Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

General anestesi adalah tindakan meniadakan rasa nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. General anestesi yang sempurna akan
menghasilkan tiga efek yang dikenal dengan “Trias Anestesi”, yaitu efek hipnotik
(menidurkan), efek analgesia dan efek relaksasi otot.
Geriatri atau lanjut usia adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek
klinis dan penyakit yang berkaitan dengan orang tua. Dikatakan pasien geriatri
apabila terdapat keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin
meningkatnya usia, adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degenerative, hal-
hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) yang
progresif, dan lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila terdapat
ketergantungan pada orang lain dan mengisolasi diri atau menarik diri dari
kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab. Batasan lanjut usia menurut
WHO adalah Middle age (45-59 th), Elder (60-64 th), Old (65-90 th) dan Very old
(>90 th).
Pada tahun 2010, 33% penyebab gangguan penglihatan di dunia adalah
katarak, sedangkan 51% kebutaan terjadi di dunia disebabkan oleh katarak. Di
Indonesia, 1,8% penduduk Indonesia menderita katarak. Penderita katarak
sebagian besar terjadi pada umur > 50 tahun.Katarak senilis adalah katarak yang
terkait usia yaitu pada usia diatas 40 tahun. Katarak senilis imatur merupakan
salah satu stadium katarak senilis, dimana pada stadium ini kekeruhan lensa
belum terjadi disemua bagian lensa.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 General Anestesi


1. Definisi
General anestesi adalah tindakan meniadakan rasa nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. General anestesi yang
sempurna akan menghasilkan tiga efek yang dikenal dengan “Trias Anestesi”,
yaitu efek hipnotik (menidurkan), efek analgesia dan efek relaksasi otot.
General anestesi terdiri dari 2 cara, yaitu anestetik inhalasi dan anestetik
intravena. General anestesi biasanya dilakukan untuk tindakan operasi besar
yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang.
2. Tujuan dan Indikasi
Tujuan dilakukan general anestesi adalah trias anestesi yang terdiri dari:
a. Hipnotik, didapat dari sedative, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran).
b. Analgesia, didapat dari N2O, analgetik narkotik, NSAID tertentu.
c. Relaksasi otot, diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.
Indikasi dilakukan general anestesi yaitu:
 Bayi dan anak-anak
 Dewasa yang ingin dianestesi umum
 Prosedur operasi yang lama dan rumit
 Pasien dengan gangguan mental
 Pasien dengan riwayat alergi terhadap obat anestesi lokal
3. Keuntungan dan kerugian
a. Keuntungan general anestesi, yaitu:
 Mengurangi kekhawatiran, kesadaran dan ingatan pasien intraoperative.
 Dapat mengontrol penuh ABC.
 Dapat diberikan pada pasien tanpa bergerak dari posisi terlentang.

2
 Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur dengan durasi tak
terduga.
 Dapat diberikan secara cepat dan reversible.
 Dapat digunakan untuk pasien yang tidak kooperatif.
 Bahaya hipotensi minimal.
 Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap anestesi local.
 Membuat otot relaksasi untuk jangka waktu yang lama.
b. Kekurangan dari general anestesi, yaitu:
 Perawatan post operasi lebih komplek
 Obat yang digunakan dapat menembus sawar darah plasenta dan
menyebabkan depresi janin.
 Berpengaruh terhadap tonus uterus menyebabkan atonia uteri sehingga
terjadi perdarahan post partum.
 Membutuhkan beberapa tahapan persiapan pasien pra operasi.
 Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi
aktif.
 Komplikasi yang kurang serius seperti mual dan muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi
mental normal.
4. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan pra-anestesi
yang dapat dilakukan yaitu:
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitian
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau

3
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai.Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah rutin (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
5) Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA).Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko
anestesia, karena efek samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan.
Tabel 1.Status fisik anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA)
Kategori Kriteria Penyakit
ASA I Normal dan sehat -

ASA II Pasien dengan kelainan sistemik Batu ureter dengan

4
ringan sampai sedang baik hipertensi sedang
karena penyakit bedah terkontrol
maupun penyakit lain Appendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
ASA III Pasien dengan gangguan atau Appendisitis perforasi
penyakit sistemik berat yang dengan septisemia
diakibatkan karena berbagai Ileus obstrukstif dengan
penyebab iskemia miokardium.

ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik Syok atau dekompensasi


berat yang secara langsung kordis
mengancam kehidupannya.
ASA V Pasien tak diharapkan hidup Pasien tua + perdarahan
setelah 24 jam walaupun basis kranii
dioperasi atau tidak Syok hemoragik ec
ruptur hepatik
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE
atau IIE.
6) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi.Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesi.
7) Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya :
 Meredakan kecemasan dan ketakutan

5
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual-muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi lambung
 Mengurangi reflex yang membahayakan
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam waktu 1
jam, sedangkan secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang
tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena.Bila pembedahan
belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila
diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali
atropine dan hiosin.Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
a. Gol. Antikolinergik
 Atropin : Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,
antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ
dan menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM
bekerja setelah 10 – 15 menit.
b. Gol. Hipnotik – sedative
 Barbiturat (Penobarbital dan Sekobarbital): Diberikan untuk efek
sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini
dapat diberikan secara oral atau IM.Dosis dewasa 100 – 200 mg,
pada bayi dan anak 3 – 5 mg/kgBB.Keuntungannya adalah masa
pemulihan tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah
terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual
dan muntah.

6
c. Gol. Analgetik narkotik
 Morfin : Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan
menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg.
Kerugian penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama,
penyempitan bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca
bedah ada.
 Pethidin : Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan
untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang
otot polos. Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati
menggigil pasca bedah.
d. Gol. Transquilizer
 Diazepam (Valium): Merupakan golongan benzodiazepine.
Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar
hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
5. Induksi dan rumatan anestesi
 Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan.Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuskular atau rektal.Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S (Scope)
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-
Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
T (Tube)
Pipa trakea dipilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
> 5 tahun dengan balon (cuffed).

7
A (Airway)
Pipa mulut faring (Guedel, oropharyngeal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-pharyngeal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T (Tape)
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I (Introducer)
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C (Connector)
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
S (Suction)
Penyedot lender, ludah dan lain-lainnya.

Anestesia intravena
Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamine dan propofal. Untuk
anestesi intravena total biasanya menggunakan propofol.
 Tiopental
Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau
bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500
mg atau 1000 mg. sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 25% (1 ml = 25 mg). Tiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikkan
perlahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan
kecepatan suntikan tiopentol akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anesthesia atau depresi napas. Tiopentol
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial, dan
diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2.Dosis rendah
bersifat anti-analgesia.

8
 Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwara putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10
mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.Dosis
bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intesif
0,2 mg/kg. pengenceran propofol hanya boleh digunakan dengan
dektrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun
dan wanita hamil tidak dianjurkan.
 Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesi, karena
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersaliva, nyeri kepala,
pasca anestesi dapat menimbulkan mual-muntah, dan pandangan kabur.
Kalau harus diberikan sebaiknya diberikan terlebih dahulu sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1
mg/kg intravena dan untuk mengurangi slaiva diberikan sulfas atropine
0,01 mg/kg.Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. ketamine dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), dan 10% (1 ml =
100 mg).
 Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi.Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50
mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

Anestesia inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O.kemudian menyusul eter,

9
kloroform, etil-klorida, etilen, divinil-eter, siklo-propan, trikloro-etilen,
iso- propenil-vinil-eter, propenil-metil-eter, fluoroksan, etil-vinil-eter,
halotan, metoksi-fluran, efluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan
oleh:
1) Konsentrasi inspirasi
Jika saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka
ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inspirasi sama dengan
alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah terjadi.Induksi makin cepat
jika konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau
kejang laring.Induksi makin cepat jika disertai dengan N2O (efek gas
kedua).
2) Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi
dan sebaliknya.
3) Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin
rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4) Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah.
5) Hubungan ventilasi-perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas
anestetik.Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran
yang sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam tabung
sirkuit anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernapasan.
 N2O
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240o C. N2O
dalam ruangan berbentuk gas tidak berwarna, bau amis, tak iritasi, tidak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam

10
bentuk cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan
tekanan 750 pasi atau 50 atm.
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%.Gas ini bersifat anestetik lemah tetapi memiliki efek analgesia
kuat, sehingga sering digunakan untuk nyeri menjelang
persalinan.Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2
100% selama 5-10 menit.
 Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan
etan.Baunya yang enak dan merangsang jalan nafas, sering digunakan
sebagai induksi anestesia kombinasi dengan N2O.halotan harus
disimpan dalam bototl gelap (coklat tua) agar tidak rusak oleh cahaya
dan diawetkan oleh timol 0,01%.
Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada
napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan respon
klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.Efek analgesik
halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkan baik. Dengan
kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat
digunakan kadar tinnggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk
anestesia adalah 0,76% volume.
 Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Isofluran
berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap
oleh penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan
curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi.Tendensi
timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan

11
sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi
dan takikardiadihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau
dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah
hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu.
 Enfluran
Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding
halotan dan enfluran lebih iritatif di banding halotan.Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
 Desfluran
Desfluran (suprane) Sangat mudah menguap.Potensinya rendah
(MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi.Efek depresi napasnya seperti isofluran dan
etran.Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
 Sevofluran
Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan isofluran.Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.

