebas dari noda dan dosa seperti bayi yang baru lahir dari perut
ibunya. Fitrah dengan arti asal kejadian dihubungkan dengan pernyataan seluruh
manusia sewaktu berada di alam arwah yang mengakui ketuhanan Allah swt seperti
yang digambarkan dalam surah Al-A‟raf ayat 172 – 173. Selain itu, fitrah juga dengan
arti agama yang benar yakni agama allah swt, adalah arti yang dihubungkan sebagian
penafsir Al-Qur‟an dengan kata fitrah dalam surah Ar-Ruum ayat 30 [12],
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada fitrah
Allah (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
[10]Ensiklopedia Islam vol. 2 (Fas-Kal) (PT Icthiar baru Van Hole, Jakarta 2003) hal. 20 – 21
[11] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Mizan, Cetakan ke VII – 1998) hal. 283
[12] Yayasan Penerjemah/penafsir Al – Qur’an (Percetakan Al – Qur’an Khadi al Haramain asy
Syarifaian Raja Fahd Madinah) Hal.645
Ada pula yang menafsirkan agama yang lurus (benar) disini sebagai agama
Islam, dengan alasan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia [13].
Dalam Al-Qur‟an kata fitrah disebutkan sebanyak 20 kali, terdapat dalam 17
Surah dan dalam 19 Ayat, dengan berbagai makna dan pengertian. Ada dalam bentuk
madhi, fiil, mudhari, isim fail, isim maful dan isim mashdar [14]. Dari 20 kali penyebutan
kata atau istilah fitrah dalam Al-Qur‟an , hanya satu Ayat saja yang menggambarkan
fitrah secara jelas dan mudah dipahami, yakni dalam Al-Qur‟an Surah Ar – Ruum ayat
30 [15]. Sejalan dengan pengertian itu, M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa dalam
Al-Qur‟an kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan
kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit.
Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa
penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia [16].
Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dari khalq (Penciptaan) Allah
[17].
Adapun pengertian fitrah menurut sunnah atau perkataan Nabi Muhammad
SAW ialah, diriwayatkan dari Abu Huraira r.a Nabi Muhammad SAW bersabda
“bukankankah aku telah menceritakan kepada mu pada sesuatu yang Allah
menceritakan kepada ku dalam Kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak
cucunya untuk berpotensi menjadi orang – orang Islam” [18]. Oleh karena itu, anak
kecil yang meninggal dunia akan masuk surga, karena ia dilahirkan dengan din al-
islam walaupun ia terlahir dari kelurga non- muslim.
suci ramadhan selama kurang lebih 30 hari secara ikhlas disertai amal saleh, kerap
disebut kembali menjadi fitrah. Konon Sahabat Nabi Ibnu Abbas tidak tahu persis
makna kata father pada ayat – ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi
sampai ia mendengar pertengkaran kepemilikan satu sumur. Salah seorang berkata,
“Ana fathar tuhu”. Ibnu abbas memahami kalimat ini dalam arti, “Saya yang
membuatnya pertama kali”. Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini
digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Fitrah manusia adalah
kejadiaanya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya [20].
Penjelasan Al-Qur‟an secara metaforis (alegori – analogi) perihal fitrah manusia,
dijelaskan secara terminologis Sya‟ri, oleh para ulama berbeda pendapat. Sebagaian
ulama mengartikan fitrah sebagai keadaan pertama dimana Allah SWT menciptakan
manusia. Yaitu, keadaan pertama kali Allah SWT menciptakan manusia menurut
fitrahnya, yang meliputi kehidupannya, kematiaannya, kebahagiaannya,
kesengsaraannya, sampai manusia itu kembali kepada-Nya setelah masanya di dunia
itu habis. Dalam konteks ini, maka fitrah manusia mempunyai arti yang berdekatan
dengan Qadha dan Qadar. Adapula ulama mengartikan fitrah sebagai sifat penuh
keikhlasan atas segala ketentuan Allah, sebagaimana pertama kali Allah SWT
menciptakan manusia. Lebih dari itu, menurut Ibnu Taimiyah, fitrah adalah naluri yang
merupakan daya bawaan manusia sejak dilahirkan. Daya itu terdiri dari daya intelek
(„aqli), daya nafsu (syahwah) dan gaya pemarah (al-ghadab) [21].
