Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori


1. Remaja
a. Pengertian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014,
remaja adalah penduduk dalam rentan usia 10-18 tahun dan menurut
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia
remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Masa remaja
(Adolescents) merupakan masa dimana terjadi transisi masa kanak-kanak
menuju dewasa, hal ini dapat menjadikan remaja bingung untuk
menentukan sikapnya apakah bersikap pada seperti anak-anak atau
bersikap sebagai orang dewasa. Istilah Adolescents merujuk kepada
kematangan psikologis individu, sedangkan pubertas merujuk kepada saat
dimana telah ada kemampuan reproduksi (Potter & Perry, 2009).
Kemampuan reproduksi pada remaja berbeda satu sama lain atau dengan
kata lain pubertas terjadi pada remaja namun tidak ada ketentuan pada usia
berapa pubertas akan terjadi, hal ini di antaranya dipengaruhi oleh gizi dan
lingkungan.

Pada seseorang masih dalam usia remaja dan sudah menikah, maka ia
tergolong dalam dewasa dan bukan lagi remaja. Sebaliknya, jika usia
sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak
mandiri), maka tetap dimasukkan kedalam kelompokremaja. Masa remaja
adalah masa datanganya pubertas biasanya pubertas terjadi pada usia 11-
14 tahun atau bisa juga pubertas baru dialami seorang remaja ketika
menginjak usia 18 tahun atau sudah memasuki masa remaja akhir, atau
dengan kata lain remaja bisa digolongkan pada masa transisi dari kanak-
kanak ke dewasa (Jahja, 2011).

2
b. Perkembangan Remaja

Menurut Soetjaningsih (2004) dalam tumbuh kembangnya menuju


dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja
akan melewati tahapan berikut:
1) Remaja awal (early adolescent) : 11-13 tahun
2) Remaja madya (middle adolescent) : 14-16 tahun
3) Remaja akhir (late adolescent) : 17-21 tahun
Perkembangan fisik merupakan tahapan yang akan dilalui remaja,
perkembangan fisik salah satunya yaitu terjadi ketika alat kelamin mausia
telah mencapai kematangannya atau secara ilmu faal alat-alat kelamin pria
dan wanita sudah berfungsi secara sempurna, bisa membuahi untuk alat
kelamin laki-laki dan dapat dibuahi untuk alat kelamin perempuan, hal ini
berlaku apabila tidak ada gangguan pada alat reproduksinya (Sarwono,
2011).

Perkembangan kognitif, dalam pandangan Pieget dalam Santrock,


2001 dalam Yusuf (2011), remaja secara aktif membangun dunia kognitif
mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu
saja kedalam skema kognitif mereka. Remaja telah mampu membedakan
antara hal-hal atau ide-ide ini. Seorang remaja tidak saja
mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu
mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

Perkembangan sosial-psikologis remaja berkaitan dengan


perkembangan psikologis dan pada identifikasi remaja dari anak-anak
menjadi dewasa. Remaja mengalami perkembangan sosial seperti lebih
suka berkelompok, beralih dari hanya memikirkan tentang dirinya sendiri
ke arah menerima dan beradaptasi dengan orang lain terutama teman
sebayanya.

3
c. Karakteristik remaja

Menurut (Magdalena, 2010) Remaja awal memiliki ciri-ciri:


1). Cemas pada perkembangan fisik, hal ini berkaitan dengan perubahan
fisik yang terjadi pada remaja baik laki-laki maupun perempuan, pada
remaja laki-laki seperti tumbuh jakun, tumbuh bulu-bulu di seluruh tubuh
termasuk kumis, mengalami mimpi basah dan perubahan pada suara
menjadi “sember” hal ini berkaitan dengan dominannya hormon
testosteron. Sedangkan pada remaja perempuan mengalami menstruasi dan
kadang disertai nyeri dan pusing pada saat menstruasi, buah dada yang
makin menonjol dan membesar, perubahan ini bisa mempengaruhi
psikologinya karena risih dengan dirinya sendiri, takut diketahui teman
dan orang lain.
2) Rangsangan nafsu menguat, hal ini terjadi akibat gejolak hormon yang
mengakibatkan remaja merasakan rangsangan dari nafsu seks. Respon
yang biasanya diberikan oleh remaja dalam menghadapi rangsangan nafsu
seks ada dua jenis yaitu menjadi sangat reaktif atau merasa malu dan
menyembunyikannya, respon tersebut berbeda-beda pada setiap remaja.

3) Mempermasalahkan penampilan, remaja sangat peduli dengan


penampilannya, hal yang dilakukan remaja seperti berlama-lama di depan
cermin, mengunci diri di kamar, rajin ke salon, dan berbelanja baju-baju
modis menyesuaikan tren. Namun tidak semua remaja menonjolkannya
ada remaja yang malu-malu dan memilih diam dan tidak menonjolkan
perubahannya dari segi penampilan.

4) Mulai mengenal gank, remaja mulai memilih temannya berdasarkan


hobi yang sama termasuk olahraga, selera musik, fashion dan lain-lain,
sehingga mulai mengelompokan dirinya ke kelompok-kelompok kecil
(peer group), hal ini dapat menimbulkan rasa berkompetisi dan iri hati di
antara mereka yang kadang sampai pada perkelahian dan percecokan. Pada
umumnya, hal ini akan mereda pada saat seorang remaja memasuki usia
17-19 tahun, mereka sudah menemui jati diri dan kedewasaan dalam
menghadapai usia reproduksi. Namun, pada remaja yang mendapatkan dan

4
mengalami pola asuh yang keliru atau pergaulan bebas yang menyimpang,
akan terus memiliki jiwa yang meletup-letup, nafsu seks yang tak
terkendali walaupun sudah berusia 20-an. Orang tua harus menanamkan
moral yang baik sejak masih kanak-kanak agar remaja tidak memiliki
perilaku yang menyimpang dalam kehidupannya.

d. Perkembangan Emosi Pada Masa Remaja Awal

Emosi atau perasaan merupakan salah satu potensi kejiwaan yang khas
yang dimiliki oleh manusia. Sebab, hanya manusia yang memiliki
perasaan, sedangkan hewan tidak mempunyai perasaan.