Induksi per-rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.

Induksi mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi yang
sedang tidur.Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah, tetapi pada
yang belum terpasang jalur vena, harus kita kerjakan dengan hati-hati agar
pasien tidak terbangun.Induksi mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi
biasanya hanya sungkup muka tidak ditempelkan pada muka pasien, tetapi

12
kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru
sungkup muka kita tempel.

 Rumatan anestesi
Rumatana anestesi (maintenance) dapa dikerjakan dengan secara
intravena (anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi.Rumatan anestesia biasanya mengacu pada
trias anestesi yaitu tidur (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak merasakan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB.Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuhan otot.Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,
pelumpuhan otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau efluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4 vol% tergantung apakah pasien bernafas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
6. Stadium anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
 Stadium I (analgesi), dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini.

13
 Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi), dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
 Stadium III (pembedahan), dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
 Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus
otot mulai menurun).
 Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di
tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
 Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
 Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).
 Stadium IV (paralisis medula oblongata), dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan
darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.
7. Talaksana jalan nafas
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung : Menuju nasofaring
2. Mulut : Menuju orofaring

14
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke
trakea.Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang
aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
a. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas
bebas, sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau
mulut.
b. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat
hidung (naso-pharyngeal airway).
c. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi
ke jalan napas pasien.Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor
dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
d. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea.Tangkai LMA dapat
berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga
supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

15
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus.
e. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida.Pipa trakea dapat dimasukan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
f. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi, yaitu:
Tabel 2. Gradasi mallapati
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Gambar 1. Klasifikasi struktur faring (Mallampati)

16
 Indikasi intubasi trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
 Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
 Kesulitan intubasi
 Leher pendek berotot
 Mandibula menonjol
 Maksila/gigi depan menonjol
 Uvula tak terlihat
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Gerak vertebra servikal terbatas
 Komplikasi intubasi
 Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
 Setelah ekstubasi
- Spasme laring

17
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
 Ekstubasi
 Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
- Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
- Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
 Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring.
 Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.
8. Pengakhiran anestesi
 Pengakhiran pemberian anestesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentamil, anestesi baru diakhiri setelah
kulit dijahit)
 FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
 Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
 Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflek perlindunngan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
 Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca-bedah.
Skor pemulihan pasca anestesi
Tabel 3.Aldrete Score
NO KRITERIA SCORE SCORE
1. Warna kulit
 Kemerahan/ normal 2
 Pucat 1
 Cianosis 0
2. Aktifitas Motorik
 Gerak 4 anggota tubuh 2
 Gerak 2 anggota tubuh 1
 Tidak ada gerakan 0

18
3. Pernafasan
 Nafas dalam, batuk & tangis kuat 2
 Nafas dangkal dan adekuat 1
 Apnea atau nafas tidak adekuat 0
4. Tekanan darah
 ± 20 mmhg dari pre operasi 2
 20 – 50 mmhg dari pre operasi 1
 + 50 mmhg dari pre operasi 0
5. Kesadaran
 Sadar penuh mudah di panggil 2
 Bangun jika di panggil 1
 Tidak ada respon 0
Ket :
 Pasien dapat di pindah ke bangsal, jika score
minimal 8 pasien.
 Pasien di pindah ke ICU, jika score < 8 setelah
di rawat selama 2 jam.

Tabel 4.Steward score


TANDA KRITERIA SCORE
Kesadaran 1. Bangun 2
2. Respon terhadap rangsang 1
3. Tidak ada respon 0
Pernafasan 1. Batuk/ menangis 2
2. Pertahankan jalan nafas 1
3. Perlu bantuan nafas 0
Motorik 1. Gerak bertujuan 2
2. Gerak tanpa tujuan 1
3. Tidak bergerak 0
Ket :
Score ≥ 5 boleh keluar dari RR

2.2 Anestesi Pada Geriatri


1. Definisi geriatrik
Geriatri atau lanjut usia adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-
aspek klinis dan penyakit yang berkaitan dengan orang tua. Dikatakan pasien
geriatri apabila:
1) Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya
usia
2) Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif

19
3) Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
 Ketergantungan pada orang lain
 Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena
berbagai sebab.
4) Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis)
yang progresif.
Batasan lanjut usia menurut WHO adalah:
1. Middle age (45-59 th)
2. Elder (60-64 th)
3. Old (65-90 th)
4. Very old (>90 th)
Pendekatan dan pengelolaan operasi dan anestesi pada pasien geriatri
berbeda dan sering lebih kompleks dibandingkan pada pasien yang berusia
lebih muda. Kapasitas fungsional organ berkurang seiring dengan proses
penuaan, sehingga ketahanan terhadap stres menurun. Faktor risiko akibat
proses penuaan bertambah akibat adanya penyakit penyerta. Faktor risiko
tambahan pada usia lanjut ditunjukkan pada tabel 5.
Tabel 5. Faktor resiko mortalitas pasca operasi pada pasien bedah usia
lanjut
Status fisik ASA III atau IV
Prosedur bedah Bedha mayor dan atau darurat
Penyakit penyerta Penyakit jantung, paru, diabetes
mellitus, disfungsi hepar dan ginjal
Status fungsional MET 1-4
Status gizi buruk Albumin <35%, anemia
Tempat tinggal Sendiri atau dengan keluarga
Status amnulatorik Terbatas di tempat tidur
Frekuensi kelainan fisiologis yang serius pada pasien usia lanjut relatif
tinggi menuntut evaluasi pra operatif yang sangat hati-hati. Ahli anestesi
harus memahami bahwa terdapat perbedaan yang luar biasa akibat proses
penuaan, baik tubuh secara keseluruhan maupun dalam sistem tertentu.

20
2. Perubahan fisiologi
a. Sistem kardiovaskuler
 Jantung
Penuaan berkaitan dengan berbagai perubahan molekul, ion,
biofisik dan biokimia pada jantung. Perubahan ini mempengaruhi
fungsi protein, fosforilasi oksidatif mitokondria, kinetika Ca2+, coupling
eksitasi-kontraksi, aktivasi miofilamen, respon kontraktil, komposisi
dan regenerasi matriks, pertumbuhan dan ukuran sel, serta apoptosis.
Dalam hal fungsi jantung, pasien geriatri mengalami penurunan
respon beta-adrenergik dan meningkatnya tonus vagal serta mengalami
peningkatan insiden gangguan konduksi, bradiaritmia dan
hipertensi.Curah jantung menurun sebesar 1% per tahun dan
bertanggung jawab untuk penundaan absorpsi, onset aksi dan eliminasi
obat.Perubahan morfologi dan fungsi jantung yang berkaitan dengan
pertambahan umur disajikan pada tabel 6.
Tabel 6.Perubahan morfologi dan fungsi jantung yang berkaitan
dengan pertambahan umur.
Morfologi Fungsi
 penurunan jumlah miosit  penurunan kontraktilitas
 peningkatan ukuran miosit intrinsik
 penurunan jumlah matriks dalam  pemanjangan waktu kontraksi
jaringan ikat miokard
 peningkatan ketebalan dinding  penurunan kecepatan kontraksi
ventrikel kiri miokard
 penurunan kepadatan serat  peningkatan kekakuan miokard
konduksi  peningkatan tekanan pengisian
 penurunan jumlah sel sinus node ventrikel
 peningkatan tekanan / ukuran
atrium kiri
 pemanjangan waktu potensial
aksi
 penurunan rendah koroner
cadangan
 penurunanβ-adrenoceptor-
dimediasi modulasi inotropik
dan chronotropic

