Anda di halaman 1dari 42

RESPONSI KASUS PENYAKIT DALAM

DEPRESI PADA GERIATRI

Oleh:

Muhammad Nazhif Haykal 170070201011067

M. Vico Rizkita Wisnu LA 170070201011185

Sebastian Ahmad 180070200111085

Pembimbing:

dr. Gadis Nurlaila, Sp.PD-KGER

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................I
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................iv
DAFTAR TABEL...........................................................................................v
PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan...............................................................................2
1.3. Manfaat Penulisan.............................................................................2
BAB II...........................................................................................................3
2.1. Geriatri...............................................................................................3
2.1.1. Definisi Geriatri............................................................................3
2.1.2. Klasifikasi Geriatri........................................................................4
2.2 Proses Penuaan................................................................................4
2.3. Teori mengenai Proses Menua.........................................................5
2.3.1. Teori Radikal Bebas....................................................................6
2.3.2 Teori Glikosilasi............................................................................7
2.3.3 Teori DNA Repair.........................................................................8
2.4 Sindroma Geriatri................................................................................8
2.5 Perubahan Fisiologi Proses Menua..................................................11
2.5.1 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Proses Menua.........12
2.6. Depresi Geriatri................................................................................13
2.6.1. Definisi.......................................................................................13
2.6.2. Epidemiologi Depresi Geriatri...................................................15
2.6.3. Patofisiologi Depresi Geriatri.....................................................16
2.6.3.1. Faktor biologi.......................................................................16
2.6.3.2. Faktor Genetik.....................................................................18
2.6.3.3. Faktor Psikososial...............................................................18
2.6.4. Klasifikasi Depresi Geriatri........................................................19
2.6.5. Gejala dan Tanda Depresi.........................................................20
2.6.6. Diagnosis Depresi Geriatri........................................................22
2.6.7. Tatalaksana Depresi..................................................................24

2
2.6.7.1. Terapi Farmakologi..............................................................26
2.6.7.2. Terapi Elektrokonvulsi (ECT)..............................................28
2.6.7.3. Perawatan Lanjut dan Asuhan Rumah (Home Care).........28
2.6.8. Prognosis...................................................................................30
BAB III........................................................................................................31
3.1. Kesimpulan......................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................32

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1, Skema standar homeostasis ……………………………………11


Gambar 2. Skema revisi konsep homeostasis…………………………...…12

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkat Depresi ……………………………………………………..21


Tabel 2. Skala Depresi pada Geriatri ……………………………………….23
Tabel 3. Farmakoterapi untuk Depresi Geriatri …………………………….27

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jumlah orang berusia lanjut, 60 tahun keatas telah meningkat
dalam beberapa tahun terakhir di mayoritas daerah di belahan dunia, dan
diperkirakan akan ada akselerasi pertumbuhan dari populasi usia ini
dalam beberapa tahun ke depan (Repousi dkk., 2018). Saat ini di
Indonesia terdapat sekitar 11 juta jiwa yang berusia di atas 65 tahun,
padahal pada tahun 1994 baru sekitar 7,5 juta jiwa. Proyeksi pada tahun
2020 diperkirakan populasi lansia sebesar 7,2% yang hampir sepadan
dengan negara-negara maju saat ini (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Populasi lanjut usia memiliki banyak dampak hampir ke seluruh sektor.
Peningkatan ekspektansi kehidupan tentunya akan mempengaruhi resiko
dari penyakit-penyakit geriatri serta penyakit kronis. Peningkatan angka
harapan hidup dari kelompok populasi akan diikuti dengan peningkatan
gangguan kesehatan pada kelompok usia lansia, dimana yang sering
ditemukan pada lansia adalah demensia, delirium, dan depresi (Tamher &
Noorkasiani, 2009). Kontributor utama dari penyakit pada geriatri adalah
penyakit-penyakit kardiovaskular, disamping itu depresi juga menjadi
gejala penting yang patut untuk diperhatikan karena sangat sering
menimpa orang lanjut usia, dengan 7.5 juta dewasa berusia lanjut di
seluruh dulia menderita kelainan depresi mayor (Repousi dkk., 2018).
Depresi merupakan salah satu penyebab gangguan emosional
pada usia lanjut, dan dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam
peningkatan morbiditas serta banyak gangguan medis. Orang berusia
lanjut yang mengalami depresi seringkali mengalami penurunan fungsi
serta kualitas kehidupan, diikuti dengan gejala gangguan mood.
Peningkatan mortilitas baik akibat bunuh diri dan penyakit medis juga
memiliki keterkaitan erat dengan gangguan depresi pada usia lanjut.
Depresi pada orang berusia lanjut seringkali lebih persisten dibandingkan
saat usia muda, dapat berlangsung kronis dan sering timbul remisi.

1
Depresi secara klinis bukanlah bagian dari normal aging dan harus
dianggap sebagai suatu penyakit medis yang dapat diterapi (Casey,
2017).
Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung
bertahun-tahun dan dihubungkan dengan kualitas hidup yang buruk,
kesulitan dalam fungsi sosial dan fisik, kepatuhan yang buruk terhadap
terapi, dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat bunuh diri dan
penyebab lainnya (WHO, 2010). Masalah ini baik berlangsung secara akut
atau kronik akan mampu menyebabkan gangguan kemampuan individu
untuk beraktivitas sehari-hari. Pada kasus-kasus yang parah, depresi
dapat menyebabkan bunuh diri. Sekitar 80% lansia depresi yang
menjalani pengobatan dapat sembuh sempurna dan menikmati kehidupan
mereka, akan tetapi 90% mereka yang depresi mengabaikan dan menolak
pengobatan gangguan mental tersebut (Smeltzer, 2001).

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami defenisi, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis,
penegakan diagnosis, dan tatalaksana dari depresi pada geriatri.
2. Meningkatkan kemampuan diagnosis, dan penatalaksanaan dari
depresi pada geriatri.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan makalah ini antara lain
sebagai berikut:
1. Dapat memberikan khasanah ilmu pengetauan tentang depresi pada
lanjut usia.
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta
melakukan penatalaksanaan depresi pada usia lanjut bagi para tenaga
kesehatan.

