Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah terjadi sekitar 20% dari semua kasus
perdarahan gastrointestinal. Lower gastrointestinal bledding (LGIB) didefinisikan
sebagai perdarahan yang terjadi pada bagian distal dari ligamentum Treitz. Perdarahan
gastrointestinal dibagi menjadi tiga yaitu perdarahan bagian atas, tengah dan bawah.
(Abdul,2009) LGIB juga dapat didefinisikan sebagai hilangnya darah secara akut atau
kronis yang bersumber dari kolon atau rektum. LGIB akut terjadi kurang dari 3 hari
dan mungkin mengakibatkan ketidakstabilan tanda-tanda vital, anemia dan kadang-
kadang sampai memerlukan tranfusi darah. LGIB kronis terjadi beberapa hari atau
dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan perdarahan kronis dapat menunjukkan
gejala darah samar pada feses, anemia defisiensi besi, melena, hematochezia atau
maroon stool. Kejadian LGIB di AS berkisar antara kasus per orang dewasa. Di
Belanda, kejadian keseluruhan 9/ per tahun. LGIB banyak terjadi pada usia tahun, lebih
sering pada pria dibandingkan pada wanita. Perdarahan kolon memerlukan tranfusi
darah lebih sedikit dibandingkan dengan perdarahan usus halus. Perdarahan akut pada
saluran pencernaan bagian bawah berhenti secara spontan pada 80-85% pasien. Secara
keseluruhan angka mortalitas berkisar antara 2-4% (Abdul,2009).

Penyebab paling sering terjadinya perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah
inflammatory bowel disease, divertikel mekel, polip, neoplasma dan angiodisplasia
(Hidayat R,2013). Dikatakan bahwa kebanyakan kanker kolorektal berasal dari polip
adenomatus dan membutuhkan waktu sekitar 10 tahun bagi polip dengan ukuran <1cm
untuk berkembang menjadi kanker kolorektal invasif. Hal ini menunjukkan bahwa
polip adenomatus merupakan suatu prekusor kanker dan baik polip maupun stadium

1
awal kanker bersifat asimptomatik. Beberapa faktor risiko telah menunjukkan
peningkatan kecenderungan menderita kanker kolorektal. Faktor risiko yang dimaksud
antara lain: riwayat keluarga dengan kanker kolorektal atau adenoma, diet tinggi lemak
dan rendah serat, riwayat polip adenomatous atau kanker kolorektal, inflammatory
bowel disease, riwayat radiasi daerah pinggul dan specific hereditary cancer
syndromes. Tidak satupun dari faktor risiko diatas terbukti lebih dominan pada kaum
wanita dan kemungkinan kemunculan polip sama antara kedua jenis kelamin. Deteksi
dini berupa skrining untuk mengetahui kanker kolorektal sebelum timbul gejala dapat
membantu ditemukannya penyakit ini pada stadium awal. Bila polip ditemukan dan
segera diangkat, maka akan dapat mencegah terjadinya kanker kolorektal. Begitu juga
pengobatan pada kanker kolorektal akan lebih efektif bila dilakukan pada stadium dini
Saat ini, dikenal 5 macam metode skrining kanker kolorektal: Fecal Occult Blood Test
(FOBT), fleksibel sigmoidoskopi, kolonoskopi, double contras.

Barium enema, dan rectal toucher (RT) atau digital rectal examinations.
Kebanyakan pedoman skrining kanker kolorektal yang dianut saat ini,
merekomendasikan bahwa tidak ada satu skrining kanker kolorektalpun yang ternyata
lebih baik dari yang lain. Namun, Fecal Occult Blood Test (FOBT) tetap menjadi uji
skrining yang paling direkomendasikan oleh United States Preventive Services Task
Force and the Institute of Medicine, sebagai program skrining kanker kolorektal.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan umum
Agar Mahasiswa Mengetahui dan Memahami Asuhan Keperawatan pada
Perdarahan Percernaan Bagian Bawah Secara Umum.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah


Perdarahan saluran cerna bagian bawah didefinisikan sebagai perdarahan yang
berasal dari usus di sebelah bawah ligamentum treitz. Gejala perdarahan saluran cerna
bagian bawah pada umumnya berupa hematokezia atau perdarahan samar saluran cerna
(Jurnal Kesehatan Andalas. 2016).

Perdarahan saluran cerna bagian bawah memiliki gejala yang cukup bervariasi dari
hematokezia sampai perdarahan yang masif dengan syok. Perdarahan saluran cerna
bagian bawah akut didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari bagian bawah
ligamentum treitz dan menyebabkan ketidakstabilan dari tanda vital dan terkadang
ditandai dengan anemia dengan atau tanpa transfusi darah. Perdarahan saluran cerna
bagian bawah memiliki mortalitas sekitar 10-20% pada pasien lansia dan pasien
dengan kondisi komorbiditas. Pada orang lansia dengan perdarahan saluran cerna
bagian bawah lebih sering terjadi apabila menderita penyakit divertikulosis dan
penyakit vaskular lainnya. Dan perdarahan saluran cerna bagian bawah juga lebih
tinggi pada pria dibandingkan dengan perempuan (Cagir, 2011).

