Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSHIP

PERITONITIS DIFUS

Disusun Oleh :

Nama : dr. Evelin Simarmata


Wahana : RSUD Pandan
Periode : 7 Oktober 2017 – 7 Oktober 2018

Dokter Pendamping :
dr. Vinsen MAK
dr. Ivo Sihombing

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN


KABUPATEN TAPANULI TENGAH
2018
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 19 Agustus 2017 di Wahana RSUD Pandan telah
dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Evelin Simarmata
Topik/ Judul : Peritonitis Difus
Nama Pendamping : dr.Vinsen Mak, dr.Ivo Sihombing
Nama Wahana : RSUD Pandan

No Nama Peserta Tanda tangan


1 dr. Evelin Simarmata 1.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Dokter Pendamping I DokterPendamping II

dr.Vinsen Mak dr.Ivo Sihombing


Nama Peserta : dr. Evelin Simarmata
Nama Wahana : RSUD Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah
Topik : Peritonitis difus
Tanggal (kasus) : 15 Mei 2018
Nama Pasien : Tn. S (Laki - laki) No. RM : 068712
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
dr.Vinsen Mak, dr.Ivo Sihombing
Tempat Presentasi : RSUD Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah
Objektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan


v
Pustaka b
Diagnostik Manajemen Masalah v Istimewa
V
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Bumil
Deskripsi :
Seorang laki – laki, 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada perut
kanan bawah. Keluhan dialami pasien ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan terus- menerus. Pasien muntah sebanyak 1 kali, isi muntahan apa yang
dimakan dan minum. Mual tidak dijumpai. Pasien tidak buang air besar dan buang
angin sejak 1 hari ini. Pasien tidak mengalami gangguan BAK. Riwayat demam
disangkal.
Tujuan :
 Untuk menegakkan diagnosis
 Manajemen penatalaksanaan
Tinjauan
Bahan bahasan Riset Kasus Audit
pustaka
Cara Presentasi &
Diskusi Email Pos
membahas diskusi
Data Pasien: Nama: Tn. S Nomor Registrasi: 068712
Nama RS: RSUD Pandan Telp : - Terdaftar sejak :15 Mei 2018
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
Seorang laki – laki, 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada seluruh
lapangan perut. Keluhan dialami pasien ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri dirasakan terus - menerus. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
secara tiba-tiba, kemudian menyebar ke seluruh bagian perut. Pasien juga
mengeluhkan perut kembung dan terasa penuh. Pasien muntah sebanyak 1 kali, isi
muntahan apa yang dimakan dan minum. Mual tidak dijumpai. Pasien tidak BAB
dan buang angin sejak 1 hari ini. Riwayat minum jamu, obat herbal, disangkal.
Riwayat demam disangkal.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit Terdahulu :
- Riwayat Asma : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Alergi Obat dan Makanan : disangkal
- Riwayat Trauma serupa sebelumnya : disangkal
3. Riwayat Keluarga
-
4. Riwayat pekerjaan dan pendidikan
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Pendidikan terakhir pasien
adalah SMK. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS. Kesan ekonomi
kurang.
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 15 Mei 2018 pukul 06.00 WIB di IGD
RSUD Pandan.
Status Generalis :
Keadaan umum : Baik, kooperatif
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tek. Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 75 x/menit, reguler, isi dan T/V : cukup
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 37,6 º C ( axiller )
Kepala : Normosefali
Mata : Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+)
Hidung : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Tenggorokan : Dalam batas normal
Leher : Simetris, trakhea ditengah, pembesaran kelenjar limfa (-)
Toraks :
Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan bernapas (-), retraksi (-/-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler di kedua lapangan paru, suara tambahan (-),
murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh regio abdomen (+), muscular rigidity (+)
Perkusi : Pekak hati (-)
Auskultasi : Peristaltik menurun (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, nadi reg, t/v cukup
Genitalia : Dalam batas normal, kateter terpasang
Pemeriksaan Colok Dubur (DRE) : Perineum biasa, tonus sfingter ani longgar,
ampula recti terisi feses, mukosa licin, nyeri tekan pada seluruh arah jarum jam,
sarung tangan: feses (+), darah (-)
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
Darah rutin :
Hemoglobin : 14,0 g/dL(N: 13,0 - 17,0)
Eritrosit : 4,64 x 106 mm3 (N: 4,2 - 4,87x106)
Leukosit : 23.000 mm3 (N: 4500 - 11.000)
Hematokrit : 40 % (N: 43 - 49)
Trombosit : 297.000 mm3 (N: 150.000-440.000)
MCV : 86,2 FL (N: 85 - 95)
MCH : 30,2 Pg (N: 28 - 32)
MCHC : 35 g/dL (N: 28 - 32)
RDW : 13,2 % (N: 11,6 – 14,8)
MPV : 8,6 FL (N: 7 – 10,2)
PDW : 10,3 FL
Waktu Pembekuan : 3’ 25” (N: 5 menit)
Waktu Pendarahan : 2’ 05” (N: 3 menit)
Metabolisme karbohidrat :
Glukosa sewaktu : 81 mg/dL (N: <200)
Serologi/Imunologi/Widal :
HbsAg : Non reaktif (N : Non reaktif)
Anti HCV : Non reaktif (N : Non reaktif)
HIV : Non reaktif (N : Non reaktif)
Hitung Jenis Sel :
Eosinofil : 2% (N: 0 – 3%)
Basofil : - (N: 0 – 1%)
Netrofil batang : - (N: 2 – 6%)
Netrofil segmen : 36 (N: 50 – 70%)
Limfosit : 57 (N: 20 – 40%)
Monosit : 05 (N: 2 – 8%)
b. EKG : Sinus ritme
c. Foto Thorakx PA:
Ket : Cor dan Pulmo dalam batas normal