2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geriatri
2.1.1. Definisi Geriatri
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang menitikberatkan pada
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan pada usia
lanjut (Setiati, 2014). Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk
lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi,
aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998).
Pasien geriatri atau pasin dengan usia lanjut memiliki karakteristik-
karakteristik yang khas yang membedakannya. Karakteristik pasien
geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu
penyakit kronis degeneratif. Karakteristik kedua adalah daya cadangan
faal menurun karena menurunnya fungsi organ akibat proses menua.
Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak
khas. Tampilan gejala yang tidak khas seringkali mengaburkan penyakit
yang pasien. Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional
yang merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien geriatri
berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada
orang lain. Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di
Indonesia ialah malnutrisi. Setiati et al melaporkan malnutrisi merupakan
sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang dirawat (42,6%) di
14 rumah sakit (Setiati, 2014).
Secara ekonomi, geriatri lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan
masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang
sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali
dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.

4
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial
sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di
bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap
sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta
luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia
penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus
dihormati oleh warga muda.

2.1.2. Klasifikasi Geriatri


WHO dalam depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai
berikut: middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara
60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di
atas 90 tahun. Pada saat ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri
mempelajari penuaan merujuk kepada kelompok lansia : “lansia muda”
(young old), “lansia tua” (old old). Dan “lansia tertua” (oldest old). Secara
kronologis, young old secara umum dinisbahkan kepada usia antara 65
sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old berusia
antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas,
berkecenderungan lebih besar lemah dan tidak bugan serta memilki
kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia dkk., 2005).

2.2 Proses Penuaan


Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang
dewasa sehat menjadi seorang yang frail (lemah, rentan) dengan
berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian
secara eksponensial. Menua juga didefinisikan sebagai penurunan
seiring-waktu yang terjadi pada sebagian besar makhluk hidup, yang
berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta
perubahan fisiologis yang terkait-usia.

5
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis
ketika membicarakan proses menua:aging (bertambahnya umur),
senescence (menjadi tua) dan homeostenosis:
(penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis Istilah aging yang
hanya menunjukkan efek waktu, dianggap tidak mewakili apa yang
terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi
seiring waktu, seperti perkembangan (development), istilah yang sering
digunakan di bidang pediatri, dapat disebut sebagai aging. Aging
merupakan proses yang terus berlangsung (continuum), yang dimulai
dengan perkembangan (development) yaitu proses generatif seiring
waktu yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan dilanjutkan dengan
senescence yaitu proses degeneratif yang inkompatibel dengan
kehidupan. Istilah senescence juga digunakan untuk menggambarkan
turunnya fungsi efisien suatu organisme sejalan dengan penuaan dan
meningkatnya kemungkinan kematian.
Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu,
karena banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan
mungkin suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan
(wisdom) yang meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai
senescence melainkan suatu aging,walaupun hal itu merupakan bagian
dari proses menua. Sebaliknya, gangguan memori yang terjadi selama
aging merupakan manifestasi senescence. Sementara konsep
homeostenosis menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia
maka makin kecil kapasitas seorang tua untuk membawa dirinya ke
keadaan homeostasis setelah terjadinya stattt 'challenge' (di sini yang
dimaksud 'challenge'adalah kondisi atau perubahan yang mengganggu
homeostasis).

2.3. Teori mengenai Proses Menua


Beberapa teori tentang proses menua yang dapat diterima saat ini,
antara lain:

6
7
2.3.1. Teori Radikal Bebas
Teori ini menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif
yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai
komponen penting selular, termasuk pr6tein, DNA, dan lipid, dan
menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama
dan mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal bebas (Free Radical
Theory of Ageing) diperkenalkan pertama kali oleh Denham Harman
pada tahun 1956, yang menyatakan bahwa proses menua normal
merupakan akibat kerusakan jaringan akibat radikal bebas.
Harman menyatakan bahwa mitokondria sebagai generator
radikal bebas, juga merupakan target kerusakan dai radikal bebas
tersebut. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi elektron
tidak berpasangan yang terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai
proses selular atau metabolisme normal yang melibatkan oksigen.
Sebagai contoh adalah reactive oxygen species (ROS) dan reactive
nitrogen species (RNS) yang dihasilkan selama metabolisme normal.
Karena elektronnya tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas
akan mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan
substansi lain terutama dengan protein dan lemak tidak jenuh.
Melalui proses oksidasi, radikal bebas yang dihasilkan selama
fosforilasi oksidatif dapat menghasilkan berbagai modifikasi
makromolekul. Sebagai contoh, karena membran sel mengandung
sejumlah lemak, ia dapat bereaksi dengan radikal bebas sehingga
membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan pada struktur
membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel terhadap
beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati
membran secara bebas. Struktur di dalam sel seperti mitokondria dan
lisosom juga diselimuti oleh membran yang mengandung lemak
sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas. Radikal bebasjuga
dapat bereaksi dengan DNA, menyebabkan mutasi kromosom dan
karenanya merusak mesin genetik normal dari sel.
Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak
membran sel atau kromosom sel. Lebih jauh, teori radikal bebas

8
menyatakan bahwa terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap
di dalam sel sejalan dengan waktu, dan bila kadarnya melebih
konsentrasi ambang maka mereka mungkin berkontribusi pada
perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan penuaan.
Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas berupa
antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun pada tingkat
tertentu antioksidan tersebut tidak dapat melindungi tubuh dari
kerusakan akibat radikal bebas yang berlebihan.

2.3.2 Teori Glikosilasi


Teori glikosilasi menyatakan bahwa proses glikosilasi
nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang
disebut sebagai advanced glycation end products (AGEs) dapat
menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang
termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada hewan atau
manusia yang menua. Protein glikasi menunjukkan perubahan
fungsional, meliputi menurunnya akitivitas enzim dan menurunnya
degradasi protein abnormal. Manakala rnanusia menua, AGEs
terakumulasi di berbagai jaringan, termasuk kolagen, hemoglobin, dan
lensa mata. Karena muatan kolagennya tinggi, jaringan ikat menjadi
kurang elastis dan lebih kaku. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi
elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs diduga juga berinteraksi
dengan DNA dan karenanya mungkin mengganggu kemampuan sel
untuk memperbaiki perubahan pada DNA. Bukti-bukti terbaru yang
memrnjukkan tikus-tikus yang dibatasi kalorinya mempunyai gula
darah yang rendah dan menyebabkan perlambatan penumpukan
produk glikosilasi (AGEs), merupakan hal yang mendukung hipotesis
glikosilasi ini.

