DOKTER INTERNSHIP
PERITONITIS DIFUS
Disusun Oleh :
Dokter Pendamping :
dr. Vinsen MAK
dr. Ivo Sihombing
Pada hari ini tanggal 19 Agustus 2017 di Wahana RSUD Pandan telah
dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Evelin Simarmata
Topik/ Judul : Peritonitis Difus
Nama Pendamping : dr.Vinsen Mak, dr.Ivo Sihombing
Nama Wahana : RSUD Pandan
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka:
1. Tim Revisi PDT Sub Komite Farmasi dan Terapi RSU DR.Soetomo .
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Bedah RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya.2008
2. Syamsuhidayat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004
3. Sabiston. Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical
Practice. Edisi 16.USA: W.B Saunders companies.2002
4. Schwartz. Principles of Surgery. Edisi Ketujuh.USA:The Mcgraw-Hill
companies.2005
5. R. Schrock MD, Theodore. Ilmu Bedah. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.1995
Hasil Pembelajaran :
a. Definisi peritonitis difus
b. Etiologi peritonitis difus
c. Faktor resiko peritonitis difus
d. Patofisiologi peritonitis difus
e. Manifestasi klinis peritonitis difus
f. Diagnosis peritonitis difus
g. Tatalaksana peritonitis difus
h. Komplikasi peritonitis difus
i. Prognosis peritonitis difus
3. Assessment
3.4. Peritonitis
3.4.1. Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa
yang membatasi rongga abdomen dan organ organ yang terdapat didalamnya.
Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi.
Peradangan peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia
iritan, dan benda asing.
3.4.2. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar
kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites
akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus,
kanker serta strangulasi usus halus.
Tabel 3.3 Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Malignancy
Esophagus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
Stomach gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Cholecystitis
Biliary tract Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Small bowel Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Large bowel
Ulcerative colitis and Crohn disease
and
Appendicitis
appendix
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis,
Uterus,
tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)
salpinx, and
Malignancy (rare)
ovaries
Trauma (uncommon)
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intraabdomen
biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses
intra abdomen).
3.4.3. Faktor risiko
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
3.4.4. Patofisiologi
Kebocoran asam lambung ke dalam rongga peritoneum sering
menyebabkan peritonitis kimia yang mendalam. Jika kebocoran tidak tertutup dan
partikel makanan mencapai rongga peritoneum, peritonitis kimia digantikan
secara bertahap oleh peritonitis bakteri. Pasien mungkin bebas dari gejala selama
beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan kemudian terjadinya peritonitis
bakteri.
Sepsis intra-abdominal dari perforasiviskus (yaitu, peritonitis sekunder
atau peritonitis supuratif ) dihasilkan dari tumpahan langsung isi lumen ke dalam
peritoneum (misalnya, perforasi ulkus peptikum, divertikulitis, usus buntu,
perforasiiatrogenik). Dengan tumpahan isi, gram negatif dan bakteri anaerob,
termasuk flora usus yang umum, seperti Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae, memasuki rongga peritoneal. Di area yang hipoksia memfasilitasi
pertumbuhan anaerob dan menghasilkan penurunan aktivitas bakterisida dari
granulosit, yang mengarah ke peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi
sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, pergeseran cairan lebih
ke daerah abses, dan pembesaran abses. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri
gram negatif menyebabkan pelepasan sitokin yang menginduksi kaskade seluler
dan humoral, yang mengakibatkan kerusakan sel, syok septik, dan beberapa
sindrom disfungsi organ (MODS).
Peritonitis adalah respon inflamasi atau supuratif dari lapisan peritoneal
iritasi langsung. Peritonitis dapat terjadi setelah perforasi, luka radang, infeksi,
atau iskemik dari gastrointestinal atau sistem genitourinari. Hasil peritonitis
sekunder dari kontaminasi bakteri yang berasal dari dalam viscera atau dari
sumber eksternal. Hal yang paling sering mengikuti gangguan dari viskus
berongga. Extravasasi empedu dan urin, meskipun hanya sedikit sakit, juga dapat
beracun jika terinfeksi dan memicu reaksi peritoneal kuat. Asam lambung dari
perforasi ulkus duodenum tetap sebagian besar steril selama beberapa jam, selama
waktu itu menghasilkan bahan kimia yang peritonitis dengan kehilangan cairan
yang besar; tetapi jika tidak diobati, itu berkembang dalam waktu 6-12 jam dalam
peritonitis bakteri. cairan intraperitoneal mencairkan protein opsonik dan merusak
fagositosis. Selanjutnya, ketika hemoglobin hadir dalam rongga peritoneum, E.