21
Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan
pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan
ini sering baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan
pembedahan. Akibat proses penuaan pada sistem kardiovaskular,
yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien manula hipertensi harus
diturunkan secara perlahan lahan sampai tekanan darah 140/90 mmHg.
Pada manula, tekanan sistolik sama pentingnya dengan tekanan
diastolik. Tahanan pembuluh darah perifer biasanya meningkat akibat
penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di
arteri-arteri besar. Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan
intra-vaskuler. Waktu sirkulasi memanjang dari aktivitas
baroreseptor menurun.
 Pembuluh darah
Perubahan fisiologis normal dari sistem vaskular meliputi
aterosklerosis (yang mengarah ke kekakuan arteri, berkurangnya
compliance pembuluh darah, dan pelebaran tekanan nadi), peningkatan
ketebalan dinding arteri dan penurunan vasodilatasi yang dimediasi oleh
β2 adrenoseptor.Impedansi vaskular meningkat, yang akhirnya
meningkatkan stres dan konsumsi oksigen dinding miokard.7 Berbagai
aspek morfologi dan fungsi vaskular yang dipengaruhi oleh proses
penuaan ditunjukkan pada tabel 7.
Tabel 7. Perubahan morfologi dan fungsi vaskular yang berkaitan
dengan pertambahan umur
Morfologi Fungsi
 peningkatan diameter dan  penurunan vasodilatasi yang
kekakuan arteri elastika besar dimediasi oleh β-
 peningkatan ketebalan tunika adrenoseptor
media dan intima  low-dependent
 peningkatan varian sel-sel  endotelium-dependent dan
endotel atrial natriuretic-peptide
 peningkatan aktivitas elastolitik  penurunan produksi / efek
dan kolagenolitik nitrat oksida
 perubahan proliferasi / migrasi  kenaikan impedansi
sel vascular pembuluh darah, peningkatan
 perubahan matriks dinding kecepatan denyut nadi

22
pembuluh darah.  relected awal pulsasi
gelombang

b. Sistem respirasi
Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru
berkurang, kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya
ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu
mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan
cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas
menyempit dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap
hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu
batuk, pembersihan mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga
menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi
isi lambung lebih besar.
Penurunan elastisitas paru-paru diakibatkan oleh penurunan sebesar
15% dari fungsi alveolar pada usia 70 tahun, sehingga keadaan ini tampak
seperti pada emfisema. Kehilangan fungsi alveoli pada daerah lapangan
paru tertentu menyebabkan peningkatan volume dead space yang
meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (V/Q).Hal ini
meningkatkan gradien O2 alveoli-arterial dan mengurangi PaO2 istirahat.
Penurunan pengembangan dinding dada akibat kalsifikasi vertebra
thorakalis dan tulang iga, diafragma lebih datar dan berkuragnya masa otot
rangka meningkatkan kerja pernapasan dan mengurangi ventilasi
maksimal permenit. Karena penurunan recoil elastis paru-paru, volume
akhir respirasi meningkat sedemikian rupa sehingga melebihi kapasitas
residual fungsional pada usia> 65 tahun.
Respon pernapasan terhadap hipoksia menurun seiring dengan
pertambahan usia. Selain itu, fungsi silia dan refleks batuk juga menurun.
Sehingga sensasi faring, pita suara dan fungsi motorik yang diperlukan
untuk menelan berkurang pada pasien usia lanjut sehingga aspirasi lebih
mungkin terjadi. Pencegahan terjadinya hipoksia perioperatif meliputi,
periode preoksigenasi yang lebih panjang, pemberian konsentrasi oksigen

23
inspirasi yang lebih tinggi selama anastesi, kenaikan kecil pada tekanan
positive end expiratory dan toilet pulmoner yang agresif.Aspirasi
pneumonia adalah komplikasi yang umum dan berpotensial untuk
membahayakan nyawa.Predisposisi dari terjadi nya aspirasi pneumonia
adalah adanya penurunan protektic laryngeal reflek yang terjadi seiring
dengan penuaan.
Nyeri pasca operasi, posisi telentang, golongan narkotika, serta
operasi dada dan perut bagian atas dapat mengganggu fungsi paru-paru,
menyebabkan atelektasis, embolisme, infeksi paru-paru serta depresi
pernapasan.Aktivitas mukosiliar yang efektif diperburuk oleh kebiasaan
merokok sehingga meningkatkan risiko komplikasi. Konsekuensi
fungsional akibat perubahan intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi
sistem respirasi akibat proses penuaan:
 Penurunan elastisitas recoil paru-paru
 Peningkatan pengembangan jaringan paru-paru
 Penurunan kapasitas difusi oksigen
 Penutupan jalan napas prematur yang mengakibatkan ketidaksesuaian
V/Q dan meningkatkan gradien oksigen alveolar terhadap arteri
 Penutupan saluran napas yang berukuran kecil dan perangkapan gas
 Penurunan laju aliran ekspirasi
c. Sistem saraf pusat
Massa otak mengalami penurunan seiring pertambahan usia,
kehilangan sel-sel neuron yang paling menonjol di temukan pada korteks
serebral khususnya di lobus frontalis. Aliran darah otak juga menurun
sekitar 10-20% yang sesuai dengan penurunan sejumlah sel-sel
neuron.Sel-sel neuron mengalami penurunan dalam hal ukuran dan
kehilangan beberapa kompleksitas cabang dendritik dan sejumlah
sinapsis.Sintesis dari beberapa neurotransmiter, seperti dopamin, dan
sejumlah reseptornya mengalami penurunan.Tempat pengikatan
serotonergik, adrenergik, dan asam γ-aminobutirat (GABA) juga
berkurang.Jumlah astrosit dan sel-sel mikroglial meningkat.Degenerasi

24
sel-sel saraf perifer menyebabkan perlambatan kecepatan konduksi dan
atrofi otot rangka.
Proses penuaan dikaitkan dengan peningkatan ambang batas untuk
hampir semua modalitas sensorik termasuk sentuhan, sensasi suhu,
proprioseptif, pendengaran, dan penglihatan. Perubahan dalam persepsi
nyeri sangat kompleks dan kurang dapat dipahami, mekanismenya
mungkin diakibatkan oleh perubahan proses nyeri sentral dan perifer.
Tanpa penyakit penyerta, penurunan fungsi kognitif biasanya sederhana
tetapi jenisnya bervariasi.Memori jangka pendek tampaknya yang paling
terpengaruh.Aktivitas fisik dan intelektual yang kontinyu memberikan efek
positif pada pelestarian fungsi kognitif. Pasien usia lanjut sering
membutuhkan lebih banyak waktu untuk sembuh sepenuhnya dari efek
anestesi umum terhadap sistem saraf pusat, terutama jika mereka
mengalami penurunan kesadaran atau disorientasi sebelum operasi.
Perubahan yang terjadi pada susunan saraf pusat seiring dengan
bertambahnya umur yaitu :
 Atrofi serebral (penurunan volume gray dan white matter)
 Metabolism otak, alirabn darah dan autoregulasi otak tetap konstan
 Pengurangan jumlah neurotransmitter
 Penurunan kinerja dalam aktifitas sehari-sehari
 Meningkatnya sensitifitas terhadap obat anestesi
 Meningkatnya resiko delirium dan disfungsi kognitif perioperative
 Penyempitan kanalis vertebralis
 Degenerasi serabut saraf terutama kornu ventral dan gray matter
 Penurunan diameter transversum medulla spinalis, volume cairan
serebrospinalis dan ketebalan selaput dura yang menyelubungu akar
saraf spinal
 Meningkatnya penyebaran anestesi lokal, onset dan durasi blok
Delirium pasca operasi dan disfungsi kognitif lebih tinggi pada pasien
usia lanjut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa post-operative
cognitive disorder/ disfungsi kognitif pasca operasi (POCD) dapat

25
ditemukan pada 10-15% pasien yang berusia diatas 60 tahun dalam 3
bulan setelah operasi besar. Penelitian oleh Anwer dkk, 2008 menemukan
bahwa fungsi kognitif pasien usia lanjut yang mendapat anestesia regional
vertebralis pasca operasi hari pertama dan ketiga tidak berubah secara
signifikan dibandingkan sebelum operasi. Namun pada pasien usia lanjut
yang mendapatkan anestesi umum mengalami penurunan fungsi kognitif
yang signifikan pada pasca operasi hari pertama. Fungsi kognitif ini secara
signifikan membaik pada pasca operasi hari ketiga, tetapi masih jauh lebih
rendah daripada tingkat fungsi kognitif sebelum operasi.
Etiologi POCD kemungkinan multifaktorial, termasuk efek obat,
nyeri, gangguan kognitif sebelumnya, hipotermia, status gizi buruk, usia
lanjut, dan gangguan metabolik. Rendahnya kadar neurotransmiter tertentu
seperti asetilkolin mungkin ikut berperan. Pasien usia lanjut sangat sensitif
teradap obat-obatan antikolinergik kerja sentral seperti skopolamin dan
atropin. Beberapa pasien mengalami POCD yang berkepanjangan atau
permanen setelah tindakan operasi dan anestesi. Beberapa metode
sederhana untuk mengevaluasi fungsi kognitif usia lanjut seperti tes
Folstein Mini Mental atau three item recall test.
d. Sistem renalis
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi
glomerulus ( LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi
obat. Hal ini disebabkan karena glomerulus dan tubular di ginjal di
gantikan oleh lemak dan jaringan fibrotik. Respon terhadap hormon
diuretik dan hormon aldosteron berkurang Respons terhadap kekurangan
Na juga menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan
mengeluar kan garam dan air berkurang, dapat terjadi over load cairan
dan juga menyebabkan kadar hiponatremia. Ambang rangsang
glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya.
Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga
meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-
perubahan di atas menuurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga

26
manula tidak dapat mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan
beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami
peningkatan kadar kalium dalam dar ahnya, apalagi bila diberikan
larutan garam kalium secara intravena. Kemampuan untuk
mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh
ke dalam asidosis metabolik. Kemungkinan trerjadi gagal ginjal juga
meningkat.
Perubahan fungsi ginjal akibat penuaan, yaitu:
 Penurunan jumlah nefron korteks
 Penurunan massa ginjal
 Penurunan laju filtrasi glomerulus (kreatinin serum tidak berubah
karena penurunan massa otot rangka)
 Penurunan aliran darah ginjal
e. Sistem hepatobilier dan gastrointestinal
Massa hepar berkurang seiring dengan penuaan, dengan diikuti oleh
penurunan hepatic blood flow. Fungsi hepar menurun sesuai dengan
berkurang nya massa hepar. Dengan demikian laju biotransformasi dan
produksi albumin berkurang.Level plasma colinesterasi pada pria tua juga
berkurang.Pasien manula mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera
hati akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi
pemanjangan waktu paruh obat-obat yang diekskresi melalui hati.
Tingkat keasaman lambung cenderung meningkat, meski masa
pengosongan lambung diperpanjang. Akibat menurunnya fungsi
persarafan sistem gastrointestinal, sfingter gastro-esofageal tidak begitu
baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung yang memanjang
sehingga mudah terjadi regurgitasi
f. Sistem Musculoskeletal
Massa otot berkurang, neuromuscular junction juga menipis. Kulit
mengalami atropi seiring dengan usia, dan mudah mengalami trauma
akibat pemasangan selotape, electrocautery pad, dan electrocardiography
electroda. Vena rapuh dan mudah pecah akibat pada pemasangan infus

27
intravena.Sendi artritis mudah terganggu oleh perubahan posisi.Penyakit
degeneratif servikal tulang belakang dapat membatasi ekstensi leher
sehingga membuat intubasi menjadi suli.
3. Farmakologi klinisobat-obatan anestesi pada pasien geriatri
Secara umum berbagai obat-obatan dan teknik anestesi yang sesuai
digunakan untuk orang yang berusia lebih muda dan dewasa juga dapat
digunakan pada pasien usia lanjut dengan keterbatasan fisiologi mereka.
Mungkin diperlukan modifikasi teknik dan khususnya dosis obat.Tidak ada
regimen anestesi yang "ideal" untuk pasien usia lanjut. Mayoritas obat-obatan
anestesi yang lebih poten pada pasien usia lanjut dengan pengecualian atropin
(dosis harus ditingkatkan untuk menghasilkan respon heart rate yang
diinginkan).
Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia
lanjut meliputi:
1) Ikantan Protein Plasma
Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang bersifat
asam adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah α1-acid
glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun sejalan dengan
usia, sedangkan kadar α1-acid glikoprotein meningkat. Dampak
gangguan protein pengikat plasma terhadap efek obat tergantung
pada protein tempat obat itu terikat, dan menyebabkan perubahan
fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan ini kompleks, dan umumnya
perubahan kadar protein pengikat plasma bukanlah faktor
predominan yang menentukan bagaimana farmakokinetik akan
mengalami perubahan sesuai dengan usia.
2) Perubahan komposisi tubuh
Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan
massa tubuh, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan air tubuh
total. Penurunan air tubuh total dapat menyebabkan mengecilnya
kompartemen pusat dan peningkatan konsentrasi serum setelah
pemberian obat secara bolus. Selanjutnya, peningkatan lemak

28
tubuhdapat menyebabkan membesarnya volume distribusi, dengan
potensial memanjangnya efek klinis obat yang diberikan.
3) Metabolisme Obat
Gangguan hepar dan klirens ginjal dapat terjadi sesuai dengan
penambahan usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi
hepar dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat.
4) Farmakodinamik
Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut
mungkin disebabkan karena adanya gangguan sensitivitas pada
target organ (farmakodinamik). Bentuk sediaan obat yang diberikan
dan gangguan jumlah reseptor atau sensitivitas menentukan pengaruh
gangguan farmakodinamik efek anestesi pada pasien usia lanjut.
Umumnya, pasien berusia lanjut akan lebih sensitif terhadap obat
anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit dan efek obat yang
diberikan bisa lebih lama.
Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa menjadi
berat karena adanya interaksi dengan jantung dan vaskuler yang
telah mengalami penuaan. Kompensasi yang diharapkan sering tidak
terjadi karena perubahan fisiologis berhubungan dengan proses
penuaan normal dan penyakit yang berhubungan dengan usia. Apapun
penyebab efek farmakologik yang terganggu, pasien berusia lanjut
biasanya memerlukan penurunan dosis pengobatan yang secukupnya.
Perubahan farmakodinamik utama yang terkait dengan penuaan
adalah penurunan kebutuhan obat-obatan anestesi, ditunjukkan oleh
MAC yang lebih rendah.Titrasi obat-obatan anestesi secara hati-hati
dapat membantu untuk menghindari efek samping dan durasi kerja yang
berkepanjangan. Obat-obatan kerja pendek seperti propofol, remifentanil,
desflurane, dan suksinilkolin mungkin sangat berguna pada pasien usia
lanjut. Obat yang tidak terlalu tergantung pada fungsi hepar, ginjal atau
aliran darah seperti mivakurium, atrakurium, dan cisatrakurium juga
dapat bermanfaat.

29
Obat-obatan Anestesi Inhalasi
Obat-obatan volatile dan intravena biasanya bekerja lebih lama dengan
peningkatan volume pemberian. Anestesivolatile lebih poten pada usia lanjut,
sehingga kebutuhan MAC berkurang (meskipun onset kerja dapat meningkat
dengan penurunan curah jantung).Konsentrasi minimum alveolar (MAC) dari
semua obat-obatan inhalasi berkurang sekitar 4-5% per dekade di atas usia 40
tahun. Oleh karena itu pasien usia lanjut membutuhkan volume anestesi
inhalasi yang lebih rendah untuk mencapai efek yang sama dengan pasien
yang lebih muda. Isoflurane adalah mungkin yang paling sesuai, karena
relatif stabil dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset dan durasi kerja
yang singkat dan hanya 0,2% dari dosis diberikan yang dimetabolisme.
Terdapat efek depresi miokard dari anestesi volatile yang berlebihan pada
pasien usia lanjut, sedangkan isoflurane dan desflurane jarang menimbulkan
efek takikardi. Dengan demikian isoflurane dapat mengurangi curah jantung
dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.
Obat-obatan inhalasi yang kurang larut seperti sevofluran dan desflurane
mengalami metabolisme yang minimal dan sebagian besar diekskresikan oleh
paru-paru.Halotan memiliki keuntungan dengan kurang menimbulkan iritasi
pada saluran pernapasan, meskipun obat ini meningkatkan sensitifitas
miokardium terhadap katekolamin dan mungkin dapat memicu takiaritmia.
Eter telah digunakan dengan baik selama bertahun-tahun, dan pada pasien
usia lanjut sebaiknya diberikan pada konsentrasi rendah dengan dukungan
ventilasi. Hal ini memungkinkan pasien untuk bangun lebih cepat daripada
anestesi dengan konsentrasi eter yang lebih tinggi.Pemulihan dari anestesi
dengan obat-obatan anestesi volatile mungkin dapat memanjang karena
adanya peningkatan volume distribusi (lemak tubuh meningkat), penurunan
fungsi hepar (penurunan metabolisme halotan), dan penurunan pertukaran gas
paru. Eliminasi cepat dari desflurane dapat menjadi alasan sebagai anestesi
yang dipilih untuk pasien usia lanjut.