Pemahaman tentang patogenesis, diagnosis, dan perawatan perdarahan saluran


cerna bagian bawah telah mengalami kemajuan yang pesat. Pada pertengahan awal
abad ke-20. Neoplasma pada usus besar diketahui merupakan penyebab perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Pada tahun 1950-an, hal tersebut diketahui bahwa
perdarahan saluran cerna bagian bawah disebabkan oleh divertikulosis, tindakan
pembedahan dengan cara reseksi bowel segmen menghasilkan hasil yang
mengecewakan. Pasien yang telah mengalami prosedur ini menderita peningkatan
resiko perdarahan ulang yang lebih banyak (Cagir, 2011).

3
2.2 Anatomi dan Sistem Pencernaan
Anatomi dan Fisiologi Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut,
tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan
anus.

Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan yaitu :


1. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk
system pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh
selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung, terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut

4
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang
bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara
otomatis.
2. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam lengkung
faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung
kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak
bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga
mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana,
keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang
disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang sama
tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang sama tinggi dengan mulut
dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior
disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas
ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang
menghubungkan orofaring dengan laring.
3. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan
faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi
tiga bagian yaitu bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah
(campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari
otot halus).

5
4. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu
kardia, fundus dan antrium. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang
berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel
yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam klorida
(HCL), dan prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir melindungi
sel – sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida menciptakan
suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein.
Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi
dengan cara membunuh berbagai bakteri.
5. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus terdiri dari
lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang
dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
a. Usus Dua Belas Jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian
usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari
bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum treitz. Usus dua belas jari
merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput
peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan.

6
Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan
kantung empedu. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari
(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk
ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna
oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada
lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
b. Usus Kosong (Jejenum)
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus
dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa,
panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter adalah bagian usus
kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan
terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus
c. Usus Penyerapan (Illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2- 4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH
antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12
dan garam empedu.
d. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon
asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid
(berhubungan dengan rektum). Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus
besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat
gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa

7
penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri
didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan
dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
6. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di
tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh
dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam
rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus
besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang
dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak
yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting
untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan
sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot
sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang
merupakan fungsi utama anus (Pearce, 1999).

8
2.3 Etiologi
Berikut adalah etiologi dari perdarahan saluran cerna bagian bawah :
2.3.1 Divertikulosis
Penyakit divertikular di sebelah kanan jarang ditemukan di dunia belahan
barat. Frekuensi penyakit ini dilaporkan kira-kira sebanyak 1-2% dari sampel di
Eropa dan Amerika, tetapi di Asia dijumpai sebanyak 43-50%. Kontroversi pun
muncul sebenarnya dari manakah asal mula divertikel tersebut. Divertikula di
sebelah kanan terjadi lebih sering pada pasien yang lebih muda. Kebanyakan
divertikula kolon didapat dari lingkungan. Kelainan ini ditandai dengan
hernisiasi dari mukosa dan mukosa muskularis ke dinding usus. Biasanya akan
tampak suatu lapisan submukosa yang tipis yang mendesak bagian yang terlemah
dari muskulus propia dan berakhir di usus bagian subserosa. Titik yang lemah ini
merupakan tempat masuknya pembuluh nutrisi dari mukosa usus.

Divertikula secara umum dihubungkan dengan peningkatan tekanan


intraluminal. Patologi dapat dilihat dari penebalan muskularis propia dengan
mukosa kolon yang normal atau yang telah mengalami inflamasi. Divertikula
sekal memiliki sedikit sekali muskular yang mengalami hipertropi. Suatu
penelitian terakhir menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas dari matriks
metaloproteinase yang berperan penting dalam perubahan ratio dari kolagen tipe
1 dan 2 dalam kasus-kasus divertikulitis dan juga kanker yang dapat
memproduksi metaloproteinase yang memicu terjadinya pengrusakan matriks
ekstraselular, yang mana hal ini berperan dalam perkembangan dari penyakit
divertikular (Radji, 2011).

Kebanyakan pasien dengan divertikula di sebelah kanan memiliki gejala


asymptomatik. Namun demikian, pasien bisa juga mengeluhkan adanya tanda-
tanda komplikasi dari divertikulosis. Sebagai contoh adanya perdarahan,
divertikulitis, peridivertikular abses, dan perforasi dengan formasi fistula. Pasien

9
dengan divertikula sekal pada umumnya terjadi pada kelompok usia yang lebih
muda. Mereka akan mengeluhkan adanya rasa nyeri pada kuadran kanan bawah
dan sering didiagnosis sebagai apendiksitis. Lebih dari 70% pasien dengan
divertikulitis sekal dioperasi dengan diagnosis apendiksitis akut. Diagnosis
preoperatif bisa difasilitasi dengan menggunakan USG dan CT (Radji, 2011).

