Anda di halaman 1dari 13

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelinci Sebagai Hewan Percobaan


Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
serta mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pengamatan laboratorium (Sevendsen dan Hau 1994). Para ahli sering
menggunakan hewan yang memiliki karakteristik kebutuhan biologi untuk
menjawab pertanyaan dalam penelitian tersebut. Umumnya hewan yang
digunakan dalam penelitian adalah rodensia dan kelinci. Jenis hewan lain yang
dapat digunakan untuk penelitian ialah reptil, amfibi, ikan, ayam, babi, kambing,
anjing, kucing, dan monyet (Bride 1997).
Menurut Smith dan Mangunwijoyo (1998), hewan percobaan adalah
hewan yang digunakan dalam penelitian biologis maupun biomedis atau jenis
hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Sebagai hewan percobaan,
hewan laboratorium harus memiliki persyaratan-persyaratan, antara lain (1)
mudah diperoleh dengan jumlah yang memadai; (2) mudah dipelihara, diproduksi
dan ditangani; (3) mudah diamati/dimonitor; (4) memberikan responss
fisiopatologi yang cenderung sama; (5) tersedia cukup informasi tentang positif
dan negatifnya hewan tersebut menjadi model; (6) tidak tergantikan dengan model
non-hewan seperti simulasi komputer ataupun oleh studio in-vitro.
Kelinci merupakan satu diantara mamalia yang bermanfaat. Kelinci
biasanya dimanfaatkan untuk produksi daging, hewan percobaan, dan hewan
peliharaan. Jenis kelinci untuk beberapa tujuan berbeda-beda (Curnin dan Bassert
1985). Banyak jenis kelinci yang tersedia, satu diantara yang umum dipakai di
laboratorium adalah New Zealand White (Wolfensohn dan Iloyd 1988).
Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dipelihara sekarang berasal dari
kelinci liar di Eropa. Kelinci yang dipelihara di Indonesia sebagian besar adalah
keturunan kelinci yang dibawa dari Belanda dan termasuk jenis kelinci kecil
dengan bobot badan kurang dari 2 kg. Jenis inilah yang sering digunakan sebagai
hewan percobaan. Selain kelinci kecil terdapat juga kelinci yang lebih besar (± 5
kg) yang sengaja diimpor dari Eropa, Selandia Baru, Australia, dan Amerika
untuk tujuan produksi daging bagi konsumsi manusia. Hasil persilangan antara
kedua jenis kelinci tersebut sudah banyak dipelihara oleh petani dan biasanya
kelinci jenis besar digunakan untuk produksi antiserum, sedangkan kelinci jenis
kecil digunakan untuk uji-uji kualitatif (Malole dan Pramono 1989).

2.1.1. Taksonomi Kelinci

Secara umum taksonomi kelinci (Oryctolagus cuniculus) adalah sebagai


berikut (Sirosis 2005):
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Order : Lagomorpha
Family : Leporidae
Genus : Oryctolagus (rabbits), Lepos(hares), Octona(pikas),
Silvilagus (cottontails)
Species : cuniculus forma domestica (domestic rabbit), cuniculus
(wild rabbit)

2.1.2. Karakteristik Umum Kelinci


Selain karakteristik sepasang gigi seri atas, ada perbedaan yang
membedakan kelinci dari hewan rodensia lainnya. Tabel 1 merupakan ringkasan
data fisiologis yang unik dari kelinci (Sirosis 2005).

Bobot badan
Jantan dewasa 2-5 kg
Betina dewasa 2-6 kg
Bobot lahir 30-80 g
Pemeriksaan Klinis
Temperatur rektal 38.5OC (101.3OF-104.OF)
Jantung normal 180-250 kali/menit
Respirasi normal 30-60 kali/menit
Umur Pubertas dan kawin
Kematangan sexual (jantan) 22-52 minggu
(betina) 22-52 minggu
Kawin (Jantan) 60-72 bulan
(betina) 24-36 bulan