30
Obat-obat Anestesi Nonvolatile
Secara umum, pasien usia lanjut membutuhkan dosis yang lebih rendah
untuk propofol, etomidate, barbiturat, opioid, dan benzodiazepin. Sebagai
contoh, seorang yg berusia delapan puluh mungkin memerlukan kurang dari
setengah dosis induksi propofol atau thiopental dari yang dibutuhkan oleh
seorang pasien yang berusia 20 tahun.
Meskipun propofol mungkin merupakan obat induksi yang mendekati
ideal untuk pasien usia lanjut karena eliminasi yang cepat, namun obat ini
lebih mungkin untuk menyebabkan apnea dan hipotensi dibandingkan pada
pasien yang lebih muda. Propofol juga dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah yang berlebihan.Pemberian midazolam, opioid, atau ketamin
secara bersama-sama dapat menurunkan kebutuhan propofol.Faktor
farmakokinetik dan farmakodinamik bertanggung jawab untuk peningkatan
sensitivitas terhadap propofol. Pasien usia lanjut membutuhkan kadar
propofol darah untuk anestesi yang hampir 50% lebih rendahdi bandingkan
pasien yang lebih muda. Selain itu tingkat keseimbangan perifer dan klirens
sistemik untuk propofol berkurang secara signifikan pada pasien usia lanjut.
Peningkatan sensitivitas thiopental tampaknya terutama karena faktor
farmakokinetik. Pengurangan 40-50% dosis induksi mungkin merupakan
hasil dari kadar puncak yang tidak menurun secepat pada pasien geriatri
karena distribusi kompartemen sentral ke kompartemen penyeimbang yang
lebih lambat. Peningkatan sensitivitas untuk fentanil, sufentanil dan
alfentanil, terutama akibat perubahan farmakodinamik. Farmakokinetik untuk
opioid tidak dipengaruhi secara signifikan oleh usia. Kebutuhan dosis fentanil
dan alfentanil untuk mencapai titik akhir EEG yang sama adalah 50% lebih
rendah pada pasien usia lanjut.Penuaan meningkatkan jumlah volume
pemberian untuk semua benzodiazepin, yang dapat memperpanjang waktu
paruh eliminasiobat tersebut.Untuk diazepam, waktu paruh eliminasi dapat
berlangsung selama 36-72 jam.Peningkatan sensitivitas farmakodinamik
untuk benzodiazepin juga telah diamati.

31
Pelumpuh Otot
Respon terhadap suksinilkolin dan obat-obatan nondepolarizing tidak
berubah akibat penuaan. Penurunan curah jantung dan perlambatan aliran
darah otot dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan blokade
neuromuskuler hinga 2 kali lipat pada pasien usia lanjut. Pemulihan dari
relaksan otot nondepolarizing yang bergantung pada ekskresi ginjal
(misalnya, metocurine, pankuronium, doxakurium, tubocurarine) dapat
tertunda karena klirens obat yang menurun. Demikian pula, penurunan
ekskresi hepatik akibat kehilangan massa hepar dapat memperpanjang waktu
paruh eliminasi dan durasi kerja rokuronium dan vekuronium. Profil
farmakologi dari atrakurium dan pipekuronium tidak signifikan dipengaruhi
oleh pertambahan usia. Pria usia lanjut dapat mengalami sedikit pemanjangan
efek dari suksinilkolin karena menurunnya kadar kolinesterase plasma.
Tabel 8. Farmakologi klinis obat-obatan anestesi pada pasien usia lanjut

4. Manajemen post-operatif
1) Manajemen jalan napas
Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat diperburuk oleh efek
dari anestesi, instrumentasi faring dan operasi yang dapat meningkatkan
kemungkinan aspirasi pascaoperasi pada usia lanjut. Pembalikan efek blok
neuromuskuler, penggunaan pipa nasogastrik, mengembalikan refleks
faring dan laring, motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan

32
konversi intake oral setelah operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi
pasca operasi.
2) Terapi oksigen
Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk
semua pasien usia lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau
dada, penyakit kardiovaskuler atau pernapasan, kondisi kehilangan darah
yang signifikan, atau bila telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul
sering ditoleransi lebih baik daripada masker.
3) Perawatan intensif
Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau
tersedia fasilitas perawatan intensif (ICU), hal ini dapat
meningkatkan outcome jangka panjang dari pasien usia lanjut, khususnya
mereka yang menjalani operasi darurat.
4) Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia
lanjut, dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang
berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut karena komorbiditas terkait
seperti penyakit jantung iskemik, penurunan cadangan ventilasi, perubahan
metabolisme, efek dan ekskresi.
Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti parasetamol,
dan NSAID dengan hati-hati. Titrasi morfin IV menggunakan protokol
usia lanjut (> 70 tahun) yang sama dengan pasien yang lebih muda
tampaknya aman. Dua sampai tiga miligram morfin IV setiap 5 menit
untuk skor analog visual lebih dari 30 dilaporkan dapat memberikan
kontrol nyeri yang memadai. Opioid kerja singkat seperti fentanil atau
sufentanil dan satrategi manajemen nyeri intensif dengan bolus intermiten
atau patient controlled analgesia (PCA) secara parenteral atau dengan blok
neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien usia lanjut beresiko
tinggi atau pasien usia lanjut dengan risiko rendah yang menjalani operasi

33
berisiko tinggi dengan mengurangi respon stres terhadap pembedahan dan
ambulasi dini.

2.3 Katarak Senilis Imatur (KSI)


1. Anatomi lensa
Lensa berbentuk bikonveks dan transparan.Lensa menyumbang kekuatan
refraksi sebanyak 15-20 dioptri dalam penglihatan.Kutub anterior dan
posterior lensa dihubungkan oleh garis khayal yang disebut axis, sedangkan
equator merupakan garis khayal yang mengelilingi lensa.Lensa merupakan
struktur yang tidak memiliki pembuluh darah dan pembuluh limfe.
Kapsul lensa merupakan membrane dasar yang elastis dan transparan
tersusun dari kolagen tipe IV yang berasal dari sel-sel epitel lensa.Kapsul ini
mengandung isi lensa serta mempertahankan bentuk lensa pada saat
akomodasi.Bagian paling tebal kapsul berada di bagian anterior dan posterior
zona pre-equator dan bagian paling tipis berada di bagian tengah kutub
posterior.
Lensa terfiksir oleh serat zonula yang berasal dari lamina basal pars plana
dan pars plikata badan silier. Serat-serat zonula ini menyatu dengan lensa
pada bagian anterior dn posterior kapsul lensa. Tepat dibelakang kapsul
anterior lensa terdaapat satu lapisan sel-sel epitel.Sel-sel epitel ini dapat
melakukan aktivitas seperti yang dilakukan sel-sel lainnya, seperti sintesis
DNA< RNA, protein dan lipid.Sel-sel tersebut juga dapat membentuk ATP
untuk memenuhi kebutuha energy lensa. Sel-sel epitel yang baru terbentuk
akan menuju equator lalu berdiferensiasi menjadi serat lensa.
Sel-sel berubah menjadi serat. Lalu serat baru akan terbentuk dan akan
menekan serat-serat lama untuk berkumpul di bagian tengah lensa. Serat-serat
paling tua terbentuk merupakan lensa fetus yang diproduksi pada fase
embrionik dan masih menetap hingga sekarang. Serat-serat yang baru akan
memberuk korteks dari lensan.

34
Gambar 2.Anatomi mata Gambar 3. Anatomi lensa

2. Fisiologi Lensa
Lensa tidak memiliki pembuluh darah maupun sistem saraf.Untuk
mempertahankan kejernihannya, lensa harus menggunakan aqueous humor
sebagai penyedia nutrisi dan sebagai tempat pembuangan produknya.Namun
hanya sisi anterior lensa saja yang terkena aqueous humor.Oleh karena itu,
sel-sel yang berada di tengah lensa membangun jalur komunikasi terhadap
lingkunga luar lensa dengan membangun low-resistence gap junction
antarsel.Lensa normal mengandung 65% air, dan jumlah ini tidak banya
berubah seiring bertambahnya usia. Sekitar 5% air didalam lensa berada di
ruang ekstrasel. Konsentrasi sodium di dalam lensa adalah sekitar 20 µM dan
potassium sekitar 120 µM. konsentrasi sodium diluar lensa lebih tinggi yaitu
sekitar 150 µM dan potassium sekitar 5 µM.
Lensa memiliki kemampuan untuk mencembung dan menambah
kekuatan refraksinya, yang disebut dengan daya akomodasi lensa. Mekanisme
yang dilakukan mata untuk merubah focus dari benda jauh ke benda dekat
disebut akomodasi. Akomodasi terjadi akibat perubahan lensa oeh aksi badan
silier terhadap serat zonula.Setelah umur 30 tahun, kekauan yang terjadi di
ukleus lensa secara klinis mengurangi daya akomodasi.Saat otot silier
berkontraksi, serat zonular relaksasi mengakibatkan lensa menjadi lebih
cembung.Ketika otot silier berkontraksi, ketebalan axial lensa meningkat,
kekuatan dioptri meningkat, dan terjadi akomodasi.Saat otot silier relaksasi,
serat zonular menegang, lensa lebih pipih dan kekuatan dioptri menurun.