Prof.Dr. Nurcholis Madjid atau akrab disebut Cak Nur, memberi penjelasan Fitrah
secara konseptual, yang menurutnya Konsep fitrah yang berarti kesucian primordial
atau asal, mengajarkan bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh dihukum
bersalah atau buruk, sebelum terbukti melakukan suatu tindakan atau pekerjaan
buruk/jahat. Sikap demikian juga sejalan dengan ajaran islam tentang konsep
kehanifan (hanif) yakni konsep yg mengajarkan bahwa pada diri manusia ada sebuah
gerakan atau dorongan halus yang membuat manusia mencintai dan merindukan
kesucian. Inilah yang dimaksud fitrah yang tidak akan pernah berubah. Selain itu,
Fitrah sbenarnya adalah kejadian, dalam hal ini adalah kejadian asal yg suci.
Penciptaan manusia sebagai makhluk yg baik merupakan ketetapan untuk selamanya.
Artinya sampai kapanpun sifat manusia tetap akan seperti itu. Hal ini kemudian
dianggap filsuf muslim yang menjadi suatu ajaran perennial wisdom, bahwa kehanifan
dan fitrah menghasilkan suatu wisdom, hikmah, Fitrah yang hanif [22].
Cak Nur, memberi pengertian fitrah hampir sejalan dengan istilah Khanif yang dalam
pemahamannya, adalah sebuah gerakan halus disertai kecintaan yang senantiasa
berkeinginan suci, baik dan benar. Meskipun demikian Fitrah manusia tidak serta –
merta memasung kemerdekaan manusia. Manusia memiliki potensi untuk mengikuti
kebaikan, kesucian dan kebenaran serta sebaliknya, dapat menolak kecenderungan
tersebut. Seperti berpotensi mengendalikan hasrat naluriahnya dan mengubah arah
kecenderungannya. Fitrah yang merupakan suatu kualitas bawaan, esensi dan
karakter sejati yang khusus ada pada manusia, karena Fitrah menjadi pembeda
manusia dengan makhluk lainnya, oleh karenanya diwajibkan pedoman dalam gerak
fitrah tersebut sehingga tidak menciptakan gerak kebatilan atau gerak kemunkaran
yang menyisihkan gerak kesucian Fitrah manusia.
Pendapat lain juga menyebutkan bahwa, fitrah manusia jalin – menjalin dengan
naluri atau bawaan, dan karena itu tidak lama eksistensinya dan segera berakhir, sirna
atau berubah [23]. Keterjalinan antara naluri dan fitrah manusia salah satu contohnya
adalah bawaan atau naluri manusia yang memiliki kecenderungan untuk mengetahui,
naluri untuk mempertahankan eksistensi dan naluri akan suatu hal yang estetis (indah).
Hal tersebut mencerminkan fitrah manusia sejak lahirnya, yang salah satunya seperti
pendapat Ibnu Taimiyah diatas yaitu daya intelektual (mengetahui). Tetapi apakah
fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? jelas tidak. Bukan saja karena
redaksi ayat mengenai fitrah tersebut (Ar-Ruum:30), tidak dalam bentuk pembatasan
tetapi juga kerena masih ada ayat – ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan
potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fitrah. Seperti misalnya pada
Surah Al-Imran ayat 14 [24]. Namun naluri tersebut (fitrah), terkadang melampaui
dengan apa yang semestinya oleh perintah Agama atau dalam kata dan pengertian
lain, tidak terkontrol sehingga melebihi proporsionalitas yang ditentukan dan bahkan
menjadi berhala yang dimana Kita tunduk serta patuh pada berhala nafsu.