Perkembangan emosi Menurut Chaplin dalam suatu Dictionary


Psychology mendefinisikan Perkembangan emosi sebagai suatu keadaan
yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang
disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku untuk mencapai
kematangan emosi
.
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan
emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual
mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan
dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta,
rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis.
Namun demikian kadang-kadang orang masih dapat mengontrol keadaan
dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan
perubahan atau tanda-tanda perilaku tersebut. hal ini berkaitan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen yang dikenal dengan
display rules, yaitu masking, modulation, dan simulation.
a). Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan
atau dapat menutupi emosi alaminya. Emosi yang dialaminya tidak
tercetus keluar melalui ekspresi tingkah laku. Contoh dari sikap
masking tersebut adalah menutupi kesedihan, mengendalikan amarah,
tidak menampakkan kebahagiaannya.

5
b). Modulation adalah orang tidak dapat meredam secara tuntas
mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat menguranginya.
Contoh dari sikap modulation adalah bersikap biasa jika keadaan
jengkel, bersikap cuek.

c). Simulation adalah orang tidak mengalami emosi, tetapi ia seolah-


olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala
kejasmaniannya. Contoh dari sikap simulation adalah sering
memberontak, meledakkan amarahnya, egois, bertindak kasar.

e. Bentuk-bentuk emosi pada masa remaja awal

Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam perasaan


yang kadang-kadang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Kita sering melihat remaja terombang ambing oleh gejolak emosi yang
tidak terkuasai itu, yang kadang-kadang memawa pengaruh terhadapa
kesehatan jasmaninya, atau sekurang-kurangnya terhadap kondisi jasmani
seperti tangan menjadi dingin dan berkeringat, napas sesak, kepala pusing
dsb.

Ada berbagai bentuk dari emosi yang biasa terjadi pada masa remaja
awal. Dan sebenarnya pola dari emosi masa remaja adalah sama dengan
pola emosi masa kanak-kanak, hanya saja perbedaannya terletak pada
macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosi dan pola
pengendalian yang dilakukan individu terhadap emosinya.Meskipun
Emosi itu sedemikian kompleksnya, namun Daniel Goleman (1995)
mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi, yaitu sebagai berikut: 9

1. Amarah, didalamnya meliputi brutal, ngamuk, benci, marah besar,


jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung,
bermusuhan, tindak, kekerasan, dan kebencian patologis.

2. Kesedihan, didalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram,


melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.

3. Rasa takut, didalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir,


waswas, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri,

6
kecut, panik, dan fobia. Remaja umunya merasa takut hanya pada
kejadian-kejadian yang berbaya atau traumatik.10

4. Kenikmatan, didalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas,


riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona,
puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali, dan mania. e. Cinta,
didalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan,
kebaikan, hati, rasa dekat hati, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih
sayang.

5. Terkejut, didalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana.

6. Jengkel, didalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak


suka, dan mau muntah.

7. Malu, didalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati,


menyesal, hina, aib, dan hancur lebur.

f. Perilaku Menyimpang

Mendefinisikan perilaku menyimpang adalah hal yang cukup sulit


dilakukan. Problemnya adalah menyimpang terhadap apa, disinilah letak
proporsi sebenarnya. Penyimpangan terhadap orang tua satu misal, bisa
terjadi tatkala si remaja dengan leluasanya tak menghiraukan dan
melanggar begitu saja aturan yang telah digariskan oleh kedua orang
tuanya.

Perilaku menyimpang adalah segala apapun yang menjadikan


penyebab terlibatnya anak-anak dalam perilaku menyimpang.Pribadi yang
menyimpang pada umumnya jauh dari pada status integrasi, baik secara
internal dalam batin sendiri maupun secara eksternal dengan lingkungan
sekitar pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering
didera konflik batin, dan tidak jarang dihinggapi gangguan mental.

Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku remaja


dalam arti sederhana menurut etimologi perilaku menyimpang adalah suatu
penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh remaja sehingga
mengganggu ketentraman diri sendiri dan orang lain. Menurut kartini

7
kartono, penyimpangan perilaku adalah tingkah laku yang tidak tepat, tidak
bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya serta tidak sesuai dengan
norma-norma sosial yang ada.

Deviasi atau penyimpangan perilaku diartikan sebagai tingkah laku


yang menyimpang dari tendesi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata
dari kebanyakan orang.

Menurut Dadang Hawari, bahwa perilaku menyimpang sering kali


merupakan gambaran dari kepribadian antisosial atau gangguan tingkah
laku atau bisa disebut juga perilaku tidak wajar.

Dari sudut pandang yang luas, sehingga perilaku menyimpang


merupakan sikap atau perilaku yang tak lazim dilakukan oleh lingkungan
sekitar. Perilaku ini bukanlah suatu pola sikap yang selalu bernuansa
negatif, namun sebaliknya juga dimungkinkan bernuansa positif. Jadi
secara keseluruhan, pengertian perilaku menyimpang pada remaja awal
adalah semua tingkah laku remaja awal yang menyimpang dari ketentuan
yang berlaku dalam masyarakat menyangkut norma, agama, etika, sekolah
dan keluarga. Sekarangpun banyak perilaku menyimpang pada remaja di
sekolah seperti issu yang marak dibicarakan yaitu bullying yang terjadi
pada remaja sekolah.