35
3. Definisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi
akibat kedua-duanya. Katarak senilis adalah katarak yang terkait usia yaitu
pada usia diatas 40 tahun.
Katarak senilis imatur merupakan salah satu stadium katarak senilis,
dimana pada stadium ini kekeruhan lensa belum terjadi disemua bagian
lensa.Kekeruhan pada stadium ini utamanya terjadi di bagian posterior
dibelakang nucleus lensa.Pada katarak imatur, volume lensa dapat bertambah
akibat meningkatnya tekanan osmotic bahan degenerative lensa. Pada
keadaan ini, lensa akan mencembung dan dapat menimbulkan hambatan pupil
sehingga terjadi glaucoma sekunder.
4. Etiologi
Penyebab katarak senilis sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti, diduga penyebabnya multifactorial. Beberapa penyebab diantaranya,
yaitu:
 Faktor biologis, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetic
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat sehingga
mempunyai efek buruh terhadap serabut-serabut lensa.
 Faktor imunologi
 Gangguan yang bersifat local pada lensa, seperti gangguan nutrisi,
gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari.
 Gangguan metabolisme umum
5. Patofisiologi
Kekeruhan lensa dapat terjadi karena hidrasi dan denaturasi protein lensa.
Dengan bertambahnya usia, ketebalan dan berat lensa akan meningkat
sementara daya akomodasinya akan menurun. Dengan terbentuknya lapisan
konsentrasi baru dari kortek, inti nucleus akan mengalami penekanan dan
pengerasan. Proses ini dikenal sebagai sclerosis nuclear. Selain itu terjadi
juga proses kristalisasi pada lensa yang terjadi akibat modifikasi kimia dan
agregasi protein menjadi high-moleculer-weight-protein.Hasil dari agregasi

36
protein secara tiba-tiba ini mengalami fluktuasi refraktif index pada lensa
sehingga menyebabkan cahaya menyebar dan penurunan pandangan.
Modifikasi kimia dari protein nucleus lensa juga menghasilkan pigmentasi
progresif yang akan menyebabkan warna lensa menjadi keruh. Perubahan lain
pada katarak terkait usia juga menggambarkan penurunan konsentrasi glutatin
dan potassium serta meningkatnya konsentrasi sodium dan calcium.
Terdapat beberapa factor yang ikut berperan dalam hilangnya transparasi
lensa. Sel epithelium lensa akan mengalami proses degenerative sehingga
denistasnya akan berkurang dan terjadi penyimpangan diferensiasi dari sel-sel
fiber. Akumulasi dari sel-sel epitel yang hilang akan meningkatkan
pembentukan serat-serat lensa yang akan menyebabkan penurunan transparasi
lensa. Selain itu, proses degenerative pada epithelium lensa akan menurunkan
permeabilitas lensa terhadap air dan molekul-molekul larut air sehingga
transportasi air, nutrisi dan antioksidan kedalam lensa menjadi berkurang.
Peningkatan produk oksidasi dan penurunan antioksidan seperti vitamin dan
enzim-enzim superoxide memiliki peran penting pada proses pembentukan
katarak.
6. Stadium
 Katarak insipien
Kekeruhan pada stadium ini terletak pada bagian perifer korteks
anterior dan posterior sehingga menimbulkan keluhan poliopia karena
indeks refraksi bagian lengsa yang berbeda-beda.Pada stadium ini, tajam
penglihatan pasien biasanya masih baik dan bisa mencapai 6/6.
 Katarak imatur
Kekeruhan pada katarak imatur lebih tebal dan luas dibandingkan
katarak insipient, akan tetapi masih ada bagian lensa yang jernih.
Pemeriksaan membutuhkan midriatikum agar katarak dapat dilihat dengan
jelas menggunakan oftalmoskop, kaca pembesar, dan slitlamp.Pada
stadium ini dapat terjadi miopisasi dan glaucoma sekunder karena terjadi
intumesensi lensa.Tajam penglihatan bisa menurun hingga 1/60.

37
 Katarak matur
Pada stadium ini, seluruh bagian korteks lensa mengalami
kekeruhan.Akan tetapi, lensa kembali mengecil karena air keluar bersama
hasil disintegrasi. Keluarnya air akan mengembalikan iris pada posisi
semuala sehingga kedalaman camera oculi anterior menjadi normal.
Penglihatan memburuk pada stadium ini, bahkan terkadang pasien hanya
bisa membedakan gelap dan terang.
 Katarak hipermatur
Katarak hipermatur ditandai dengan protein kortikal yang mencair dan
keluar melalui kapsul sehingga lensa mengerut dan berwarna
kuning.Protein yang keluar ke camera oculi anterior dapat memicu
peradangan pada uvea.Pencairan protein kortek yang terus menerus
menyebabkan nucleus mengapung bebas di dalam kantong kapsul,
keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni.
7. Gejala klinis
Seorang pasien dengan katarak senilis datang dengan riwayat
kemunduran dan gangguan penglihatan secara progresif.Penyimpangan
penglihatan bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak ketika pasien
datang.
 Penurunan visus, merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien
dengan katarak senilis
 Silau, keluhan ini termasuk seluruh spectrum dari penurunan sensitivitas
kontras terhadap cahaya dalam lingkungan yang terang hingga silau pada
saat siang hari atau sewaktu melihat lampu mobil atau kondisi serupa di
malam hari.
 Myopic shift. Seiring dengan perkembangan katarak, dapat terjadi
peningkatan dioptri kekuatan lensa, yang pada umumnya menyebabkan
miopia ringan hingga sedang. Karena meningkatnya miopia akibat
kekuatan refraktif lensa nuklear sklerotik yang menguat, sehingga
kacamata baca atau bifokal tidak diperlukan lagi. Perubahan ini disebut
”second sight”.

38
 Diplopia monocular. Terkadang, perubahan nuklear terletak pada lapisan
dalam nukleus lensa, menyebabkan daerah pembiasan multipel di tengah
lensa sehingga menyebabkan refraksi yang ireguler karena indeks bias
yang berbeda.
 Noda, berkabut pada lapangan pandang.
 Ukuran kaca mata sering berubah.
8. Diagnosis
Diagnosis katarak senilis imatur dapat diperoleh dari gejala-gejala klinis
yang dialami sertea pemeriksaan oftalmologi.Pasien pada karata senilis
imatur biasanya datang dengan kelihan pandangan mata kabur serta silau.
Sementara pemeriksaan oftalmologi dapat dilakukan dengan senter, slit lamp
dan funduskopi. Berikut hasil temuan pemeriksaan oftalmologi pada katarak
senilis imatur dan katarak stadium lainnya.
Tabel 9.Temuan pemeriksaan oftamologi pada katarak senilis.
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan lensa Ringan Sebagian Komplit Massif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
(air masuk) (air+masa kensa
keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopositif
visus + < << <<<
penyulit - glaukoma - Uveitis+glaukoma

Pada katarak senilis imatur, terdapat kekeruhan pada sebagian lensa yang
dapat menimbulkan gangguan visus.Dengan koreksi, visus masih dapat
mencapai 1/60-6/6.Pada stadium ini, kekeruhan belum mengenai seluruh
lapisan lensa.Pada lensa normal yang tidak dapat kekeruhan, sinar dapat
masuk kedalam mata tanpa ada yang dipantulkan. Oleh karena kekeruhan
dibagian posterior lensa, maka sinar obliq yang mengenai bagian yang keruh
ini, akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan, terlihat dipupil ada
daerah yang terang sebagai reflek pemantulan cahaya pada daerah lensa yang

39
keruh dan daerah yang gelap, akibat bayangan iris pada bagia lensa yang
keruh. Keadaan ini disebut shadow test (+).
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi
lensa.Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah
lensa yaitu intra capsuler cataract ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler
cataract ekstraksi (ECCE).
Indikasi
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi
visus,medis, dan kosmetik.
a. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada
tiap individu, tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak
terhadap aktivitas sehari-harinya.
b. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan
pada lensa matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi
katarak seperti glaukoma imbas lensa (lens-induced glaucoma),
endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina misalnya retiopati
diabetik atau ablasio retina.
c. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta
ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan untuk mengembalikan visus)
untuk memperoleh pupil yang hitam.
Persiapan Pre-Operasi
1) Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit semalam sebelum operasi
2) Pemberian informed consent
3) Bulu mata dipotong dan mata dibersihkan dengan larutan Povidone-Iodine
5%
4) Pemberian tetes antibiotik tiap 6 jam
5) Pemberian sedatif ringan (Diazepam 5 mg) pada malam harinya bila
pasien cemas
6) Pada hari operasi, pasien dipuasakan.

