Anda di halaman 1dari 8

Patofisiologi Edema

Edema terjadi pada kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik


kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik
interstisial atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peranan
sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume
cairan ekstraselular melalui pengaturan eksresi natrium dan air. Hormon
antidiuretik disekresikan sebagai respon terhadap perubahan dalam volume darah,
tonisitas dan tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.

Konsep volume darah arteri efektif (VDAE) didefiniskan sebagai volume


darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah
arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi dimana rasio curah jantung
terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang
pada kondisi terjadi pengulangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi),
penurunan curah jantung (gagal jantung), atau peningkatan kapasitansi pembuluh
darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkurang dalam
keadaan volume darah aktual rendah, normal atau tinggi.

Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air,
mekanisme ini melibatkan :

1. Penurunan aliran darah ginjal


Penurunan VDAE akan mengaktivasi reseptor volume pada pembuluh darah
besar, termasuk low preasure baroreceptor, intrarenal receptors sehingga terjadi
peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah ginjal. Jika
aliran darah ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan menahan
natrium dan air melalui mekanisme :
1) Peningkatan reabsorpsi garam dan air ditubulus Proksimalis
2) Peningkatan reabsorpsi natrium dan air tubulus distalis
2. Sekresi hormon Antidiuretik ( ADH )
Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri
besar dan hipotalamus aktivasi reseptor ini akan merangsang pelepasan ADH
yang kemudian mengaikbatkan ginjal menahan air.

A. Penyebab Umum Edema


Penyebab umum edema adalah :
a. Penurunan tekanan osmotik :
1) Sindrom nefrotik
2) Sirosis hepatis
3) Malnutrisi
b. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein :
1) Angioneurotik edema
c. Peningkatan tekanan hidrostatik :
1) Gagal jantung kongestif
2) Sirosis hepatis
d. Obstruksi aliran limfe :
1) Gagal jantung kongestif
e. Retensi air dan natrium :
1) Gagal ginjal
2) Sindrom nefrotik

B. Pembentukan Edema pada Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik adalah kelainan golmerulus dengan karakteristik
proteinuria (kehilangan protein melalui urin >3,5 g/hari). Hipoproteinemia,
edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrome nefrotik juga mengalami
volume plasma yang meningkat sehubungan dengan defek interistik
eksresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrome nefrotik
berhubungan dengan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan
tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskuler ke
interstisium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,
kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat sehingga volume
plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal
yang juga merangsang retensi natrium.

C. Pembentukan Edema pada Gagal Jantung Kongestif


Gagal jantung kongestif ditandai dengan kegagalan pompa jantung, saat
jantung mulai gagal memompa darah, darah akan terbendung pada sistem
vena dan pada saat yang bersamaan volume darah pada arteri mulai
berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada VDAE)
akan direspon oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang akan
memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi
sebagai usaha untuk mepertahankan curah jantung yang memadai. Akibat
vasokontriksi tersebut maka suplai darah akan diutamkan ke pembuluh
darah otak, jantung dan paru, sementara ginjal dan lainnya mengalami
penurunan darah. Akibatnya VDAE akan berkurang sehingga ginjal akan
menahan natrium dan air.. komdisi gagal jantung yang sangat berat juga
kan menjadi hiponatremia, ini terjadi karena ginjal lebih banyak emnahan
air dibanding natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat dengan
cepat dan akan terjadi pemekatan urin.
D. Terapi edema
Terapi edema harus menyangkut penyebab yang mendasarinya
yang reversibel (jika memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus
dilakukan untuk meminimalisir retensi air. Tidak semua pasien edema
memerlukan terapi farmakologis; pada beberapa pasien terapi non
farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium dan
menaikkan kaki diatas level dari atrium kiri. Pada saat tertenti diuretik
harus diberikan bersama dengan terapi non-farmakologis.

Prinsip terapi edema :


1) Penanganan penyakit yang mendasari
2) Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun
intravena
3) Meningkatkan pengeluaran natrium dan air, Diuretik hanya sebagai
terapi paliatif bukan kuratif, tirah baring, local pressure
4) Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar : diuresis yang
berlebihan menyebabkan pengurngan volume plasma, hipotensi,
perfusi yang inadekuat, sehingga diuretik harus diberikan secara
hati-hati.