2.3.2 Kolitis Ulseratif


Pada pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang seperti kolitis ulseratif
biasanya terfokus pada usus kuadran kanan bawah dan juga berdasarkan atas
penjelasan pasien sebelumnya. Biasanya pasien dengan penyakit Crohn juga
mengalami kelainan di lambung dan usus halus maka perlu endoskopi untuk
pencernaan bagian atas temuan endoskopi dan radiologis, yang memusatkan
perhatian kita pada kuadran kanan bawah dan didukung juga oleh penjelasan
gejala pasien. Pada pemeriksaan upper endoscopy akan menemukan duodenitis,
jika kerongkongan dan lambung tidak normal. Sering kali, pasien yang menderita
penyakit Crohn atau kolitis ulseratif akan memiliki peningkatan resiko lesi di
perut, meskipun temuan ini tidak spesifik. Sekitar 60% dari remaja dengan
penyakit Crohn akan memiliki penyakit ileokolon. radang horisontal lebih khas
dari tuberkulosis bila dibandingkan dengan penyakit crohn (Danese, 2011).
2.3.3 Hemoroid
Hemoroid adalah dilatasi pembuluh darah vena pleksus submukosa anus dan
perianus. Dilatasi pembuluh ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang
berkaitan dengan peningkatan tekanan vena didalam pleksus hemorroidhalis.
Varises vena hemorroidalis superior dan media yang muncul diatas garis
anorektum dan ditutupi oleh mukosa rektum disebut hemoroid interna. Varises
yang muncul dibawah garis anorektum mencerminkan pelebaran pleksus
hemoroidalis inferior dan ditutupi mukosa anus disebut hemoroid eksterna.
Keduanya merupakan pembuluh darah vena yang melebar, berdinding tipis dan

10
mudah berdarah kadang-kadang menutupi perdarahan dari lesi proksimal yang
lebih serius (Cotran, 2004).
2.3.4 Adenoma
Adenoma adalah polip neoplastik yang berkisar dari tumor kecil yang sering
bertangkai hingga lesi besar. Prevalensi adenoma kolon adalah 20%-30%
sebelum usia 40 tahun, dan meningkat menjadi 40% hingga 50% setelah usia 60
tahun. Polip adenomatosa memiliki tiga subtipe yaitu : Adenoma tubular,
adenoma vilosa, adenoma tubulovilosa. Adenoma tubular berukuran kecil dengan
ukuran 0,3 cm dan ada juga yang berukuran 2,5 cm sebagian besar memiliki
tangkai ramping dengan panjang 1 sama 2 cm dan kepala mirip buah frambus.
Secara histologis tangkai terbungkus oleh mukosa kolon normal tetapi kepala
terdiri dari epital neoplastik yang membentuk kelenjar yang bercabang dilapisi
oleh sel jangkung , hiperkromatik sedikit acak dan mungkin mengeluarkan musin
(Cotran, 2004).
Adenoma vilosa adalah polip epitel yang lebih besar dan lebih merugikan.
Polip ini cenderung timbul pada usia lanjut. Terutama di rektum dan
rektosigmoid. Lesi pada umumnya terdapat dimana saja. Lesinya berupa massa
yang tidak bertangkai bergaris tengah hingga 10 cm dan seperti beledu atau
kembang kol yang menonjol 1 sampai 3 cm diatas mukosa normal. Adenoma
tubulovilosa memperlihatkan campuran daerah tubular dan vilosa. Adenoma ini
merupakan bentuk intermediet antara lesi tubulkat dan vilosa dalam hal frekuensi
memiliki tangkai atau tidak bertangkai. Ukuran, derajat displasia dan risiko
mengandung karsinoma intramukosa atau invasif (Cotran, 2004).

2.3.5 Karsinoma Kolorektal


Pada dasarnya karsinoma kolorektal dibagi menjadi 2 bagian, yakni polip
kolon dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Polip
kolon dapat dibagi dalam 3 tipe yakni neoplasma epitelium, non-neoplasma dan

11
submukosa. Secara epidemiologis kanker kolorektal didunia menempati urutan
ke-4, dengan jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19,4 dan 15,9 per 100.000 Di AS. Pada umumnya rata-rata pasien
kanker kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi
pada mereka yang berumur 55 tahun.
2.3.6 Chohn’s Disease
Pada pemeriksaan endoskopi, sebuah lesi yang tampak kecil dan dangkal
dengan tanpa vili yang disebut ulkus aphtoid. Secara patologis, lesi tersebut
adalah erosi atau ulkus yang kecil yang dibentuk oleh folikel limfoid dan
epitelium. Merupakan pertanda awal dari penyakit chron dan biasanya lesi juga
terlihat merah disekelilingnya. Jika dilihat dari jarak yang dekat akan tampak
seperti vili yang membesar. Lesi bentuk lain adalah ulkus longitudinal, yang
mana lesi tersbut dikarakteristikkan dengan inflamasi yang kecil dimukosa dan
cenderung berbasis secraa longitudinal.
2.3.7 Angiodisplasia
Pelebaran pembuluh darah mukosa dan submukosa yang berkelok-kelok
paling sering ditemukan disekum atau kolon kanan biasanya setelah usia 60-an.
Pembuluh darah ini mudah rupture dan mengeluarkan darah ke lumen. Kelainan
ini merupakan penyebab perdarahan sebanyak 20% pada saluran cerna bagian
bawah. Angiosdisplasia juga merupakan kelainan yang diperkirakan terbentuk
selama bertahun-tahun akibat factor mekanis yang bekerja pada dinding kolon.
Karena lapisan otot, vena penetrans mengalami oklusi saat kontraksi peristaltic
terapi arteri berdinding tebal yang tetap paten.