Coli tumbuh di dalam rongga dapat menguraikan leukotoxin yang mengurangi
aktivitas bakterisida. Terbatas, infeksi lokal dapat diberantas oleh pertahanan tuan
rumah, namun kontaminasi terus selalu menyebabkan peritonitis umum dan
akhirnya ke septikemia dengan gagal organ multipel. Kelas peritonitis bervariasi
dengan penyebabnya, kontaminasi yang bersih atau lokal berubah menjadi
peritonitis fulminan relatif lambat (12-24 jam).
3.4.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis peritonitis mencerminkan keparahan dan durasi infeksi
dan usia dan kesehatan umum pasien. Temuan fisik dapat dibagi menjadi (1)
tanda-tanda perut yang membesar dari cedera awal dan (2) manifestasi dari infeksi
sistemik. Gejala klinis peritonitis yang utama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan secara terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen. Temuan lokal termasuk juga
nyeritekan,rigiditas atau kekakuan, distensi, udara bebasperitoneal, dan suara usus
berkurang-tanda yang mencerminkan iritasi peritoneal parietal dan ileus
dihasilkan.Nyerinya dirasakan lebih hebat pada saat penderita bergerak.Gejala
sistemik meliputi:
Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum
Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.Syok karena efek gabungan dari hipovolemia dan
septikemia dengan disfungsi organ multiple. Syok yang berulang sangat prediktif
dari sepsis intraperitoneal yang serius.
Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
Tidak dapat BAB/buang angin.
3.4.6. Diagnosis
Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga
pasien dapat di terapi dengan benar.
I. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama
seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:
1. Inspeksi
Pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal
tidaktampak karena dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri
akibat perangsangan peritoneum.
Distensi perut
2. Palpasi
Nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif
3. Perkusi
Nyeri ketok positif
Hipertimpani akibat dari perut yang kembung
Redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara
sehinggaudara akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar
terjadiperubahan suara redup menjadi timpani
4.Auskultasi
Suara bising usus berkurang sampai hilang
3.4.7. Tatalaksana1
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra
abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
Dehingga penanganan utama pada peritonitis ini adalah pemberian cairan
dan koreksi elektrolit, pengendalian sepsis, dan antibiotik sistemik.
I. Perawatan Pre-Operasi
Cairan intravena
Perpindahan masif cairan ke dalam rongga peritoneal harus diganti
dengan jumlah cairan intravena yang cukup. Jika terbukti adanya
keracunan sistemik atau pada pasien tua dan beresiko, pemasangan central
venous pressure line dan kateter urin harus dilakukan. Perhitungan balans
cairan danberat badan berkala dapat dijadikan acuan untuk memonitor
kebutuhan cairan. Cairan harus terinus secara cepat untuk mengoreksi
hipovolume intravaskular dan untuk mengembalikan tekanan darah dan
urin output ke nilai normal. Transusi darah dapat dilakukan untuk pasien
anemia atau dengan perdarahan.
Antibiotik
Pemberian loading dose antibiotik yang sesuai dengan bakteri yang
dicurigai harus diberikan setelah pengambilan sampel untuk dilakukan
kultur. Antibiotik awal yang dapat diberikan termasuk cefalosporin
generasi ketiga, ampicillin-sulbactam, ticarcillin-asam klavulanat,
aztreonam atau imipenem-cilastatin untuk gram negatif, dan metronidazole
atau clindamycin untuk anaerob.
Antibiotik empiris harus diubah setelah hasil kultur dan sensitifitas
sudah tersedia jika infeksi menetap. Antibiotik tetap dilanjutkan hingga
pasien tetap afebris dengan leukosit dan hitung jenis yang normal.
II. Manajemen Operasi
Kontrol Sepsis
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
seluruh material yang terinfeksi, memperbaiki penyebab yang medasari,
dan mencegah komplikasi. Tatalaksana penyakit yang mendasari dapat
dilakukan dengan reseksi (contoh: ruptur apendiks atau kandung empedu),
repair (contoh: perforasi ulkus), atau drainase (contoh: pankreatitis akut).
Pembuatan stoma sementara lebih aman, dan dapat dikembalikan beberapa
minggu kemudian setelah pasien pulih dari sakit akut.
Pembilasan Peritoneal
Pada peritonitis difusa, pembilasan dengan jumlah yang sangat
banyak (>3L) cairan kristaloid hangat menghilangkan partikel partikel
besar seperti bekuan darah atau fibrin dan residu bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak memberikan manfaat
atau bahkan membahayakan. Pemberian antibiotik parenteral akan
mencapain level bakterisidal di cairan peritoneal dan tidak memberikan
manfaat apabila diberikan melalui bilasan.
Drainase peritoneal
Drainase rongga peritoneal tidak efektif dan sering tidak dilakukan.
Drainase dapat menjadi jalan untuk masuknya kontaminasi eksogenus.