9
2.3.3 Teori DNA Repair
Teori DNA repair dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju repair kerusakan DNA
yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) padaberbagai fibroblas yang
dikultur. Fibroblas pada spesies yang mempunyai umur.maksimum
terpanjang menunjukkan laju'DNA repair' terbesar, dan korelasi ini
dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata.
Teori 'DNA repair' atau tepatnya'mitochondrial DNA repair' ini
terkait erat dengan teori radikal bebas yang sudah diuraikan di atas,
karena sebagian besar radikal bebas (terutama ROS) dihasilkan
melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria. Mutasi DNA
mitokondria (mtDNA) dan pembentukan ROS di mitokondria saling
mempengaruhi satu sama lain, membenfuk "vicious cycle" yang
secara eksponensial memperbanyak kerusakan oksidatif dan disfungsi
selular, yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Mutasi mtDNA di manusiaterutama terjadi setelah umur
pertengahan tigapuluhan, terakumulasi seiring pertambahan umur, dan
jarang melebihi 1%. Rendahnya jumlah mutasi mtDNA yang
terakumulasi ini diakibatkan proses repair yang terjadi di tingkat
mitokondria. Bukti-bukti menunjukkan gangguan repair pada kerusakan
oksidatif ini menyebabkan percepatan proses penuaan (accelerated
aging). Selain itu, mutasi mtDNA akibat gangguan repair ini juga
terkait dengan munculnya keganasan, diabetes melitus dan penyakit-
penyakit neurodegeneratif.

2.4 Sindroma Geriatri


Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah sindrom
geriatri yang meliputi: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, insomnia,
depresi, infeksi, defisiensi imun, gangguan pendengaran dan penglihatan,
gangguan intelektual, kolon irritable, impecunity, dan impotensi. Imobilisasi
adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau lebih,
diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis.

10
1) Imobilisasi
Imobilisasi menyebabkan komplikasi lain yang lebih besar pada
pasien usia lanjut bila tidak ditangani dengan baik.
2) Gangguan keseimbangan (instabilitas)
Instabilitas akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat
mengalami patah tulang. Inkontinensia urin didefinisikan sebagai
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki
tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan
masalah sosial dan higienis.
3) Inkontinensia urin
Inkontinensia seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau
keluarganya karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta
tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia pada pasien
geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Biaya yang dikeluarkan terkait
masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,- per tahun per
pasien. Masalah inkontinensia urin umumnya dapat diatasi dengan baik
jika dipahami pendekatan klinis dan pengelolaannya.
4) Insomnia
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada
pasien geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak
memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang
usia lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia
lanjut mengeluh tetap terjaga sepanjang malam, 19% mengeluh bangun
terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur.
5) Gangguan depresi
Depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus
tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai
bagian dari proses menua. Prevalensi depresi pada pasien geriatri yang
dirawat mencapai 17,5%.12 Deteksi dini depresi dan penanganan segera
sangat penting untuk mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan
komplikasi lain yang lebih berat.
6) Infeksi
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun
pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran
kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi,

11
multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena
infeksi.
7) Gangguan Penglihatan dan Pendengaran
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap
sebagai hal yang biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan
penglihatan pada pasien geriatri yang dirawat di Indonesia mencapai
24,8%.12 Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan
kegiatan waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas.
Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas
hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur
panggul, dan mortalitas.
8) Penyakit Kronis Degeneratif
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah
yang muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama
diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif
yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes
melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian
multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang dirawat inap
mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2%
dan 27,2%.12 Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut
mendapatkan berbagai jenis obat dalam jumlah banyak.
9) Multifarmasi
Terapi non-farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi
masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap menjadi pilihan utama
sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat yang
benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/ interdisiplin
yang mengedepankan pendekatan secara holistik.

2.5 Perubahan Fisiologi Proses Menua


Fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan
denganpengenalan konsep homeostenosis. Konsep ini diperkenalkan
oleh Walter Cannon pada tahun 1940. Homeostenosis yang merupakan
karakteristik fisiologi penuaan adalah keadaan penyempitan

12
(berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seiring

meningkatnya usia pada setiap sistem organ.

Gambar 1. Skema standar homeostenosis

Gambar ini menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya usia


maka cadangan fisiologis semakin berkurang, sehingga seorang usia
lanjut lebih mudah untuk menjadi sakit atau meninggal (Modifikasi
dari Taffet GE, 2003). Seiring bertambahnya usia jumlah cadangan
fisiologis untuk menghadapi berbagai perubahan yang mengganggu
homeostasis (challenge) berkurang. Penerapan konsep homeostenosis
ini tergambar pada sistem skoring APACHE (Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation), suatu skala penilaian beratnya penyakit.
Penilaian perubahan fisiologis akut yang terjadi dinyatakan dengan
semakin besarnya deviasi dari nilai homeostatis pada 12 variabel,
antara lain tanda vital, oksigenasi, pH, elektrolit, hematokrit, hitung
leukosit, dan kreatinin. Seorang normal pada keadaan homeostasis
mempunyai nilai nol. Semakin besar penyimpangan dari homeostasis
skornya semakin besar. Skor APACHE pada kelompok usia tua
cenderung lebih rendah. Terlihat bahwa dengan penyimpangan yang
lebih kecil dari keadaan ho-meostasis, seorang usia tua lebih rentan
untuk menjadi sakit atau meninggal dibandingkan orang muda. Oleh

13
karena itu penggagas sistem skoring APACHE kemudian memasukkan
variabel usia sebagai 'nilai bonus' pada skoring itu, sehingga skor
total untuk satu keadaan sakit tidak berbeda antara usia muda dan
usia tua.

Gambar 2. Skema revisi konsep homeostenosis.

Pada gambar ini ditunjukkan bahwa selain cadangan fisiologis yang


makin berkurang seiring meningkatnya usia, juga ternyata cadangan
fisiologis yang ada sudah terpakai hanya untuk mempertahankan
homeostasis (Modifikasi dari Taffet cE, 2003).
Konsep homeostenosis inilah yang dapat menjelaskan berbagai
perubahan fisiologis yang terjadi selama proses menua dan efek yang
ditimbulkannya. Walaupun merupakan suatu proses fisiologis,
perubahan dan efek penuaan te{adi sangat bervariasi dan variabilitas
ini makin meningkat seiring peningkatan usia. Variasi terjadi antaru satu
individu dengan individu lain pada umur yang sama, antara safu
sistem organ dengan organ lain, bahkan dari satu sel terhadap sel lain
pada individu yang sama.