Menjadikan acuan fitrah dari semua pengertian yang tertulis diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa fitrah manusia adalah asal kejadian yang telah menjadi
bawaan, yang senantiasa memiliki kecenderungan pada kesucian. Manusia memiliki
[22] Budy Munawar – Rachman - Ensiklopedia Nurcholis Madjid, Jilid 1 (Mizan, 2006) hal. 710 –
713
[23] Ibid., Intisari Islam, hal. 171
[24] Ibid., Ensiklopedia Nurcholis Madjid, Jilid 1, hal. 713
potensi kepada sikap, tindakan, dan sifat yang lurus dan dipahami sebagian Ulama
sebagai bentuk sunnatullah manusia akan rasa ingin tahu, nafsu dan eksistensi diri.
Disamping itu, fitrah tidak hanya sebatas pada wilayah keagamaan karena potensi
bawaan manusia juga bukan pada suatu hal yang sifatnya ruhani, melainkan juga
bawaan pada sesuatu yang sifatnya materiil (makan – minum, berhubungan badan dan
sebagainya).
2.2 Pandangan Alqur’an dan Hadist (Islam) tentang Ilmu, Pengetahuan, dan
Teknologi
2.2.1 Ilmu dalam perspektif Alqur’an dan Hadist
Ilmu adalah isim masdar dari „alima yang berarti mengetahui, mengenal,
merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau
bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali
dalam Alqur‟an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek
pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk
dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan
merupakan bagian penting dari ilmu. [25]
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang terbaca dalam pustaka
menunjuk sekurang-kurangnya pada tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan
metode. Diantara para filosof dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa
ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan [26]. Jadi pada
umumnya ilmu diartikan sebagai sejenis dengan pengetahuan, akan tetapi tidak semua
pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu. Karena mungkin saja pengetahuan tersebut
tidak berdasarkan pada metode ilmiah.
Pandangan AlQur‟an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-
prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling
pemurah, Yang mengajar ( manusia ) dengan perantaraan Kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya”. (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).
[25] Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an, (Yogyakarta : UII Press, 2000),
hlm. 27.
[26] Ibid, hlm. 26.
Surat Al-Alaq 1-5 merupakan dasar sains dan teknologi dalam Islam. Allah
memerintahkan kita membaca, meneliti, mengkaji dan membahas dengan kemampan
intelektual. Surat ini merangsang daya kreativitas untuk berinovasi, mengembangkan
keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki manusia. Kewajiban membaca dan
menulis (memperdalam sains dengan meneliti) menjadi interen Islam dan penguasaan,
dan keberhasialan suatu penelitian atas restu Allah. [27]
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik,
dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra‟ berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri
sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Artinya, objek perintah iqra‟ mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar
menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-
ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal
kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan
bismi Rabbik akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang
dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra‟ wa rabbukal akram
(Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah
diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum
diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha
manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia.
Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. inilah yang
disebut ilmu laduni.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural, orang mengumpulkan
pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau
pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup seperti manusia, binatang,
dan tumbuhan, maupun yang tak bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, lautan,
dan benda-benda yang mengelilingi kita [28]. Secara lebih rinci pengamatan-
[27] Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam Tinjauan Genetis dan Ekologis,
(Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 11-12.
[28] A. Baiquni, op.cit., hlm. 1.
pengamatan benda disekitar kita dapat penulis paparkan pada bagian hakikat ilmu
pengetahuan. Dimana hakikat tersebut mempunyai keterpaduan antara sains dengan
Al qur‟an.
[29] An-Nawawi, Majmu’ syarah al muhadzdzab, (Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 20)
[30] Al Ghazali, op.cit., (maktabah syamilah, juz 1, hlm 7)
[31] Al Ghazali, op.cit., Juz 1, hlm. 6
mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi
kehidupan manusia.
ilmu adalah sesuatu yang mulia yang wajib dicari oleh setiap manusia.
Disamping itu manusia memliki naluri yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Dua
keinginan yang tidak akan pernah puas, yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan
menuntut harta.
Ketidakpuasan pencarian ilmu selain untuk membuktikan kebenaran Alqur‟an
secara ilmiah juga untuk membentuk karakter seseorang agar bisa mendapatkan
keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sementara
ketidakpuasan pencarian harta dimana penggunaan ilmu tidak pada semestinya maka
hanyalah akan menjuruskan pada madhorot.