d. Foto polos Abdomen Erect dan Supine :


Ket : Tidak ada kelainan

Daftar Pustaka:
1. Tim Revisi PDT Sub Komite Farmasi dan Terapi RSU DR.Soetomo .
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Bedah RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya.2008
2. Syamsuhidayat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004
3. Sabiston. Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical
Practice. Edisi 16.USA: W.B Saunders companies.2002
4. Schwartz. Principles of Surgery. Edisi Ketujuh.USA:The Mcgraw-Hill
companies.2005
5. R. Schrock MD, Theodore. Ilmu Bedah. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.1995
Hasil Pembelajaran :
a. Definisi peritonitis difus
b. Etiologi peritonitis difus
c. Faktor resiko peritonitis difus
d. Patofisiologi peritonitis difus
e. Manifestasi klinis peritonitis difus
f. Diagnosis peritonitis difus
g. Tatalaksana peritonitis difus
h. Komplikasi peritonitis difus
i. Prognosis peritonitis difus

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :


1. Subyektif
Seorang laki – laki, 32 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada Nyeri
di seluruh lapangan perut. Keluhan dialami pasien ± 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dirasakan terus- menerus. Awalnya nyeri dirasakan di
daerah ulu hati secara tiba-tiba, kemudian menyebar ke seluruh bagian perut.
Pasien juga mengeluhkan perut kembung dan terasa penuh. Pasien muntah
sebanyak 1 kali, isi muntahan apa yang dimakan dan minum. Mual tidak
dijumpai. Pasien tidak BAB dan buang angin sejak 1 hari ini. Riwayat minum
jamu, obat herbal, disangkal. Riwayat demam disangkal.
2. Obyektif
Status Generalis :
Keadaan umum : Baik, kooperatif
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tek. Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 75 x/menit, reguler, isi dan T/V : cukup
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 37,6 º C ( axiller )
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh regio abdomen (+), muscular rigidity (+)
Perkusi : Pekak hati (-)
Auskultasi : Peristaltik menurun (+)
Pemeriksaan Colok Dubur (DRE) : Perineum biasa, tonus sfingter ani longgar,
ampula recti terisi feses, mukosa licin, nyeri tekan pada seluruh arah jarum jam,
sarung tangan: feses (+), darah (-)
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium :
Darah rutin :
Leukosit : 23.000 mm3 (N: 4500 - 11.000)
Hematokrit : 40 % (N: 43 - 49)
Hitung Jenis Sel :
Netrofil batang : 0 (N: 2 – 6%)
Netrofil segmen : 36 (N: 50 – 70%)
Limfosit : 57 (N: 20 – 40%)