Gambar 1. Kelinci yang biasa digunakan sebagai hewan laboratorium

2.1.3. Temperatur Tubuh


Pengaturan keseimbangan temperatur didalam tubuh diakibatkan adanya
suatu reaksi yang berjalan cepat maupun lambat yang menyebabkan kenaikan
maupun penurunan temperatur tubuh. Temperatur tubuh bervariasi pada kerja
fisik dan pada temperatur lingkungan yang ekstrem (Guyton dan Hall 1997).
Berdasarkan hubungan antara temperatur tubuh dan lingkungan sekitar, hewan
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni hewan berdarah dingin atau
poikilotermik dan hewan berdarah panas atau homeotermik (Sevendsen dan Carter
1993). Kelinci merupakan hewan mamalia sehingga merupakan hewan berdarah
panas atau homeothermic. Hewan homoiterm mempunyai variasi temperatur
normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan,
faktor panjang waktu siang dan malam dan faktor makanan yang dikonsumsi
(Swenson 1997).
Kelinci memiliki temperatur tubuh mulai 38,5 - 39,5 oC (O’Malley 2005).
Temperatur ini dipertahankan dengan cara pembakaran makanan di dalam
tubuhnya serta jika diperlukan kelinci bergerak agar tetap hangat dengan cara
menggigil. Cara lain untuk mempertahankan temperatur tubuh ialah dengan
menghilangkan panas dalam tubuh yang dapat dilakukan melalui empat metode,
yaitu evaporasi, konveksi, radiasi, dan konduksi (Fielding 1992). Temperatur
tubuh, diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik dan
hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan temperatur yang
terletak pada hipotalamus (Guyton dan Hall 1997). Kelinci sangat sensitif
terhadap panas, sehingga kandangnya harus bertemperatur 15-21 oC karena
temperatur yang tinggi dapat menghalangi pemasukan air dan panting, yang
dapat mempercepat dehidrasi dan menjadi fatal (O’Malley 2005). Stress akibat
panas tidak akan terjadi jika temperatur dapat dipertahankan (Fielding 1992). Hal
ini dapat dilihat dari kebiasaan kelinci mencari tempat yang teduh untuk
beristirahat pada liang/galiannya atau berbaring untuk mengurangi luas area
permukaannya. Kelinci lebih suka berada dibawah tanah galiannya yang
kelembabannya normal, karena mereka sensitif terhadap kelembaban rendah
namun pada kelembaban yang tinggi tidak menjadi masalah baginya. Telinganya
yang panjang juga penting dalam menyebarkan panas, pendinginan telinga secara
langsung menyebabkan penurunan temperatur tubuh dan juga sebaliknya
( O'Malley 2005).

2.1.4. Sistem Kardiovaskuler


Sistem sirkulasi darah terdiri atas jantung, pembuluh darah, dan saluran
limfa. Jantung merupakan organ pemompa yang besar yang memelihara peredaran
melalui seluruh tubuh, pembuluh darah merupakan jalan lalu lintas lewatnya
darah, sedangkan saluran limfa berfungsi mengumpulkan, menyaring, dan
menyalurkan kembali ke dalam darah yang dikeluarkan melalui dinding kapiler
halus untuk membersihkan jaringan (Pearce 2006). Prinsip mendasar dari sirkulasi
adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengendalikan aliran darah lokalnya
sendiri sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Selanjutnya, karena kebutuhan
aliran darah berubah, aliran akan mengikuti perubahan tersebut (Guyton dan Hall
1997). Kekuatan darah masuk ke dalam aorta selama kontraksi tidak hanya
menggerakkan darah dalam pembuluh ke depan, tetapi juga menyusun suatu
gelombang tekanan yang berjalan sepanjang arteri. Gelombang tekanan
mendorong dinding arteri seperti ia berjalan dan pendorongnya teraba sebagai
jantung. Kelinci memiliki jantung yang bervariasi antara 180-250 denyut per
menit (O’Malley 2005). Kecepatan jantung dalam keadaan sehat berbeda-beda.
Hal ini dipengaruhi oleh makanan, umur dan emosi. Irama dan denyut sesuai
dengan siklus jantung (Pearce 2006).

2.1.5. Sistem Reproduksi


Reproduksi merupakan suatu proses yang kompleks, karena pengaturan
fungsinya tidak hanya dipengaruhi oleh organ reproduksi, tapi juga dipengaruhi
oleh hormon (Fielding 1992). Organ reproduksi dapat dibagi menjadi dua, yakni
organ eksterna dan organ interna. Organ eksterna ialah vulva dan organ interna
yang terletak didalam pelvis ialah uterus, dua ovarium dan tuba uterina
(Fallopian) (Pearce 2006). Siklus reproduksi pada kelinci berbeda dari hewan lain
(Dallas 2006). Siklus reproduksi pada semua jenis hewan dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Data siklus reproduksi (Dallas 2006).