Alqur‟an menjadikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mencapai kebenaran
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini, melainkan lebih jauh dari itu
adalah untuk mencapai keselamatan, ketenangan, serta kebahagiaan hidup dibalik
kehidupan dunia yang fana ini, yaitu kehidupan di akhirat. “Mereka hanya mengetahui
yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat
adalah lalai”. (QS. Ar-Rum : 6-7). “Bukankah akhirat itu lebih baik dari pada (yang)
pertama (dunia)”. (QS. Ad-Duha:3)
Penggunaan sains tergantung pada diri masing-masing bila penggunaannya
tidak sesuai dengan tujuannya akan mendatangkan madhorot, tapi bila penggunaan
yang tepat sasaran seperti halnya penemuan dan pengembangan teknologi akan
memberikan manfaat yang lebih besar pada kehidupan manusia dan hal ini akan
mendapat restu Allah.
Teknologi yang diciptakan dari hasil penelitian dan pengembangan sains akan
menciptakan sebuah kemajuan yang menguntungkan bagi setiap manusia dimuka
bumi. Teknologi akan mempermudah manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah fil-ardh. Dengan pemanfaatan teknologi manusia akan lebih efektif dalam
mengatur tatanan dan tata nilai yang dimana untuk menciptakan suatu peradaban
maju demi terciptanya kesejahteraan seluruh ornamen yang ada dimuka bumi. Yang
intinya teknologi adalah sebuah alat yang dipakai oleh manusia dalam mengatur
sebuah tatanan dan tata nilai yang efektif bagi keberhasilannya sebagai khalifah fil-
ardh.
2.3 Pandangan Ulama tentang kewajiban umat Islam menuntut Ilmu dan
menguasai IPTEK
Para ulama menyimpulkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib, sesuai dengan
jenis ilmu yang akan dituntut. Inilah hukum dasar menuntut ilmu, hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
ط با ا ا ٌضةاع ىاكلا س ا
Artinya: “Menunut ilmu hukumnya wajib bagi orang islam (HR. Ibnu Majjah)
Peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan
ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang
tidak berpengetahuan.
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang menyatakan tiada yang berhak disembah
selain Allah adalah dzat Allah sendiri, lalu para malaikat dan para ahli ilmu.
Diletakkannya para ahli ilmu pada urutan ke-3 adalah sebuah pengakuan Allah SWT,
atas kemualian dan keutamaan para mereka.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
semakin berantakan. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi
harus mengedepankan pada etika konsep keilmuan selalu mengacu kepada elemen-
elemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan
norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan
tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Manusia hidup di zaman yang terus bergerak menuju modern. Sebagai khalifah
yang diserahi tugas mengelola dunia, manusia harus bekerja sesuai dengan
kebutuhan modern. Ia harus mengarahkan orientasi berpikir kedepan, menuju
kemodernan yang, antara lain, diwarnai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Islam harus menempatkan diri sesuai dengan perkembangan waktu dan zaman, yang
juga akan bergerak kearah kemodernan. Islam diyakini akan dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan zaman modern, karena Islam itu sendiri mengandung niloai-nilai yang
mendukung modernisasi. Islam secara inheren dan aslinya adalah agama yang selalu
modern. Begitu juga dengan pemikiran keIslaman-keIndonesiaan HMI, yang dalam
setiap aspek pemikirannya, mengandung nilai-nilai modern; seperti di bidang politik,
pendidikan, ekonomi, kebudayaan, pembinaan generasi muda, dan
kemahasiswaan.[33]
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, sebuah keniscayaan juga bagi umat
muslim menuntut ilmu untuk melakukan reorientasi visi dan misi dalam berkarya dan
berinovasi, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan selalu
memberikan yang terbaik bagi peradaban dengan tetap memelihara aturan agama,
etika dan estetika. Hal tersebut karena ilmu itu “tidak bebas nilai”, di samping ilmu
pengetahuan dan teknologi berhadapan pada konteks kehidupan. Etika atau moral dan