2. Bullying
a. Pengertian
Pengertian Bullying
Kata bullying sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull
berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini
akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan destruktif. Berbeda
dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan Denmark yang
menyebut bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya
berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya
mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta
terlibat kekerasan (Wiyani, 2012).

8
Secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang
mengganggu orang yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia
bisa menggunakan menyakat, yang berasal dari kata sakat dan pelakunya
disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan
merintangi orang lain. Sedangkan secara terminologi menurut Olweus,
1952 (dalam Wiyani,2012) mengatakan bahwa bullying adalah perilaku
negatif yang mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau
terluka dan biasanya terjadi berulang-ulang, repeated during
successiveencounters. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
bullying adalah perilaku negatif. berupa kekerasan fisik maupun
kekerasan mental yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau
sekelompok orang yang dapat merugikan orang lain.

Secara sosiologis, bullying adalah wujud ketidakberimbangan


kekuasaan. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti apa yang diinginkan dan
diperintahkan pihak tertentu. Pihak yang memerintah adalah profil yang
berkuasa. Adapun yang cuma menjalankan perintah adalah pihak yang
dikuasai. Bullying serupa dengan aksi-aksi dalam kerajaan binatang.
Hukum yang diterapkan adalah siapa paling kuat maka dia boleh hidup
(Lukmantoro, 2012). Berdasarkan definisi tersebut, menurut Prasetyo
(2011) bullying terjadi karena:
a. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bulying dan
target (korban). ketidakseimbangan kekuatan ini bisa berupa ukuran
badan, kekuatan fisik, kepandaian bicara atau pandai bersilat lidah,
gender (jenis kelamin), status sosial, perasaan lebih superior. Unsur
ketidakseimbangan kekuatan inilah yang membedakan bullying dengan
bentuk konflik yang lain. Dalam konflik antar dua orang yang
kekuatannya sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk
menawarkan solusi dan berkompromi untuk menyelesaikan masalah.
Dalam kasus bullying, ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku
bullying dan korbannya menghalangi keduanya untuk menyelesaikan
konflik mereka sendiri, sehingga perlu kehadiran pihak ketiga.

9
Sebagaicontoh, anak kecil yang mendapat perlakuan bullying dari
teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa.
b. Adanya perilaku tidak wajar (penyalahgunaan) ketidakseimbangan
kekuatan tersebut dengan cara mengganggu, menyerang secara
berulang kali, atau dengan cara mengucilkan (mendiamkan).
Contoh dari perilaku bullying itu sendiri antara lain mengejek,
menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti atau
intimidasi, mengancam, menindas, memalak atau menyerang secara
fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul. Sebagian orang
mungkin berpendapat bahwa perilaku bullying tersebut merupakan hal
sepele atau bahkan normal dalam tahap kehidupan manusia atau dalam
kehidupan sehari-hari. Namun faktanya, perilaku bullying merupakan
learned behaviors karena manusia tidak terlahir sebagai penggertak dan
pengganggu yang lemah. Bullying merupakan perilaku tidak normal,
tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun
kalau dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat
menimbulkan dampak serius dan fatal. Membiarkan atau menerima
perilaku bullying, berarti memberikan bullies power kepada pelaku
bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan meningkatkan
budaya kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat
pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan
budaya unggul (Wiyani, 2012).
b. Bentuk Bullying
Berkaitan dengan kekerasan di sekolah atau bullying, maka school
bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan
berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki
kekuasaan terhadap siswa-siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan
menyakiti orang tersebut. Berdasarkan definisi diatas, kemudian menurut
Wiyani (2012), perilaku bullying dikelompokan ke dalam lima bentuk,
sebagai berikut:
1. Kontak fisik langsung, yaitu:
Memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mencubit,
mencakar.

10
2. Kontak verbal langsung, yaitu:
Mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi
nama panggilan atau julukkan (name-calling), sarkasme, merendahkan
(putdowns), mencela atau mengejek, mengintimidasi, memaki dan
menyebar gosip, dan pemerasan.
3. Perilaku non-verbal langsung, yaitu:
Melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka
yang merendahkan, menjahili.
4. Perilaku non-verbal tidak langsung, yaitu:
Mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan hingga retak,
sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirim surat kaleng.
5. Pelecehan seksual
Kadang dikategorikan perilaku agresif fisik verbal.
c. Tipologi Bullying
Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam
berbagai aspek kehidupan kita. Julukan bangsa yang penuh adab, sopan
santun,toleran, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, lambat laun
mulai menghilang dari khazanah kehidupan kita, baik dalam konteks
hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Budaya kekerasan telah
menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian dari
kehidupan kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang
wajar.
Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks
sempit, yang biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau
kekacauan. Padahal, kekerasan itu bentuknya bermacam-macam,
termasuk bullying di dalamnya. Kekerasan mengilustrasikan sifat aturan
sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran yang
kompleks dan kerapkali saling bertentangan. Istilah kekerasan digunakan
untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka maupun tertutup, baik
yang bersifat menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan
kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, menurut Wiyani (2012) ada
empat tipologi kekerasan bullying yang dapat diidentifikasi, yaitu:
1. Kekerasan terbuka (overt)

11
Kekeraasan yang dapat dilihat secara langsung, misalnya
perkelahian ataupun tawuran antar pelajar.
2. Kekerasan tertutup (covert)
Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti
perilak mengancam.
3. Kekerasan agresif
Kekerasan yang tidak untuk perlindungan, tetapi untuk
mendapatkan sesuatu yang dikehendaki.
4. Kekerasan defensif
Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri atau
pembelaan diri dari ancaman pihak lain.

d. Faktor Penyebab Melakukan Bullying


Banyak faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan atau bullying dalam
diri anak, diantaranya menurut Coloroso (2007):
1. Budaya paternalistik
Dalam budaya tersebut berkembang pandangan bahwa lelaki yang
hebat adalah lelaki yang tidak takut mengalami tindakan kekerasan.
2. Tidak ada ruang publik yang aksesibel
Remaja menjadi liar antara lain karena tidak adanya ruang publik
yang dapat diakses mereka untuk bertemu dan melakukan beragam
kegiatan misalnya gelanggang remaja agar kreativitas mereka
tersalurkan.
3. Menjadi korban kekerasan
Sebagian besar faktor penyebab kekerasan yang dilakukan remaja
adalah karena sebelumnya pernah menjadi korban dari kekerasan itu
sendiri, sehingga terdapat unsur “balas dendam” kepada juniornya
dan akhirnya
menjadi tradisi.
4. Pengaruh lingkungan masyarakat, budaya dan media
Lingkungan masyarakat amat berpengaruh terhadap perkembangan
remaja. Masyarakat sekarang ini penuh polemik dan hampir selalu
diwarnai dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sehingga
remaja mudah meniru. Ditambah lagi siaran media khususnya

12
media elektronik yang menampilkan aneka bentuk kekerasan turut
membentuk mental remaja.

e. Karakteristik Korban Bullying


Korban bullying adalah seseorang yang berulang kali mendapatkan
perlakuan agresi dari kelompok teman sebaya, baik dalam bentuk
serangan fisik, verbal, atau kekerasan psikologis. Menurut Setiawati
(2008) biasanya anak yang menjadi korban bullying adalah mereka yang
paling lemah secara fisik. Anak yang menjadi korban bullying
kebanyakan dari keluarga atau sekolah yang overprotective sehingga
mereka tidak dapat mengembangkan secara maksimal kemampuan untuk
memecahkan masalah (coping skill).

Seperti halnya Coloroso (2007) menyebutkan beberapa karakteristik


anak yang rentan menjadi korban bullying adalah anak yang baru di
lingkungan itu, anak termuda di sekolah, anak yang pernah mengalami
trauma, anak penurut, anak yang perilakunya dianggap mengganggu
orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, anak yang pemalu, anak yang
miskin atau kaya, anak yang ras suku etnisnya dipandang inferior oleh
penindas, anak yang agamanya dipandang inferior oleh penindas, anak
yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan orang lain, anak dengan
ketidak cakapan mental atau fisik, dan anak yang berbeda di tempat yang
keliru pada saat yang salah.

Apabila anak telah menjadi korban bullying, anak tidak akan


memberitahukan kepada orang lain secara terus terang. Mereka
mempunyai alasan untuk tidak memberitahukan masalah itu. Menurut
Coloroso (2007) terdapat beberapa alasan anak tidak mau berterusterang
mengenai hal tersebut, diantaranya:
1. Merasa malu karena pernah ditindas;
2. Takut akan aksi balas dendam kalau orang dewasa diberitahu;
3. Mereka berpikir tidak ada orang yang dapat menolong mereka;
4. Mereka tidak berpikir kalau ada orang yang akan menolong.

13
f. Dampak Bullying
Suyatno (2003), menjelaskan bahwa terdapat berbagai dampak negatif
yang dialami anak-anak yang menjadi korban bullying yaitu:
1. Dampak Bullying terhadap kehidupan individu
a) Kurangnya motivasi atau harga diri,
b) Problem kesehatan mental, misalnya; kecemasan berlebihan,
problem dalam hal makan, susah tidur,
c) Sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen: patah
tulang, radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk juga
sakit kepala, perut, otot dan lain-lain yang bertahun-tahun
meski bila ia tak lagi dianiaya,
d) Problem-problem kesehatan seksual, misalnya; mengalami
kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tak
diinginkan, ketularan penyakit menular seksual,
e) Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi
pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka
menarik diri dari pergaulan,
f) Mimpi buruk dan serba ketakutan, selain itu kehilangan nafsu
makan, tumbuh, dan belajar lebih lamban, sakit perut, asma,
dan sakit kepala,
g) Kematian.

2. Dampak bullying terhadap kehidupan sosial


Dampak negatif jangka panjang dari bullying pada anak dalam
kehidupan
bermasyarakat biasanya sebagai berikut:
a) Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari
generasi ke generasi.
b) Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orangtua
mempunyai hak untuk melakukan apa saja terhadap anaknya,
termasuk hak melakukan kekerasan.

14
c) Kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab anak
yang dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam
kehidupan kemasyarakatan.

3. Dampak bullying terhadap kehidupan akademik


Bullying ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat
depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri.
Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan
analisis siswa (Cynantia, 2012). Dalam penilitian ini, peneliti
mencoba menelusur dampak dari bullying yang terjadi pada anak
SMP, terutama perihal prestasi belajar maupun hubungan sosial
yang dialaminya. Semisal apakah ia mengalami keterlambatan
dalam proses aktualisasi potensi dirinya di sekolah.
g. Masalah Bullying di Sekolah
Kasus bullying di sekolah ini bisa saja terjadi di semua jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Pembagian jenjang pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya
pada Bab IV pasal 14 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal
yang berlaku di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar yang mencakup
tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP), lalu pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah
Atas (SMA) ataupun Kejuruan, dan terakhir pendidikan tinggi yang
mencakup tingkat Diploma, Strata Satu, dan seterusnya.

Penelitian ini, Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi fokus


penelitian dikarenakan pada tingkatan sekolah formal ini, peserta didik
yang dicakup berada dalam jenjang umur antara 12–15 tahun. Fase ini
tergolong sebagai remaja awal, yaitu para peserta didik sedang mengalami
masa peralihan dimana anak sudah tidak layak diperlakukan sebagai anak
kecil, namun pertumbuhan fisik dan mentalnya pun belum layak dianggap
dewasa. Pada fase ini remaja mengalami masa storm and stress, dimana
kerap terjadi pergolakan emosi yang labil dengan diiringi pertumbuhan
fisik yang pesat, perkembangan psikis mereka juga sangat rentan

15
terpengaruh oleh lingkungan. Remaja juga memiliki kecenderungan untuk
menemukan jati dirinya, dan memiliki dorongan kuat untuk memperoleh
pengakuan atau eksistensi dirinya terhadap orang lain (Yusuf, 2004).

Beberapa permasalahan yang kerap dihadapi oleh peserta didik


dijenjang SMP yang tergolong sebagai remaja awal menurut Sunarto, dkk
(2008) adalah:
a) Psikologis, yakni kontrol emosi yang masih labil, seperti
cenderung sensitif, egois, ingin mendapatkan perhatian lebih,
minder, bully, kekanak-kanakan, dan sebagainya.
b) Biologis, fungsi organ seksual yang dapat menimbulkan
kebingungan dalam memahaminya, tak jarang mereka
melakukan kesalahan yang melanggar norma umum.
c) Sosiologis, kehidupan masyarakat yang mulai menuntut mereka
untuk cepat beradaptasi seringkali tidak berjalan selaras dengan
kemampuan remaja, hal ini menimbulkan gejala frustasi
maupun resistensi sehingga terkadang remaja menyalurkannya
melalui perilaku yang dianggap menyimpang.
d) Religiusitas, aturan agama yang cukup ketat sering dipandang
sebagai bentuk pengekangan yang menghalangi remaja untuk
mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga
seringkali remaja lebih identik dengan ketidaktaatan dalam
menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
e) Ekonomi, dorongan budaya liberal yang massif telah
mendorong remaja untuk mengikuti perkembangan life style,
sehingga mereka berlombalomba dalam gaya hidup konsumtif
yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan maupun
kemampuan ekonominya.

Dari beberapa permasalahan anak tersebut sangat memungkinkan terjadi


bullying dengan berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di
sekolah yaitu, memukul, mendorong, mencubit, mengancam,
mempermalukan, merendahkan, melihat dengan sinis, menjulurkan jari
tengah, mendiamkan seseorang, dan bentuk-bentuk lain dengan tipologi

16
berbeda-beda yang dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini
bisa saja dilakukan secara perorangan atau kelompok, mereka yang
melakukan secara mandiri biasanya memiliki kekuatan (power) berupa
kekuatan fisik, ekonomi. Sementara, mereka yang melakukan tindak
kekerasan bullying yang dilakukan secara kelompok, mereka melakukan
tindakan tersebut karena motif menunjukan rasa solidaritas. Misalnya,
tawuran antar pelajar dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi
satu golongan yang membela teman. Fenomena ini disadari adanya seperti
disebut Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa
tersebut (Martono, 2012).

Tindak kekerasan bullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan


oleh oknum guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul,
menampar dan tindakan lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat terhadap fisik anak atau seseorang. Sementara
kekerasan psikis yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata kasar,
atau makian dan labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap
sebagai hal sepele. Tindak kekerasan berupa labelling yang biasanya
berarti negatif dan dapat berbekas terhadap anak, misalnya menyebut
siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si Gaboh (gagah tapi bodoh) dan labelling
lainnya dapat menyebabkan tekanan mental dan kurangnya rasa percaya
diri siswa. Selain itu juga sering terjadi kekerasan berupa pemberian tugas
yang berlebihan, pengancaman dan tindak kekerasan tak langsung berupa
diskriminasi terhadap siswa. Terdapat beberapa alasan kasus bullying di
sekolah ini kurang banyak mendapatkan perhatian hingga akhirnya jatuh
korban menurut Prasetyo (2011) yaitu: Pertama, efeknya tidak tampak
secara langsung, kecuali bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan
tetapi, ini pun tidak terendus karena banyak korban yang tidak mau
melaporkan kekerasan yang dialaminya, entah karena takut, malu,
diancam atau karena alasan-alasan lain. Kedua, banyak kasus bullying
yang secara kasatmata tampak seperti bercandaan biasa khas anak-anak
sekolah atau remaja yang dikira tidak menimbulkan dampak serius.
Ejekan-ejekan dan olok-olokan verbal termasuk dalam kategori ini.
banyak orangtua dan guru yang mengira bahwa teguran saja mungkin

17
sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan bocahbocah itu. Padahal
luka psikis dan emosional yang dialami korban kekerasan verbal itu jauh
lebih dalam dan menyakitkan. Ketiga, sebagian orangtua dan guru masih
belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying dan
dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru
benar-benar tidak tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka.