Drainase profilaksis pada peritonitis difusa tidak dapat mencegah
pembentukan abses dan mungkin dapat menjadi predisposisi abses dan
fistula. Drainase berguna pada residual fokal infeksi atau ketika
kontaminasi masih dijumpai atau pada keadaan yang sering untuk terjadi
kontaminasi. Drainase dindikasikan pada localized inflamatory masses
yang tidak dapat direseksi atau pada kavitas yang tidak dapat dihilangkan.
III. Perawatan Paska Operasi
Perawatan intensif, sering dengan bantuan ventilasi pada pasien yang tidak
stabil. Menjaga kestabilan hemodinamik untuk mempertahankan perusi ke organ
organ utama merupakan tujuan terpenting, dan hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan agen inotropik jantung disamping pemberian cairan dan darah.
Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, tergantung dari keparahan peritonitis.
Respon yang baik dapat dinilai dari perfusi yang cukup, output urin yang baik,
penurunan demam dan leukosit, dan perbaikan kesadaran. Mencabut semua
kateter yang tidak esensial dapat mengurangi infeksi sekunder.
3.4.8. Komplikasi
Komplikasi paska operasi sering terjadi dan dapat dibedakan menjadi
masalah lokal dan sistemik. Infeksi luka dalam, residual abses dan intraperitoneal
sepsis, pembentukan fistula sering muncul pada akhir minggu pertama paska
operasi. Demam tinggi yang menetap, tidak dapat lepas dari agen inotropik,
edema menyeluruh, penigkatan distensi abdomen, kesadaran apatis yang menetap,
dapat menjadi indikator adanya residual infeksi intra abdomen.
3.4.9. Prognosis
Angka kematian keseluruhan peritonitis umum adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang berkontribusi terhadap angka kematian yang tinggi termasuk jenis
penyakit primer dan durasinya, kegagalan organ multiple terkait sebelum
pengobatan, dan usia dan kesehatan umum pasien. tingkat kematian secara
konsisten di bawah 10% pada pasien dengan ulkus perforasi atau usus buntu; pada
pasien muda; pada mereka yang memiliki kontaminasi bakteri kurang luas; dan
pada mereka yang didiagnosis dan dioperasikan pada awal.
Pasien dengan perforasi usus kecil distal atau perforasi kolon atau sepsis
pasca operasi yang cenderung lebih tua, memiliki penyakit lain bersamaan dan
kontaminasi bakteri yang lebih besar, dan memiliki kecenderungan yang lebih
besar untuk gagal ginjal dan pernafasan; tingkat kematian mereka sekitar 50% .
indeks fisiologis yang rendah, status jantung menurun, dan tingkat albumin pra-
operasi rendah mengidentifikasi penderita berisiko tinggi yang memerlukan
perawatan intensif untuk mengurangi tingkat kematian yang menakutkan.
Status Generalis :
Keadaan umum : Baik, kooperatif
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tek. Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 75 x/menit, reguler, isi dan T/V : cukup
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 37,6 º C ( axiller )
Kepala : Normosefali
Mata : Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+)
Hidung : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Tenggorokan : Dalam batas normal
Leher : Simetris, trakhea ditengah, pembesaran kelenjar limfa (-)
Toraks :
Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan bernapas (-), retraksi (-/-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler di kedua lapangan paru, suara tambahan (-),
murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh regio abdomen (+), muscular rigidity (+)
Perkusi : Pekak hati (-)
Auskultasi : Peristaltik menurun (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, nadi reg, t/v cukup
Genitalia : Dalam batas normal, kateter terpasang
Pemeriksaan Colok Dubur (DRE) : Perineum biasa, tonus sfingter ani longgar,
ampula recti terisi feses, mukosa licin, nyeri tekan pada seluruh arah jarum jam,
sarung tangan: feses (+), darah (-)
1. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diffuse Peritonitis d/t Hollow Organ Perforation
Diagnosis Diferensial:
Diffuse Peritonitis d/t Appendix Perforation
Diffuse Peritonitis d/t Gaster Perforation
2. PENATALAKSANAAN
1. Puasa
2. IVFD RL 20 gtt/i
3. NGT 18 fr
4. Kateter 18 fr
5. Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam (Skin test)
6. Inj. Ketorolac 30mg/8jam
7. Inj. Ranitidin 50 mg/8jam
Anjuran :
1. Cek lab darah lengkap dan hitung jenis sel
2. EKG
3. Foto thoraks PA
4. Foto polos abdomen erect dan supine
RENCANA
Eksplorasi laparotomi cito
3. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Konsultasi
Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan dokter Spesialis bedah.
Konsultasi ini merupakan upaya untuk mendapatkan terapi yang lebih lanjut.