40
7) Pupil dilebarkan dengan midriatika tetes sekitar 2 jam sebelum operasi.
Tetesan diberikan tiap 15 menit
8) Obat-obat yang diperlukan dapat diberikan, misalnya obat asma,
antihipertensi, atau anti glaukoma. Tetapi untuk pemberian obat
antidiabetik sebaiknya tidak diberikan pada hari operasi untuk mencegah
hipoglikemia, dan obat antidiabetik dapat diteruskan sehari setelah operasi.
Tekhnik Operasi Katarak
Berikut ini akan dideskripsikan secara umum tentang tiga prosedur
operasi pada ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu ICCE, ECCE, dan
phacoemulsifikasi.
1) Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama
kapsul. Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake
dan depindahkan dari mata melalui incisi korneal superior yang lebar.
Sekarang metode ini hanya dilakukan hanya pada keadaan lensa
subluksatio dan dislokasi. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder
dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer. ICCE
tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari
40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular.Penyulit yang
dapat terjadi pada pembedahan ini astigmatisme, glukoma, uveitis,
endoftalmitis, dan perdarahan.

Gambar 4. Teknik ICCE

41
2) Extra Capsular Cataract Extraction ( ECCE )
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan
pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior
sehingga massa lensa dan kortek lensa dapat keluar melalui robekan.
Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan
kelainan endotel, implantasi lensa intra ocular posterior, perencanaan
implantasi sekunder lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah
glukoma, mata dengan prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca,
mata sebelahnya telah mengalami prolap badan kaca, ada riwayat
mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid macular edema, pasca bedah
ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak
seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan
ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.

Gambar 5. Teknik ECCE


3) Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan
memindahkan kristal lensa. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat
kecil (sekitar 2-3mm) di kornea. Getaran ultrasonic akan digunakan untuk
menghancurkan katarak, selanjutnya mesin PHACO akan menyedot massa
katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah lensa Intra Okular yang
dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Karena incisi yang kecil
maka tidak diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang
memungkinkan pasien dapat dengan cepat kembali melakukan aktivitas

42
sehari-hari.Tehnik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan
kebanyakan katarak senilis.

Gambar 6. Tekhnik Phakoemulsifikasi (phaco)

Keuntungan dan kerugian tekhnik operasi katarak


Tabel 10.Keuntungan dan kerugian tekhnik operasi ECC, ICCE, dan
Phakoemulsifikasi
Jenis tehnik bedah Keuntungan Kerugian
katarak
Extra capsular  Incisi kecil  Kekeruhan pada kapsul
cataract extraction  Tidak ada komplikasi posterior
(ECCE) vitreus  Dapat terjadi
 Kejadian perlengketan iris
endophtalmodonesis dengan kapsul
lebih sedikit
 Edema sistoid makula
lebih jarang
 Trauma terhadap
endotelium kornea lebih
sedikit
 Retinal detachment lebih
sedikit
 Lebih mudah dilakukan
Intra capsular  Semua komponen lensa  Incisi lebih besar
cataract extraction diangkat  Edema cistoid pada
(ICCE) makula
 Komplikasi pada vitreus
 Sulit pada usia < 40
tahun
 Endopthalmitis
Phakoemulsifikasi  Incisi paling kecil  Memerlukan dilatasi

43
 Astigmatisma jarang pupil yang baik
terjadi  Pelebaran luka jika ada
 Pendarahan lebih sedikit IOL
 Teknik paling cepat

10. Komplikasi
 Komplikasi intra operatif
Edem kornea, COA dangkal, rupture kapsul posterior, pendarahan
atau efusi surprakoroid, pendarahan suprakoroid ekspulsif, disrupsi vitreus,
incacerata kedalaman luka serta retinal light toxicity.
 Komplikasi dini pasca operatif
 COA dangkal karena kebocoran luka dan tidak seimbangnya antara
cairan yang keluar dan masuk , adanya pelepasan koroid, block pupil
dan siliar, edem stroma dan epitel, hipotonus, brown-McLean syndrome
(edem kornea perifer dengan daerah sentral yang bersih).
 Rupture kapsul posterior, yang mengakibatkan prolapse vitreus.
 Prolaps iris, umumnya disebabkan karena penjahitan luka insisi yang
tidak adekuat yang dapat menimbulkan komplikasi seperti
penyembuhan luka yang tidak sempurna, astigmatismus, uveitis anterior
kronik dan endoftalmitis
 Pendarahan, yang biasa terjadi bila iris robek saat melakukan insisi.
 Komplikasi lambat pasca operatif
 Ablasio retina
 Endoftalmitis kronik yang timbul karena organisme dengan virulensi
rendah yang terperangkap dalam kantong kapsuler.
 Post kapsul capacity, yang terjadi karena kapsul posterior lemah.
11. Prognosis
Dengan teknik bedah yang mutakhir, komplikasi atau penyulit menjadi
sangat jarang.Hasil pembedahan yang baik dapat mencapai 95%.
Keberhasilan tanpa komplikasi pada pembedahan dengan ECCE atau
phakoemulsifikasi menjanjikan prognosis dalam penglihatan dapat meningkat
hingga 2 garis pada pemeriksaan dengan menggunakan snellen chart.

44
BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. P
Umur : 74 tahun
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 155 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bunga Raya-Siak
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 17 Juni 2019
No. RM : 08.16.38

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Penglihatan berkabut ± sejak 3 tahun yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh penglihatan berkabut pada mata sebelah kanan
sejak ± 3 tahun yang lalu dan semakin lama semakin kabur sejak 4
bulan terakhir.Pasien mengeluh silau (+) jika melihat cahaya terang, air
mata sering keluar (+).Keluhan mata merah tidak ada, keluar secret
dari mata tidak ada.Pasien juga mengaku lebih nyaman berada diruang
yang gelap tanpa cahaya.
Tidak ada faktor yang memperburuk atau meringankan keluhan
penglihatan kaburnya.Pasien menyangkal mempunyai keluhan sering
menabrak saat berjalan.Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat
tetes mata atau konsumsi obat dalam jangka waktu lama.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat asthma (-)
 Riwayat hipertensi (+)

45
 Riwayat DM (-)
 Riwayat sakit jantung (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
 Riwayat asthma disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat DM disangkal
e. Riwayat penggunaan obat-obatan :
- Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya
f. Riwayat Anastesi/Operasi sebelumnya :
- Riwayat operasi (+) 1 bulan yang lalu pada mata sebelah kiri
dengan keluhan yang sama.
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Vital sign
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 GCS : 15 (E4M5V6)
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Respirasi : 20x/menit
 Nadi : 80x/menit
 Suhu : 36,00C
b. Status Generalis :
 Kepala :Normochepal, simestris, tanda trauma (-),tumor (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
 Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
 Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
 Mulut : Bibir kering(-), pembesaran tonsil (-)
 Gigi : Gigi palsu (-)
 Leher
- Inspeksi : Simestris, trakea ditengah, TMD > 6 cm, gerak
leher bebas.
- Palpasi : Pembesaran tiroid dan limfe (-)

46
 Thorax
- Pulmo : vesikuler (+/+) normal, Ronkhi(-/-), Wheezing(-/-)
- Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas luka
- Auskultai : Bunyi usus (+) normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : abdomen supel, Tidak ada nyeri tekan, tidak ada
masa
 Ekstremitas : akral hangat, edem sup (-/-) inf (-/-), keterbatasan
gerak (-), CRT < 2”

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal : 17 Juni 2019
Pemeriksaan darah lengkap
- Hb : 13.9 gr/dl
- Leukosit : 7200 /ul
- Ht : 44,1 %
- Eritrosit : 4,98 M/ul
- Trombosit : 232000 /ul
- Gula darah sewaktu : 94 mg/dl
- Ureum : 28 mg/dl
- Kreatinin : 0,9 mg/dl
- SGOT : 21 U/I
- SGPT : 12 U/I
- Alkali Phospatase : 63 U/I
V. DIAGNOSIS KLINIS
 Diagnosis pra operasi: Katarak senilis imatur OD
 Diagnosis post operasi: Pseudofakia OD

47
VI. STATUS ANASTESI
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

VII. TINDAKAN
 Dilakukan : Anestesi Umum
 Tanggal : 18 Juni 2019

VIII. LAPORAN ANESTESI PREOPERATIF


Persiapan Anestesi
 Informed concent : Ada
 Surat izin operasi : Ada
 Puasa : Pasien puasa sejak pukul 24.00
WIB
 Pemasangan IV line : Sudah terpasang
 Pemeriksaan penunjang : Laboratorium darah
 Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi
O2
 Pemeriksaan pasien di ruangan operasi
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,50C
- Pernafasan : 20 x/menit