3. Assessment
3.4. Peritonitis
3.4.1. Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa
yang membatasi rongga abdomen dan organ organ yang terdapat didalamnya.
Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi.
Peradangan peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia
iritan, dan benda asing.
3.4.2. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
 Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar
kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites
akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
 Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus,
kanker serta strangulasi usus halus.
Tabel 3.3 Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
 Boerhaave syndrome
 Malignancy
Esophagus
 Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic*
 Peptic ulcer perforation
 Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
Stomach gastrointestinal stromal tumor)
 Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic*
 Peptic ulcer perforation
Duodenum  Trauma (blunt and penetrating)
 Iatrogenic*
 Cholecystitis
Biliary tract  Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
common duct
 Malignancy
 Choledochal cyst (rare)
 Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic*
 Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas  Trauma (blunt and penetrating)
 Iatrogenic*
 Ischemic bowel
 Incarcerated hernia (internal and external)
 Closed loop obstruction
Small bowel  Crohn disease
 Malignancy (rare)
 Meckel diverticulum
 Trauma (mostly penetrating)
 Ischemic bowel
 Diverticulitis
 Malignancy
Large bowel
 Ulcerative colitis and Crohn disease
and
 Appendicitis
appendix
 Colonic volvulus
 Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic
 Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis,
Uterus,
tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)
salpinx, and
 Malignancy (rare)
ovaries
 Trauma (uncommon)

 Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intraabdomen
biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses
intra abdomen).
3.4.3. Faktor risiko
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
3.4.4. Patofisiologi
Kebocoran asam lambung ke dalam rongga peritoneum sering
menyebabkan peritonitis kimia yang mendalam. Jika kebocoran tidak tertutup dan
partikel makanan mencapai rongga peritoneum, peritonitis kimia digantikan
secara bertahap oleh peritonitis bakteri. Pasien mungkin bebas dari gejala selama
beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan kemudian terjadinya peritonitis
bakteri.
Sepsis intra-abdominal dari perforasiviskus (yaitu, peritonitis sekunder
atau peritonitis supuratif ) dihasilkan dari tumpahan langsung isi lumen ke dalam
peritoneum (misalnya, perforasi ulkus peptikum, divertikulitis, usus buntu,
perforasiiatrogenik). Dengan tumpahan isi, gram negatif dan bakteri anaerob,
termasuk flora usus yang umum, seperti Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae, memasuki rongga peritoneal. Di area yang hipoksia memfasilitasi
pertumbuhan anaerob dan menghasilkan penurunan aktivitas bakterisida dari
granulosit, yang mengarah ke peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi
sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, pergeseran cairan lebih
ke daerah abses, dan pembesaran abses. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri
gram negatif menyebabkan pelepasan sitokin yang menginduksi kaskade seluler
dan humoral, yang mengakibatkan kerusakan sel, syok septik, dan beberapa
sindrom disfungsi organ (MODS).
Peritonitis adalah respon inflamasi atau supuratif dari lapisan peritoneal
iritasi langsung. Peritonitis dapat terjadi setelah perforasi, luka radang, infeksi,
atau iskemik dari gastrointestinal atau sistem genitourinari. Hasil peritonitis
sekunder dari kontaminasi bakteri yang berasal dari dalam viscera atau dari
sumber eksternal. Hal yang paling sering mengikuti gangguan dari viskus
berongga. Extravasasi empedu dan urin, meskipun hanya sedikit sakit, juga dapat
beracun jika terinfeksi dan memicu reaksi peritoneal kuat. Asam lambung dari
perforasi ulkus duodenum tetap sebagian besar steril selama beberapa jam, selama
waktu itu menghasilkan bahan kimia yang peritonitis dengan kehilangan cairan
yang besar; tetapi jika tidak diobati, itu berkembang dalam waktu 6-12 jam dalam
peritonitis bakteri. cairan intraperitoneal mencairkan protein opsonik dan merusak
fagositosis. Selanjutnya, ketika hemoglobin hadir dalam rongga peritoneum, E.
Coli tumbuh di dalam rongga dapat menguraikan leukotoxin yang mengurangi
aktivitas bakterisida. Terbatas, infeksi lokal dapat diberantas oleh pertahanan tuan
rumah, namun kontaminasi terus selalu menyebabkan peritonitis umum dan
akhirnya ke septikemia dengan gagal organ multipel. Kelas peritonitis bervariasi
dengan penyebabnya, kontaminasi yang bersih atau lokal berubah menjadi
peritonitis fulminan relatif lambat (12-24 jam).
3.4.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis peritonitis mencerminkan keparahan dan durasi infeksi
dan usia dan kesehatan umum pasien. Temuan fisik dapat dibagi menjadi (1)
tanda-tanda perut yang membesar dari cedera awal dan (2) manifestasi dari infeksi
sistemik. Gejala klinis peritonitis yang utama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan secara terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen. Temuan lokal termasuk juga
nyeritekan,rigiditas atau kekakuan, distensi, udara bebasperitoneal, dan suara usus
berkurang-tanda yang mencerminkan iritasi peritoneal parietal dan ileus
dihasilkan.Nyerinya dirasakan lebih hebat pada saat penderita bergerak.Gejala
sistemik meliputi:
 Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
 Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum
 Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.Syok karena efek gabungan dari hipovolemia dan
septikemia dengan disfungsi organ multiple. Syok yang berulang sangat prediktif
dari sepsis intraperitoneal yang serius.
 Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
 Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
 Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
 Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
 Tidak dapat BAB/buang angin.
3.4.6. Diagnosis
Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga
pasien dapat di terapi dengan benar.
I. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama
seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:
1. Inspeksi
 Pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal
tidaktampak karena dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri
akibat perangsangan peritoneum.
 Distensi perut
2. Palpasi
 Nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif
3. Perkusi
 Nyeri ketok positif
 Hipertimpani akibat dari perut yang kembung
 Redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara
sehinggaudara akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar
terjadiperubahan suara redup menjadi timpani
4.Auskultasi
 Suara bising usus berkurang sampai hilang

II. Pemeriksaan Penunjang


- Pada pemeriksaan laboratorium:
 Lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/L ) dengan pergeseran ke kiri
pada hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat dan pasien
imunokompromais dapat terjadi lekopenia.
 Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
- Pada foto polos abdomen didapatkan:
 Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
 Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda
dengan gambaran ileus obstruksi
 Penebalan dinding usus akibat edema
 Tampak gambaran udara bebas
 Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien
perlu dikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya agar tidak
terjadi syok hipovolemik
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG
abdomen, CT scan, dan MRI.
III. Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra
abdomen setelah trauma tumpul yang disertai dengan kondisihilangnya kesadaran,
intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya pada cedera medula spinalis,
cedera pada costae atau processus transversus vertebra. Teknik ini adalah suatu
tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam
fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada pengisapan
tidak ditemukan darah atau cairan.
Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal
yang perlu dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel,
gram stain, serta kultur kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis,
cairan peritonealnya menunjukkan kadar pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50
mg/dL dengan kadar protein dan LDH yang meningkat.Teknik ini
dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan hematom yang
signifikan dengan dinding abdomen.