estetika yang menjadi ajaran dasar agama harus tertanam dalam diri setiap umat
muslim, supaya mempunyai landasan moral dalam melakukan aktifitas keilmuannya,
sehingga umat muslim mampu memberikan yang terbaik bagi umat dan lingkungan
dikarenakan tugasnya sebagai khalifah fil-ardh, serta mampu dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah Swt. Dalam konteks Islam ilmu pengetahuan dan arah
pengembangannya menuju kemaslahatan umat telah banyak di atur dalam al-Qur‟an
dan Sunnah Nabi. Bahkan orang yang mencari ilmu, mempunyai ilmu dan
mengamalkannnya dengan baik akan mendapatkan penghargaan istimewa dari Allah
Swt. Di dalam al-Quran, kata ال ع لمdiantaranya tersebar dalam lima surah yaitu surah
al-Ahqaf ayat 23, Muhammad ayat 16, an-Najm ayat 30, al-Mujadillah ayat 11 dan al-
Mulk ayat 26. Ayat-ayat tersebut berkaitan dengan ilmu Allah tentang segala sesuatu
dan penghargaan Allah kepada orang yang menguasai ilmu pengetahuan. Hadits-
hadits Rasulullah yang menyatakan penghargaan terhadap ilmu cukup banyak. Orang
yang memiliki ilmu dan mengajarkannya disamakan dengan Rabbani yaitu orang yang
memanfaatkan ilmunya untuk mendidik orang lain sampai ia berperilaku dewasa.
Dalam pandangan Islam ilmu pengetahuan bernilai sakral. Kesakralannya, karena
berasal dari Allah Swt dan mengfungsikannya untuk kepentingan umat mendapat gelar
rabbani. Terjadinya desakralasisasi ilmu pengetahuan karena memotong pengetahuan
dari akarnya. Ketika ilmu tidak kembali ke akarnya maka ilmu itu akan menjadi bebas
nilai. Dalam perspektif Islam, semua ilmu tolok ukur kebenarannya adalah al-Qur‟an,
as-Sunnah dan realitas. Realitas dalam hal ini adalah sekaligus yang wujud,
pengetahuan dan kebahagiaan. Ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang
mendalam dengan realitas yang pokok dan primordial yaitu Yang Maha Suci, dan
menjadi sumber dari segala yang suci. Wawasan tentang Yang Maha Suci telah
menghilang dari konsepsi Barat tentang ilmu pengetahuan. Sementara dalam Islam
menjadi teori sentral al-Qur‟an. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Barat
dan cara berpikir Islam adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir
yang dilandasi keyakinan bahwa Allah Swt menjadi sumber dari semua yang maujud.
Dan dalam semua yang maujud itu termasuk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
tujuan ilmu pengetahuan adalah kesadaran akan adanya Yang Maha Suci, maka ilmu
harus disertai dengan perbuatan yang bernilai suci supaya manusia terhindar dari
perbuatan tercela sebagai simbol kebodohan. Sekaitan dengan itu Allah menyatakan:
ق ال ان ما ال ع لم ع ندهللا واب ل غ كم ما ار س لت ب ه
32:)ول ك ني اري كم ق وما ت جه لون )االح قاف
Artinya: “Ia berkata “Sesungguhnya ilmu itu disisi Allah, dan saya menyampaikan
kepadamu apa yang ditugaskan kepadaku, dan aku melihat kamu adalah kaum yang
bodoh (al-Ahqaf : 23)
lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau
ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan
manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini, ilmu pengetahuan itu
untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang,
karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi.
Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia utuk mengatasi berbagai masalah,
seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya.
Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara
keseluruhan. Dengan demikian menjadi visi kita bersama untuk menciptakan
masyarakat madani, masyarakat adil, makmur yang diridhai allah Swt.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian, fitrah manusia adalah ketetapan atau bawaan manusia yang
suci. Fitrah dengan arti asal kejadian dihubungkan dengan pernyataan seluruh
manusia sewaktu berada di alam arwah yang mengakui ketuhanan Allah swt seperti
yang digambarkan dalam surah Al - A‟raf ayat 172 – 173. Asal kejadian tersebut tidak
pernah berubah hingga manusia kembali – Nya. selain itu fitrah juga dikaitkan dengan
Islam sebagai agama yang sesuai atau tepat dengan naluri kemanusiaan dalam
perkata lain Islam sangat manusiawi, yang mencintai kesucian, kebenaran dan
keindahan.