Pada pemberian furosemide oral, jumlah yang diabsrobsi sekitar 10-80% ,


sementara bumetanide, dan torsemide diabsorpsi hampir sempurna yaitu
berkisar 80 – 100%. Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid
memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dpat diberikan 1-2 kali
dalam sehari, sementara loop diuretic seperti bumetanid mempunyai waktu
paruh 1 jam, torsemide 3-4 jam sehingga pemberiannya harus lebih.

Plan :

Farmakologi :
R/ hidrochlorothiazide , 25 mg 1x sehari

Stop RL

Non farmakologi :

1) Diet natrium
2) Menaikkan kaki diatas level atrium kiri

Pembahasan :

Hidroklorotiazid mengandung tidak kurang dari 98,0% C7H8ClN3O4S2 dihitung


terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemberian : serbuk hablur, putih atau praktis
putih; praktis tidak berbau. Kelarutan : sukar larut dalam air (< 1 dalam 10.000),
mudah larut dalam larutan natrium hidroksida, dalam n-butilamina, dan dalam
dimetilfornamida; agak sukar larut dalam metanol; tidak larut dalam eter, dalam
kloroform, dan dalam asam mineral encer.

Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia; memperburuk diabetes dan pirai;


mungkin memperburuk SLE (eritema lupus sistemik); usia lanjut; kehamilan dan
menyusui; gangguan hati dan ginjal (hindarkan bila berat); porifiria.

Kontraindikasi : hipokalemia yang refaktur; hiponatremia; hiperkalsemia;


gangguan ginjal dan hati yang berat; hiperurikemia yang simtomatik; penyakit
addison.

Dosis : edema, dosis awal 12,5 – 25 mg sehari, untuk pemeliharaan jika mungkin
kurangi; edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretika
berat, awalnya 75 mg sehari.

Hipertensi dosis awal 12,5 mg sehari jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari..
Peringatan : penghentian pemberian thiazida pada lansia tidak boleh secara
mendadak, karena resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan peningkatan
tensi.

Efek samping :

a. Hipokalemia : yakni kekurangan kalium dalam darah. Semua diuretik dengan


titik kerja di bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion-K+ karena
ditukarkan dengan ion Na akibatnya kadar kalium plasma dapat turun di bawah
3,5 mmol/liter. Gejala kekurangan kalium ini berupa kelemahan otot, kejang-
kejang, obstipasi, anoreksia, kadang-kadang juga aritmia jantung tetapi gejala ini
tidak selalu menjadi nyata. Pemakaian HCTZ hanya sedikit menurunkan kadar
kalium.
b. Hiperurikemia : terjadi akibat retensi asam urat. Menurut dugaan, hal ini
disebabkan oleh adanya persaingan antar diuretikum dengan asam urat mengenai
transpornya ditubuli.
c. Hiperglikemia : dapat terjadi pada pasien diabetes, terutama pada dosis tinggi
akibat dikuranginya metabolisme glukosa berhubung sekresi insulin ditekan.
d. Hipernatriemia : kekurangan natrium dalam darah. Gejalanya berupa gelisah,
kejang otot, haus, letargi (selalu mengantuk), juga kolaps.

Hidroklorotiazid akan menghambat reabsorpsi Na pada cotransporter NaCl di


membran luminal. Penghambatan reabsorpsi ini akan mengurangi tekanan
osmotic pada ginjal, sehingga lebih sedikit air yang direabsorpsi oleh collecting
duct. Ini akan memacu peningkatan urin.

Hidroklorotiazid bekerja sebagai diuretik dengan mekanisme:


• Menghambat co-transporter Na+ / Cl
• Vasodilator
• Menghambat enzim karbonat anhidrase
Pembahasannya:

• Menghambat co-transporter Na+ / Cl

Obat-obat diuretik bekerja dengan cara memblok reabsorpsi Na+


(termasuk reabsorpsi Cl- ) pada tubulus distal dengan menghambat ikatan
membran luminal Na+/Cl- cotransport sistem.
Pada kondisi normal, terjadinya reabsorpsi Na+ Cl- dengan mekanisme sebagai
berikut : pada tubulus distal, adanya cotransport NaCl akan memindahkan Nacl
dari cairan luminal menuju ke sel tubulus distal. Cairan luminal Cl akan
dipindahkan ke atas, sedangkan cairan luminal Na akan dipindahkan ke bawah
oleh cotransporter tersebut. Reabsorpsi na terjadi secara lengkap ketika ikatan
membran antiluminal Na K+-ATPase diaktifkan akan memompa Na memasuki ke
interstitium melalui antiluminal membran. Cl yang terdapat dalam intraseluler
akan berpindah ke interstitium melalui saluran yang terdapat di membran
antiluminal.