3.4.7. Tatalaksana1
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra
abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
Dehingga penanganan utama pada peritonitis ini adalah pemberian cairan
dan koreksi elektrolit, pengendalian sepsis, dan antibiotik sistemik.
I. Perawatan Pre-Operasi
 Cairan intravena
Perpindahan masif cairan ke dalam rongga peritoneal harus diganti
dengan jumlah cairan intravena yang cukup. Jika terbukti adanya
keracunan sistemik atau pada pasien tua dan beresiko, pemasangan central
venous pressure line dan kateter urin harus dilakukan. Perhitungan balans
cairan danberat badan berkala dapat dijadikan acuan untuk memonitor
kebutuhan cairan. Cairan harus terinus secara cepat untuk mengoreksi
hipovolume intravaskular dan untuk mengembalikan tekanan darah dan
urin output ke nilai normal. Transusi darah dapat dilakukan untuk pasien
anemia atau dengan perdarahan.
 Antibiotik
Pemberian loading dose antibiotik yang sesuai dengan bakteri yang
dicurigai harus diberikan setelah pengambilan sampel untuk dilakukan
kultur. Antibiotik awal yang dapat diberikan termasuk cefalosporin
generasi ketiga, ampicillin-sulbactam, ticarcillin-asam klavulanat,
aztreonam atau imipenem-cilastatin untuk gram negatif, dan metronidazole
atau clindamycin untuk anaerob.
Antibiotik empiris harus diubah setelah hasil kultur dan sensitifitas
sudah tersedia jika infeksi menetap. Antibiotik tetap dilanjutkan hingga
pasien tetap afebris dengan leukosit dan hitung jenis yang normal.
II. Manajemen Operasi
 Kontrol Sepsis
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
seluruh material yang terinfeksi, memperbaiki penyebab yang medasari,
dan mencegah komplikasi. Tatalaksana penyakit yang mendasari dapat
dilakukan dengan reseksi (contoh: ruptur apendiks atau kandung empedu),
repair (contoh: perforasi ulkus), atau drainase (contoh: pankreatitis akut).
Pembuatan stoma sementara lebih aman, dan dapat dikembalikan beberapa
minggu kemudian setelah pasien pulih dari sakit akut.
 Pembilasan Peritoneal
Pada peritonitis difusa, pembilasan dengan jumlah yang sangat
banyak (>3L) cairan kristaloid hangat menghilangkan partikel partikel
besar seperti bekuan darah atau fibrin dan residu bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak memberikan manfaat
atau bahkan membahayakan. Pemberian antibiotik parenteral akan
mencapain level bakterisidal di cairan peritoneal dan tidak memberikan
manfaat apabila diberikan melalui bilasan.
 Drainase peritoneal
Drainase rongga peritoneal tidak efektif dan sering tidak dilakukan.
Drainase dapat menjadi jalan untuk masuknya kontaminasi eksogenus.
Drainase profilaksis pada peritonitis difusa tidak dapat mencegah
pembentukan abses dan mungkin dapat menjadi predisposisi abses dan
fistula. Drainase berguna pada residual fokal infeksi atau ketika
kontaminasi masih dijumpai atau pada keadaan yang sering untuk terjadi
kontaminasi. Drainase dindikasikan pada localized inflamatory masses
yang tidak dapat direseksi atau pada kavitas yang tidak dapat dihilangkan.
III. Perawatan Paska Operasi
Perawatan intensif, sering dengan bantuan ventilasi pada pasien yang tidak
stabil. Menjaga kestabilan hemodinamik untuk mempertahankan perusi ke organ
organ utama merupakan tujuan terpenting, dan hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan agen inotropik jantung disamping pemberian cairan dan darah.
Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, tergantung dari keparahan peritonitis.
Respon yang baik dapat dinilai dari perfusi yang cukup, output urin yang baik,
penurunan demam dan leukosit, dan perbaikan kesadaran. Mencabut semua
kateter yang tidak esensial dapat mengurangi infeksi sekunder.
3.4.8. Komplikasi
Komplikasi paska operasi sering terjadi dan dapat dibedakan menjadi
masalah lokal dan sistemik. Infeksi luka dalam, residual abses dan intraperitoneal
sepsis, pembentukan fistula sering muncul pada akhir minggu pertama paska
operasi. Demam tinggi yang menetap, tidak dapat lepas dari agen inotropik,
edema menyeluruh, penigkatan distensi abdomen, kesadaran apatis yang menetap,
dapat menjadi indikator adanya residual infeksi intra abdomen.
3.4.9. Prognosis
Angka kematian keseluruhan peritonitis umum adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang berkontribusi terhadap angka kematian yang tinggi termasuk jenis
penyakit primer dan durasinya, kegagalan organ multiple terkait sebelum
pengobatan, dan usia dan kesehatan umum pasien. tingkat kematian secara
konsisten di bawah 10% pada pasien dengan ulkus perforasi atau usus buntu; pada
pasien muda; pada mereka yang memiliki kontaminasi bakteri kurang luas; dan
pada mereka yang didiagnosis dan dioperasikan pada awal.
Pasien dengan perforasi usus kecil distal atau perforasi kolon atau sepsis
pasca operasi yang cenderung lebih tua, memiliki penyakit lain bersamaan dan
kontaminasi bakteri yang lebih besar, dan memiliki kecenderungan yang lebih
besar untuk gagal ginjal dan pernafasan; tingkat kematian mereka sekitar 50% .
indeks fisiologis yang rendah, status jantung menurun, dan tingkat albumin pra-
operasi rendah mengidentifikasi penderita berisiko tinggi yang memerlukan
perawatan intensif untuk mengurangi tingkat kematian yang menakutkan.

