Disusun oleh:
Brillianda Yulita Putridita 030.14.034
Dimas Bambang Frasesa 030.14.053
Mochammad Aditya 030.15.114
Zayyan Misykati 030.15.198
Kharisma Galuh 030.15.098
Pembimbing:
dr. Partogi, spRad
PERIODE
1
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya maka saya dapat menyelesaikan referat dengan judul "Gambaran
Radiologi pada Sjogren’s Syndrome”.
Referat ini dibuat oleh demi memenuhi tugas di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi di
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. dr. Partogi,spRad dokter pembimbing yang telah memberikan saran dan koreksi dalam
penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang untuk menyempurnakan referat ini.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat .
2
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
Referat
Judul:
Pembimbing,
dr. Partogi,spRad
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun
sistemik yang terutama mengenai kelenjar eksokrin dan biasanya memberikan gejala kekeringan
persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjar saliva dan lakrimalis. Sindrom
Sjogren diklasifikasikan sebagai Sindrom Sjogren Primer bila tidak berkaitan dengan penyakit
autoimun sistemik dan Sindrom Sjogren Sekunder bila berkaitan dengan penyakit autoimun
sistemik lain dan yang paling sering adalah Artritis Reumatoid, SLE dan Sklerosis Sistemik.
Sindrom Sjogren Primer paling banyak ditemukan sedangkan Sindrom Sjogren Sekunder hanya
30 % kejadiannya.1
Sindrom Sjogren bisa dijumpai pada semua umur, sering umur 40-60 tahun terutama
perempuan dengan perbandingan perempuan dengan pria 9:1. Sampai saat ini prevalensinya belum
diketahui dengan pasti, diperkirakan prevalensi Sindrom Sjogren sekitar 0,1 – 0,6 % karena
seringnya sindrom ini bertumpang tindih dengan penyakit rematik lainnya. Selain itu gejala klinik
yang muncul pada awal penyakit sering tak spesifik, di Amerika diperkirakan penderita Sindrom
Sjogren sekitar 2-4 juta orang, hanya lima puluh persen saja yang tidak tegak diagnosanya dan
hampir 60 % ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya antara lain Artritis
rematoid, SLE dan Sklerosis Sistemik.2
Sindrom Sjogren pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1880,
kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa Sindrom Sjogren terkait dengan
poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi
anti–Ro(SS-A) dan anti-La(SS-B). Sinonim antara lain Mickuliczs Disease, Gougerots Syndrome,
Sicca Syndrome dan autoimmune exocrinopathy 1,2
Etiologi Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat peranan faktor
genetik dan non genetik pada patogenesis Sindrom Sjogren. Dilaporkan adanya kaitan antara
Sindrom Sjogren dengan HLA DR dan DQ.
Gejala kliniknya tidak terbatas hanya pada gangguan sekresi kelenjer tetapi disertai pula
dengan gejala sistemik atau ektraglandular. Gejala awal biasanya ditandai dengan mulut dan mata
4
kering dan kadang-kadang disertai pembesaran kelenjer parotis. Secara histopatologi kelenjer
eksokrin penuh dengan infiltrasi limfosit yang mengantikan epitel yang berfungsi untuk sekresi
kelenjer (exocrinopathy). 1,2
Diagnosis Sindrom Sjogren sebenarnya relatif mudah, tetapi untuk Sindrom Sjogren Primer
biasanya lebih sulit karena pasien menunjukkan 3 gejala utama yaitu mata kering, mulut kering
dan keluhan muskuloskletal dan biasanya pasien berobat kespesialis yang berbeda-beda.1.2
Penatalaksanaan Sindrom Sjogren meliputi pengelolaan disfungsi sekresi kelenjer air mata
dan saliva, pencegahan dan pengelolaan sekuele serta pengelolaan manifestasi ektraglandular.
Sampai saat ini masih belum ada satu pengobatan yang ditujukan untuk semua manifestasi
Sindrom Sjogren.Walaupun Sindrom Sjogren bukan merupakan penyakit yang ganas tapi keluhan
mata dan mulut kering yang persisten dapat mengurangi kualitas hidup dan dalam
perkembangannya dapat menjadi limfoma yang dapat menyebabkan kematian. 1
Manifestasi klinis Sindrom Sjogren ini sering tumpang tindih dengan penyakit rematik lain
sehinga diperlukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk dapat menegakkan
diagnosis sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat, untuk itulah tinjauan kepustakaan
ini disusun.