Spesies Pubertas Oestrus Kehamilan
Anjing 7-12 bulan 2 kali setahun 63-67 hari
Kucing 6-10 bulan Setiap 21 hari 63-65 hari
Kelinci 3 bulan Ketika ovulasi 30-33 hari
Marmot 4-5 minggu 15-16 hari 60-72 hari
Mencit 3-4 minggu 4-5 hari 19-21 hari
Hamster 6-10 minggu 4 hari 15-22 hari
Tikus 6 minggu 4-5 hari 20-22 hari

Kelinci merupakan satu diantara hewan mamalia. Diketahui bahwa hewan


mamalia memiliki sistem reproduksi yang maju baik dalam mekanisme
pembuahan serta pemeliharaannya (Dallas 2006). Kelinci baru mengalami ovulasi
pada 9-13 jam sesudah dikawinkan (induced ovulator). Ovulasi merupakan
pematangan folikel De Graaf dan pengeluaran ovum (Pearce 2006). Kelinci
betina tidak memiliki siklus estrus, tetapi terdapat periode subur selama 4-17 hari
yang diselingi oleh masa tidak subur yang sangat singkat (1-2 hari), saat folikel-
folikel yang sudah atropi diganti dengan folikel-folikel yang baru. Masa subur
ditandai oleh vulva yang bengkak dan merah, serta kesediaan kelinci betina untuk
dikawini. Perubahan-perubahan pada vulva tersebut tidak konstan dan tidak
merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan masa kawin. Kelinci masih
bersedia kawin dalam masa bunting dan laktasi. Oleh karena itu kelinci betina
tidak boleh dicampur dengan kelinci jantan sesudah dikawinkan sampai anaknya
disapih. Puncak libido timbul kurang lebih pada hari ke 26 dan 39 sesudah
melahirkan. Kelinci betina jenis kecil (Indonesia, Belanda dan Polandia) mulai
dikawinkan pada umur 4-5 bulan, sedangkan kelinci jenis sedang (yang berasal
dari New Zealand dan California) pada umur 5-6 bulan dan kelinci jenis besar
(yang berasal dari Flemish dan Checkered) pada umur 6-7 bulan. Kelinci betina
mencapai dewasa kelamin lebih awal daripada kelinci jantan yang baru mencapai
dewasa kelamin pada umur 6-7 bulan (Malole dan Pramono 1989). Semua proses
ini dikontrol oleh banyak substansi yang disebut hormon yang diproduksi didalam
kelenjar endokrin didalam tubuh serta organ tubuh (Fielding 1992). Fielding
(1992) menambahkan bahwa hormon reproduksi yang utama, tempat produksi dan
target organ pada kelinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hormon reproduksi yang utama pada kelinci, tempat produksi dan target
organ (Fielding 1992)
Hormon Tempat Produksi Target Organ
Follicle Stimulating Kelenjar pituitari Ovari atau Testis
Hormone (FSH)
Luteinising hormone (LH) Kelenjar pituitari Ovari atau Testis
Prolaktin
Kelenjar pituitari, Uterus dan jaringan mamari
Oxytocin Jaringan fetal kelenjar pituitari Uterus dan jaringan mamari
Oestrogen Ovari Uterus dan jaringan mamari
Progesteron Ovari (corpora lutea) Uterus dan jaringan mamari
Testis Uterus dan jaringan mamari
2.1.6. Sistem Pernapasan
Tujuan pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang karbondioksida (Guyton dan Hall 1997). Menurut Cunningham
(2002), sistem pernapasan dengan tujuan menyediakan oksigen untuk mendukung
metabolisme jaringan dan membuang karbondioksida.
Kelinci memiliki sensor pada setiap nostril sehingga membuat mereka
sensitif terhadap sentuhan di daerah tersebut. Terdapat 20-25 tactil vibrissae yang
terdapat pada bibir atas. Nostril pada kelinci twitching 20-25 twitches/menit ketika
dalam posisi tenang atau istirahat. Os. turbinatio pada kelinci memiliki organ
vemeronasal dan epitel olfaktori yang membuat penciuman mereka menjadi
tajam. Kelinci memiliki glotis yang kecil dan sering tertutup oleh lidah,
oropharynx yang datar serta laringospasmus sehingga akan sulit melakukan
intubasi. Kelinci memiliki thorax yang lebih kecil dibandingkan dengan abdomen
yang besar. Paru-paru kelinci terbagi menjadi tiga, yaitu cranial, tengah dan
caudal. Paru-paru cranial sebelah kiri lebih kecil dari yang kanan karena adanya
jantung. Kelinci memiliki pleura yang sangat tipis dan tidak memiliki septum
yang membatasi paru-paru menjadi lobulus. Kelinci memiliki frekuensi napas
antara 30-60 napas/menit. Pada saat istirahat, kelinci lebih banyak menggunakan
otot diafragma dan tidak menggunakan otot intercostalis (O’Malley 2005).

