Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Macam dan Teknik Pembedahan

Salah satu kelainan dalam mulut yang sering ditemukan dalam praktik bedah
mulut adalah kista. Kista adalah pembentukan rongga patologis di dalam subtansi
organ dan merupakan suatu kantong yang rapat, dilengkapi dengan suatu membran
yang tegas dan berisi cairan atau semi cairan. Kista dentigerous merupakan salah satu
jenis kista odontogenik yang terbanyak setelah kista radikuler di rongga mulut. Kista
dentigerous merupakan suatu kista yang berasal dari pemisahan folikel dari sekitar
mahkota gigi yang tidak erupsi. Kista ini mengelilingi mahkota gigi yang tidak erupsi
hingga ke servikal gigi atau cemento enamel junction (Azhar, 2015).

Penanganan kista dilakukan dengan cara pembedahan. Terdapat dua macam


pembedahan, yaitu pembedahan minor dan pembedahan mayor. Pembedahan minor
adalah pembedahan dengan anatesi okal yang biasanya dilakukan pada pengambilan
gigi belakang yang tumbuh miring (impaksi), gigi yang tidak dapat tumbuh, dan
peghalusan torus tulang. Pembedahan mayor adalah pembedahan dengan anastesi
umum biasanya dilakukan pada kasus rahang yang fraktur atau pada pengangkatan
tumor (Azhar, 2015).

Terdapat empat macam teknik pembedahan, antara lain insisi, eksisi, enukleasi,
dan marsupiliasi.

a. Insisi
Insisi adalah pembedahan dengan membuat sayatan tanpa pengambilan
jaringan (Azhar, 2015).
b. Eksisi
Salah satu tindakan bedah yang membuang jaringan (tumor) dengan cara
memotong jaringan tersebut (Azhar, 2015).
c. Enukleasi
Enukleasi merupakan suatu proses dimana dilakukan pembuangan total dari
lesi kista. Sebuah kista dapat dilakukan prosedur enukleasi dikarenakan
lapisan dari fibrous connective tissue diantara komponen epitelial (yang
membatasi aspek interior kista) dan dinding tulang dari kavitas kista. Lapisan
ini memperkenankan cleavage plane untuk melepaskan kista dari kavitas
tulang. Enukleasi kista harus dilakukan dengan hati-hati, sebuah usaha untuk
mengangkat kista dalam satu potongan tanpa fragmentasi, yang akan
mengurangi kesempatan rekurensi. Indikasi enukleasi dilakukan untuk
pengangkatan kista pada rahang dan seharusnya digunakan pada kista yang
dapat diangkat dengan aman tanpa terlalu membahayakan jaringan sekitar
(Azhar, 2015).
Teknik enukleasi
• Pemberian antibiotik profilaksis tidak diperlukan, kecuali jika pasien
menderita penyakit sistemik tertentu.
• Untuk kista yang besar, dapat dilakukan mucoperiosteal flap dan akses ke
kista didapatkan melalui labial plate of bone, yang meninggalkan alveolar
crest tetap utuh untuk memastikan tinggi tulang adekuat setelah
penyembuhan.
• Saat akses ke kista sudah didapatkan melalui pengunaan osseus window,
dokter gigi mulai mengenukleasi kista
• A thin-bladed curettage merupakan instrumen yang paling tepat untuk
memotong conective tissue layer dinding kista dari kavitas tulang. Permukaan
yang cekung harus selalu menghadap ke kavitas tulang, sedangkan bagian
yang cembung melakukan pemotongan/pelepasan kista. Tahap ini haus
dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari hancurnya kista.
Terlebih lagi, kista akan lebih mudah terlepas dari kavitas tulang saat
intracystic pressure dijaga.
• Saat kista telah berhasil diangkat, kavitas tulang harus diperiksa, adaah
jaringan kista yang tertinggal. Mengirigasi dan mengeringkan kavitas dengan
gauze akan mempermudah pemeriksaan. Jaringan kista yang tersisa diangkat
dengan kuret.
• Daerah-daerah tepi kavitas tulang dihaluskan dengan bone file sebelum
ditutup.
• Setelah itu, watertight primary closure seharusnya didapatkan dengan
appropriately positioned sutures.
• Kavitas tulang akan berisi blood clots, yang akan menghilang seiring
berjalannya waktu. Gambaran radiografis akan pertumbuhan tulang akan
tampak dalam waktu 6 hingga 12 bulan.
• Jika primary closure rusak dan luka bekas operasi terbuka, luka diirigasi
dengan salin steril, dan an appropriate length of strip gauze sedikit dipenuhi
dengan antibiotic ointment seharusnya dimasukkakan kedalam kavitas dengan
lembut. Prosedur ini dilakukan setiap 2-3 hari sekali, secara bertahap
dikurangi seiring dengan pemulihan luka.

Gambar tahapan
enukleasi

d. Marsupialisasi
Marsupialisasi adalah membuat suatu “jendela” pada dinding kista
dalam pembedahan, mengambil isi kistanya dan memelihara kontinuitas
antara kista dengan rongga mulut, sinus maksilaris atau rongga hidung.
Bagian kista yang diambil hanyalah isi dari kista, batas dari dinding kista
dengan oral mukkosa dibiarkan pada tempatnya. Proses ini dapat mengurangi
tekanan intrakista dan membantu penyusutan dari kista serta pengisian tulang.
Marsupialisasi dapat digunakan sebagai suatu perawatan tunggal atau sebagai
suatu perawatan awal dan selanjutnya dilakukan tahap enukleasi.
Faktor-faktor ini harus diperhatikan sebelum memutuskan perawatan
marsupialisasi :
a) Jumlah kerusakan jaringan, jika letak kista berdekatan dengan struktur
anatomis yang vital, perawatan dengan enukleasi akan mengakibatkan
kerusakan jaringan yang tidak perlu. Sebagai contoh, jika enukleasi akan
menyebabkan fistula pada sekitar rongga hidung atau dapat menyebabkan
kerusakan jaringan saraf (saraf alveolar inferior), serta dpat menyebabkan
devitalisasi dari gigi yang vital.; maka marsupialisasi diperlukan.
b) Akses pembedahan, jika akses pembedahan sulit dicapai, maka biasanya
bagian dari dinding kista akan tertinggal, menyebabkan rekurensi. Karena hal
itu, marsupialisasi dapat dipertimbangkan
c) Membantu erupsi gigi, jika gigi yang belum bererupsi terlibat dengan kista
(dentigerous cyst) dan gigi tersebut dibutuhkan untuk kestabilan lengkung
dental, maka marsupialisasi dapat membanu akses erusi gigi tersebut
d) Besar/tidaknya tindakan bedah, jika pasien kista memiliki penyakit
sistemik atau tingkat stress yang tinggi, dapat dipilih marsupialisasi, karena
caranya mudah dan tidak menimbulkan stress yang besar
e) Ukuran kista, pada ukuran kista yang sangat besar, enukleasi dapat
menyebabkan resiko patahnya tulang rahang. Maka itu dapat dipilihkan
marsupialisasi dan dilakukan enukleasi setelah adanya pengisian kembali oleh
tulang gigi
Teknik Marsupiliasi
 Antibiotik profilaksis sistemik  tidak diindikasikan untuk pasien yang
sehat.
 Anastesi, kemudian dilakukan aspirasi. Bila aspirasi membantu diagnosis
sementara kista, prosedur marsupialisasi dapat dilakukan.
 Insisi inisial biasanya sirkular atau eliptik dan menciptakan window yang
besar (1 cm atau lebih) pada kavitas kista.
 Bila tulang telah terekspansi dan menjadi tipis karena kista, insisi pertama
kali dilakukan dari tulang menuju kavitas kista. Pada kasus ini, isi
jaringan window dilakukan pemeriksaan patologis.
 Bila sisa tulang masih tebal, osseous window dihilangkan dengan burs
atau rongeur.
 Insisi kista dilakukan untuk membuang lapisan window lalu dilakukan
pemeriksaan patologis.
 Isi kista dibuang dan bila mungkin dilakukan pemeriksaan visual pada
lapisan jaringan kista yang tersisa.
 Irigasi kista dilakukan untuk membuang sisa fragmen dari debris.
 Area ulserasi atau ketebalan dinding kista harus diperhatikan untuk
mencegah kemungkinan adanya perubahan displasia atau neoplasma pada
dinding kista.
 Bila ada ketebalan yang cukup dari dinding kista dan jika ada akses,
perimeter dinding kista sekitar window dapat disuture pada mukosa
mulut.
 Kavitas harus dipacked dengan gauze yang telah dioleskan benzoin atau
salep antibiotik.
 Setelah terjadi initial healing (biasanya 1 minggu), lakukan pencetakan
pada rongga mulut untuk membuat obturator dari akrilik. Tujuan
penggunaan obturator ini ialah untuk mencegah masuknya makanan ke
dalam kavitas. Obturator ini dilepas saat tidur untuk mencegah agar tidak
tertelan. Obturator ini harus dikurangi ukurannya seiring dengan terisinya
kavitas oleh tulang.
Ketika dilakukan marsupialisasi kista pada maksila, dokter memiliki 2
pilihan. Pertama, kista dapat dibedah (akses dari) rongga mulut atau melalui
sinus maksila atau sinus nasalis. Bila sebagian besar maksila telah terserang
kista dan telah terkena antrum rongga nasalis, kista dapat menyerang aspek
fasial alveolus. Ketika window pada dinding kista telah dibuat, pembukaan
kedua dapat dilakukan pada antrum maksila atau rongga hidung yang
berdekatan. Pembukaan mulut kemudian ditutup untuk penyembuhan.
Lapisan kista harus kontinu dengan lapisan antrum atau rongga hidung
(Azhar, 2015).
Marsupialisasi jarang digunakan sebagai bentuk tunggal perawatan
kista. Biasanya diikuti dengan enukleasi. Pada kasus kista dentigerous,
mungkin tidak terdapat sisa kista yang dibuang ketika gigi bererupsi ke
lengkung rahang. Bila bedah lanjut kontraindikasi karena masalah medis
lainnya, marsupialisasi dapat dilakukan tanpa enukleasi selanjutnya. Kavitas
harus dijaga kebersihannya (Azhar, 2015).

2.2

Hemostatis Pascabedah

Hemostasis adalah proses yang kompleks yang terdiri dari langkah-langkah


yang berbeda, yang melibatkan beberapa sel dan faktor. Tujuan utama dari proses
ini adalah untuk menghentikan pendarahan dengan mekanisme mekanik perbaikan
pembuluh darah yang terluka dan pembekuan darah. Langkah pertama adalah
vasokonstriksi pembuluh darah sebagai respon pertama pada cedera. Pembuluh
darah menyempit, dan aliran darah berkurang. Kemudian, agregrasi platelet dan
release faktor yang lebih lanjut memperbaiki vasokonstriksi tersebut. Langkah
kedua terdiri dari pembentukan platelet plug, yang tergantung pada beberapa faktor
dari plasma. Langkah ketiga adalah proses koagulasi, yang dapat ditingkatkan
dengan jalur intrinsik atau ekstrinsik. Beberapa faktor koagulasi yang terlibat, dan
hasil akhirnya adalah pembentukan fibrin di sekitar platelet pluhg yang mewakili
bekuan darah. Rentang waktu normal pendarahan adalah 2-5 menit . Dalam waktu
tersebut, diharapkan pendarahan berhenti. Namun, karena luka yang disebabkan
oleh prosedur invasive, kadang-kadang lebih besar dari sekedar cedera pembuluh
darah sederhana, maka kain kasa diletakkan di soket untuk jangka waktu yang lebih
lama (Stevkoska, 2018).

Prosedur invasif gigi biasanya menghasilkan luka pada tulang dan jaringan
lunak disertai dengan perdarahan fisiologis selama beberapa menit pertama. Teknik
yang paling umum untuk menghentikan perdarahan pasca operasi adalah
tamponade superficial, yaitu menempatkan kain kasa (tampon) disertai tekanan di
atasnya dalam durasi 10-15 menit. Pada pasien tanpa penyakit sistemik, gangguan
pendarahan, gangguan koagulasi, gangguan pembuluh darah dan mereka yang tidak
mengkonsumsi obat apapun yang mempengaruhi perdarahan, pendekatan ini
mungkin cukup tepat untuk kontrol perdarahan. Namun, meskipun perdarahan
mudah ditangani, tetapi masih menjadi salah satu keluhan utama dari pasien dan
alasan untuk ketidaknyamanan subjektif mereka. Post-ekstraksi soket gigi terisi
dengan darah segera setelah pencabutan gigi. Hemoglobin dari sel darah merah
memiliki kapasitas menyerap cahaya yang kuat. Absorbing hemoglobin dapat
mengubah cahaya dari iradiasi LED menjadi energi panas pada permukaan
pendarahan (fotokoagulasi) (Stevkoska, 2018).

Beberapa perangkat yang digunakan dalam praktek kedokteran gigi sehari-hari


untuk photopolymerisation tambalan komposit (LED) memancarkan cahaya biru-
violet dengan panjang gelombang 380-515 nm dengan dua puncak (410 nm dan 470
nm). Panjang gelombang ini dapat menutupi sebagian besar kisaran penyerapan
hemoglobin (430 nm). Kontrol perdarahan merupakan masalah utama selama
intervensi bedah mulut (Stevkoska, 2018).
Hasil penelitian yang didapatkan ada metode konvensional menghentikan
pendarahan selama 2-5 menit (berarti Interval 180 detik), sedangkan iradiasi dengan
LED biru-violet menyebabkan hemostasis pada socket ekstraksi setelah 10 detik;
beberapa kasus masih membutuhkan tambahan 10 detik. LED menimbulkan
hemostasis cepat dan koagulum mengisi lebih baik dari pada teknik konvensional
(Stevkoska, 2018).

Studi lain menunjukkan bahwa lampu LED meningkatkan sel dan respon
kekebalan tubuh terhadap beberapa spesimen bakteri yang terlibat dalam
perkembangan penyakit periodontal. Hal ini juga diketahui bahwa koagulasi yang
stabil dan tepat adalah langkah yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka.
Penyembuhan yang berhasil berarti tidak ada komplikasi pasca operasi serta
berkurangnya kecacatan dan resopsi tulang. Ketika semua faktor ini digabungkan,
menjadi jelas bahwa iradiasi LED dapat secara positif mempengaruhi penyembuhan
luka (Stevkoska, 2018).

Gambar : A) soket Ekstraksi setelah ekstraksi gigi premolar kedua


kanan rahang atas dengan jelas perdarahan

B) Ekstraksi socket setelah penyinaran LED

2.3. Fraktur mandibular


Fraktur mandibula merupakan kondisi diskontinuitas tulang mandibula yang
diakibatkan oleh trauma wajah ataupun keadaan patologis. Fraktur pada mandibula
Pukulan keras dapat diakibatkan pada muka terjadinya suatu. Kasus fraktur
mandibula cukup sering terjadi, meskipun daya tahan mandibula terhadap kekuatan
benturan lebih besar dibandingkan dengan tulang wajah lainnya (Reksodiputro dan
Noval, 2017)

Kasus yang sering terjadi pada fraktur mandibular yaitu Fraktur pada Body
Mandibula. Hal ini disebabkan adanya foramen mental yang yang melemahkan
mandibular corpus yang dipengaruhi oleh a) konsentrasi stress b) pengurangan luas
penampang sekitar foramen (Balasubramanian, 2018).

2.4 Penatalaksanaan fraktur

Penatalaksanaan fraktur tulang wajah telah banyak mengalami perubahan


seiring dengan kemajuannya dunia kedokteran. Perawatan fraktur dapat dibedakan
menjadi perawatan fraktur secara tertutup (closed) atau terbuka (open)

2.4.1 Closed Reduction

Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu,


penanganan konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada garis
fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin
fixation (Robert, 2004)

Indikasi untuk closed reduction antara lain: (Robert, 2004)

a. fraktur komunitif selama periosteum masih utuh sehingga dapat diharapkan


kesembuhan tulang,

b. fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup berat dimana rekontruksi soft
tissue dapat digunakan rotation flap dan free flap bila luka tersebut tidak terlalu besar.
c. edentulous mandibula,

d. fraktur pada anak-anak,

e. fraktur condylus.

Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed reduction
adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada fraktur daerah
condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibular (Robert, 2004)

Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka komplikasi lebih
rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di tingkat
poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi, resiko ankilosis
TMJ atau temporomandibular joint dan masalah airway (Robert, 2004)

2.4.2 Open Reduction

Reposisi terbuka (open reduction) merupakan tindakan operasi untuk


melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang bawah
dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wire
osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis) (Robert, 2004)

Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction): (Robert, 2004)

a. displaced unfavourable fraktur melalui angulus,

b. displaced unfavourable fraktur dari corpus atau parasymphysis,

c. multiple fraktur tulang wajah,

d. fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral.

Keuntungan dari open reduction antara lain: mobilisasi lebih dini dan
reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah biaya lebih mahal
dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya (Robert, 2004)
Open reduksi merupakan perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area
fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan (Robert, 2004)

2.4.3 Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)

` Teknik reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau dikenal dengan open
reduction and internal fixation (ORIF) pada trauma wajah mulai dikenal pada tahun
1975. Teknik ini menerapkan prinsip material ortopedi pada tulang wajah yang
menggunakan plate and screw. Teknik ini dinilai sederhana dengan menciptakan
stabilitas fragmen tulang yang fraktur dengan metode kompresi (Reksodiputro dan
Noval, 2017). Teknik ORIF terdiri dari Intraoral ORIF dan extraoral ORIF. Teknik
yang paling sering digunakan yaitu Intraoral ORIF karena memiliki beberapa
keuntungan, yaitu : bekas luka kurang terlihat, kerusakan nervus facial lebih kecil,
dan waktu pengerjaan berkurang pada operator yang berpengalaman
(Balasubramanian, 2018).

Keberhasilan dari ORIF pada fraktur apapun sangat dipengaruhi oleh desain
flap dan dekat ke situs fraktur. Design flap terdiri dari berbagai macam. Desain flap
yang sering digunakan pada teknik ORIF pada fraktur body mandibula yaitu:
(Balasubramanian, 2018).

a. Insisi vestibular

Insisi vestibular merupakan insisi konvensional yang digunakan insisi intra-


oral untuk mencapai ORIF fraktur body mandibula. Teknik Insisi vestibular: dimulai
dari insisi 5-7 mm dibawah mucogingival junction dari mukosa vestibulum dari arah
caninus sampai molar 1 (Balasubramanian, 2018).

Gambar. Foto intraoperasi dengan insisi vestibular dan pemasangan plate and screw.
(Reksodiputro dan Noval, 2017)
Gambar. Ilustrasi insisi vestibular (Balasubramanian, 2018).

Insisi vestibular umumnya memerlukan tidak hanya insisi pada tingkat


mukosa tetapi juga insisi dan diseksi sepanjang bidang submukosa dan terkait otot
peri-oral. Berdasar penelitian oleh Balasubramanian (2018), penggunaan insisi
vestibular ORIF pada fratur body mandibular perlu dipertimbangkan dikarenakan
beberapa hal, yaitu :

1. Kemungkinan terjadinya gangguan neurosensorik terjadi pada insisi vestibular


lebih besar .

2. Penyembuhan luka jaringan lebih lama. Pada insisi vestibular, miniplate diletakkan
dibawah daerah insisi yang dapat menyebabkan terakumulasi food debris pada daerah
luka sehingga dapat menghambat penyembuhan luka dan infeksi

3. Pada fraktur dengan displacement yang parah dan juga manipulasi yang
menggunakan instrumen untuk mengembalikan kedudukan yang benar. Adanya attach
gingiva pada prosesus alveolaris ketika insisi vestibular membatasi kemungkinan
derajat manipulasi karena ketidakelastisan yang memungkinkan adanya sobekan yang
nantinya dapat menyebabkan keterlambatan penyembuhan.

b. Inisisi crevicular

Lokasi insisi crevicular dengan arah vertikal jauh dari saraf mental. Insisi Anterior
vertikal memfasilitasi retraksi tegangan dari flap dan memberikan visualisasi yang
sangat baik dan batas inferior terlihat jelas (Balasubramanian, 2018).

Gambar. Insisi Crevicular


Teknik insisi crevicular yaitu insisi dimulai dari sulcus gingiva meluas ke arah
distal molar 1 menuju ke interdental papila sampai ke aspek mesial gigi caninus
dengan kombinasi insisi vertical yang diberikan pada aspek anterior tanpa
memisahkan interdental papila (Balasubramanian, 2018).

Dibandingkan dengan Insisi Vestibular, Insisi Crevicular memiliki beberapa


kelebihan, yaitu : (Balasubramanian, 2018).

1. Pembengkakan pada teknik insisi crevicular lebih minimal dibanding


pembengkakan pada teknik vestibular

2. Pada insisi crevicular, penempatan miniplate jauh dari garis insisi tidak
menimbulkan infeksi dan jahitan yang terbuka

3. Kemungkinan adanya gangguan neurosensorik pasca bedah lebih kecil


dibandingkan insisi vestibular

4. Insisi crevicular mengurangi pembengkakan, rasa sakit dan trismus pasca operasi
bersama dengan peningkatan pembukaan mulut & penyembuhan luka dibandingkan
dengan insisi vestibular.

5. Pada insisi crevicular tidak ada perbedaan yang signifikan antara posisi gingiva
pra-bedah dan post-bedah sampai hari ke-14 pasca operasi.

6. Dengan insisi crevicular, tidak ada transeksi otot mentalis sehingga penutupan
luka berlapis tidak diperlukan

Namun Kekurangan dari insisi crevicular ini yaitu :

Memerlukan waktu tambahan yang diperlukan untuk menjahit untuk memposisikan


flap dengan cara membuat arch bars (Balasubramanian, 2018).

2.5. Malkoklusi Skeletas Kelas III


Maloklusi skeletal kelas III adalah kelainan rahang yang dapat terjadi akibat
kurangnya pertumbuhan rahang atas atau retrognati maksila, berlebihnya
pertumbuhan rahang bawah atau prognati mandibula, atau kombinasi kelainan pada
kedua rahang (Warry et. al, 2003).

Karakteristik Maloklusi Kelas III

1. Cuspmesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke distal


terhadap groove mesiobukal molar satu permanen rahang bawah atau sebaliknya
groove bukal molar satu permanen rahang bawah beroklusi lebih ke mesial terhadap
cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas (Warry et. al, 2003).

2. Maloklusi ini dapat disebabkan adanya maksila yang kecil dan sempit sedangkan
mandibula dalam batas normal (Warry et. al, 2003).

3. Relasi Gigi anterior adalah egde to edge atau crossbite (Warry et. al, 2003).

Gambar. Maloklusi Kelas III tipe skeletal (Warry et. al, 2003).
2.6 Bedah ortognatik

Bedah ortognatik adalah tindakan pembedahan pada kelainan yang terjadi pada
maksila, mandibula atau keduanya. Kelainan ini dapat terjadi kongenital dan akan
terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma (Pederson,
1996)
Istilah ortognatik berasal dari bahasa Yunani, ortho yang berarti meluruskan,
dan gnathia, yang berarti rahang. Bedah orthognatik oleh karenanya bermakna
meluruskan rahang (Sjamsuhidat, 2004)
2.7 Macam macam teknik bedah orthognatik

1. Pembedahan Tulang Maksila


Pembedahan tulang maksila terdiri atas 2 jenis pembedahan, yaitu osteotomi
yang mencakup pada segmen-segmen dari tulang maksila dan osteotomi total maksila
rahang (Sjamsuhidat, 2004)
Osteotomy segmen-segmen maksila terbagi atas Osteotomy single tooth,
Corticotomy, osteotomy segmen anterior maksila, dan Osteotomy subapikal posterior
maksila (Kufner, Schuchardt, dan Perko dan Bell). Osteotomy segmen anterior
maksila terbagi lagi antara lain : Teknik Wassmud, teknik Wunderer, osteotomy
anterior maksila Epker, dan teknik Cupar. Sedangkan Osteotomy total maksila terbagi
menjadi Osteotomy Lefort I, Osteotomy Lefort II dan Osteotomy Lefort III
(Sjamsuhidat, 2004)
a. Osteotomi LE FORT 1 = Salah satu teknik osteotomy maxilla yang dilakukan
untuk pasien yang sedang berkembang (15 tahun untuk perempuan, 17+ tahun untuk
laki-laki). Teknik ini efektif untuk menghambat pertumbuhan anterior maxilla .
Pertembuhan maxilla secara vertical tetap berlangsung setelah dilakukan operasi.jika
interndetal dan midline osteotomi dilakukan, tekni ini dapat menghambat pertumuhan
maxilla secara tranversal. Osteotomi LE FORT 1 terdiri dari 3 jenis, yaitu Classic,
Modified dan Multisegmental (Warry et. al, 2003)
Gambar. Osteotomi LeFort I tipe Classic (Warry et. al, 2003)

Gambar. Osteotomy LeFort I tipe Modified (Warry et. al, 2003)


b. Osteotomi LeFort II = Teknik osteotomi maxilla untuk pasien dengan central
midface hypoplasia yang memanjang sampe nasoethmoidal. Teknik ni dapat
memperpanjang midface (Warry et. al, 2003)
c. Osteotomi LeFort III = Teknik osteotomi subcranial untuk menkoreksi midface
hypoplasia, biasanya berasal dari craniosynostotic originyang ditemukan di Apert
dan Crouzon syndrome (Warry et. al, 2003)
2. Pembedahan Tulang Mandibula
Pembedahan pada tulang mandibula digolongkan menjadi osteotomi pada ramus
(Osteotomy ramus vertikal ekstraoral, Osteotomy ramus vertikal intraoral, Osteotomy
split sagital), osteotomi mandibula, osteotomi subapikal (Osteotomy anterior
subapikal, Osteotomy posterior subapikal, dan Osteotomy subapikal total), dan
genioplasti (Osteotomy horisontal dengan reduksi anteroposterior, teknik tenon,
Osteotomy horisontal double sliding, Genioplasty reduksi vertikal dan augmentasi
alloplastic) rahang (Sjamsuhidat, 2004)
2.8 Komplikasi bedah orthognatik
1. Nervus Injury

Cedera nervus dalam operasi ortognatik dapat disebabkan oleh trauma secara tidak
langsung, seperti kompresi oleh edema bedah, atau trauma secara langsung, seperti
kompresi, robek atau terpotong dengan instrumen bedah atau peregangan selama
manipulasi osteotomi segmental. Terdapat tiga kategori untuk menggambarkan jenis
morfofisiologi cedera nervus mekanis yaitu neuropraxia, axonotmesis dan
neurotmesis (Warry et. al, 2003).

2. Komplikasi pada TMJ


Perpindahan iatrogenik di bagian posterior kondilus dan intra-artikular hematoma
atau pengambilan jaringan yang berlebihan dari periosteum dan lampiran otot pada
ramus, mengakibatkan kontraksi dan pembentukan jaringan parut miofibrotik.
Beberapa faktor resiko telah diajukan yaitu faktor morfologi atau fungsional
praoperasi yang termasuk tanda-tanda radiologis osteoarthrosis, disfungsi TMJ, sudut
mandibular yang tinggi dan rasio tinggi wajah di posterior dan anterior (Warry et. al,
2003).
3. Komplikasi Vaskular
Perdarahan yang tidak terkontrol pada rahang dapat terjadi akibat dari gangguan
mekanis pembuluh darah atau koagulasi bawaan atau didapat. Penyebab umum
perdarahan dalam operasi ortognatik adalah ketidakseimbangan hemostasis saat
bedah. Variasi anatomi tulang atau pembuluh darah atau penanganan jaringan yang
salah terhadap anatomi normal, anestesi hipotensi atau infeksi merupakan penyebab
perdarahan sekunder (Warry et. al, 2003).
4. Infeksi
Kebanyakan infeksi pasca operasi disebabkan oleh bakteri endogen.Infeksi terjadi
apabila keseimbangan antara sistem pertahanan pejamu dan virulensi bakteri hilang.
Faktor yang berkontribusi terhadap bedah ortognatik yaitu penggunaan steroid, durasi
prosedur operasi, usia pasien, gangguan pada suplai darah ke segmen tulang,
dehidrasi dari luka-luka, adanya benda asing, rawat inap di bangsal besar, gizi,
hematoma dan merokok (Warry et. al, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

Azhar Sayid, Maria Goereti, dan Soetji P. 2015. Enukleasi Kista Dentigerous pada
Coronoid Mandibula Sinistra di Bawah Anastesi Umum. MKGK. 1(2): 99-103
Balasubramanian S et al. 2018. Comparison of two incisions for open reduction and
internal fixation of mandibular body fractures: A randomised controlled clinical
trial evaluating the surgical outcome. Chinese Journal of Traumatology,
https://doi.org/10.1016/j.cjtee.2018.11.002. P1-7

Reksodiputro dan Noval. 2017. Penatalaksanaan fraktur simfisis mandibula dengan


dua perpendicular mini-plates. ORLI 47(2) : 185-192

Robert E. Lincoln. Pratical Diagnosis and Management of Mandibular and


Dentoalveolar Fracture in Facial Plastic, Reconstructive and Trauma Surgery.
2004. P.597-627.
Stevoska, Danie. Fillip K. 2018. Hemostatis in Oral Sugery wih Blue Violet Light
Macedonia Journal of Medical Science. 6 (4): 687-69
Sjamsuhidat R, Jong W. Buku ajar ilmu bedah: Kepala dan leher. Jakarta, 2004;24:
335-50.

Wray, David; Stenhouse, David; Lee, David. 2003. Textbook of General and Oral
Surgery. London: Chuchill Livingstone

Anda mungkin juga menyukai