Penyebab perdarahan saluran cerna bawah biasanya adalah irritasi lokal


karena fissura atau hemorroid; polip; infeksi misalnya Shigella, Salmonella, Coli;
Inflammasi seperti kolitis dan penyakit Crohn’s. Bentuk darah bermacam
macam; seperti gumpalan darah yang besar atau terpecah pecah. Keluarnya bisa

12
bercampur dengan feses atau keluar sendiri diluar defekasi. Enteritis bakteri,
alergi susu sapi, intususepsi, menelan darah ibu, serta hiperplasia limponodular,
merupakan penyebab yang sering dijumpai pada usia neonatus. Lesi pada
mukosa saluran cerna merupakan penyebab yang sering pada usia bayi dan anak.
Intususepsi merupakan penyebab terbanyak pada kelompok usia ini (80% kasus
dijumpai pada usia di bawah 2 tahun).

2.4 Klasifikasi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah dibagi menjadi 3 jenis, berdasarkan
jumlah perdarahan, yaitu massive bleeding, moderate bleeding, occult bleeding.
Massive bleeding merupakan suatu keadaan yang mengancam jiwa yang memerlukan
sedikitnya 5 unit labu tranfusi darah. Pemeriksaan yang didapatkan pada pasien dengan
keadaan seperti ini adalah tekanan darah sistol kurang dari 90 mmHg dan kadar
hemoglobin darah kurang atau sama dengan 6 gr/dl. Kasus ini lebih sering terjadi pada
pasien dengan usia lebih atau sama dengan 65 tahun, ada penyakit penyerta, dengan
risiko kematian karena perdarahan akut atau komplikasi perdarahan. Tingkat kematian
LGIB jenis massive bleeding sebesar 0-21%. Occultbleeding menunjukkan adanya
anemia hipokrom mikrositer dan reaksi guaiac intermiten. Definisi massive bleeding
adalah adanya darah dalam jumlah yang sangat banyak dan berwarna merah marun
yang melewati rectum, adanya ketidakseimbangan hemodinamik dan syok, penurunan
initial hematokrit kurang atau sama dengan 6 gr/ dl, tranfusi minimal 2 unit labu
transfuse PRC, perdarahan yang berlangsung terus menerus selama 3 hari. (Radji, M.,
2011).

2.5 Manifestasi Klinis


Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
berat riangannya perdarahan. Sebagian besar kasus LGIB disebabkan oleh
angiodisplasia dan divertikutlitis. Pada kedua kelainan ini tidak memberikan gejala

13
sampai perdarahan pertama kali terjadi. Pada anamnesis juga harus ditanyakan tentang
riwayat penggunaan NSAID atau obat antikoagulan, adanya sakit perut atau tidak,
adanya diare dan demam yang dialami sebelumnya yang dapat mengarah pada colitis
baik infeksi atau iskemi. Pasien yang pernah mempunyai operasi aorta harus terlebih
dahulu dianggap memiliki fistula aortoenteric sampai dibuktikan bukan.
Baru-baru ini ditemukan bahwa kolonoskopi dapat menyebabkan perdarahan dari
daerah yang pernah di biopsy atau pernah mengalami polypectomy. Penyebab
perdarahan sebelumnya harus ditelusuri, yang pada sebagian besar kasus adalah
inflammatory bowel disease. Riwayat penyakit keluarga berupa sindrom poliposis atau
keganasan kolon juga dapat dipertimbangkan. Perdarahan Saluran Cerna Bawah pada
pasien yang berusia kurang dari 30 tahun biasanya berhubungan dengan polip usus dan
Meckel diverticulum.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital untuk mengetahui
adanya syok, oropharynx, nasopharynx, abdomen, perineum, and anal canal. Semua
pasien harus diresusitasi. Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah luka bekas operasi
terdahulu, adanya masa di abdominal, lesi pada kulit dan mulut yang menunjukkan
sindrom poliposis.
Perdarahan yang berasal dari hemorrhoid atau varices yang disebabkan hipertensi
portal pada pasien sirosis sebaiknya dipertimbangkan. Pemeriksaan rectum diperlukan
untuk mengetahui adanya kelainan pada anorectal, yaitu tumor, ulser, atau polip.
Warna pada daerah anorectal, dan adanya bentuk atau gunpalan darah harus
diperhatikan. Nasogastric tube (NGT) harus dipasang untuk menyingkirkan penyebab
perdarahannya adalah bukan dari saluran cerna atas yang menunjukkan adanya
gambaran coffee ground. Pada 50 % kasus pasien yang dipasang NGT, hasil
aspirasinya adalah false negative. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan lain yaitu
esogastroduodenoscopy (EGD) untuk mengetahui lokasi sumber perdarahan. Pasien

14
dengan hematochezia dan hemodinamik yang tidak seimbang, dilakukan emergency
upper endoscopy.
Perdarahan saluran cerna bawah yang massive merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Terkadang manifestasi LGIB yang massive adalah feses yang
berwarna merah marun atau merah muda yang berasal dari rectum juga muncul pada
perdarahan saluran cerna bagian atas. Salah satu penanganan yang penting pada pasien
LGIB yang massive adalah resusitasi. Pasien ini dipasang infuse dengan cairan
kristaloid dan dipanatu tekanan darah sistolik, pulse pressure, urine output. Hipotensi
ortostatik (tekanan darah menurun > 10 mmHG) menandakan adanya kehilangan darah
lebih dari 1000 ml (Radji, M., 2011).

