S
egala puji bagi Allah SWT yang telah
menciptakan manusia berikut aturan hidup
yang sempurna. Salam serta shalawat semoga
tercurang kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, keluarganya, para sahabatnya dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Amma ba’du.
Barusan, Penerbit Follback Dakwah meminta saya
menulis buku digital terkait Ramadhan. Saya merasa
berat kalau menulis sekarang karena bertepatan
dengan deadline tulisan saya yang lain.
Saya kemudian teringat bahwa lima tahun lalu
saya pernah menulis buklet 16 SOAL JAWAB Fikih
Wanita Seputar Ramadhan yang diterbitkan Badan
Wakaf Al-Qur’an (BWA) untuk dibagikan sebagai
cinderamata kepada para wakif dan muzaki yang
telah menyalurkan wakaf, sedekah dan zakatnya
kepada yang berhak melalui BWA.
Saya pikir kalau buklet ini diterbitkan lagi dan
dibagikan kepada para pengguna media sosial insya
Joko Prasetyo
iv | Joko Prasetyo
Pengantar
I
badah puasa pada bulan Ramadhan hukumnya
wajib bagi kaum Muslimin yang sudah mukallaf.
Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’aala
berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan atas kalian untuk berpuasa, sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar
kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah:183).
Selain ketentuan umum bagi kaum Muslimin
yang mukallaf, ada pula ketentuan khusus bagi
perempuan (Muslimah) dalam melakukan ibadah di
bulan Ramadhan. Dalam buku saku kecil ini (buklet),
Badan Wakaf Al-Qur’an (BWA) mengupasnya dalam
bentuk soal-jawab, merujuk pada berbagai soal yang
sering muncul di kalangan Muslimah. Sedangkan
dalam jawabannya ada yang disertakan dalil ada
pula yang tidak disertakan dalil.
Dalam jawaban yang tidak disertakan dalil, bukan
berarti dalilnya tidak ada, tetapi semata-mata untuk
memudahkan pembaca (baca: Muslimah) langsung
mendapatkan jawaban pada kesimpulannya. Karena
vi | Joko Prasetyo
Daftar Isi
Jawab
Yaitu ketika Muslimah tersebut terkategori
mukallaf (terkena kewajiban hukum). Ciri-ciri
mukallaf:
1. Pernah mendengar adzan atau dakwah Islam; dan
2. Telah sempurna akalnya (aqil baligh).
Tanda-tanda perempuan sudah baligh adalah
minimal sudah memenuhi salah satu dari tiga tanda
berikut:
1. Sudah mengalami haidh (keluar darah kotor dari
kemaluannya); atau
2. Sudah tumbuh bulu disekitar kemaluan; atau
3. Usia sudah mencapai 15 tahun ke atas.
Muslimah mukallaf, yang terkena kewajiban
puasa jika pada Ramadhan dalam kondisi sehat
2 | Joko Prasetyo
Soal Kedua
Jawab
Bila Muslimah tersebut memasuki Ramadhan
usianya telah sangat lanjut dan lemah sehingga tidak
kuat lagi untuk berpuasa, atau orang tersebut dalam
kondisi sakit dan tidak ada harapan lagi untuk
sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun,
maka dia boleh tidak berpuasa. Namun, ia
berkewajiban membayar utang puasanya dengan
membayar fidyah (memberi makan seorang miskin)
sebanyak puasa yang ditinggalkannya.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin.” (QS Al-Baqarah:184).
Jawab
Sekali membayar fidyah itu memberi satu porsi
makanan atau membayar sejumlah harta untuk
sekali makan secara layak kepada seorang miskin.
Satu porsi itu, sekira cukup kenyang untuk satu kali
makan.
Bila puasa yang harus dibayar dengan fidyahnya
berjumlah 30 hari, maka fidyah yang harus
ditunaikan berjumlah 30 porsi. Jadi bisa sekali masak
untuk 30 porsi sekaligus dan diberikan kepada 30
orang miskin sekaligus, bisa juga berangsur dan
diberikan kepada orang miskin yang sama atau pun
berbeda.