2.5.1 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Proses Menua


1) Sistem persyarafan:
Cepatnya menurun hubungan persyarafan / kemampuan
berkurang, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya
dengan stres, mengecilnya saraf panca indera, berkurangnya penglihatan,
hilangnya pendengaran, mengecil syaraf pencium dan perasa, lebih
sensitif terhadap perubahan suhu.

14
2) Sistem penglihatan:
kornea lebih berbentuk sfevis (bola), lensa lebih suram (kekeruhan
pada lensa) menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan,
meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.

3) Sistem kardiovaskuler: kemampuan jantung memompa darah


menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan
elastisitas pembuluh darah,kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenisasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri)
bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg
(mengakibatkan pusing mendadak), tekanan darah meninggi diakibatkan
oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer. Universitas
Sumatera Utara

4) Sistem kulit: kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan


jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik, kulit kepala dan
rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga
menebal.
5) Rambut : penurunan pigmen yang menyebabkan rambut
berwarna abu – abu atau putih, penipisan seiring penurunan jumlah
melanosit, rambut pubik rontok akibat perubahan hormonal.
6) Telinga : Atrofi organ korti dan saraf auditorius ,
ketidakmampuan membedakan konsonan bernada tinggi , perubahan
struktural degeneratif dalam keseluruhan sistem pendengaran.
7) Sistem muskuloskletal: Peningkatan jaringan adiposa,
penurunan masa tubuh yang tidak berlemak dan kandungan mineral
tubuh, penurunan pembentukan kolagen dan masa otot, penurunan
viskositas cairan sinovial dan lebih banyak membran sinovial yang fibritik
(Stockslager, 2003).

15
2.6. Depresi Geriatri
2.6.1. Definisi
Kelainan depresi mayor merupakan bentuk depresi yang dikenal
dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 th edition
(DSM-5). DSM-5 mendefinisikan depresi mayor berdasarkan adanya 5
atau lebih dari gejala depresi selama durasi 2 minggu, yang termasuk
didalamnya mood depresi / hinangnya ketertarikan atau kepuasan, diikuti
dengan penurunan berat badan yang signifikan atau justru meningkat
(tanpa diet) / perubahan pola makan, insomnia / hipersomnia, agitasi
psikomotor atau retardasi, kelelahan atau hilangnya energi, perasaan
tidak berharga, hilangnya kemampuan untuk berfikir atau berkonsentrasi,
dan munculnya keinginan untuk mati atau bunuh diri secara rekuren. Tidak
ada pembagian khusus dalam DSM-5 mengenai kriteria depresi yang
dipisahkan menurut usia atau proses penuaan (Casey, 2017).
Depresi minor juga merupakan konsep penting dalam psikiatri
geriatri, kondisi ini juga beberapa kali dikenal sebagai depresi
subsyndromal / subthreshold. Depresi minor tidak termasuk dalam suatu
diagnosis dalam DSM-5, namun tercantum dalam bagian kelainan depresi
lainnya. Depresi minor didefinisikan sebagai adanya 1 dari 2 gejala
depresi utama ditambah dengan 1 dari 3 gejala tambahan, walaupun
definisi ini tidak diterima secara umum. Kondisi ini lebih tampaknya sering
terjadi dibandingkan depresi mayor, dan tentunya berkaitan dengan
tingkat disabilitas pada usia lanjut yang sama dengan depresi mayor
(Casey, 2017).
Distimia, yang disebut juga sebagai kelainan depresi persisten
dalam DSM-5 merupakan suatu bentuk kronis dari depresi yang tidak
separah depresi mayor dan bertahan selama 2 tahun atau lebih. Meskipun
distimia lebih sering berawal dari usia muda, kondisi ini dapat bertahan
hingga usia lanjut (Casey, 2017).
Secara garis besar, depresi pada geriatri dapat dibagi menjadi dua
yakni kelompok dengan early dan late onset. Kelainan depresi yang timbul
sebelumnya dapat berlangsung persisten atau rekuren dan berlanjut di

16
usia lanjut. Pada kasus early onset, gejala depresi lebih akibat depresi itu
sendiri. Sementara pada late onset, gejala depresi yang timbul mungkin
merepresentasikan penyebab yang berbeda, dapat mungkin akibat proses
brain aging atau penyakit lain. Salah satu contoh penyakit yang berkaitan
dengan depresi late onset adalah proses vascular depression, yang
dicurigai berkaitan dengan perubahan neurovaskular. Pasien dengan
kondisi tersebut tampaknya lebih rentan memiliki disfungsi kognitif
(khususnya kehilangan fungsi eksekusi), diikuti dengan penurunan
kelancaran verbal, retardasi psikomotor, dan anhedonia. Selain itu,
pasien-pasien tersebut tampaknya tidak memiliki riwayat keluarga dengan
riwayat depresi atau gejala psikotik (Casey, 2017).

2.6.2. Epidemiologi Depresi Geriatri


Prevalensi keseluruhan dari gejala depresi yang signifikan secara
klinis pada usia lanjut diperkirakan mencapai 8-16% dari seluruh
populasi. Depresi sendiri menjadi gangguan psikiatri dengan prevalensi
paling banyak pada kelompok usia lanjut. Prevalensi depresi pada usia
lanjut di pelayanan kesehatan primer adalah 5-17%, sementara prevalensi
orang lanjut usia yang memiliki penyakit medis kronis memiliki tingkat
depresi sekitar 25%, dan penghuni panti jompo memiliki prevalensi
depresi 25-50% (Casey, 2017). Prevalensi depresi geriatri lebih tinggi di
ruang perawatan daripada di masyarakat. Usia lanjut di perawatan jangka
panjang memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi daripada di masyarakat.
Sebelumnya, diketahui bahwa depresi mayor lebih sering ditemui pada
usia lajut dibandingkan kelompok usia lainnya. Namun, saat ini diketahui
bahwa prevalensi depresi pada kelompok usia 65 tahun atau lebih adalah
1-4%, dimana angka ini sama atau justru lebih rendah dibandingkan pada
kelompok usia lainnya. Pada kelompok usia khusus, dewasa tua memiliki
tingkat gejala depresi yang lebih tinggi.
Wanita usia lanjut lebih banyak didiagnosis dengan depresi
dibandingkan laki laki usia lanjut. Prevalensi depresi pada lansia berjenis
kelamin wanita lebih tinggi. Alasan untuk perbedaan ini meliputi