2.6 Terapi
2.6.1 Endoskopi
Thermal heater probe, elektrokoagulasi, dan sclerotherapy telah banyak
digunakan. terdapat laporan yang menunjukkan bahwa elektrokoagulasi bdapat
berhasil diterapkan untuk pendarahan divertikula kolon, meskipun terapi ini
belum banyak dianut. Terapi dengan endoscopy ini juga dapat memicu
perdarahan berulang yang lebih signifikan. Sebaliknya, angiodysplasias dapat
segera diobati dengan tindakan endoskopik. Perdarahan akut dapat dikontrol
dalam hingga 80% dari pasien dengan perdarahan angiodysplasias, meskipun
perdarahan berulang juga dapat terjadi hingga 15%. Terapi endoskopi ini juga
sesuai untuk pasien dengan perdarahan dari daerah yang telah dilakukan
polypectomy. Pendarahan dapat terjadi pada 1% sampai 2% pasien setelah
polypectomy dan mungkin terjadi hingga 2 minggu setelah polypectomy dimana
terapi endoskopik dianjurkan.

15
2.6.2 Angiographic
Angiography dipakai sebagai metode perioperatif, terutama pada pasien-
pasien dengan risiko gangguan vascular, sementara menunggu terapi bedah
definitive. Pada metode ini dilakukan katerisasi selektif dari pembuluh darah
mesentrika yang langsung menuju ke lokasi sumber perdarahan yang akan
dilanjutkan dengan pemberian vasokontriktor intra-arteridengan vasopressin
yang dapat menghentikan perdarahan sekitar 80 % kasus. Perdarahan berulang
mungkin terjadi jika terapi tidak dilanjutkan. Komplikasi yang sering dan serius
pada metode ini adalah iskemi miokard, edema paru, thrombosis mesenterika,
dan hiponatremia. Transarterial vasopressin tidak boleh digunakan pada pasien
dengan penyakit arteri koroner atau penyakit vaskular lainnya. Peran utama dari
terapi ini adalah untuk mengehentikan perdarahan sebagai terapi darurat sebelum
bedah definitif. Embolisasi transkateter pendarahan massive dapat juga dilakukan
pada pasien yang tidak mempunyai cukup biaya untuk menjalani operasi.
Embolisasi dari gelatin spons atau microcoils dapat menghentikan pendarahan
sementra yang disebabkan angiodysplasias dan divertikula. Metode ini juga dapat
menyebabkan demam dan dan sepsis yang disebabkan oleh kurangnya pasokan
darah ke kolon sehingg aterjadi infark kolon.
2.6.3 Pembedahan
Indikasi dilakukannya tindakan bedah diantarnya pasien dengan perdarahan
yang terus menerus berlangsung dan berulang, tidak sembuh dengan tindakan
non operatif. Transfusi lebih dari 6 unit labu transfusi PRC, perlu transfusi,
ketidakseimbangan hemodinamik yang persisten merupakan indikasi colectomy
pada perdarahan akut.
Pembedahan emergensi dilakukan pada pasien dengan LGIB sebanyak 10%
kasus, dilakukan pada saat setelah ditemukannya lokasi sumber perdarahan.
Tingkat kejadian perdarahan yang berulang adalah 7% (0-21%) dan tingkat

16
mortalitas sebesar 10% (0-15%). Pada sebagian besar studi segmental colectomy
tidak mempunyai tingkat mortalitas, morbiditas dan perdarahan berulang yang
tinggi. Segmental colectomy diindikasikan pada pasien dengan perdarahan colon
persisten dan rekuren. Pasien dengan LGIB rekuren juga sebaiknya dilakukan
colectomy karena risiko meningkatnya beratnya perdarahan dengan berjalannya
waktu.
Jika pasien mengalami ketidakseimbangan hemodinamik pembedahan
emergensi ini dilakukan tanpa uji diagnostic dan lokasi sumber perdarahan
ditentukan pada intraoperatif dengan cara EGD, surgeon-guided enteroscopy, and
colonoscopy. Dengan melihat kondisi dan peralatan yang ada, dapat dilakukan
subtotal colectomy dengan inspeksi distal ileal daripada dengan ketiga metode
yang telah disebutkan.
Subtotal colectomy dilakukan jika sumber perdarahan tidak diketahui
dengan studi diagnostic perioperatif dan intraoperatif. Jika lokasi sumber
perdarahan tidak dapat didiagnosis dengan endoscopy intraoperatif dan dengan
pemeriksaan dan jika terdapat bukti perdarahan berasal dari kolon, subtotal
colectomy dilakukan dengan anastomosis iloerectal. Subtotal colectomy adalah
pilihan yang tepat karena berhubungan dengan tingkat perdarahan berulang yang
rendah dan tingkat morbiditas (32%) dan tingkat mortalitas (19%).
Hemicolectomy lebih baik dilakukan daripada blind subtotal abdominal
colectomy, apabila bertujuan untuk mengetahui lokasi sumber perdarahan. Saat
lokasi sumber perdarahan diketahui, operasi dengan positive 99m Tc-red blood
cell scan. juga dapat menyebabkan perdarahan berulang pada lebih dari 35%
pasien.“Blind” total abdominal colectomy tidak dianjurkan karena memiliki
perdarahan berulang 75% tingkat morbiditas 83%, tingkat mortalitas 60%. Sekali
lokasi sumber perdarahan diketahui, lakukan segmental colectomy.