IX. LAPORAN ANESTESI INTRAOPERATIF


 Penatalaksanaan Anestesi
- Tanggal operasi : 6 Desember 2016
- Jam rencana operasi : 08.00 WIB
- Mulai operasi : 08.45 WIB
- Selesai operasi : 09.30 WIB
- Lama operasi : 45 menit
- Diagnosa pra bedah : katarak senilis imatur OD

48
- Diagnosa pasca bedah : Pseudophakia OD
- Macam operasi : ECCE + IOL OD
- Ahli bedah : dr. Kahermasari, SpM
- Ahli anestesi : dr. Benny Chairuddin, Sp.An
- Teknik anestesi : General Anestesi
- Intubasi : ETT King king nomor 7
- Mulai induksi : 08.45
- Obat induksi : Propofol iv 75 mg
- Premedikasi : Ondansentron iv 4 mg, ketorolac iv
30 mg
Medikasi Intra Operatif:
 Pethidin 75 mg
 Atrakurium 20 mg
 N2O 1 L/menit
 O2 2 L/menit
Medikasi Post Operatif:
- Ventilasi : O2 2 L/menit
- Tekanan darah, Nadi, Saturasi O2
Waktu Tekanan darah Saturasi oksigen Nadi
08.45 130/80 mmHg 99% 98 x/menit
08.50 130/80 mmHg 99% 100 x/menit
08.55 130/80 mmHg 99% 100 x/menit
09.00 129/83 mmHg 100% 98 x/menit
09.05 110/70 mmHg 100% 89 x/menit
09.10 110/70 mmHg 100% 90 x/menit
09.15 120/70 mmHg 99% 96 x/menit
09.20 118/70 mmHg 99% 90 x/menit
09.25 128/80 mmHg 99% 98 x/menit
09.30 128/80 mmHg 99% 98 x/menit

- Cairan yang masuk selama operasi :


 RL 500 ml
- Cairan yang keluar selama operasi : 25 ml

49
X. LAPORAN ANESTESI POST OPERATIF
 Pasien Sadar : 09.40 WIB
 Aldrete score : 10 (warna kulit kemerahan, gerak 4 anggota tubuh,
nafas dalam, tekanan darah ±20 mmHg dari pre operasi, sadar
penuh mudah dipanggil)
 Pasien diantar keruangan : 10.30 WIB
 Terapi cairan post operatif : RL 20 tpm
 Saturasi oksigen post operatif : 100%

XI. PROGNOSA
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
 Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

BALANCE CAIRAN
Berat badan : 58 kg
EBV : 65 x BB  65 x 58 = 3770
ABL : 20 x EBV  20 x 3770 = 75.400

50
Kriteria operasi : sedang
Jenis operasi :ECCE
Puasa : 8 jam (2 x BB x jam  2 x 58 x 8 = 928)
Stress op :6 x BB  6 x 58 = 348
Maintenance :2 x BB  2 x 58 = 116
Kebutuhan cairan jam I : stress op + maintenance ( 348+116 = 464)
Kebutuhan cairan jam II : stress op + maintenance ( 348+116 = 464)
Kebutuhan cairan jam III : stress op + maintenance ( 348+116 = 464)
Input Output
Kristaloid Koloid Tranfusi
Jam I II III I II Perdarahan Urin Maintenance Balance
08.45 500 - - 25 116

51
BAB IV
PEMBAHASAN

Ny. W dibawa keruang operasi untuk menjalani operasi katarak pada tanggal
6 desember 2016 dengan diagnosis preoperative katarak senilis imatur oculi
dektra.Tindakan operasi yang dilakukan adalah ECCE + IOL OD oleh dokter
spesilias mata.Pada pasien dapat dikategori pada ASA II.Sebelum operasi pasien
dipuasakan selama 6-8 jam dengan tujuan gastric emptying sehingga
meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke saluran napas.
Pada pasien ini tekhnik anestesi yang dilakukan adalah general anestesi
(anestesi umum) dan pemasangan ET untuk memastikan airway pasien aman
selama proses operasi. General anestesi digunakan karena dengan anestesi ini
pasien akan lebih tenang. Hal ini dikarenakan pada operasi ECCE pasien harus
dalam keadaan tenang karena gerakan bola mata sangat sulit diprediksi pada
pasien gelisah sehingga dapat menurunkan risiko trauma iatrogenic selama
tindakan operasi walaupun tekhnik ini juga memiliki risiko, namun risiko dapat
diminimalisir dengan monitoring ketat tanda vital selama operasi berlangsung dan
setelah operasi.
a. Pre-Operatif
Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam
pemberian anastesi dan operasi selalu ada resiko.Persiapan yang dilakukan
meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan obat
anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita diantaranya
meliputi :
 informasi penyakit
 anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
 riwayat imunisasi, riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asthma, diabetes
mellitus, riwayat trauma, dan riwayat operasi sebelumnya.
 riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
 makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah pada saat anestesi)

52
 Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent, suatu
persetujuan medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga
pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien
dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin
terjadi selama operasi dan post operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan
pada pasien, maka pasien termasuk dalam klasifikasi ASA II.
b. Intra-Operatif
Anastesi pada pasein ini menggunakan anastesi intravena.Komponen
trias anastesi yang dicapai adalah hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.Pasien
dalam posisi terlentang, dilakukan menyuntikan obat induksi anestesi secara
bolus melalui IV line. Kemudian pasien mulai tidak sadar, pada pasien
dilakukan triple airway maneuver untuk memudahkan proses intubasi.
Dengan bantuan laringoskop macintosh, endotrakheal tube dimasukkan dan
disambung ke selang oksigen, diikuti dengan pemasangan oropharingeal
airway untuk membantu pembebasan jalan nafas.
Selain itu dipasang juga tensimeter dan oksimetri untuk memantau
tekanan darah dan pernafasan setiap 5 menit.Pada pasien ini berikan cairan
infus RL sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang.Total cairan yang diberikan sekitar 500 cc.
c. Post-Operatif
Setelah operasi selesai, pasien bawa ke ruang observasi.Pasien berbaring
dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan tungkai
tetap lurus. Observasi post operasi dilakukan pemantauan vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 30 menit. Oksigen tetap
diberikan 2-3 liter/menit.Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa
ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.

Hubungan Anestesi Umum dengan Hipertensi


Induksi anestesi dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi.Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.Hipotensi diakibatkan vasodilatasi

53
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading caorn penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh pasien seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi
yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskop dan intubasi
endotrakeal yang dapat menyebabkan takikardi dan dapat menyebabkan iskemia
miokard.
Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskop-intubasi endotrakea
bisa mencapai 25%. Beberapa teknik yang dapat dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi, yaitu:
 Dalamkan anestesi dengan menggunakan gas valotile yang poten selama 5-10
menit
 Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikro/kgBB, alfentanil 15-25 mikro/kgBB,
atau ramifentanil 0,5-1 mikro/kgBB).
 Berikan lidokain 1,5 mg/kgBB intravena atau intratrakea.
 Menggunakan beta adrenergic blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgBB,
propranolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya
adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan
pelumpuhan otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium.Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebafai
obat induksi secara inhalasi.

54
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi.Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan general anestesi (anestesi
umum) pada operasi katarak yaitu ECCE pada penderita Ny. W. General anestesi
digunakan karena dengan anestesi ini pasien akan lebih tenang. Hal ini
dikarenakan pada operasi ECCE pasien harus dalam keadaan tenang. Status fisik
ASA II, dengan diagnosis pra operasi katarak senilis imatur OD dan diagnosis
post operasi pseudofakia OD.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.Selama di ruang
observasi juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

55
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. 2010. Ilmu Penyakit Dalam, ed 5 jilid 3. Jakarta: EGC.


Ilyas, S dan Yulianti, S.R. 2015.Ilmu Penyakit Mata, Ed 5. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedoktean Universitas Indonesia.
Latief S.A., Suryadi K.A, dan Dachlan M.R. 2012.Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Ed.2. Jakarta: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2010.
Morgan, J.R., Mikhail, M.S, and Murray, M.J. 2006.Clinical Anesthesiology. 4th
ed. New York: Mcgraw-Hill Companies.
Press, C.D. 2015. General Anesthesia. Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview [akses : 12
desember 2016].
Victor and Vicente. 2012. Senile Cataract. Available from: www.medscape.com.
WebMD. 2014. General Anesthesia. WebMD. Available
from:http://www.webmd.com/a-to-z-guides/general-anesthesia-topic-
overview [akses: 12 desember 2016].

56

Anda mungkin juga menyukai