5
BAB II
SJOGREN’S SYNDROME
2.1. DEFINISI
Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun
sistemik yang terutama mengenai kelenjar eksokrin dan biasanya memberikan gejala kekeringan
persisten dari mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjar saliva dan lakrimalis.1
2.2. ETIOLOGI
Etiologi Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat peranan faktor
genetik dan non genetik pada patogenesis Sindrom Sjogren. Dilaporkan adanya kaitan antara
Sindrom Sjogren dengan HLA DR dan DQ. Kaitan antara HLA dan Sindrom Sjogren didapatkan
hanya pada pasien yang meliputi antibodi anti SS-A dan atau anti SS-B. Diperkirakan terdapat
peranan infeksi virus (Epstein-Barr, Coxsackle, HIV dan HCV ) pada patogenesis Sindrom
Sjogren.1
Hubungan Sindrom Sjogren dengan Hepatitis Virus C dulu masih diperdebatkan, baru tahun
1922 Haddad di Spanyol mendapatkan gambaran histologi Sindrom Sjogren pada 16 pasien dari
28 pasien Hepatitis virus C, sejak saat itu lebih dari 250 kasus Sindrom Sjogren yang berhubungan
dengan Hepatiti virus C dilaporkan.4 Tahun 1994 didapatkan sebanyak 4 % pasien Hepatitis
autoimun pada pasien Sindrom Sjogren Primer, sedangkan survei terbaru tahun 2008 terdapat 2
kasus Hepatitis autoimun dari 109 pasien Sindrom Sjogren Primer.2
Hubungan pasien pasien Sindrom Sjogren dengan SLE dilaporkan di Athens dari 283 pasien
SLE terdapat 26 (9,2%) memenuhi kriteria Sindrom Sjogren, sedangkan di China terdapat 35 (6,5
%) pasien memenuhi kriteria Sindrom Sjogren dari 542 pasien SLE. 3
Berdasarkan AECC kriteria terdapat 19 (14 %) pasien memenuhi kriteria Sindrom Sjogren
dari 133 pasien Sklerosis sistemik. 1
6
IMUNOPATOLOGI
Gambaran histopatologi pada kelenjer lakrimalis dan saliva adalah periductal focal
lymphocytic infiltration. Limfosit yang paling awal mengilfiltrasi kelenjer saliva adalah sel T
terutama CD45RO dan sel B CD20+. Pada Sindrom Sjogren ini juga didapatkan peningkatan B
cell Activating Factor (BAFF), yang merangsang pematangan sel B. Kadar plasma BAFF pada
pasien Sindrom Sjogren berkorelasi dengan autoantibodi disirkulasi dan pada jangka panjang
mungkin berperanan pada terjadinya limfoma.
Pada sebagian besar pasien Sindrom Sjogren terjadi peningkatan imunoglobulin dan
autoantibodi. Autoantibodi ini ada yang nonspesifik seperti Faktor Reumatik, ANA dan yang
spesifik Sindrom Sjogren seperti anti Ro (SS-A) dan anti LA (SS-B). Peran anti Ro dan anti–La
pada patogenesis Sindrom Sjogren masih belum jelas. Tetapi pada wanita hamil bisa menyebabkan
komplikasi, dimana setelah kehamilan 20 minggu antibodi ini bisa menembus plasenta dan
mengakibatkan inflamasi pada sistim konduksi jantung janin sehingga menyebabkan 1%-2 %
congenital heart block.1.3.6 Suatu penelitian di Norway mendapatkan dari 58 pasien Sindrom
Sjogren yang hamil, 2 orang anaknya mengalami congenital heart block.2
Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi Sindrom Sjogren tidak hanya sistim imun
selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan sistim humoral ini dapat dilihat adanya
hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang berada dalam sirkulasi.
Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah kelenjer eksokrin yang dipenuhi
dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah sekitar kelenjer dan atau duktus,
gambaran histopatologi ini dapat ditemui dikelenjer saliva, lakrimalis serta kelenjer eksokrin yang
lainnya misalnya kulit, saluran nafas, saluran cerna dan vagina. Fenotip limfosit T yang
mendominasi adalah sel T CD 4 +. Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara lain IL-2,
IL-4, IL-6, IL1 A dan TNF alfa sitokin-sitokin ini merubah sel epitel dan mempresentasikan
protein, merangsang apoptosis sel epitel kelenjer melalui regulasi fas. Sel B selain mengfiltrasi
pada kelenjer, sel ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi.
7
Adanya infiltrasi limfosit yang menganti sel epitel kelenjer eksokrin, menyebabkan
penurunan fungsi kelenjer yang menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjer saliva dan mata
menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. Peradangan pada kelenjer eksokrin pada
pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjer.
Adanya antibodi Ro dan anti La ini dihubungkan dengan gejala awal penyakit, lama
penyakit, pembesaran kelenjer parotis yang berulang, splenomegali, limfadenopati dan anti La
sering dihubungkan dengan infiltrasi limfosit pada kelenjer eksokrin minor.
Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan terhadap patogenesis,
yang merangsang sistim imun teraktivasi.1.2
Gambaran klinik Sindrom Sjogren sangat luas berupa suatu eksokrinopati yang disertai
gejala sistemik dan ektraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan gambaran
eksokrinopati pada mulut .Gambaran eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau
keratokonjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi ektraglandular dapat mengenai paru-
paru, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala sistemik yang dijumpai pada Sindrom Sjogren
sama seperti penyakit autoimun lainnya dapat berupa kelelahan, demam, nyeri otot, artritis.
Poliartritis non erosif merupakan bentuk artritis yang khas pada Sindrom Sjogren. Raynauds
phenomena merupakan gangguan vaskuler yang sering ditemukan, biasanya tanpa disertai
teleektasis ataupun ulserasi pada jari. Manifestasi ektraglandular lainnya tergantung penyakit
sistemik yang terkait misalnya AR, SLE dan skerosis sistemik. Meskipun Sindrom Sjogren
tergolong penyakit autoimun yang jinak, sindrom ini bisa berkembang menjadi suatu malignansi.
Hai ini diduga adanya transformasi sel B kearahan keganasan.2
8
MATA
Kelainan mata akibat Sindrom Sjogren adalah KeratoConjungtivitis Sicca (KCS). KCS
terjadi akibat penurunan produksi kelenjar air mata dalam jangka panjang dan perubahan kualitas
air mata. Gejala klinis berupa rasa seperti ada benda asing dimata, rasa panas seperti terbakar dan
sakit dimata, tidak ada air mata, mata merah dan fotofobia. Beberapa pasien KCS ada yang
asimtomatik. Pemeriksaan yang dilakukan untuk penilaian KCS adalah Slit lamp dan pemeriksaan
Rose Bengal atau Lissamin green. Pemeriksaan jumlah produksi air mata dilakukan dengan
Schimer test. Bila hasilnya < 5 mm dalam 5 menit menunjukan produksi yang kurang.1.3
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun konjungtiva, bila
kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi kronis pada
epitel kornea dan konjungtiva memberikan gambaran klinik keratokonjungtivitis Sicca. Pada
pemeriksaan terdapat pelebaran pembuluh darah didaerah konjungtiva, perikornea dan
pembesaran kelenjer lakrimalis.2
MULUT
Pada awal penyakit gejala yang paling sering adalah mulut kering (xerostomia). Keluhan
lain adalah kesulitan mengunyah dan menelan makanan, kesulitan mengunakan gigi bawah serta
mulut rasa panas. Tetapi beberapa pasien ada yang tanpa gejala. Pemeriksaan yang paling spesifik
untuk kelenjer saliva pasien Sindrom Sjogren adalah biopsi Labial Salivary Gland ( LSG).
Pemeriksaan biopsi LSG tidak diperlukan pada pasien yang sudah terbukti terdapat KCS dan anti
Ro atau anti La. Fungsi kelenjer saliva dapat dinilai dengan mengukur unstimulated salivary flow
selama 5-10 menit.1
9
Gambar 1. Mulut kering pada pasien sjogren’s syndrome 3
ORGAN LAIN
Kekeringan bisa terjadi pada saluran nafas serta orofaring yang sering menimbulkan suara
parau, bronkitis berulang, serta pneumonitis. Gejala lain yang mungkin dijumpai adalah
menurunnya produksi kelenjer pankreas.2 Kekeringan juga juga bisa terjadi pada vagina, suatu
penelitian pada 169 pasien Sindrom Sjogren, 26 % pasien juga mempunyai keluhan vagina kering.2
10
MANIFESTASI EKTRAGLANDULAR
Banyak sekali manifestasi ektraglandular pada Sindrom Sjogren yaitu artritis atau artralgia
(25%-85%), fenomena raynaud (13%-62%), tiroiditis autoimun Hashimoto (10%-24%), renal
tubular asidosis (5%-33%), sirosis bilier primer dan hepatitis autoimun (2%-4%), penyakit paru
(7%-35%) seperti batuk kronik, fibrosis paru, alveolitis dan vaskulitis (9%-32%). Resiko
terjadinya limfoma meningkat pada pasien SS.1.3
MANIFESTASI KULIT
Manifestasi kulit merupakan gejala ektraglandular yang paling sering dijumpai, dengan
gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang sering
dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil.
Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis pada
pembuluh darah kecil berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis dikulit merupakan petanda
prognosis buruk.2
A. Kutaneus Vaskulitis :
Sjogren Sindrom yang terkait dengan vaskulitis pembuluh darah kecil.
Kyoglobulinemia vaskulitis
Vaskulitis Urtikaria
Sindrom Sjogren yang terkait dengan vaskulitis pembuluh darah sedang
B. Manifestasi kutaneus yang lain
Erytema nodosum
Livedoretikularis
Trombositopenia purpura
Lichen planus
Vitiligo
Nodular Vaskulitis
11
Kutaneus amyloidosis
Granuloma anuler
Granulomatus panikulitis.
MANIFESTASI PARU
Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit bronkial dan bronkiolar
dan saluran nafas kecil. Penyakit paru Intertisial lebih sering dijumpai pada Sindrom Sjogren
Primer dengan gambaran patologi infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yang berat.
Adanya pembesaran kelenjer limfe yang parahiler yang sering menyerupai suatu limfoma
(pseudolimfoma). Manifestasi paru pada Sindrom Sjogren Primer dan Sekunder memberikan
gambaran yang berbeda. Pada Sindrom Sjogren Sekunder, manifestasi parunya disebabkan oleh
primer penyakit yang mendasari.2
12
MANIFESTASI NEUROMUSKULAR
Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada sistim syaraf dengan manifestasi
klinik neuropati perifer. Kranial neuropati juga dapat dijumpai pada Sindrom Sjogren, biasanya
mengenai serat saraf tunggal, misalnya neuropati trigeminal atau neuropati optik, neuropati
sensorik merupakan komplikasi neurologi yang sering. Kelainan muskular hanya berupa mialgia
dengan enzim otot dalam batas normal.2
ARTRITIS
Lima puluh persen gejala artritis pada Sindrom Sjogren, artritisnya mungkin muncul lebih
awal sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis pada Sindrom Sjogren tidak erosif. Artralgia,
kaku sendi, sinovitis, poliartitis kronis gejala lain yang mungkin dijumpai.2
Lebih dari 10 kriteria diagnosis dan klasifikasi untuk Sindrom Sjogren telah dibuat. Kriteria
paling baru adalah dari American-European Consensus Group Classification Criteria.1
13
14
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. GAMBARAN LABORATORIUM
2. GAMBARAN RADIOLOGI
Pada kasus Sjogren’s Syndrome dapat dilakukan beberapa teknik radiografi yang dapat membantu
penegakkan diagnosis. Foto konvensional X-ray, CT-scan, MRI dan USG dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan penunjang penyakit ini.4
15
X-Ray4
Foto X-ray yang sering dilakukan pada kasus Sjogren’s syndrome adalah foto di
persendian, terutama bagian sendi jari-jari tangan, kemudian foto thoraks dan foto kelenjar
salivasi.
Pada gambar diatas, merupakan foto pada pasien wanita usia 47 tahun, yang mengeluh
mulut kering, mata kering, nyeri pada sendi, kekakuan pada sendi saat pagi hari lebih dari 1 jam,
keluhan-keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 5 tahun lalu. Pasien ini didiagnosa menderita
Sjogren’s Syndrome. Dari foto radiography diatas didapatkan erosi dan synovitis pada sendi
metacarpophalangeal 3 kanan.
Gambaran radiolography kelenjar salivasi pada kasus Sjogren’s syndrome juga cukup
sering dilakukan untuk kepentingan diagnosa. Teknik pemeriksaan yang sering dilakukan adalah
foto Sialography. Sialography digunakan terutama untuk menentukan derajat penyakit.5
16
Gambar 3. Foto Sialography Gambar 4. Foto Sialography
Pada gambar 3 dari foto sialography yang dilakukan didapatkan punctate ecstasies,
pemanjangan dari sistem duktus. Pada gambar 4 didapatkan punctate ecstasies dan clubbing.
CT-Scan 6
Manifestasi dari paru pada kasus Sjogren’s Syndrome biasanya akan menyebabkan
sindrom kelainan jalan napas, pneumonia interstitial, gangguan lymphoproliverative. Beberapa
manifestasi ini biasanya akan terlihat pada pemeriksaan CT-scan, karena biasanya walaupun
gangguan pada paru pada kasus Sjogren’s Syndrome sering terjadi tetapi gejalanya umumnya tidak
tampak pada foto konvensional CXR, oleh sebab itu dibutuhkan pemeriksaan CT-scan thoraks.
Perubahan hyperplasia jaringan biasanya juga terjadi pada mediastinum.
17
Gambar 5. Manifestasi gangguan pada thoraks dalam kasus Sjogren’s Syndrome
Pada gambar 6 diatas, didapatkan perubahan jaringan fibrosis pada sentral dan
perifer bronkus dan bronkiolus yang terlihat sebagai bronkietaksis dan bronkiolektasis, dinding
brokus yang menebal.
18
Gambar 7. CT scan thoraks
Pada gambar 7, merupakan pasien sjogren’s syndrome usia 53 tahun menunjukan adanya
multiple centrilobular, penebalan dari septal interlobular dan peningkatan corakan
bronkovaskular.
20
homogenitas dalam intensitas sinyal pada gambar MR T1-weighted, dengan tampilan granular
yang dihasilkan. Namun, kelenjar parotis pada pasien dengan peradangan parotis juga
menunjukkan intensitas sinyal yang tidak teratur pada gambar MR T1-weighted yang, kadang-
kadang, tidak dapat dibedakan dari kelenjar parotis pada pasien SS, terutama ketika peradangan
tetap ada.
21
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Rheumatoid Arthritis (RA)
RA adalah penyakit autoimun multisistemik kronik yang dapat menyerang banyak organ,
namun lebih dominan menyerang jaringan sinovial dan sendi. Foto polos masih menjadi lini
pertama standar untuk menegakkan diagnosis dan untuk pemantauan dari perjalanan penyakit ini.
Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa ditemukan gambaran erosif pada 30% saat ditegakkan
diagnosis dan 70% dalam 3 tahun kedepannya.
Beberapa temuan dalam radiografi yaitu berupa soft tissue swelling, gambaran
osteoporosis, penyempitan sendi secara simetris, dan juga erosi marginal pada daerah yang disebut
"bare areas". 7
Yang menjadikan perbedaan antara RA dengan Sjogen syndrome (SS) dalam gambaran
radiologi adalah dimana pada SS terdapat gambaran penyempitan sendi secara simetris
namun hampir sebagian besar bersifat non-erosif berbeda dengan RA yang sama-sama terdapat
penyempitan sendi yang simetris namun bersifat erosive 7
22
Gambar 9. Gambaran Foto Manus-Wrist Joint AP pasien RA yaitu terdapat erosi dan sublukasi di
sendi Metacarpophalangeal (MCP) dengan deviasi ulnar. Dan juga terdapat osteopaenia di regio
MCP.
Gambar 10. Gambaran Foto MRI Wrist Joint terlihat gambaran penyempitan sendi radio-carpal
secara simetris dan erosi serta destruksi tulang multipel.
23
Gambar 11. Gambaran Foto Manus terlihat gambaran penyempitan sendi interphalangeal secara
simetris bersifat non-erosif pada Sjorgen Syndome
Lymphangitic carcinomatosis8
Keganasan pada paru yang terjadi akibat penyebaran melalui saluran limfatik dan merupakan
tumor sekunder. Paru dapat terkena metastasis akibat sel tumor yang menjalar melalui saluran
limfe yang berasal dari metastasi hematogen, metastasis kelenjar getah bening hilus, maupun
tumor bagian atas. Gambaran radiologi klasik terdiri dari penebalan septum dan terdapat corakan
bronkovaskular yang ireguler, mudah dilihat pada lobus bawah pada kedau paru. Hilus dan
mediastinal limfadenopati dapat muncul pada 20 – 40% pasien, dan efusi pleura dapat timbul pada
30 – 50% pasien. Diagnosis dini dari limfangitis karsinomatosis biasanya sulit dilihat dengan
temuan foto thoraks biasa, yang biasanya ditemukan normal pada 30 – 50% kasus. Namun dapat
didiagnosis secara dini dengan menggunakan HRCT Scanning.
24
Dissminated small metastases and marked
interstitial lung disease with a confluent opacity in
the right lower lobe.
Disseminated small pulmonary nodules and thickening of interstitial septae, especially in the lower
lobes.
25
Metastasis Pleura
26
High-resolution CT scan memperlihatkan penebalan yang kasar dan ireguler dari septum
interlobularis yang disebabkan oleh limfangitis karsinomatosa dari renal cell Ca. dapat dilihat
adanya efusi pleura bilateral.
Gambar A
Gambar B
Endobronchial metastasis (59 thn,laki-laki) dengan carcinoma sel ginjal, dispneu. (a) Foto
toraks proyeksi PA menunjukkan kolaps paru atas kiri (panah) di para hiler (b) CT scan
27
memperlihatkan masa di endobronkial (panah) di orificium lobus kiri atas dengan kolaps
bronkus lobaris (panah)
28
Limfangitis karsinomatosa dari kanker
payudara dengan Tension pneumotoraks
kanan dan efusi pleura kiri
29
Unilateral limphangitis karsinomatosa dari
Karsinoma Prostat
30
Wanita tua, 60 thn dengan riwayat pembedahan
perut sebelumnya. Jantung dan paru-paru dalam
batas normal. Ada dua densitas jaringan lunak di
zona atas pada akhir anterior kanan kosta kedua
SLE adalah gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen sitoplasma dan
inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis,
leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik,
limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya.
Sebelas kriteria telat dibentuk oleh World Health Organization (WHO) untuk mendiagnosa
SLE. Kriterianya adalah ruam, lesi discoid, fotosensitifitas, ulkus oral, artritis non-erosif, serositis,
keterlibatan pada ginjal, kejang atau psikosis, kelainan hematologic, kelainan imunologi, dan hasil
tes positif pada pemeriksaan antibodi antinuklear.
Berbeda dengan kriteria WHO, tidak ada pencitraan yang diterima secara universal untuk
menegakkan diagnosis SLE, dan tidak semua pasien dengan SLE membutuhkan pencitraan karena
pada pemeriksaan laboratorium sudah dapat ditegakkan. Keparahan dari SLE terpapar dari
seberapa banyak sistem organ yang terpengaruh, bukan dari komplikasi dan komplikasi terapi.
31
Nekrosis avascular tulang femur,
infeksi sekunder SLE. Foto pelvis
proyeksi AP menunjukan adanya
fraktur subkondral dan erosi
permukaan sendi dari caput femoral
kiri.
32
menunjukan adanya perdarahan
subarachnoid pada sulci dan basilar
cisterns sepanjang fisura.
33
Trombosis vena renalis pada wanita 27
tahun dengan SLE. (a) CT scan
menunjukkan penggumpalan di vena
renal kiri (tanda panah). (b) CT scan
contrast menunjukan adanya
penggumpalan di vena cava inferior.
Sarkoidosis10
Sarkoidosis adalah suatu penyakit granulomatosa non-kaseosa multisistem yang
penyebabnya belum diketahui, terutama mengenai dewasa muda dan paling sering mengenai paru,
kulit, dan mata. Sarkoidosis juga dapat diartikan sebagai retikulosis granulomatosa sistemik yang
34
kronik progresif tanpa sebab yang jelas, ditandai dengan tuberkel keras pada hampir semua organ
atau jaringan, termasuk kulit, paru, kelenjar getah bening, hati, limpa, mata dan tulang-tulang kecil
tangan dan kaki.
35
gambaran hazy ground-glass pada
lapang paru bawah.
36
fluid, terdapat massa ringlike
appearance di sisi kiri.
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi kelenjar dimata
dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah simtomatis mengantikan fungsi
kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
MATA
Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet untuk siang
hari dan salep mata untuk malam hari.2.3 Lubrikasi pada mata kering dengan tetes mata buatan
membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering. Untuk mengurangi efek samping
37
sumbatan drainase air mata pengganti bisa diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat
besar. Tetes mata yang mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat muskarinik
reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu golongan pilokarpin dan
cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12 minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg
diberikan 3 kali sehari.
MULUT
Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan pencegahan
karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi mulut. Pengobatan xerostomia sangat sulit
sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya.
Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang
kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan digunakan sugar-free lozenges,
cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang masih ada produksi
saliva dapat digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada
produksi saliva digunakan anti jamur topikal.2.3
EKTRAGLANDULAR
OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin digunakan untuk
atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1 mg/kgBB/hari dan
imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk mengontrol gejala ekstraglandular
misalnya difus intersisial lung disease, glomerulonefritis, vaskulitis.1.3
38
Tabel diatas merupakan obat-obat yang sering digunakan pada kasus sjogren’s syndrome1
2.8 PROGNOSIS1
Prognosis pada pasien Sindrom Sjogren tidak banyak yang meneliti, walaupun Sindrom
Sjogren bukan merupakan penyakit yang ganas namun perkembangannya dapat terjadi vasculitis
dan limfoma dan kedua hal tersebut dapat menyebabkan kematian pada pasien Sindrom Sjogren.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Jacobus, DJ. Diagnosis dan Manajemen Sindrom Sjogren. Jurnal Cermin Dunia
Kedokteran:216(41);5. 2014
2. Mitchell, KL. St. Clair, EW. Primary Sjogren Syndrome. RHEUM. Decker Intellectual
Properties. 2010. Available at DOI 10.2310/7900.1250
3. Both, T. Dalm,VASH. Hagen, PMV. Daele, PLAV. Reviewing Primary Sjogren syndrome:
beyond the dryness – from pathophysiology to diagnosis and treatment. International
journal of Medical Sciences. 2017;14(3):191-200.
4. Boutry N, Hachulla E, Flipo R, et al. MR imaging findings in hands in early rheumatoid
arthritis: comparison with those in systemic lupus erythematosus and primary Sjögren
syndrome. Radiology 2005; 236: 593-600
5. Ulloa RB, Gonzalez DP, Lopez LF, Stute S. Imaging of Sjögren Syndrome in salivary
glands. European Society of Radiology. 2012. 5-16
6. Ryoko E, Tetsuya K, Tetsuyoshi H, Noriyuki K, Mai Y, Fumio Ya, Hiroyuki I. CT
Findings of Thoracic Manifestations of Primary Sjögren Syndrome: Radiologic-Pathologic
Correlation. 2013.
7. Dixey J, Solymossy C, Young A et-al. Is it possible to predict radiological damage in early
rheumatoid arthritis (RA) A report on the occurrence, progression, and prognostic factors
of radiological erosions over the first 3 years in 866 patients from the Early RA Study
(ERAS). J Rheumatol Suppl. 2004;69 : 48-54.)
8. Hasan, Iscac. Lung, Metastasis. [online 2019] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/358090-media
9. Lalani TA, Kanne JP, Hatfield GA, Chen P. Imaging findings in systemic lupus
erythematosus. J Clin Med 2004;7:1-12.
10. Spagnolo P, Sverzellati N, Wells AU, Hansell DM.Imaging aspects of the diagnosis of
sarcoidosis. Eur Radiol 2014 24:807–816
40