17
Diare setelah total abdominal colectomy juga dapat terjadi pada pasien
dengan dengan usia yang lebih tua. Jenis operasi ini hanya dilakukan pada pasien
dengan tingkat perdarahan berulang sebanyak 75%. Mortalitas setelah colectomy
rata-rata adalah kerang dari 5%.
Pasien dengan riwayat perdarahan berulang dengan lokasi sumber
perdarahan yang tidak diketahui harus dilakukan elective mesenteric
angiography, upper and lower endoscopy, Meckel scan, Foto serial saluran cerna
atas dengan usus halus, and enteroclysis. Pemeriksaan seluruh bagian saluran
cerna diperlukan untuk mendiagnosis lesi yang jarang dan AVM yang tidak
terdiagnosis.
Jika lokasi sumber perdarahan telah diketahui dengan mesenteric
angiography, infuse vasopressin dapat digunakan secara berkala untuk control
perdarahan dan penstabilan pasien untuk antisipasi apabila harus dilakukan
segmental colectomy semi urgent. Embolisasi mesenteric selektif digunakan pada
pasien dengan risiko tinggi apabila dilakukan operasi, dan perhatikan iskemi dan
perforasi. Subtotal colectomy dengan ileoprostostomy dilakukan pada pasien
dengan perdarahan berulang dengan lokasi sumber perdarahan tidak diketahui,
dan pada pasien dengan perdarahan yang berasal dari kedua bagian colon.
Tidak ada kontraindikasi terhadap pembedahan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan yang berlangsung terus menerus.
Pembedahan juga diperintahkan walaupun pada pasien yang membutuhkan 5 unit
labu transfuse atau lebih pada 24 jam dan penentuan lokasi sumber perdarahan
secara perioperatif tidak akurat. embedahan juga perlu dilakukan pada pasien
dengan perdarahan berulang selama dirawat di rumah sakit (Radji, M., 2011).

18
2.6 Penatalaksanaan
Pada keadaan emergensi :
1. Memperkirakan jumlah darah yang hilang, dan mencari sumber perdarahan. \
2. Penilaian keadaan umum pasien (tensi,nadi,dan respirasi)
3. Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai diagnostik yang
tinggi untuk semua penyebab baik polips, ulkus, ataupun fissura
4. Transfusi darah bila perlu.
5. Pada keadaan perdarahan aktif, perlu dipasang iv-line 2 jalur.
6. Konsultasi bidang terkait (radiologi, bedah anak dan gawat darurat anak).

2.7 Komplikasi
Perdarahan saluran pencernaan dapat menyebabkan sejumlah komplikasi bila tidak
segera ditangani. Pada kasus perdarahan saluran cerna, penderita dapat mengalami
anemia, dimana anemia merupakan suatu kondisi kekurangan sel darah merah yang
berpotensi mengancam jiwa. Selain anemia, penderita perdarahan saluran cerna juga
akan cepat mengalami penurunan kondisi seperti lemas, pusing, mual dan nyeri perut.
Bila kondisi seperti ini tidak segera ditangani maka akan dapat terjadinya resiko syok
yang bisa menyebabkan kematian (Galih, 2017).

19
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Seorang pria 40 tahun datang ke unit gawat darurat RSUD Arifin Ahmad
Pekanbaru karena keluar darah dari anus berwarna merah segar dengan sedikit
gumpalan seperti agar-agar, tidak disertai feses dan lendir dengan jumlah 3 gelas air
mineral. Pasien mengalami penurunan kesadaran dengan tingkat kesadaran somnolen,
GCS (V: 5, M: 3, E:2) tidak ada sumbatan di jalan nafas, CRT> 3 detik, akral teraba
dingin dan konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis, wajah
pasien terlihat meringis, nyeri hebat pada bagian perut dengan skala 9. Pemeriksaan
rectal touche teraba massa dengan permukaan bernodul, terfiksasi, dan nyeri tekan (+)
pada bagian bawah abdomen. Hemodinamik pasien TD: 80/70 mmHg, suhu 37oC,
pernapasan 24 x/menit, HR 90 x/menit. Pasien meringis kesakitan sambil memegang
bagian abdomennya. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 10 g/L, leukosit
9800/mm3, hematokrit 29,5%, CEA 37-61 ng/mL, CA19-9 20,1 u/mL. Pemeriksaan
kolonoskopi menjukkan kesan massa rektosigmoid suspek malignasi. Pasien diberikan
terapi Carbazochrome sodium sulfonate 10 mg 3x1 hari, Amoxicillin 500 mg 3x/hari,
dan ketorolac 10 mg.