PENATALAKSANAAN PASIEN DI IGD

Status Generalis :
Keadaan umum : Baik, kooperatif
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tek. Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 75 x/menit, reguler, isi dan T/V : cukup
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 37,6 º C ( axiller )
Kepala : Normosefali
Mata : Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+)
Hidung : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Tenggorokan : Dalam batas normal
Leher : Simetris, trakhea ditengah, pembesaran kelenjar limfa (-)
Toraks :
Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan bernapas (-), retraksi (-/-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler di kedua lapangan paru, suara tambahan (-),
murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
Palpasi : Nyeri tekan di seluruh regio abdomen (+), muscular rigidity (+)
Perkusi : Pekak hati (-)
Auskultasi : Peristaltik menurun (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, nadi reg, t/v cukup
Genitalia : Dalam batas normal, kateter terpasang
Pemeriksaan Colok Dubur (DRE) : Perineum biasa, tonus sfingter ani longgar,
ampula recti terisi feses, mukosa licin, nyeri tekan pada seluruh arah jarum jam,
sarung tangan: feses (+), darah (-)

1. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diffuse Peritonitis d/t Hollow Organ Perforation

Diagnosis Diferensial:
 Diffuse Peritonitis d/t Appendix Perforation
 Diffuse Peritonitis d/t Gaster Perforation

2. PENATALAKSANAAN
1. Puasa
2. IVFD RL 20 gtt/i
3. NGT 18 fr
4. Kateter 18 fr
5. Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam (Skin test)
6. Inj. Ketorolac 30mg/8jam
7. Inj. Ranitidin 50 mg/8jam
Anjuran :
1. Cek lab darah lengkap dan hitung jenis sel
2. EKG
3. Foto thoraks PA
4. Foto polos abdomen erect dan supine

RENCANA
Eksplorasi laparotomi cito

3. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Konsultasi
Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan dokter Spesialis bedah.
Konsultasi ini merupakan upaya untuk mendapatkan terapi yang lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai