1. Definisi
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api
ketubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak
panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan
matahari (sunburn) (Moenajat dalam Syuhar, 2014)
2. Etiologi
Menurut Wounds International (2014), penyebab luka bakar pada umumnya
disebabkan oleh thermal atau panas seperti air panas dan kontak dengan api, atau
kontak dengan aliran listrik dan zat kimia. Terdapat juga penyebab lain seperti radiasi
dan suhu dingin berlebihan (frostbite). Syuhar (2014) menjabarkan penyebab dari luka
bakar antara lain:
a. Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn)
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan
api ke tubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau
kontak dengan objek-objek panas lainnya(logam panas, dan lain-lain)
b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang
biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih
yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga
c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
3. Patofisiologi
Patofisiologi dari luka bakar seperti halnya luka lainnya memiliki mekanisme
antara lain:
a. Respon lokal
Respon lokal luka bakar terdiri dari fase inflamasi, regenerasi, dan perbaikan
(inflammatory, proliferative, remodelling). Luka dapat terbagi menjadi
beberapa zona, yaitu:
a) Zona koagulasi (nekrosis)
- Di tengah luka (sentral luka)
- Tidak trdapat perfusi jaringan
- Kerusakan jaringan ireversibel akibat koagulasi protein
b) Zona statis
- Di sekitar sentral zona koagulasi
- Perfusi jaringan yang berkurang
- Kemungkinan dapat terjadi perbaikan jaringan apabila diberi
manajemen yang optimal
c) Zona hiperemi (hyperaemia)
- Bagian perifer luka
- Perfusi jaringan yang baik
- Terdapat perbaikan jaringan
b. Respon sistemik
Pada luka bakar dengan persentase lebih dari 20 – 30% dari seluruh
permukaan tubuh (total body surface area/TBSA), terdapat respon sistemik
akibat pelepasan ekstensif mediator inflamasi pada luka. Efek yang timbul
adalah hipotensi sistemik, bronkokonstriksi, peningkatan metabolisme basal
dan penurunan respon imun.
4. Karakteristik Kedalaman Luka
Dalam Wound International (2014), klasifikasi luka dapat dibagi menurut kedalaman,
yakni:
a. Luka kedalaman superfisial sebagian (dikenal dengan luka derajat I dan II)
Umumnya luka bakar yang sering terjadi tergolong pada derajat ini. Luka ini
tidak meluas ke seluruh lapisan kulit. Penggolongan lebih jauh antara lain:
a) Superfisial/epidermal (superfisial derajat I)
- Hanya lapisan epidermis yang rusak
- Ditandai dengan sunburn
- Tidak terdapat lepuhan
b) Superfisial dermal (superficial partial thickness)
- Luka bakar meluas ke lapisan dermis bagian atas
- Nyeri karena sudah melewati saraf superfisial
- Terdapat lepuhan
c) Dermal dalam (deep partial thickness)
- Luka meluas ke lapisan dalam dermis, namun tidak meluas ke
lapisan dasar jaringan subkutan
- Sering pada luka akibat lemak dan minyak panas
- Proses penyembuhan seringkali dikaitkan dengan munculnya
jaringan parut
b. Luka bakar full thickness (atau derajat III)
- Luka meluas ke seluruh lapisan kulit dan jaringan subkutan
- Jaringan dasar mungkin terlihat pucat ataupun menghit
- There are no sources in the current document.am
- Kulit yang tersisa kemngkinan kering dan memutih, kecoklatan atau
kehitaman tanpa lepuhan
- Proses penyembuhan dikaitkan dengan munculnya jaringan parut
5. Pengkajian Luas Luka
Perkiraan luas dan kedalaman luka yang tepat sangat penting dalam menentukan
manajemen yang sesuai, mempercepat proses penyembuhan, dan mencegah
komplikasi.
Terdapat 3 metode yang digunakan dalam pengkajian luka, yakni:
a. Lund and Browder chart
Lund and Browder chart merupakan satu di antara metode yang paling sering
digunakan dalam mengkaji luka.
6. Pengkajian
Pengkajian inisial luka bakar menurut Hettiaratchy dan Papini (2004) yakni:
a. Melakukan pengkajian ABCDF, terdiri dari A—Airway dengan kontrol spinal
servikal, B—Breathing, C—Circulation, D—Neurological disability
(ketidakmampan neurologis), E—Exposure with environmental control (pajanan
kontrol lingkungan), F—Fluid resuscitation (resusitasi cairan)
a) Airway dengan kontrol spinal servikal
Penilaian jalan napas atau airway harus dilakukan dan memerhatikan apakah
tulang belakang servikal cedera atau tidak. Jika iya, maka harus diberi
perlindungan. Gas panas yang terhirup dapat mengakibatkan luka bakar di pita
suara. Luka bakar ini akan menjadi edema dalam beberapa jam berikutnya,
terutama setelah resusitasi cairan dimulai.
b) Breathing
Semua pasien luka bakar harus menerima oksigen 100% melalui masker non-
rebreathing yang dilembabkan. Masalah pernafasan dapat memengaruhi sistem
pernafasan di bawah pita suara.
Pada kasus inhalasi asap, material kebakaran yang mencapai paru-paru, dapat
mengiritasi paru-paru, sehingga menyebabkan bronkospasme, peradangan, dan
bronkorrhoea.
c) Circulation
Sebaiknya akses intravena harus dilakukan dengan dua kanula bor besar yang
ditempatkan pada jaringan yang tidak terbakar. Sirkulasi perifer harus diperiksa.
Hipovolemia bukanlah respons awal yang normal. Hipovolemia dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi kardiogenik dan kehilangan darah parah
(dada, perut, atau panggul).
d) Neurological disability
Setiap pasien harus dikaji tingkat kesadarannya dengan Glasgow coma scale.
Pasien bisa saja mengalami hipoksia atau hipovolemia jika pasien terlihat
bingung.
e) Exposure with environmental control
Pasien harus dikaji secara keseluruhan (termasuk punggung) untuk mendapat
keakuratan area luka bakar dan memeriksa adanya luka yang terkontaminasi.
Pasien luka bakar, khususnya anak-anak, mudah mengalami hipotermia. Hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya hipoperfusi dan luka bakar yang semakin
dalam. Pasien harus dihangatkan.
f) Fluid resuscitation
Regimen resusitasi harus ditentukan berdasarkan area luka bakar (Hettiaratchy
dan Papini, 2004) Kehilangan cairan akibat luka harus digantikan untuk
menjaga keseimbangan cairan. Jumlah kehilangan cairan terbesar pada pasien
luka bakar terjadi pada 24 jam setelah terjadi luka. Pada 8 – 12 jam pertama,
terjadi perpindahan cairan intravaskular ke kompartemen cairan interstisial
yang berarti setiap cairan yang diberikan pada waktu ini akan habis secara cepat.
Pemberian cairan cepat secara bolus akan sedikit efektif. Setelah 8 jam pertama,
baru diberikan cairan koloid.
Rumus Parkland untuk resusitasi cairan pada pasien luka bakar:
Dewasa:
Total kebutuhan cairan dalam 24 jam = 4 ml x (total luas permukaan luka bakar
(%)) x BB (kg)
50% diberikan dalam 8 jam pertama, 50% diberikan dalam 16 jam berikutnya
Anak-anak:
Total kebutuhan cairan perjam = 4 ml/kg untuk 10 kg BB ditambah 2 ml/kg
untuk 10 kg BB kedua ditambah 1 ml/kg untuk >20kg BB
Terdapat juga rumus the rule of 10 untuk resusitasi cairan (Wounds
International, 2014) luas luka bakar ke 10 yang terdekat
1. Estimasikan
2. % luas permukaan luka x 10 = Cairan inisial ml/jam (untuk dewasa
dengan BB 40 – 80kg)
3. Untuk BB 10 kg ke atas, tambah cairan 100ml/jam
Hettiaratchy, Shehan and Papini, Remo (2004) Initial management of major burn: I –
Overview. BMJ volume 328(7455). halaman 1555 – 1557
Hettiaratchy, Shehan and Papini, Remo (2004) Initial management of major burn: II –
Assessment and Resuscitation. BMJ volume 329(7457). halaman 101 – 103
Wounds International (2014) International Best Practice Guidelines: Effective Skin and
Wound Management of Non-complex Burns. London: Wounds International.