2.2. Temu Putih (Curcuma Zedoaria (Berg.)Roscoe)


Temu putih (Curcuma Zedoaria (Berg.)Roscoe) termasuk dalam suku
Zingiberaceae. Masyarakat umum lebih mengenal temu putih dengan sebutan
“kunyit putih” berserat. Masyarakat Jawa mengenal temu putih sebagai “koneng
bodas”

2.2.1. Karakteristik
Temu putih umumnya ditanam sebagai tanaman obat yang tumbuh liar
pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembap. Tanaman ini mirip dengan
temulawak, namun dapat dibedakan dari rimpangnya. Temu putih ini banyak
ditemukan di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Ambon,
hingga Irian serta dibudidayakan di India, Bangladesh, China, Madagaskar,
Filipina, dan Malaysia. Daunnya memiliki rasa seperti sereh sehingga bisa
digunakan sebagai bumbu. Tanaman Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe dapat
mencapai tinggi 2 meter. Satu diantara ciri khas dari spesies ini adalah adanya
warna ungu di sepanjang ibu tulang daun. Helaian daun berwarna hijau muda
sampai hijau tua dengan punggung daun berwarna pudar dan berkilat. Panjang
daun antara 31-75 cm dan lebar daun 7-20 cm (Syukur 2003).

Gambar 2. Tamanan Temu Putih


(Sumber: http://www.4.bp.blogspot.com)

Tangkai bunga langsung muncul dari bagian perakaran sebelum


munculnya daun dari permukaan tanah. Bunga steril berwarna merah muda dan
bagian ujung bunga berwarna lebih tua dengan tangkai berwarna hijau pada
permukaan tanah (Syukur 2003).
Rimpang induk berbentuk lanset-lonjong, sedangkan rimpang cabang yang
berupa akar menggembung pada bagian ujungnya membentuk umbi dengan kulit
rimpang berwarna putih. Antara satu rimpang dan rimpang lain cukup liat untuk
dipatahkan. Pada ujung-ujung akar terdapat bulatan-bulatan atau bintil-bintil yang
merupakan cadangan air (Gambar 3). Kulit rimpang berwarna putih. Apabila
diiris, daging rimpangnya berwarna putih kearah kuning muda dan rasanya pahit
(Syukur 2003).

Gambar 3. Rimpang tanaman temu putih yang sering digunakan dalam pengobatan.
Sumber: http://www.asyifaherbal.com)

Rimpangnya mengandung kurkuminoid (diarilheptanoid), minyak asiri,


polisakarida dan golongan lain. Kurkominoid yang telah diketahui meliputi
kurkumin, demektosikurkumin, bisdemetoksikurkumin dan 1,7-bis (4-
hidroksifenil)-1,4,6 – heptatrien-3-on. Minyak asiri berupa cairan kental kuning
emas yang mengandung monoterpen dan seskuiterpen. Berdasarkan tingkat
oksidasinya (Syukur 2003).
Tabel 3. Kandungan Senyawa Seskuiterpen dalam C. Zeodaria ( Syukur 2003)
No Golongan Senyawa
1 Bisabolan Ar-tumeron, ß-tumeron, Zingiberen, Detertrahidro-ar-tumeron
2 Elemen ß-elemen, Kurzerenon
3 Germakran Germakron, Kurdion, Neokurdion, Furanodien, Dehidrokurdion 13-
hidroksigermakron, Kurzeon
4 Eudesman Kurkolonal
5 Guaian Guaidiol, Aerugidiol, Kurkumenollso-kurkumenol, Kurkumenon,
Zedoarondion, Prokurkumenol, Epiprokurkumenol ,Zedoarol,
Zedoaren, Kurkumol
6 Spirolakton Kurkumanolid A, Kurkumanolid B