3.2 Asuhan Keperawatan


3.2.1 Pengkajian
A. Pengkajian Primer
1. Airway
(+) jalan napas paten, tidak terdapat sumbatan jalan nafas.

20
2. Breathing
Frekuensi napas 24 x/menit, (-) pergerakan dinding dada, (-) bunyi nafas
tambahan, (-) terpasang ventilator.
3. Circulation
Darah dari anus berwarna merah segar dengan sedikit gumpalan seperti
agar-agar, tidak disertai feses dan lendir dengan jumlah 3 gelas air mineral.
HR 90 x/menit, Suhu 37oC, CRT> 3 detik, akral teraba dingin dan
konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis. TD
80/70 mmHg, MAP 110.
4. Disability
Kesadaran : stupor, GCS (V:5, M:3, E:2)
5. Exposure
Terdapat massa dengan permukaan bernodul pada area anus. Nyeri hebat
pada bagian perut dengan skala 9.

B. Secondary Survey
1. Pernafasan
Inspeksi : pernapasan 24 x/menit.
Auskultasi : (+) jalan napas paten, tidak terdapat sumbatan jalan nafas.
2. Kardiovaskuler
Palpasi : HR 90 x/menit
Auskultasi : TD 80/70 mmHg, MAP 110. Perdarahan di anus berwarna
merah segar dengan sedikit gumpalan seperti agar-agar, tidak disertai feses
dan lendir dengan jumlah 3 gelas air mineral
3. Persyarafan
Inspeksi : Tingkat Kesadaran : somnolen, GCS (V:5, M:3, E:2).

21
4. Pengindraan
a. Kulit
Palpasi : Turgor kulit tidak elastis, akral teraba dingin, CRT> 3 detik.
b. Wajah
Inspeksi : wajah terlihat meringis
c. Mata
Inspeksi : Konjungtiva anemis.
d. Mulut
Inspeksi : Mukosa bibir kering
5. Abdomen
Inspeksi : Tidak terdapat trauma, lesi, maupun luka post op.
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada bagian bawah abdomen
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 10 g/L, leukosit 9800/mm 3,
hematokrit 29,5%.

3.2.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan

1. DO: Perdarahan aktif Resiko Gangguan perfusi


jaringan otak
a. Darah dari anus
berwarna merah segar
Turunannya suplai O2
dengan sedikit gumpalan
kejaringan
seperti agar-agar, tidak
disertai feses dan lendir
dengan jumlah 3 gelas air

22
mineral.

b. Akral teraba dingin Sinkop

c. CRT<3 detik

d. Konjungtiva anemis Gangguan perfusi jaringan


serebral
e. Mukosa bibir kering

f. Hemodinamika

HB 10 gr/dl

TTV
TD: 80/70 mmHg,
suhu 37oC,
pernapasan 24 x/menit,
HR 90 x/menit.

2. DS: Pertumbuhan sel kanker Nyeri Kronis


abnormal pd abdomen
Pasien menyatakan skala
nyeri 9

DO: Perdarahan aktif

a. Wajah terlihat
meringis
Nyeri tekan (+) pada bagian
b. Hemodinamik HB 10 gr/dl bawah abdomen

c. darah keluar dari anus

23
dengan sedikit gumpalan dan
tidak berlendir dengan
jumlah 3 gelas.

d. nyeri tekan (+) pada


bagian bawah abdomen

3.2.3 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan kekurangan
suplai darah ke otak
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik ditandai dengan intensitas
pengukuran sekala nyeri, mengekspresikan perilaku

3.2.4 Intervensi Keperawatan

NANDA NOC NIC

1. Resiko gangguan Dalam waktu 2 x 24 jam Pengaturan hemodinamika


perfusi jaringan otak
a. Tekanan darah a. Lakukan penilaian
berhubungan dengan
sistolik dari deviasi komperhensif
kekurangan suplai darah
berat dari kisaran terhadap status
ke otak
normal (1) ke diviasi hemodinamika
sedang dari kisaran (memeriksakan
normal (3) tekanan darah,
denyut jantung,
b. Tekanan darah
denyut nadi,dll)
diastolik dari deviasi

24
berat dari kisaran dengan tepat.
normal (1) ke diviasi
b. Monitor (tekanan
sedang dari kisaran
darah sistolik
normal (3)
dikurangi diastolic
c. Nilai rata-rata dibagi dengan
tekanan darah dari tekanan darah
deviasi berat dari sistolik sehingga
kisaran normal (1) ke menghasilkan
diviasi sedang dari persentase yang
kisaran normal (3) proporsional)

d. Penurunan tingkat Perawatan sirkulasi :


kesadaran dari infuensi vena
sedang (3) ke ringan
a. Lakukan penilaian
(4)
sirkulasi perifer
secara komperhensif
(misalnya ;
mengecek nadi
perifer, udem, waktu
pengisisan kapiler,
warna dan suhu kulit)

2. Definisi nyeri akut adalah Dalam waktu 2x24 jam Manajemen nyeri:
sensori dan emosional tidak
a. Nyeri yang a. Gunakan tindakan
menyenangkan yang muncul
dilaporkan 1 (berat) pengontrol nyeri
akibat kerusakan jaringan
ke 3 (sedang) sebelum nyeri
actual atau potensial atau