Hidroklorotiazid akan menghambat reabsorpsi Na pada cotransporter NaCl di


membran luminal. Penghambatan reabsorpsi ini akan mengurangi tekanan
osmotic pada ginjal, sehingga lebih sedikit air yang direabsorpsi oleh collecting
duct. Ini akan memacu peningkatan urin.

Penurunan Na+ di otot polos menyebabkan penurunan sekunder pada


Ca2+ intraseluler sehingga otot menjadi kurang responsif. Hal ini akan
menyebabkan relaksasi otot polos arterior sehingga akan menurunkan resistensi
perifer yang menyebabkan penurunan tekanan darah.

• Menghambat enzim karbonat anhidrase

Menghambat enzim karbonat anhidrase sehingga mengalami ekskresi bikarbonat


dari cairan tubuler
Karbonat anhidrase adalah enzim yang berada dalam epitel tubulus ginjal
dan sel darah merah. Enzim ini mengkatalisis reaksi yang nampaknya sederhana
yang akan bergeser jauh ke kiri bila tanpa enzim: 2H2O + CO2 ↔ H2CO3 ↔
HCO3- + H3O+. Dalam ginjal, proton pada H3O+ ditukar dengan ion Na+ yang
akan diserap kembali. Karena itu, karbonat anhidrase berperan sangat penting
dalam menjaga keseimbangan ion dan air antar jaringan dan kemih. Bila zat
penghambat karbonat anhidrase menghalangi enzim tersebut di dalam ginjal,
maka ion Na+ dalam filtrat tidak dapat dipertukarkan, Na+ diekskresikan berama-
sama air sebagai akibat hidrasi ion dan efek osmosis.
Hidroklorotiazid mempunyai mekanisme aksi pada penghambatan kerja enzim
karbonat anhidrase. Adanya enzim karbonat anhidrase pada sel tubulus akan
mempermudah pembentukan ion bikarbonat. Sisi aktif dari enzim ini adalah
terdapat pada ion Zn2+. Ion ini akan berinteraksi dengan 2 sisi O yang ada dalam
ion bikarbonat.
Pada hidroklorotiazid, interaksi yang terjadi adalah pada sisi aktif enzim
karbonat anhidrase yaitu pada Zn2+. Pada hidroklorotiazid terdapat atom Cl yang
merupakan golongan halogen dimana golongan ini memiliki elektronegativitas
yang besar dibandingkan unsur golongan lain. Dengan kondisi bahwa Zn2+
memiliki kecenderungan elektropositif yang besar maka Zn2+ akan lebih
memillih terikat dengan Cl daripada dengan O. Unsur O pada golongan VIA yang
relatif kurang elektronegatif dibanding dengan Cl. Kemudian Zn2+ juga akan
terikat pada O yang berikatan rangkap dengan S secara koordinasi. Dengan
demikian Zn2+ akan membentuk kelat 5 ikatan.
Ketika enzim karbonat anhidrase lebih beraktivitas pada hidroklorotiazid,
maka ion bikarbonat yang terbentuk akan berkurang. Padahal ion ini yang akan
berhubungan dengan keberadaan Na+ dalam tubulus, dan lebih jauh lagi akan
cenderung bersifat menarik air. Saat keberadaan Na+ berkurang di dalam tubuh
maka air akan banyak dikeluarkan lewat urin.
Adanya benzen akan menstabilkan molekul. Dengan ikatan kovalen
koordinasi Zn2+ pada O ikatan rangkap, maka S juga akan dipengaruhi, maka
benzena akan melakukan resonansi untuk kestabilan molekul itu sendiri. Dilihat
dari strukturnya yang nonpolar, hidroklorotiazid akan lebih larut dalam lipid dan
kurang larut air sehingga bisa bekerja dengan lebih baik pada sel-sel tubulus
distal.

Anda mungkin juga menyukai