Penciptaan manusia diutus tidak lain dan tidak bukan sebagai pewaris bumi
atau wakil Tuhan di bumi. Disebut sebagai tugas kekhalifaan untuk merawat, menjaga
dan melestarikan bumi, dengan petunjuk wahyu Allah dan potensi akal manusia. Tugas
kekhalifaan yang ideal adalah dimana kehidupan duniawi dan ukhrawi, bukan
merupakan dikotomi atau sesuatu yang terpisah akan tetapi, adalah satu kesatuan
yang berorientasi pada pencapaian Ridho Allah SWT.
Menurut konsep al-qur‟an sekurang-kurangnya ada lima syarat Khalifah
yang harus dikembangkan, yaitu sebagai berikut :
a) Beriman dan bertaqwa (QS. Al- A‟raf: 96)
b) Berilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadilah: 11)
c) Mempunyai kemampuan menyusun perencanaan dan evaluasi (QS. Al-
Hasyr: 18)
d) Mempunyai kekuatan mental melaksanakan kegiatan (QS. Al-Baqarah: 147)
e) Mempunyai kesadaran dan tanggung jawab moral, serta mau menerima
kritik (QS. As-shaf: 2-3)23[23][10]24[2]
sebagai visi dan misi perjuangan tentu peradaban dunia akan menapaki era emas, di
mana nilai-nilai kemanusiaan terjaga dan sarat nilai ketuhanan. Untuk itu, dalam
konteks ini agama, etika, estetika, dan aturan adat harus tetap terjaga. Jangan sampai
pengembangan ilmu pengetahuan menganut konsep barat yang sekuler dan
antroposentris yang bisa membuat dunia semakin berantakan dan gersang nilai
ketuhanan.
Setiap umat muslim wajib menuntut ilmu dan melakukan pengembangan
terhadap ilmu pengetahuan demi meciptakan sebuah penemuan dan teknologi bagi
kemaslahatan umat di dunia. Hal ini merupakan wujud implementasi yang nyata bagi
umat muslim mengenai esensi ajaran islam sebagai khalifah fil-ardh. Ketika teknologi
diciptakan dan dipakai oleh manusia seluruh dunia demi menciptakan sebuah
peradaban yang maju, tatanan sosial yang baik, dan keadilan sosial. Keadilan sosial
maupun keadilan ekonomi dalam masyarakat, hanya dapat terwujud apabila ada
kesadaran akan tugas kekhalifaan yang dimandat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
21. Sahirul Alim, “Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam”. Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 1998.
22. An-Nawawi, “Majmu’ syarah al muhadzdzab”, (Maktabah Syamilah, juz 1).
23. Al Ghazali, op.cit., (maktabah syamilah, juz 1, hlm 6 & 7).
24. Al-Ghazali, “Ihya’ Ulum al-Din”, (maktabah syamilah, juz 1, hlm 5).
25. Solichin, “HMI Kawah Candradimuka Mahasiswa”, Jakarta : PT Sinergi
Persadatama Foundation, 2010, cet-1.
26. Ali Abdul Azhim, “Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan Perspektif Al-
Qur’an”, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1989.
27. Nurcholish Madjid, “Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan”, Bandung : Penerbit
Mizan, 1987.
28. Fauzi & Mochammad, “Menjawab Tantangan Zaman”, Jakarta : Penerbit PB HMI,
1996.
29. Muhammad Baqir Ash – Shadr, “Problematika sosial dunia modern” Rausyan
Fikr Institute, 2011.
30. Harun Nasution, “Iptek Berwawasan Moral dalam Perspektif Filsafat dan
Pemikiran Islam”, dalam makalah seminar Iptek Berwawasan Moral di IAIN 8
Agustus 1996.
31. Murthada Mutahhari – “Keadilan Ilahi”, PT Mizan Pustaka (Mizan, 2009).
32. Azyumadi Azra, “Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta, dan Tantangan”,
Bandung : Penerbit PT Remaja Rosda Karya, 1999.