25
yang digambarkan sebagai b. Ekspresi nyeri wajah bertambah berat
kerusakan, awitan yang tiba dari 1 (berat) ke 3
b. Dukung istirahat atau
tiba atau lambat dari (sedang)
tidur yang adekuat
intensitas ringan hingga
c. Denyut nadi radial 4 untuk penurun rasa
berat dengan akhir yang
(ringan) ke 3 nyeri
dapat diantisipasi atau di
(sedang)
prediksi. c. Dorong pasien
d. Frekuensi napas dari menggunakan obat-
Nyeri akut berhubungan
4 (ringan) ke 2 obatan penurun nyeri
dengan agen cidera fisik
(cukup berat) yang adekuat
ditandai dengan intensitas
pengukuran sekala nyeri, d. Berilkan informasi
mengekspresikan perilaku mengenai nyeri,
seperti penyeban
nyeri, berapa lama
nyeri dirasakan, dan
atisipasi dari
ketidaknyamanan
akibat prosedur

e. Dorong pasien untuk


mendiskusikan
pengalaman
nyerinya, sesuai
kebutuhan

f. Monitor kepuasan
pasien terhadap

26
manajemen nyeri
dalam interval yang
spesifik

27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah didefinisikan sebagai perdarahan yang
berasal dari usus di sebelah bawah ligamentum treitz. Gejala perdarahan saluran cerna
bagian bawah pada umumnya berupa hematokezia atau perdarahan samar saluran cerna
(Jurnal Kesehatan Andalas. 2016). Perdarahan saluran cerna bagian bawah dibagi
menjadi 3 jenis, berdasarkan jumlah perdarahan, yaitu massive bleeding, moderate
bleeding, occult bleeding.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan


dan berat riangannya perdarahan. Sebagian besar kasus LGIB disebabkan oleh
angiodisplasia dan divertikutlitis. Pada kedua kelainan ini tidak memberikan gejala
sampai perdarahan pertama kali terjadi. Perdarahan saluran pencernaan dapat
menyebabkan sejumlah komplikasi bila tidak segera ditangani. Pada kasus perdarahan
saluran cerna, penderita dapat mengalami anemia, dimana anemia merupakan suatu
kondisi kekurangan sel darah merah yang berpotensi mengancam jiwa. Selain anemia,
penderita perdarahan saluran cerna juga akan cepat mengalami penurunan kondisi
seperti lemas, pusing, mual dan nyeri perut. Bila kondisi seperti ini tidak segera
ditangani maka akan dapat terjadinya resiko syok yang bisa menyebabkan kematian
(Galih, 2017)

4.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, diharapkan kita mengetahui lebih banyak
tentang perdarahan saluran cerna bagian bawah. Dan dapat memberikan pengetahuan
dan manfaat khususnya bagi mahasiswa keperawatan, perawat, dan tenaga medis
lainnya. Serta dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap perdarahan saluran cerna
bagian bawah

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M (2009). Perdarahan saluran cerna bagian bawah (hematokezia) dan


perdarahan samar (occult) dalam sudoyo AW,Setyihadi B. Buku Ajar ilmu
penyakitvdalam edisi V jilid 1, Jakarta: DEPARTEMEN FKUI.

Cagir, Burt. (2011). Lower Gastrointetinal Bleeding. New York University. United States
http://www.medscape.com/viewarticle/734492 (http://www.repository.usu.ac.id)

Danese S, Fiocchi C. 2011. Review article. Medical progress Ulcerative colitis. N Engl J
Med 365:1713-25. (http://www.repository.usu.ac.id)
Fadhil Alfino Azmi, Saptino Miro, Detty Iryan. Gambaran Esofagogastroduodenoskopi
Pasien Hematemesis dan atau Melena di RSUP M Djamil Padang. Periode Januari
2010 - Desember 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1).

Galih, Akbar, P. (2017). Profil dan Temuan Klinis Pasien Perdarahan Saluran Cerna di
Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito 2009-2015. Jurnal Sari Pediatri
Vol.19 No.4 Tahun 2017 (http://www.repository.usu.ac.id)

Hidayat, R(2013). Hasil Kolonoskopi Pada Pasien Dengan Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Bawah RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2012. Medan: Fakultas
kedokteran universitas sumatera utara.

Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan : definisi & klasifikasi 2015 – 2017/
editor, T. Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru; alih bahasa, Budi Ana Keliat [et
al]. ; editor penyelaras, Monica Ester. –Ed. 10, - Jakarta : EGC, 2015

Pearce, Evelyn C. (1999). Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Cetakan kedua.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999.

Radji, M., 2011, Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran,
107, 118, 201-207, 295, Jakarta, Buku Kedokteran EGC.

29
Robbins, S.L., Cotran, R.S., Kumar, V. 2004. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. 7th edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 823.
(http://www.repository.usu.ac.id)

Terjemahan Nursing Classification (NIC), edisi ke-6, oleh Gloria Bulechek, Howard
Butcher, Joane Dochterman dan Cherly Wagner, dikerjakan oleh CV Mocomedia
dan diterbitkan dengan pengawasan pihak Elsevier Inc : 2013

Terjemahan Nursing Outcomes Classification (NOC), edisi ke-5, oleh Soe Moorhead,
Marion Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swansore, dikerjakan oleh CV.
Mocomedia dan diterbitkan dengan pengawasan Elsevier inc : 2013

30

Anda mungkin juga menyukai