Perlu adanya mekanisme penyelesaian khusus kasus bullying yang


terjadi di sekolah, seperti menyelenggarakan semacam konferensi
komunitas, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik
hak-hak atau fasilitas yang diterima siswa atau skorsing dan pemecatan.
Departemen pendidikan harus memeperbaiki kinerja pendidikan di
Indonesia baik dari kurikulum maupun sarana-prasarana agar para siswa
tidak lagi menjadi tertekan secara psikologis berkaitan dengan pendidikan
di sekolah. Selain itu juga harus mempunyai kebijakan tentang bullying di
sekolah. Masalah bullying dianggap belum menjadi masalah sosial, maka
penanganan kekerasan di sekolah saat ini menjadi subyek hukum kriminal
biasa yang penangannya disamakan dengan kriminal umumnya (Martono,
2012).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disiapkan cara untuk


mengurangi kemungkinan atau pencegahan agar tidak menjadi sasaran
tindakan bullying, diantaranya menurut Coloroso (2007) :

1. Membantu anak kecil dan remaja menumbuhkan self esteem


(harga diri) yang baik. Anak ber-self esteem baik akan bersikap
dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai
orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan
haknya.
2. Mempunyai banyak teman, bergabung dengan group yang
meiliki kegiatan positif atau berteman dengan siswa yang
sendirian.
3. Kembangkan ketrampilan sosial untuk menghadapi bullying,
baik sebagai sasaran atau sebagai bystander (saksi), dan
bagaimana mencari bantuan jika mendapat perlakuan bullying.

18
3. Komunitas

Komunitas sebagai suatu kelompok sosial yang di tentutkan oleh batas-


batas wilayah, nilai-nilai keyakinan dan minat yang sama, serta ada rasa saling
mengenal dan interaksi antara anggota masyarakat yang satu dan yang lainnya
( WHO,1974)

Komunitas sebagai sekumpulan orang yang saling bertukar pengalaman


penting dalam hidupnya (Spradley,1985)

Komunitas sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu


wilayah nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat, serta terikat
oleh rasa identitas suatu komunitas (Koentjaraningrat,1990)

Komunitas adalah kelompok dari masyarakat yang tinggal di suatu lokasi


yang sama degan di bawah pemerintahan yang sama, area atau lokasi yang
sama dimana mereka tinggal, kelompok sosial yang mempunyai interest yang
sama (Riyadi,2007)

Komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai


persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok
khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang
telah melembaga (Sumijatun dkk,2006)

4. Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional sebagai bagian


integral pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan biologi, psikologi, social
dan spritual secara komprehensif, ditujukan kepada individu keluarga dan
masyarakat baik sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia
(Riyadi,2007)

19
5. Keperawatan Komunitas

Keperawatan komunitas mencakup perawatan kesehatan keluarga (nurse


health family) juga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat luas, membantu
masyarakat mengindentifikasi masalah kesehatan tersebut sesuai dengan
kemampuan yang ada pada mereka sebelum mereka meminta bantuan kepada
orang lain (WHO,1947)

Kesatuan yang unik dari praktik keperawatan dan kesehatan masyarakat yag
ditujukan pada pengembangan serta peningkatan kemampuan kesehatan, baik
diri sendiri sebagai perorangan maupun secara kolektif sebagai keluarga,
kelompok khusus atau masyarakat (Ruth B. Freeman,1981)

Suatu upaya pelayanan keperawatan yang merupakan bagian integral dari


pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh perawat dengan
mengikutsertakan tim kesehatan lainnya dan masyarakat untuk memperoleh
tingkat kesehatan individu, keluarga, dan masyrakat lebih tinggi. (DEPKES ,
1986 )

Pelayanan keperawatan profesional yag ditujukan kepada masyarakat dengan


penekanan pada kelompok risiko tinggi, dalam upaya pencapaian derajat
kesehatan yang optimal melalui pencegahan yag penyakit dan peningkatan
kesehatan, dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan. (Pradley,1985)

2.2 Tujuan Dan Fungsi Keperawatan Komunitas

A. Tujuan Keperawatan Komunitas

Tujuan proses keperawatan dalam komunitas adalah untuk pencegahan dan


peningkatan kesehatan masyarakat melalui upaya-upaya sebagai berikut :

a. Pelayanan keperawatan secara langsung (direct care ) terhadap


individu, keluarga, dan keluarga dan kelompok dalam konteks
komunitas.

20
b. Perhatian langsung terhadap kesehatan seluruh masyarakat ( health
general community ) dengan mempertimbangkan permasalahan atau
isu kesehatan masyarakat yang dapat mempengaruhi keluarga,
individu, dan kelompok .

Selanjutnya, secara spesifik diharapkan individu, keluarga, kelompok, dan


masyarakat mempunyai kemampuan untuk :

a. Mengindentifikasi masalah kesehatan yang dialami

b. Menetapkan masalah kesehatan dan memprioritaskan maslah tersebut

c. Merumuskan serta memecahkan masalah kesehatan

d. Menanggulangi masalah kesehatan yang mereka hadapi

e. Mengevaluasi sejauh mana pemecahan masalah yang mereka hadapi

B. Fungsi Keperawatan Komunitas

a. Memberikan pedoman dan bimbingan yang sistematis dan ilmiah


bagi kesehatan masyarakat dan keperawatan dalam memecahkan
masalah klien melalui asuhan keperawatan.

b. Agar masyarakt mendapatkan pelayan yang optimal sesuai dengan


kebutuhannnya di bidang kesehatan.

c. Memeberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan pemecahan


masalah, komunikasi yang efektif dan efisien serta melibatkan
peran serta masyarakat.

d. Agar masyarakat bebas mengemukan pendapat berkaitan dengan


permasalahan atau kebutuhannya sehingga mendapatkan
penanganan dan pelayanan yang cepat dan pada akhirnya dapat
mempercepat proses penyembuhan (Mubarak,2006)

21
C. Sasaran Keperawatan Komunitas

Sasaran dari perawatan kesehatan komunitas adalah individu, keluarga,


kelompok khusus, komunitas baik yang sehat maupun sakit yang
mempunyai masalah kesehatan atau perawatan ( Effendy,1998),
sasaran ini terdiri dari :

a. Individu

Individu adalah anggota keluarga yang unik sebagai kesatuan utuh


dari aspek biologi, psikologi, social dan spritual.

b. Keluarga

Keluarga merupakan sekelompok individu yang berhubungan erat


secara terus menerus dan terjadi interaksi satu sama lain baik
secara perorangan maupun secara bersama-sama, di dalam
lingkungannya sendiri atau masyarakat secara keseluruhan

c. Kelompok Khusus

Kelompok khusus adalah kumpulan individu yang mempunyai


kesamaan jenis kelamin, umur, permasalahan, kegiatan yang
terorganisasi yang sangat rawan terhadap masalah kesehatan.

Termasuk diantaranya adalah:

Kelompok khusus dengan kebutuhan khusus sebagai akibat


perkembangan dan pertumbuhannya, seperti;

1. Ibu hamil

2. Bayi baru lahir

3. Balita

4. Anak usia sekolah

5. Usia lanjut

22
Kelompok dengan kesehatan khusus yang memerlukan
pengawasan dan bimbingan serta asuhan keperawatan,
diantaranya adalah:

1. Penderita penyakit menular, seperti TBC, lepra, AIDS,


penyakit kelamin lainnya.

2. Penderita dengan penynakit tak menular, seperti: penyakit


diabetes mellitus, jantung koroner, cacat fisik, gangguan
mental dan lain sebagainya.

Kelompok yang mempunyai resiko terserang penyakit,


diantaranya:
1. Wanita tuna susila
2. Kelompok penyalahgunaan obat dan narkoba
3. Kelompok-kelompok pekerja tertentu, dan lain-lain.
4. Lembaga sosial, perawatan dan rehabilitasi, diantaranya
adalah:
5. Panti wredha
6. Panti asuhan
7. Pusat-pusat rehabilitasi (cacat fisik, mental dan sosial)
8. Penitipan balita

D. Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas

1. Proses kelompok (group process)

Seseorang dapat mengenal dan mencegah penyakit, tentunya


setelah belajar dari pengalaman sebelumnya, selain faktor
pendidikan/pengetahuan individu, media masa, Televisi,
penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan dan sebagainya.
Begitu juga dengan masalah kesehatan di lingkungan sekitar
masyarakat, tentunya gambaran penyakit yang paling sering
mereka temukan sebelumnya sangat mempengaruhi upaya
penangan atau pencegahan penyakit yang mereka lakukan. Jika
masyarakat sadar bahwa penangan yang bersifat individual tidak

23
akan mampu mencegah, apalagi memberantas penyakit tertentu,
maka mereka telah melakukan pemecahan-pemecahan masalah
kesehatan melalui proses kelompok.

2. Pendidikan Kesehatan (Health Promotion)

Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang


dinamis, dimana perubahan tersebut bukan hanya sekedar proses
transfer materi/teori dari seseorang ke orang lain dan bukan pula
seperangkat prosedur. Akan tetapi, perubahan tersebut terjadi
adanya kesadaran dari dalam diri individu, kelompok atau
masyarakat sendiri. Sedangkan tujuan dari pendidikan kesehatan
menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 maupun
WHO yaitu ”meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik fisik, mental
dan sosialnya; sehingga produktif secara ekonomi maupun secara
sosial.

3. Kerjasama (Partnership)

Berbagai persoalan kesehatan yang terjadi dalam lingkungan


masyarakat jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi ancaman
bagi lingkungan masyarakat luas. Oleh karena itu, kerja sama
sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan asuhan
keperawatan komunitas melalui upaya ini berbagai persoalan di
dalam lingkungan masyarakat akan dapat diatasi dengan lebih
cepat.

24
E. Prinsip Keperawatan Komunitas

1. Kemanfaatan

Intervensi yang dilakukan harus memberikan manfaat sebesar-


besarnya bagi komunitas artinya ada keseimbangan antara manfaat
dan kerugian.

2. Autonomi

Diberikan kebebasan untuk melakukan/memilih alternative yang


terbaik yang disediakan untuk komunitas

3. Keadilan

Melakukan upaya/tindakan sesuai dengan kemampuan/kapasitas


komunitas.

25
BAB III

FORMAT PENGKAJIAN KELOMPOK REMAJA

3.1 Data Inti


Demografi
Kelurahan B dengan 4 RT dan 2 RW mempunyai jumlah penduduk 950 jiwa ( 160
KK). Kelurahan tersebut mempunyai nenerapa fasilitas umum yaitu masjid, sekolah TK
dan paud serta TPU dan puskesmas.

- Jumlah remaja : 55 orang


- Distribusi remaja menurut : Jenis kelamin, umur, dan pendidikan
Jenis kelamin Umur Pendidikan

Laki- Perempuan 13-15 15-18 SMP SMA


laki tahun tahun

60% 40% 30% 70% 30% 70%

3.2 Lingkungan Fisik


a. Di Kelurahan B banyak terdapat perumahan permanen dengan presentase 80%, semi
permanen 18%, dan tidak permanen 5%. Belum ada lokasi untuk perkumpulan
remaja.
b. Pelayanan Kesehatan dan sosial
Sarana kesehatan yang paling dekat adalah puskesmas dan puskesmas belum ada
konsultasi kejiwaan.

c. Transportasi, Keamanan dan keselamatan


Transportasi di kelurahan B terhitung mudah karena mayoritas remaja mempunyai
kendaraan untuk bepergian dan berkumpul dengan teman-temannya.
d. Ekonomi
Di kelurahan B terhitung dengan ekonomi menengah ke atas, dengan presentase 30%
untuk yang menengah ke bawah sisanya menengah ke atas.
e. Politik dan pemerintah
Di Kelurahan B hanya 15% yang mengikuti organisasi sisanya tidak mengikuti.

26
f. Sistem Komunikasi
Sebagian remaja jika ada masalah curhat dengan teman sebayanya jarang remaja yang
mau menceritakan masalahnya kepada orang tuanya.

g. Pendidikan
Para remaja mendapat ilmu di sekolah karena semua remaja menjadi siswa siswi SMP
dan SMA tetapi remaja di kelurahan B butuh konseling untuk kejiwaan dan
pendekatan spiritual.

h. Rekreasi
Di Kelurahan B remaja laki-laki biasanya menggunakan waktu luangnya untuk
merokok di warung bersama teman-temannya dan remaja perempuan bermain dengan
teman sebayanya.

TABEL ANALISA DATA

No Data fokus Penyebab Masalah

1 a. Sebagian besar remaja tidak Emosional belom Ketidakefektifan


mampu menahan diri dari stabil koping
amarah
b. Sebagian besar remaja tidak
mampu membuat keputusan
dengan baik (tergesa-gesa)
2. a. kurangnya dukungan emosional Pergaulan yang salah Distres moral
b. kurangnya inspirasi harapan

3. a. kurangnya dukungan pengambilan Pergaulan yang salah Distres spiritual


keputusan
b. kurangnya dukungan spriritual

Format diagnosa

No Diagnosa
1 Ketidakefektifan koping berhubungan dengan emosional belum stabil
2 Distres moral berhubungan dengan pergaulan yang salah

27
3. Distres spiritual berhubungan dengan pergaulan yang salah

Format rencana asuhan keperawatan

No NOC NIC
diagnosa
00069 Setelah dilakukan perawatan - Mengajari remaja untuk
remaja dapat : mengontrol amarah
- Tingkat kecemasan - Mengajari remaja untuk
berkurang tindakan mengontrol
- Remaja mampu menahan kecemasaan
diri dari amarah - Menganjurkan untuk
- Remaja mampu membuat memenuhi kebutuhan pola
keputusan dengan tepat tidur
00175 Setelah dilakukan perawatan - Remaja diberikan dukungan
remaja dapat : emosional dari tenaga
- Remaja mampu membuat kesehatan dan keluarga
keputusan dengan tepat - Remaja diberikan inspirasi
- Remaja dapar memenuhi harapan dalam menjalani
kesejahteraan hidupnya
psikospiritualnya
- Remaja mampu melewati
masalah tanpa rasa takut
berlebihan
00066 Setelah dilakukan perawatan - Membantu remaja
remaja dapat : meningkatkan koping
- Kualitas spiritual remaja - Menganjurkan remaja untuk
meningkat konseling kepada ahli spiritual
- Remaja memahami akan berdasarkan keyakinannya
arti tujuan hidup - Membentuk dukungan
- Remaja memiliki kelompok utuk remaja sesuai
kemapuan memaafkan keyakinannya
yang baik

28
- Remaja meningkatkan
kemampuan untuk
beribadah

3.3

29
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kebiasaan merokok di kalangan remaja amat membahayakan baik ditinjau


dari segi pendidikan maupun kesehatan serta sosial ekonomi. Dipandang dari segi
pendidikan sudah jelas bahwa hal ini akan mengganggu pelajarannya, sedangkan
dari segi kesehatan akibat kebiasaan merokok akan menyebabkan berbagai
penyakit (penyakit serangan jantung, gangguan pernafasan dan sebagainya). Dari
segi ekonomi merupakan pengeluaran anggaran yang tidak perlu atau
pemborosan.

Efek jangka panjang dari penggunaan rokok adalah timbulnya berbagai


penyakit, antara lain:
1. Kecanduan nikotin
2. Berbagai macam kanker, terutama kanker paru, ginjal, tenggorokan, leher,
payu dara, kandung kemih, pankreas dan lambung. Satu dari enam pria
perokok akan menderita kanker paru.
3. Penyakit jantung dan pembuluh darah: stroke dan penyakit pembuluh
darah tepi.
4. Penyakit saluran pernapasan: flu, radang saluran pernapasan (bronkhitis),
penyakit paru obstruktif kronis.
5. Cacat bawaan pada bayi dari ibu yang merokok selama kehamilan.
6. Penyakit Buerger
7. Katarak
8. Gangguan kognitif (daya pikir): lebih rentan terhadap Penyakit Alzheimer
(pikun), penyusutan otak.
9. Impotensi

4.2 Saran
Saran kami bagi anda yang belum pernah merokok, sebaiknya anda jangan
mencoba-coba merokok karena dapat membahayakan hidup kita. Terlebih lagi di
zaman yang sudah tidak sehat ini, kita harus pandai-pandai menjaga kesehatan.
Biasakanlah untuk hidup sehat, karena hidup sehat merupakan awal dari sebuah
keberhasilan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Coloroso, Barbara. (2007). Stop Bullying: Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah
hingga SMU. Diterjemahkan oleh: Santi Indra Astuti. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Jahja, Y. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
Martono, N. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. PT RajaGrafindo, Jakarta.
Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika
Sarwono. 2011. Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahanya. Jakarta: Sagung Seto
Wiyani, Ardy. (2012). Save Our Children From School Bullying. Jogjakarta: Ar-ruzz Media

31

Anda mungkin juga menyukai