17
perbedaan hormonal, efek-efek dari melahirkan, perbedaan stressor
psikososial, dan model-model perilaku dari learned helplessness. Wanita
memiliki risiko untuk depresi lebih tinggi daripada pria, bahkan di masa
tua. Didapati prevalensi depresi pada pria sebesar 6,9% dan sebesar
16,5% pada wanita. Pada penelitian oleh Schoever tersebut dapat dilihat
pada subjek penelitian bahwa disabilitas fungsional lebih sering terjadi
pada wanita dan lebih banyak wanita yang tidak atau tidak lagi menikah.
Data prevalensi depresi pada usia lanjut di Indonesia diperoleh dari
ruang rawat akut geriatri dengan kejadian depresi sebanyak 76,3%.
Proporsi pasien geriatri dengan depresi ringan adalah 44,1% sedangkan
depresi sedang sebanyak 18%, depresi berat sebanyak 10,8% dan
depresi sangat berat sebanyak 3,2 %. Semakin berat tingkat depresi maka
semakin lama masa rawat. Studi untuk populasi Indonesia Timur
dilakukan di Kabupaten Buru, Maluku, pada tahun 2003 dengan subyek
sebanyak 401 orang usia lanjut. Penapisan depresi pada usia lanjut yang
berada di daerah pasca konflik tersebut menunjukkan hasil positif pada
52,4% subyek (United Nations, 2007).

2.6.3. Patofisiologi Depresi Geriatri


Berbagai teori mengenai etiologi yang diajukan oleh para ahli
tentang gangguan depresi usia lanjut namun pada banyak kasus jelas
berhubungan dengan polifarmasi yang berkaitan erat dengan
multipatologi. Beberapa penyebab lain adalah kondisi medik seperti strok
dan hipotiroidisme. Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi
dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan
faktor psikososial.

2.6.3.1. Faktor biologi


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada
amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA
(Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam
darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.

18
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin
dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan
pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah.
Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan
dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin
pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan
yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit
dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai
gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti
tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi
(Kaplan, 2010). Disregulasi neuroendokrin.
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin,
menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik.
Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung
amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan
pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering
terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA
merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld et al, 2004).
Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat
fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat
adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau
adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang
mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.
Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan
Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem
endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi
CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld,
2004). Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon
estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik
negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan

19
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak
monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses
menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh
otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan
yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra,
serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti menunjukkan
bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari
noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya
untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun
dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).

2.6.3.2. Faktor Genetik


Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko
di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita
depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan
populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan
40% pada kembar monozigot (Davies, 1999). Oleh Lesler (2001),
Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus,
hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual,
sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah
genetik.

2.6.3.3. Faktor Psikososial


Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi
adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor
psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada
lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi,
kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan

20
isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan,
2010) Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika,
kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan,
2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan
yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai
bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi,
klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki
peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti
kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal,
ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang
terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik,
histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi.
Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang
memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang
rendah (Kaplan, 2010). Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori
psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai
dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti
depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan
suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan
bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara
internal karena identifikasi dengan objek yang hilang.

2.6.4. Klasifikasi Depresi Geriatri


Beberapa tipe depresi (Benson, 2001):
a. Depresi Mayor

21
Didefinisikan sebagai perasaan depresi pada sebagian besar hari atau
kehilangan minat atau kesenangan selama periode dua minggu disertai
dengan setidaknya empat dari gejala berikut:
- Penurunan atau kenainak berat badan yang signifikan,
- Insomnia atau tidur terlalu banyak hampir setiap hari,
- Agitasi atau retardasi psikomotor,
- Kelelahan atau kehilangan energi,
- Perasaan tidak berharga atau bersalah,
- Ketidakmampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau pikiran
berulang tentang kematian.
Pada geriatri, gejala kognitif (misalnya, disorientasi, kehilangan memori,
dan distractibility) mungkin sangat menonjol.
b. Depresi Minor :
Adalah satu atau lebih periode gejala depresi yang telah berlangsung
minimal selama dua minggu, dengan gejala dan penurunan nilai yang
lebih ringan dari depresi mayor. Satu episode depresi meliputi suasana
hati sedih atau tertekan atau kehilangan minat atau kesenangan dalam
hamp9ir semua kegiatan.
c. Gangguan Distimia
Adalah gangguan yang menetap dengan jangka waktu panjang (dua
tahun atau lebih) meliputi suasana hati tertekan dalam sebagian besar
hari, disertai dengan dua atau lebih dari hal berikut:
- Penurunan nafsu makan atau makan berlebihan,
- Insomnia atau tidur terlalu banyak,
- Sedikit energi atau kelelahan,
- Rendah diri,
- Konsentrasi yang buruk atau kesulitan membuat keputusan, dan
- Perasaan putus asa.
Gejala yang terjadi lebih ringan dari depresi.
Pada geriatri, kemungkinan untuk mengalami depresi mayor lebih sedikit
dibandingkan dengan dewasa muda. Namun, pada geriatri cenderung

22
memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami depresi minor dan
dysthymia (Ciechanowski, 2004).

2.6.5. Gejala dan Tanda Depresi


Gejala-gejala depresif lebih sering terjadi pada oldest old, yaitu lebih
dari 20% dibandingkan dengan kurang dari 10% pada young old. Tetapi
frekuensi yang lebih tinggi tersebut diterangkan oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan penuaan, seperti proporsi wanita yang lebih tinggi,
lebih banyak ketidakmampuan fisik, lebih banyak gangguan kognitif, dan
status sosioekonomik yang lebihrendah. Ketika faktor-faktor tersebut
terkontrol, tidak ada hubungan antara gejala-gejala depresi dan usia.
Menurut ICD-10 gejala-gejala depresi terdiri dari:
Gejala utama:
a. perasaan depresif.
b. hilangnya minat dan semangat
c. mudah lelah dan lenaga hilang.
Gejala lain:
a. konsentrasi menurun.
b. harga dirimenurun.
c. perasaan bersalah.
d. pesimis terhadap masa depan.
e. gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri.
f. gangguan tidur.
g. gangguan nafsu makan.
h. Menurunnya libido.

