Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN PALIATIF

PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Stase Keperawatan Paliatif


Program Profesi Ners Angkatan XXXVI Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Disusun Oleh :

INTAN FEBRANI RAMADHANTI

NPM. 220112180099

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN PALIATIF PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

1. Konsep Teori Sirosis Hepatis


A. Definisi
Sirosis hepatis adalah suatu patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsiktektur hepar dan pembentukan nodul regenerative. Penyakit hati kronis ini
dicirikan dengan distorsi arsiktektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat
dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskular normal
(Amin & Hardhi, 2016).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan
nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif. Kerusakan sel – sel hati ini akan
berlanjut menjadi gangguan susunan hepar dan peningkatan vaskularisasi yang
menyebabkan terjadinya varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster
maupun esofagus (Widjaja, 2011).
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur
yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati,
yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal.Nodul-nodul regenerasi ini dapat
berukuran kecil (mikronodular) dan besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu
sirkulasi darah intra hepatic, dan pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan
kegagalan fungsi hati yang secara bertahap.(Price & Wilson, 2002).
Jadi sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang diakibatkan adanya
distorsi arsitektur pada lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul yang beregenerasi
pada sel hati sehingga menyebabkan sirkulasi darah di hati tidak normal yang
menyebabkan kegagalan fungsi hati atau fungsi normal hati terganggu.
B. Etiologi
Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak hal. Penyebabnya antara lain
adalah penyakit infeksi, penyakit keturunan dan metabolik, obat-obatan dan toksin. Di
Negara barat penyebab terbanyak sirosis hepatis adalah konsumsi alkohol, sedangkan
di Indonesia terutama disebabkan oleh virus hepatitis B maupun C (Budhiarta,2017).
Sedangkan menurut Andra & Yessie (2013) penyebab sirosis hepatis
berdasarkan jenisnya yaitu :
a. Sirosis laennec merupakan sirosis yang dihubungkan dengan penyalahgunaan
alkohol kronik, dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal.
b. Sirosisis postnekrotik terdapat pita jaringan parut sebagai akibat lanjut dari
hepatitis virus (B dan C) yang terjadi sebelumnya. Terjadi karena kelainan
metabolik, infeksi, dan post intoksidasi zat kimia.
c. Sirosis biliaris terbentuk jaringan parut disekitar saluran empedu/ duktus
biliaris. Terjadi akibat obstruksi biliaria post hepatik dan statis empedu sampai
adanya penumpukan empedu dalam massa hati sehingga terjadi kerusakan sel-
sel hati. Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat
kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk
membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan
jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan
tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan parut.
d. Sirosis cardiac dikarenakan gagal jantung jangka lama yang berat.
C. Faktor Risiko
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi
memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari hasil laporan Hadi di
dalam simposium Patogenesis sirosis hati di Yogyakarta tanggal 22 Nopember
1975, ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita
kekurangan protein hewani , dan ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang
berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli,
petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah
menengah.
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga
terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan
berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut
Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari
seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
- Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
- Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita
dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hati.
D. Manifestasi Klinis
Menurut Andra & Yessie (2013),manifestasi klinis pada pasien sirosis hepatis yaitu:
a. Asites
b. Splenomegali/ hepatomegaly
c. Edema tungkai kaki
d. Caput medusa/ pelebaran vena dinding abdomen
e. Hemoroid internal
f. Eritema palmaris, spider nevi, amenore, atropi testis, ginekomastia
g. Tendensi perdarahan, terutama GI
h. Anemia
i. Kerusakan ginjal
j. Infeksi
k. Ensefalopati
l. Gejala awal/ hepatitis berulang
m. Varises esophagus
Manifestasi lainnya pada sirosis hepatis, yaitu :
1. Mual-mual dan nafsu makan menurun
2. Cepat lelah
3. Kelemahan otot
4. Penurunan berat badan
5. Air kencing berwarna gelap
6. Kadang-kadang hati teraba keras
7. Ikterus, spider navi, erytema palmaris
8. Hematemesis, melena
Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain:
• Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit
yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba
benjol-benjol (noduler).
• Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis
dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ
digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati
yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah
tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis;
dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini
cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting
dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring
telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
keseluruhan tubuh.
• Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan
pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah
dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat
pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh
traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan
daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi
pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada
lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang
tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan
menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk
mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan
mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
• Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
• Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan
tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi
vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan
fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis.
Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan
aktivitas rutin sehari-hari.
• Kemunduran Mental
Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum
pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola
bicara.
E. Klasifikasi
Menurut (Sutadi,2003) berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3
jenis, yaitu :
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim
hatimengandung nodul halus dan kecil merata tersebut seluruh lobul. Sirosis
mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada
yang berubah menjadi makro nodular sehingga dijumpai campuran mikro dan
makronodular
2. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan
bervariasi,mengandung nodul (> 3 mm) yang besarnya juga bervariasi ada nodul
besar didalamnya adadaerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi
regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular) .

Menurut (Budhiarta,2017), secara fungsional sirosis hati dibagi menjadi dua yaitu :
a. Sirosis Hati Kompensata, adalah sirosis hati yang belum menunjukkan gejala
klinis Sering disebut dengan Laten Sirosis Hati. Pada sirosis kompensata ini
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Stadium awal sirosis sering tanpa
gejala sehingga kadang ditemukan secara tidak sengaja saat pasien melakukan
pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain.
b. Sirosis Hati Dekompensata yaitu sirosis hati yang menunjukkan gejala-gejala
yang jelas. Dikenal dengan Active Sirosis Hati, dan stadium ini biasanya
gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.
F. Patofisiologi
Menurut Lusianah dan Suratun (2016) faktor penyebab kerusakan hati
menimbulkan respon inflamasi pada jaringan hepar, manifestasi lanjut sebagian
disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi
sirkulasi portal. Semua organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal
dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah
yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus
gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti

pasif yang kronis, tidak bekerja dengan baik.


Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perkusi akan adanya shifting dullness
atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring-jaring bewarna biru kemerahan, yang
sering dapat dilihat melalui terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001), meskipun ada beberapa faktor yang terlibat
dalam etiologi sirosis, konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor
penyebab yang utama. Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum
minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut
menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan
merupakan faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang
ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak
memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal
tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding
individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum
minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan
peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen
terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-
laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada wanita, dan mayoritas
pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel- sel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang- kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama
akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan
sirosis alkoholik (Tarigan, 2001).
G. Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Hipertensi portal
2. Coma/ ensefalopaty hepatikum
3. Hepatoma
4. Asites
5. Peritonitis bakterial spontan
6. Kegagalan hati (hepatoselular)
7. Sindrom hepatorenal

Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah :
1. Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul
varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah,
sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah
muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului
rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak
akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah
hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga
perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya
varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari
76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh
pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi
lambung.
2. Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum.
Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah
sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini
disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul
sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-
lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.
Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan
berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses
detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam
sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea.
Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas
beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi
urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.
3. Ulkus peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan
diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum,
resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya
defisiensi makanan.
4. Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk
postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi
adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita
sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut Schiff, spellberg infeksi yang sering
timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia,
pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis,
perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Smeltzer & Bare (2001), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
pada pasien dengan sirosis hati yaitu:
1) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
2) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Biopsi Hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi Transhepatik Perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
7) Pemeriksaan Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan
anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia
mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme.
• Pemeriksaan Laboratorium
1. Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia),
dan trombositopenia.
2. Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel yang
rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif.
3. Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.
4. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati.
5. masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.
6. pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan
ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen.
7. Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis
hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya.
8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila AFP terus meninggi atau >500-1.000
berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu terjadinya kanker hati
primer (hepatoma).
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain
ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur barium
untuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi untuk melihat besar
dan panjang varises serta sumber pendarahan, pemeriksaan sidikan hati dengan
penyuntikan zat kontras, CT scan, angografi, dan endoscopic retrograde
chlangiopancreatography (ERCP).
I. Palliative Care
a. Definisi Palliative Care
Menurut WHO, palliative care merupakan pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi
masalah yang berkaitan dengan masalah yang mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan menghentikan penderitaan dengan identifikasi dan penilaian
dini, penangnanan nyeri dan masalah lainnya, seperti fisik, psikologis, sosial
dan spiritual (WHO, 2017).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien
dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup
seluruh rangkaian penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
kebutuhan spiritual serta untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses
informasi, dan pilihan (National Consensus Project for Quality Palliative
Care, 2013).
b. Prinsip Palliative Care
Palliative care secara umum merupakan sebuah hal penting dan bagian yang
tidak terpisahkan dari praktek klinis dengan mengikuti prinsip:

a. Fokus perawatan terhadap kualitas hidup, termasuk kontrol gejala yang


tepat .
b. Pendekatan personal, termasuk pengalaman masa lalu dan kondisi
sekarang
c. Peduli terhadap sesorang dengan penyakit lanjut termasuk keluarga atau
orang terdekatnya .
d. Peduli terhadap autonomy pasien dan pilihan untuk mendapat rencana
perawatan lanjut, eksplorasi harapan dan keinginan pasien.
e. Menerapkan komunikasi terbuka terhadap pasien atau keluarga kepada
profesional kesehatan (Cohen and Deliens, 2012)
c. Lingkup Kegiatan Palliative Care
a) Jenis kegiatan perawatan palliative, meliputi:
1. Penatalaksanaan nyeri
2. Penatalaksanaan keluhan fisik lain
3. Asuhan keperawatan
4. Dukungan psikologis
5. Dukungan sosial
6. Dukungan kultural dan spiritual
7. Dukungan persiapan dan selama masa duka cita
b) Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan
kunjungan/rawat rumah.
d. Peran dan Fungsi Perawat
Dalam menjalankan peran dan fungsi perawat dalam palliative care,
perawat harus menghargai hak-hak pasien dalam menentukan pilihan,
memberikan kenyamanan pasien dan pasien merasa bermartabat yang
sudah tercermin didalam rencana asuhan keperawatan. Perawat memiliki
tanggung jawab mendasar untuk mengontrol gejala dengan mengurangi
penderitaan dan support yang efektif sesuai kebutuhan pasien. Peran
perawat sebagai pemberi layanan palliative care harus didasarkan pada
kompetensi perawat yang sesuai kode etik keperawatan. Hal-hal yang
berkaitan dengan pasien harus dikomunikasikan oleh perawat kepada
pasien dan keluarga yang merupakan standar asuhan keperawatan yang
profesional.

d. Perawatan Paliatif Pada Pasien Dengan Sirosis Hepatis

 Mengurangi atau menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang


mengganggu

 Membuat pasien dan keluarga mengerti bahwa proses hidup dan mati
adalah sesuatu yang wajar
 Tidak bermaksud untuk mempercepat atau menunda kematian

 Mengintegrasikan aspek psikologi dan spiritual dari perawatan pasien

 Menawarkan sistem pendukung untuk membantu pasien hidup seektif


mungkin yang dapat dicapai sampai saat kematian

 Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga agar dapat


menerima kenyataan dan menyikapi penyakit pasien dengan baik

 Menggunakan pendekatan kelompok untuk mengetahui kebutuhan


pasien dan keluarganya, termasuk konseling

 Meningkatkan kualitas hidup dan dapat juga memengaruhi perjalanan


penyakit secara positif
e. Manajemen Sirosis Hepatis

Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah:


a. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan
kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi
protein, lemak secukupnya.
b. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
1. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya.
Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh.
Dengan diet tinggi kalori (300 kalori), kandungan protein makanan
sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat perkembangan kolagenik
dapat dicoba dengan pemberian D penicilamine dan Cochicine.
2. Hemokromatis Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung
besi/ terapi kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x
seminggu sebanyak 500cc selama setahun.
3. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
c. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
1. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-
obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis
100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/
hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/
hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons,
maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin.
2. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan
melena atau melena saja)
a.Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui
apakah perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.
b. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi
diatas 100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD
dengan pemberian dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya.
c. Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal
salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.
3. Ensefalopati
a. Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCLpada
hipokalemia.
b. Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet
sesuai.
c. Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan
pada varises.
d. Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi
sistemik.
e. Transplantasi hati.
4. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin,
aminoglikosida.
5. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik
Mengatur keseimbangan cairan dan garam.
f. Manajemen Psikologis
DAFTAR PUSTAKA
Andra, S. W., & Yessie, M. P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Amin & Hardhi. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Yogyakarta: Mediaction.

Budhiarta, D. (2017). Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati Dengan Varises
Esofagus Di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. Intisari Sains Medis 2017,
Volume 8, Number 1: 19-23 P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-9084

Cohen, J.,& Deliens. (2012). A Public Health Perspective on End of Life Care. Oxford
Universoty Press. The European Journal of Public Health Vol.23, No.1

Lusianah, I. E. D., & Suratun. (2016). Prosedur Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2002). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Sjaifoellah, Noer. (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. Jakarta: FKUI.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan Medikal Bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sutadi, S. (2003). Sirosis Hepatis. USU Digital Library.

Tarigan, P. (2001). Buku Ajar Penyakit Dalam jilid 1 Ed. 3 Sirosis Hati. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

Widjaja, F. dan Karjadi, (2011). Pencegahan Perdarahan Berulang pada Pasien Sirosis Hati. J
Indon Med Assoc, 61: 417–424.

Anda mungkin juga menyukai