4 | Joko Prasetyo
Soal Keempat
Jawab
Wanita yang dalam keadaan hamil atau menyusui
ketika memasuki bulan Ramadhan
mendapatkan rukhsah (keringanan) untuk tidak
berpuasa.
Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wa aalihi wa
sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’aala meletakkan puasa
dan seperdua shalat dari seorang musafir dan
(meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau
menyusui.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 715,
Abu Daud no. 2408, dan Ibnu Maajah no. 1667 dari
Anas bin Maalik Al-Ka’by).
Muslimah yang sedang menyusui atau hamil
boleh tidak berpuasa. Bila tidak berpuasanya karena
mengkhawatirkan kesehatan diri, janin, atau
6 | Joko Prasetyo
Soal Kelima
Jawab
Bila sedang haidh. Puasanya menjadi batal meski
haidh-nya datang menjelang berbuka. Begitu juga
ketika perempuan sedang nifas (keluar darah pasca
melahirkan). Dalam kedua kondisi tersebut
perempuan haram puasa atau pun shalat. Sehingga
hari itu dan sejumlah hari selama haidh atau nifas di
bulan Ramadhan menjadi utang puasa yang harus
dibayar di luar Ramadhan tetapi tidak perlu
mengganti (qadha) shalat.
Jawab
Darah seperti itu dalam istilah fikih itu disebut
mustahaadhah (bukan haidh atau nifas). Muslimah
yang mengalami istihaadhah adalah perempuan
yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan
darah haidh atau nifas. Muslimah tetap wajib untuk
melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya
meninggalkan atau membatalkannya karena sebab
darah istihaadhah.
8 | Joko Prasetyo
Soal Ketujuh
Jawab
Wanita yang haidhnya yang telah lengkap (cukup
bilangan hari haidhnya menurut kebiasaannya)
diwajibkan mandi dan berpuasa. Jika kemudian dia
melihat sesuatu cairan dari farji (kemaluan), hal ini
tidak menghalanginya untuk terus melaksanakan
shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu
‘Athiyah radhiyallaahu ‘anhumaa:
“Kami tidak menganggap kekuningan dan
keputihan setelah suci sama sekali.” (Hadits riwayat
Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud).
Jika darah haidhnya berhenti sebelum hari-hari
kebiasaan haidhnya cukup, kemudian dia mandi,
melaksanakan shalat dan puasa, lalu setelah itu dia
kembali melihat darah dari kemaluannya, maka
darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam
10 | Joko Prasetyo
kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan
waktu haidhnya.
Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti,
sehingga dia mandi, melaksanakan shalat dan puasa,
lalu tidak ada lagi darah setelah itu, berarti masa
nifasnya tidak genap 40 hari dan hal ini mungkin saja
terjadi. Jika ada lagi darah yang keluar setelah mandi,
melaksanakan shalat dan puasa, dia harus segera
menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap
masih dalam keadaan nifas. Dan puasa yang
dilakukannya di antara jeda keluar darah nifas tidak
sah, sehingga harus di-qadha atau bayar fidyah.
Jawab
Jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah
berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-
anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan
kepalanya, Muslimah yang keguguran tersebut
dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku
hukum wanita nifas, tidak boleh melaksanakan shalat
dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari
dan anggota-anggota tubuhnya masih belum
berbentuk, maka dia tidaklah dianggap nifas.
12 | Joko Prasetyo
Soal Kesembilan
Jawab
Sebelum masuk adzan shubuh sudah berhenti
haidh atau sudah berhenti nifas, perempuan wajib
puasa. Ketika niat puasa tetapi belum sempat mandi
junub maka puasanya tetap sah. Namun ia tetap
wajib mandi junub ketika hendak shalat shubuh.
Namun bila berhentinya setelah itu, sampai
sebelum adzan magrib Muslimah dianjurkan untuk
menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak
waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya
matahari, yang hal ini dilakukan dalam rangka
pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu
(hari puasa), kemudian dia wajib meng-
qadha’ puasanya untuk hari itu.
Jawab
Tidak dianjurkan bagi wanita untuk
mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan
haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang
Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah tetapkan bagi
wanita, dan para wanita pada zaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa
sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk
mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak
diketahui bahwa ada salah seorang dari mereka yang
pernah melakukannya.
Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan
obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya
serta dapat benar-benar menghentikan darah
haidhnya, puasanya sah dan tidak perlu meng-
qadha`-nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah
darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih
14 | Joko Prasetyo
ada yang keluar, berarti wanita tersebut masih dalam
keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-
qadha` puasanya.
Jawab
Dibolehkan bagi Muslimah yang berpuasa
mencicipi makanan yang dimasaknya atau untuk
mengetahui rasa dan suhu makanan yang disuapkan
pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk
ke dalam kerongkongannya (ditelan).
Berkata Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhu, “Tidak
mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu
(makanan) selama tidak masuk kedalam
kerongkongannya, meskipun dia dalam keadaan
berpuasa.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary
secara mu’allaq ( Fathul Baary 4/154) dan sanadnya
disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di
dalam Musnad -nya 3/47.
16 | Joko Prasetyo
Soal Kedua Belas
Jawab
Dibolehkan juga mencium atau dicium suami, jika
keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak
sampai melakukan jimaa’ (bersetubuh).
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, beliau berkata,
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam
mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan
menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan
puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling
bisa menguasai diri (hajat)nya.” Diriwayatkan oleh
Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).
Namun bila dikuatirkan akan berlanjut kepada
persetubuhan maka haram. Karena bersetubuh
merupakan salah satu dari penyebab batalnya puasa.
Jawab
Shalat tarawih hukumnya sunnah bukan wajib.
Sebagaimana halnya laki-laki perempuan pun
disunahkan untuk shalat tarawih di masjid. Bagi
perempuan yang akan hadir di masjid disyaratkan
agar aman dari fitnah, dan wajib menjaga hijabnya
ketika sedang ke masjid, dalam keadaan tertutup,
tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak
mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan
perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya,
seperti kerudung dan jilbabnya.
18 | Joko Prasetyo
Soal Keempat Belas
Kalau i’tikaf?
Jawab
I’tikaf disunnahkan juga bagi wanita.
Disyariatkan bagi wanita yang hendak i’tikaf
meminta izin suaminya atau walinya dan aman dari
fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-
laki. I’tikafnya pun mestilah di barisan perempuan
dan tidak boleh bercampur dengan laki-laki.
Jawab
Harus segera keluar masjid. Nabi Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:
“Tidak aku halalkan masjid bagi wanita yang sedang
haidh dan orang yang sedang junub.” (At Taarikh Al
Kabir, Al Bukhari dan Irwanul Ghalil).
Bila sudah hilang hadats haidh-nya maka ia boleh
kembali beritikaf.
20 | Joko Prasetyo
Soal Keenam Belas
Jawab
Boleh, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anhaa:
“Seorang wanita yang sedang menjalani
istihaadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah
riwayat dia adalah Ummu Salamah) melakukan
i’tikaf bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi
wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna
merah dan kuning (dari darah istihaadhahnya)
bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di
bawahnya ketika dia sedang shalat.” (Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhary [Fathul Baary 4/289]).[]
22 | Joko Prasetyo
(2010), Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat
Menengah (PJMTM) di IAIN Bandung (1999) dan
Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Dasar
(PJMTD) di Universitas Parahyangan Bandung (1998).
Penulis juga menjadi editor yang mengedit 231
buku terbitan Penerbit Pustaka MediaGuru (Jun
2016-Feb 2019), dosen Jurnalistik di STAI PTDI
Jakarta (2010-2015), wartawan majalah Pamong
Rider’s (Agu 2010-2015), wartawan majalah
Moslempreneur (Agu-Sep 2012), wartawan majalah
Percik (Sep-Des 2012), staf sirkulasi Indomedia Group
(Jul 2007-Nov 2008), wartawan tabloid Intelijen (Okt
2006-Jun 2007).
Pernah pula mengelola Dilla’s Digital Photo (2004-
2006) di Sumedang, menjadi koresponden media
daerah Surat Kabar Priangan Biro Sumedang (Mei-
Jun 2006), job training pada media daerah Harian
Umum Galamedia di Bandung (Nov-Des 2002),
pengasuh desk artikel di Surat Kabar Kampus (Suaka)
IAIN Bandung (1998).[]