Tabel 1. Tingkat Depresi


(Soejono, Probosuseno, dan Sari, 2014)
Tingkat Gejal Gejal Fungsi Keterangan
Depresi a a
Utam Lain
a

23
Ringan 2 2 Baik
Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak distress
Berat 3 ≥4 Sangat Sangat distress
Terganggu

Ciri khas depresi pada usia lanjut antara lain :


1. Terdapat fluktuasi yang jelas dari gejala,
2. Gejala depresi mungkin tertutup keluhan somatik,
3. Adanya depresi yang berbarengan dengan demensia
mengganggu pengenalan dan pelaporan depresi,
4. Terdapat hubungan yang erat antara penyakit fisis dan depresi.

2.6.6. Diagnosis Depresi Geriatri


Membuat diagnosis depresi pada usia lanjut dapat dilakukan
secara klinis melalui proses wawancara (anamnesis) dengan menanyakan
riwayat pasien, serta pemeriksaan status mental. Skala depresi seperti
Patient Health Questionnaire-9, Geriatric Depression Scale, atau Beck
Depression Inventory akan sangat bermanfaat untuk membantu
mendiagnosis serta melihat perkembangan penyakit dari waktu ke waktu.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium juga penting untuk
mempertimbangkan faktor medis yang berkontribusi terhadap gejala
depresi. Pemeriksaan laboratoium bermanfaat namun seringkali kurang
bermakna karena tidak ada tes spesifik atau biomarker khusus yang
tersedia untuk kasus depresi. Pada banyak kasus, terdapat banyak sekali
faktor yang memicu gejala depresi, meliputi komponen medis, sosisal, dan
psikologis. Pada beberapa kasus tertentu, neuroimaging mungkin dapat
bermanfaat, khususnya pada kasus penyakit serebrovaskuler, gangguan
kognitif, dan demensia. Evaluasi diagnostik harus tidak melupakan adanya
kemungkinan kondisi medis komorbid. Penilaian status kognitif juga
merupakan komponen yang harus diperhatikan, selain itu juga status
fungsional pasien yang meliputi gait, status nutrisi, aktivitas sehari-hari,
serta dukungan sosial dan keluarga pasien (Casey, 2017).

24
Diagnosis awal dan terapi segera depresi pada pasien geriatri
dapat menaikkan kualitas hidup, status fungsional, dan mencegah
kematian dini. Ada beberapa cara penegakan diagnosis depresi, yaitu
menurut DSM-IV atau menurut ICD-10. Diagnosis depresi pada geriatri
juga dapat diketahui dengan menggunakan Geriatric Depression Scale
(GDS) yang memuat beberapa pertanyaan. GDS merupakan panduan
pertanyaan singkat yang dapat dimengerti cukup mudah, sehingga mudah
diaplikasikan.

25
Tabel 2. Skala Depresi pada Geriatri (Geriatric Depression Scale)
(Greenberg, 2012)
Pertanyaan Y Tidak
a
1. Apakah anda merasa puas dengan hidup 0 1
anda? 1 0
2. Apakah anda mengurangi kegiatan
beberapa kegiatan yang anda minati?
1 0
3. Apakah anda merasa hidup anda kosong?
1 0
4. Apakah anda sering merasa bosan?
0 1
5. Apakah anda merasa terus bersemangat
sebagian besar waktu?
6. Apakah anda merasa takut pada suatu hal
1 0

buruk yang mungkin terjadi?


7. Apakah anda merasa bahagia sebagian 0 1
besar waktu?
8. Apakah anda merasa tidak berdaya, tidak 1 0
ada harapan?
9. Apakah anda memilih tinggal di rumah 1 0
daripada pergi keluar dan atau melakukan
hal baru?
1 0
10. Apakah anda merasa memiliki banyak
masalah terkait ingatan?
0 1
11. Apakah anda bersyukur dapat hidup
sekarang? 1 0

12. Apakah anda merasa sedikit tidak 0 1


berharap ? 1 0
13. Apakah and merasa sangat berenergi?
14. Apakah anda merasa bahwa situasi anda 1 0
dalam keadaan tidak ada harapan, tidak
berdaya?
15. Apakah anda berpikir bahwa sebagian besar
orang lebih baik daripada anda?

26
Interpretasi hasil:
Nilai >5 : Suggestif depresi. Memerlukan follow-up dan
penanganan komprehensif
Nilai ≥10 : Indikasi depresi

Menurut DSM-IV kriteria depresi berat mencakup 5 atau lebih


gejala berikut dan telah berlangsung selama 2 minggu atau lebih, yaitu:
- Perasaan depresi.
- Hilangnya minat atau rasa senang, hampir setiap hari.
- Berat badan menurun atau bertambah yang bermakna.
- Insomnia atau hipersomnia, hampir setiap hari.
- Agitasi atau retardasi psikomotor, hampir setiap hari.
- Kelelahan (rasa lelah atau hilangnya energi) hampir setiap
hari.
- Rasa bersalah atau tidak berharga, hampir tiap hari.
- Sulit konsentrasi.
- Pikiran berulang tentang kematian atau gagasan bunuh diri.

2.6.7. Tatalaksana Depresi


Depresi pada usia lanjut merupakan suatu kondisi yang dapat
diobati. Tata laksana depresi pada lansia bertujuan untuk mencegah
kekambuhan, rekuren, dan kronisitas. Depresi pada geriatri ldapat lebih
efektif dengan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi dan disertai
dengan pendekatan yang komprehensif. Terapi sebaiknya diberikan
dengan mempertimbangkan harapan, kemandirian, keamanan, masalah
fisis, dan penyakit pasien. Tata laksana dipengaruhi tingkat keparahan dan
kepribadian masing-masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi
merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan memiliki tinglat
keberhasilan yang cukup baik. Namun, pada depresi berat, psikoterapi
sebaiknya disertai dengan farmakoterapi.
Dukungan sosial dari orang-orang terdekat terutama keluarga dan
teman merupakan kunci dari pendekatan individual yang dapat dilakukan