Monoterpen C. zeodaria terdiri atas monoterpen hidrokarbon 1-pinen, D-


kamfen, monoterpen alkohol, D-borneol, monoterpen keton, D-kamfor,
monoterpen oksida, dan sineol. Seskuiterpen dalam C. Zeodaria terdiri atas
berbagai golongan, seperti bisabolan, elemen, germakran, eudesman, guaian, dan
golongan, spirolakton (Tabel 3). Kandungan lainnya meliputi etil-p-
metoksisinamat, 3,7- dimettilin, dan 5-asam karboksilat. Simplisia adalah bagian
tanaman obat berupa daun, batang, akar, atau rimpang yang dikeringkan (Syukur
2003).

2.2.2. Sifat dan Khasiat


Rimpang temu putih rasanya sangat pahit, pedas, sifatnya
menghangatkan, berbau aromatik, dengan afinitas ke organ hati dan limpa. Temu
putih termasuk tanaman obat melancarkan sirkulasi dan menghilangkan nyeri.
Rimpang digunakan untuk pengobatan nyeri sewaktu haid, tidak datang
haid karena tersumbatnya aliran darah, pembersih darah setelah melahirkan,
memulihkan ganguan pencernaan makanan seperti rasa mual dan kembung karena
banyak gas, sakit perut, pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa
(splenomegali), luka, memar, sakit gigi, radang tenggorok, batuk, serta
meningkatkan efektivitas pengobatan radiasi, dan kemoterapi pada penyakit
kanker (Dalimartha 2005).
2.3. Tumor
Kadang-kadang kita dapat menemukan jaringan, organ, atau bagian tubuh
yang lebih kecil atau lebih besar daripada normal. Keadaan ini dapat timbul
melalui dua macam cara, yaitu organ atau jaringan tersebut tidak pernah tumbuh
sampai keukuran normal, atau organ tersebut dapat mencapai ukuran normal dan
kemudian mengecil ( Price dan Wilson 2006).
Tumor atau neoplasma adalah pembengkakan didalam tubuh yang
disebabkan oleh perkembangbiakan sel-sel secara abnormal (Wijayakusuma
2006). Menurut Tjarta (1973) neoplasma ialah kumpulan sel abnormal yang
terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak
berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya, dan tidak berguna bagi tubuh. Seperti
diketahui, sel mempunyai dua tugas utama, yaitu melakukan fungsinya dan
memperbanyak diri (Tjarta 1973). Semua fungsi tersebut dikontrol secara ketat
pada kondisi normal (Price dan Wilson 2006). Bekerjanya suatu sel bergantung
pada aktivitas sitoplasma, sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas
intinya. Terjadinya perubahan sifat pada sel sehingga sebagian besar energi
digunakan untuk berkembang biak menyebabkan terjadinya tumor (Tjarta 1973).
Berdasarkan jaringan asalnya, tumor dapat terbentuk dari jaringan epitel,
mesenkim (jaringan fibrosa, tulang, tulang rawan, dan pembuluh darah),
neuroektodermal, hemopoietik serta sel-sel limfoid, dan sel-sel kecambah
(Macfarlane et al 2000).
Tumor dapat bersifat jinak maupun ganas. Tumor yang bersifat jinak tidak
menyebar ke jaringan lain, sedangkan yang bersifat ganas disebut kanker
menyerang seluruh tubuh dan tidak terkendali serta berkembang dengan cepat
(Wijayakusuma 2006). Sel-sel tumor ganas yang berproliferasi mempunyai
kemampuan untuk melepaskan diri dari tumor induk (tumor primer) (Price dan
Wilson 2006). Sel-sel tersebut kemudian merusak dan menyerang jaringan tubuh
melalui aliran darah dan pembuluh getah bening sehingga dapat tumbuh dan
berkembang di tempat baru. Organ yang berpotensi terkena antara lain paru-paru,
mammari, sistem reproduksi (uterus, serviks, ovarium pada wanita serta prostat
pada pria), usus besar (kolon dan rektum), lambung, kulit, nasofaring, kelenjar
getah bening, hati, otak, darah dan rongga mulut (Wijayakusuma 2006). Tumor
primer paling sering berasal dari paru-paru dan mammari (Price dan Wilson
2006).
Tumor dirangsang oleh perubahan satu diantara banyak gen yang
mengatur pertumbuhan dan/atau pembedaan sel (mutasi dalam DNA sel). Mutasi
yang mengaktifkan onkogen atau menekan gen penahan tumor yang akhirnya
dapat menyebabkan tumor. Sel memiliki mekanisme yang memperbaiki DNA dan
mekanisme lainnya yang menyebabkan sel untuk menghancurkan dirinya melalui
apoptosis bila DNA rusak terlalu parah. Mutasi yang menahan gen untuk
mekanisme ini dapat juga menyebabkan kanker. Sebuah mutasi dalam satu
onkogen atau satu gen penahan tumor biasanya tidak cukup menyebabkan
terjadinya tumor (Hamdani 1999).
Tumor tenang adalah pertumbuhan yang disebabkan oleh perbanyakan sel
yang tidak semestinya terbatas dan tidak menyerang jaringan sekitarnya,
sebaliknya tumor ganas menyebar secara lokal dan mungkin bersifat metastasis,
yaitu dapat menyebar keseluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau sistem
limfe. Tumor ganas seperti itu sering disebut sebagai kanker. Tumor ganas dari sel
epitel dikenal sebagai karsinoma, yang berasal dari sel mesenkim disebut sarkoma
dan yang berasal dari lemak disebut linfoma jika berasal dari leukosit disebut
leukemia. Proses perkembangan tumor disebut dengan onkogenesis, alih kata
untuk tumorgenesis dan karsinogenesis. Berdasarkan histogenesisnya ada
karsinoma berasal dari duktus ( karsinoma ductus) dan berasal dari duktulus
terminal/ lobulus (karsinoma lobular). Berdasarkan topografinya dibagi menjadi
jenis invasif dan noninvasif (Hamdani 1999). Pembentukan tumor terjadi sebagai
proses bertahap majemuk. Tahap-tahap yang paling penting adalah inisiasi tumor
(dengan perubahan DNA), periode laten (dengan perubahan morfologi sel), dan
manifestasi tumor (dengan invasi dan metastase) (Schunack et al 1990).
Faktor risiko pemicu tumor dibagi menjadi dua, yakni faktor pemicu
genetis (keturunan) dan faktor lingkungan. Sebagian besar faktor pemicunya
adalah interaksi antara faktor lingkungan hidup dan lingkungan kerja yang disebut
sebagai zat karsinogenik. Karsinogen dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian
yakni karsinogen kimia (nikotin dan tar dari rokok, zat aditif (pengawet dan
pewarna) makanan, nitosamin, asbes, arsen, batu bara, merkuri, dan alkohol),
karsinogen fisika (sinar X, sinar ultraviolet, dan radiasi dari bom atom) serta
karsinogen biologi, seperti infeksi virus (papiloma dan herpes yang merupakan
satu diantara faktor risiko kanker serviks) dan jamur (misalnya jamur Aspergillus
flavus yang merupakan satu diantara penyebab kanker hati (Wijayakusuma 2006).

2.4. Methilnitrosourea (MNU)


Satu diantara penyebab penyakit kanker adalah serangan senyawa kimia
terhadap DNA. Senyawa kimia ini ada yang dalam keadaan fisiologiss dapat
membentuk senyawa intermediate yang langsung menyerang tempat-tempat kaya
elektron pada DNA, tetapi ada juga senyawa kimia yang teraktivasi justru karena
mengalami metabolisme normal didalam tubuh. Senyawa intermediate yang
terbentuk biasanya berupa ion karbanium atau ion nitronium yang bersifat sangat
elektrofilik. Senyawa ini tidak stabil dan segera menyerang DNA hingga terjadi
alkilasi dan memicu perkembangan tumor dan kanker. Alkylating agent yang
menyerang DNA ini akan menyebabkan kesalahan pasang (mistmatch) basa DNA,
sehingga pada waktu replikasi akan terjadi perubahan urutan basa DNA (mutasi).
Terjadinya mutasi pada tempat tertentu didalam DNA akan memicu
perkembangan neoplastik yang akan menghasilkan tumor atau kanker. N-metil-N-
nitrosourea (MNU) sebagai alkylating agent karena MNU adalah direct-acting
alkylating agent yang akan mengalkilasi DNA tanpa membutuhkan aktivasi
metabolisme (Lu SJ dan Archer 1992).

Anda mungkin juga menyukai