27
dalam psikoterapi. Mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia
lanjut merupakan salah satu bagian penting dalam penyembuhan dan
dapat mencegah episode kekambuhan penyakit (terutama depresi).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktif dalam kegiatan kelompok di
lingkungan merupakan bagian penting dalam kesehatan dan dapat
meningkatkan kualitas hidup. Faktor-faktor yang memperberat depresi
perlu diperhatikan, karena dapat menjadi pencetus bagi lansia untuk
mengalami depresi berulang. Faktor tersebut dapat dikurangi bebannya
dengan dukungan sosial dan rehabilitasi yang baik. Faktor tersebut
adalah:
a. Penyakit fisik,
b. Penyakit neurologis (didapat sekitar 50% depresi pasca stroke
yang timbulnya dapat tertunda sampai 12 bulan, 30-50%
penderita Alzheimer menderita depresi),
c. Obat-obatan,
d. Kehilangan (pasangan hidup, perpisahan teman dekat dan
anggota keluarga, taraf kesehatan yang menurun, rasa aman,
kekuasaan/ jabatan dan kebebasan), dan
e. Kemiskinan sosial dan lingkungan.
Penanganan depresi pada usia lanjut memerlukan perhatian ekstra.
Segala kesulitan dan keluhan perlu didengarkan dengan sabar, karena
ketidak sabaran terapis dianggap sebagai penolakan (empati terapis
sangat diperlukan karena penghormatan dan perhatian dapat
mengembalikan harga diri pasien). Strategi praktis pada terapi individu
adalah :
a. Menyusun jadwal pertemuan untuk menjaga kepatuhan dan
komitmen,
b. Mengetengahkan topik pembicaraan tentang kehidupan sosial
yang umum untuk membangun hubungan dokterpasien yang
baik,
c. Fokus membicarakan masalah dan menetapkan sasaran realistis
yang dapat dicapai untuk memberikan arah yang pasti bagi

28
pasien,
d. Mendorong pasien terlibat dalam kegiatan yang berarti dan
berguna untuk meningkatkan kemampuan menikmati
pengalaman yang menyenangkan,
e. Menunjukkan kepedulian melalui sentuhan fisis yang wajar,
meninjau kembali apayang telah dicapai di masa lalu untuk
membangkitkan rasa mampu dan harga diri.
Terdapat beberapa model program yang dapat dipakai di komunitas
(sebagai Community Guide). Model ini terus dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan populasi geriatri pada daerah tertentu. Model program
untuk menangani depresi pada geriatri yang sudah dikembangkan adalah
(Snowden, 2008):
a. Healthy IDEAS (Identifying Depression, Empowering Activities
for Seniors)
b. IMPACT (Improving Mood – Promoting Access to Collaborative
Treatment)

2.6.7.1. Terapi Farmakologi


Indikasi pemberian obat antidepresi adalah pada gangguan depresi
sedang dan berat, episode depresi berulang, dan depresi dengan
gambaran melankolia atau psikotik. Karena manifestasi klinis depresi
pada usia lanjut seringkali tidak khas, maka menentukan indikasi
pemberian obat antidepresi pada pasien geriatri seringkali merupakan
pertimbangan klinis berdasarkan pada pengalaman klinis dalam
mengenali tanda dan gejala depresi. Pemilihan terapi farmakologis
hendaknya disesuaikan dengan pasien dan memperhatikan efek samping
obat. (Pollock,Semia, dan Forsyth 2009)

Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah, dinaikkan


perlahan-lahan (start low and go slow). Pengobatan antidepresi dibedakan
atas tiga fase, yaitu:
- Fase akut

29
Berlangsung antara 6-12 minggu. Pada tahap ini dosis
optimal obat untuk memperbaiki gejala depresi diharapkan telah
tercapai.
- Fase lanjutan
Dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai dengan 9
bulan untuk mencegah terjadinya relaps.
- Terapi rumatan
Dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih. Diberikan
pada gangguan depresi dengan riwayat episode berulang.
Beberapa penelitian terakhir meneguhkan anjuran pemberian obat
antidepresi pada pasien geriatri sampai minimal satu tahun karena
terbukti menurunkan risiko relaps maupun rekurens dibandingkan
apabila hanya diberikan sampai 6 bulan.

Tabel 3. Farmakoterapi untuk Depresi pada Geriatri

30
31
2.6.7.2. Terapi Elektrokonvulsi (ECT)
Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum, intoleransi
terhadap efek samping obat antidepresi atau gagal terapi, kecenderungan
tidak patuh minum obat, berniat bunuh diri atau retardasi hebat maka ECT
diberikan l-2kali seminggu pada pasien rawat inap, unilateral untuk
mengurangi problem memori. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan
mood (sekitar 5-1 0 kali), dilanjutkan dengan obat antidepresi untuk
mencegah kekambuhan. Terapi ini masih efektif dan aman (kematian
kurang dari I per 10.000) bagi depresi mayor, angka remisi lebih dari 90%
dengan efek samping paling sedikit (kemunduran ingatan,
bingung/confusion).
Olahraga ternyata bermanfaat dalam tatalaksana depresi namun
efeknya lambat, dan hasil nampak sesudah 16minggu. Nutrisi sangat
perlu diperhatikan, karena penderita depresi sangat sering mengalami
malnutrisi, jika perlu dipasang NGT (makanan lewat sonde). Komplikasi
depresi yang dapat te{adi adalah malnutrisi dan pneumonia (akibat
imobilisasi dan berbaring terus).
Dalam mengelola pasien depresi perlu diingat beberapa hal yang
berkaitan dengan edukasi, yakni: 1). Pasien jangan menghentikan obat
tanpa instruksi dokter, 2). ada jarak waktu untuk sembuh (membutuhkan
waktu) sekitar 1-2 minggu sesudah obat diminum, 3). terangkan tentang
efek samping yang mungkin terjadi, 4) olahraga dan psikoterapi adalah hal
yang sangat menunjang kesembuhan.

2.6.7.3. Perawatan Lanjut dan Asuhan Rumah (Home Care)


Setelah terdapat perbaikan selama 6 bulan, biasanya pasien
mempunyai sedikit risiko untuk episode baru depresi (kambuh).
Pengobatan antidepresi harus dilanjutkan sedikitnya 6 bulan lagi (fase
lanjutan). Pengobatan ini digunakan untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dengan risiko tinggi untuk kambuh harus mendapat pengobatan
berkelanjutan untuk sedikitnya l-2 tahtn, antidepresi yang dapat dipakai
antara lain serhalin, fluoxetin danparoxetin.

32
Pelayanan kesehatan asuhan rumah bagi usia lanjut adalah salah
satu unsur pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk kesehatan
perorangan atau kesehatan keluarga di tempat tinggal mereka dalam segi
promotif, rehabilitatif, kuratif, dalam upaya mempertahankan kemampuan
individu untuk mandiri secara optimal selama mungkin. Asuhan rumah
bagi para usia lanjut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perawatan dalam menghadapi kondisi tubuh yang makin rapuh atau sakit
kronik. Upaya penyelenggaraan asuhan rumah yang dikoordinasikan oleh
rumah sakit merupakan upaya yang secara ekonomis layak sebagai
altematif lain dari perawatan di RS sejauh pertimbangan-pertimbangan
medis, lingkungan sosial dan aspek-aspek psikologik dapat tenaga secara
cocok dan serasi.
Kunjungan rumah oleh seorang dokter dan atau paramedis sebagai
satu tim amat bermanfaat bagi penderita karcna dapat meningkatkan
pemahaman menyeluruh penderita dan akan dapat memberikan pilihan
terbaik untuk penderitayang dirawat, selain dapat meningkatkan kepuasan
penderita yang akhirnya akan mempercepat proses perbaikan.
Idealnya asuhan rumah dilaksanakan oleh suatu tim dengan
melibatkan dokter keluarga, bila diperlukan dokter spesialis, ahli
gizi,paramedis, care giver (pramuwerdha), relawan usia lanjut, dan lain-
lain dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup usia lanjut, sedang tujuan
khususnya adalah: l). menekan serendah mungkin biaya perawatan
kesehatan (penghematan biaya pemondokan di RS), 2). mengurangi
frekuensi hospitalisasi dan memperpendek lama perawatan di rumah sakit
setelah fase akut, 3). meningkatkan usaha promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, 4). melakukan pence-gahan primer, sekunder dan tersier
misalnya melaksanakan imunisasi (influenza dan pneumonia), melakukan
penatalaksanaan paliatif penderita dengan keganasan, serta
memperlambat/mencegah timbulnya gangguan fungsi tubuh (disability)
sehingga penderita dapat mempertahankan otonominya (dititikberatkan
pada kemampuan ADL dan IADL) selama mungkin.

33
Keuntungan/manfaat program lainnya dari asuhan rumah ini bagi
pasien depresi dan keluarganya adalah mengurangi stres akibat
perawatan di RS dan pasien lebih mudah berkomunikasi dengan orang-
orang sekitarnya; serta memberikan suasana yang lebih nyaman dan
akrab bagi pasien.

2.6.8. Prognosis
Depresi pada geriatri sering berlanjut kronis dan
kambuhkambuhan, ini berhubungan dengan komorbiditas medis,
kemunduran kognitif dan faktor-faktor psikososial. Kemungkinan kambuh
cukup tinggi pada pasien dengan riwayat episode berulang, awitan pada
usia lebih tua, riwayat distimia, sakit medis yang sedang terjadi, kian
beratnya depresi dan kronisitas depresi. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah rnalnukisi dan pneumonia (akibat imobilitas atau berbaring
terusmenerus) serta akibat sampingan dari pemberian obat antidepresi.
Pasien yang depresi mempunyai risiko lebih tinggi untuk bunuh diri
dari populasi lain. Sepertiga pasien usia lanjut melaporkan kesepian
sebagai alasan utama untuk bunuh diri, sepuluh persen karena masalah
keuangan. Kira-kira 60%o yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki, dan
75% yang mencoba bunuh diri adalah perempuan.

34
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang menitikberatkan pada
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan pada usia
lanjut (Soejono, 2014). Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut (>60
tahun) yang memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari
pasien usia lanjut pada umumnya. Geriatri memiliki karakteristik yang
khas yaitu menurunnya fungsi organ, memiliki multipatologi, gejala dan
tanda penyakit tidak khas, serta penurunan status fungsional. Geriatri
memiliki masalah psikiatrik yang umum terjadi yaitu depresi..
Diagnosis yang terlambat dan pengobatan yang tidak tepat
menghambat hasil pengobatan. Tenaga kesehatan perlu memiliki
pendekatan komprehensif terhadap pasien geriatri, menilik faktor sosial,
kognitif, afektif, psikomotor, status fungsional, dan medis secara
bersamaan. Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi lebih efektif untuk
mengatasi depresi pada geriatri.

35
DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos, G.S 2005. Depression in the Elderly. Lancet, 365: 1961-


1970.
Benson, William J. 2001. CDC Promotes Public Health Approach To
Address Depression among Older Adults. 202-255-2001.
Casey, D.A., 2017. Depression in Older Adults: A Treatable Medical
Condition. Primary care, 44(3), pp.499-510.
Ciechanowski, 2004: Ciechanowski P, Wagner E, et al. Community-
integrated home-based depression treatment in older adults: a
randomized controlled trial. JAMA 2004;291:1569–77.
Elsawy B, Higgin KE. 2011. The Geriatric Assessment. Volume 83,
Number 1 , January 2013.

Greenberg, S.A. (2007). How to Try This: The Geriatric Depression Scale:
Short Form. AJN, 107(10), 60-69.
Nelson J.C. 2011. Diagnosing and treatting depression in elderly. Journal
of Clinical Psychiatry.
Pollock, Semla, dan Forsyth. 2009. Psychoactive drug therapy. In: Halter
JB, et al., eds. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th
ed:769. McGraw-Hill Medical: NewYork.
Repousi, N., Masana, M., Sanchez-Niubo, A., Haro, J.M. and Tyrovolas,
S., 2018. Depression and metabolic syndrome in the older
population: A review of evidence. Journal of Affective Disorders.
Setiati S. Pedoman Pengelolaan Imobilisasi pada Pasien Geriatri.
Pedoman pengelolaan kesehatan pada pasien geriatri, 2014.

Setiati, S. 2014. Geriatri Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup


Usia Lanjut. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Snowden M, Steinman L, et al. 2008. Treating Depression in Older Adults:


Challenges to Implementing the Recommendations of an Expert
Panel. Prev Chronic Dis 2008;5(1). Available at
www.cdc.gov/pcd/issues/ 2008/jan/07_0154.htm.

36
Soejono, Czeresna. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam: Kajian
Paripurna Pada Pasien Geriatri. PAPDI.

Soejono, Probosuseno, dan Sari. 2014. Depresi pada Pasien Usia Lanjut.
PAPDI: Jakarta.
Turvey, et al. 2002. Risk factors for late-life suicide: a prospective,
community-based study. Am J Geriatr Psychiatry. 10(4):398-406.
United Nations. 2007. Department of Economic and Social Aff airs
Population Division. World population prospects: The 2006 revision,
highlights. New York.
WHO. Depression.World Health Organization. 2010. Diakses 27 Januari
2019 Jam 21.32 WIB.

37

Anda mungkin juga menyukai