Anda di halaman 1dari 4

Jihad Politik di Era Milenial

( oleh: Ghiffari Halim Istiqlal )

Peran mahasiswa dalam sejarah pergerakan Indonesia sangatlah besar, hal ini dibuktikan dengan
pergerakannya yang mampu membuat perubahan secara signifikan. Saat ini mahasiswa sedang
memasuki era millenial yang didalamnya terdapat hal positif dan negatif. Beberapa hal positif yang
bisa diambil dari era ini salah satunya adalah perkembangan teknologi dan hal negatif yang sering
muncul adalah termanjakan oleh perkembangan teknologi yang membuat mahasiswa menjadi
malas menambah wawasannya.

Kecenderungan dengan hal yang instan membuat mahasiswa terlihat seperti dilumpuhkan nalarnya
oleh perkembangan zaman. Seharusnya dengan perkembangan zaman ini, mahasiswa mampu
mendongkrak semangat mereka dan memahami identitas mereka sebagai kaum intelektual muda
yang peduli akan kondisi sekitar. Sehingga masyarakat bisa merasakan hasil pengabdian dari kaum
intelektual muda.

Jihad dalam islam tak selalu identik dengan peperangan seperti yang dimaknai masyarakat
sekarang. Ketika umat islam terganggu keamanannya dan terancam kehidupannya., melawan
penindasan ini tidak langsung dengan perang namun dengan memberikan nasihat atau berunding
sampai mendapatkan titik temu.

Penjajahan saat ini datang melalui kebodohan, sehingga masyarakat dapat terombang-ambing oleh
pemahaman atau doktrin yang mengandung kebencian. Praktik jihad saat ini oleh kaum intelektual
muda dengan menambah pengetahuan untuk menolak pembodohan terhadap bangsa ini. Dalam
melawan penindasan ini, perlu dilandasi pemikiran yang rasional dan didasari religiusitas agar
tidak terjebak dalam pemikiran yang sekuler.

Dalam islam, politik merupakan suatu hal yang harus dipahami oleh setiap muslim. Mengingat
islam memiliki kepentingan di muka bumi ini untuk meninggikan kalimat Allah ‫( ﷻ‬lii’lai
kalimatillah), maka sudah sepantasnya setiap muslim agar memikirkan kepentingan kaumnya.
Dalam pengangkatan khalifah sebagai kepala negara pengganti Rasulullah ‫ ﷺ‬merupakan politik
yang dilakukan para sahabat untuk menjaga islam.
Saat ini politik dikonotasikan sebagai kebohongan, akal-akalan, permusuhan, penipuan, atau hal-
hal yang berakibat buruk. Hal ini membuat citra politik di masyarakat menjadi buruk. Masyarakat
menganggap siapa yang masuk dalam dunia politik akan menjadi kotor, jauh dari kebaikan.
Walaupun tidak semua yang terdapat dalam politik tidak selalu buruk, tetapi pikiran masyarakat
sudah membengkok dan sulit diluruskan kembali.

Belajar dari sejarah bahwa sebagian besar sistem yang ada di negeri ini merupakan peninggalan
dari masa lalu, sepatutnya menjadi contoh bagi para pemuda masa kini untuk memberikan
sumbangsihnya pada negeri ini dalam hal apapunn yang positif. Peran pemuda sudah ada sebelum
kemerdekaan yakni melalui sumpah pemuda pada tahun 1928. Saat itu para pemuda merupakan
komponen masyarakat yang memiliki peran dalam kehidupan politik Indonesia.

Politik bagaikan kopi, pahit namun rasanya nikmat. Apabila diracik dengan kemahiran dan
kecakapan untuk tujuan yang lebih baik. Berpolitik ala mahasiswa yang biasanya dilakukan
dengan turun aksi ke jalan memang tidaklah enak, terik matahari dan derasnya hujan sering
menjadi penghadang perjuangan, namun mahasiswa tetap turun aksi demi menyampaikan aspirasi
rakyat yang menuntut keadilan. Seperti kejadian 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa untuk
menumbangkan rezim yang berkuasa karena dianggap telah lalai dalam memerintah. Sehingga
munculah stigma bahwa mahasiswa merupakan penghubung aspirasi rakyat dengan pemerintah
yang berkuasa.

Muhammadiyah berulangkali menyatakan bahwa dirinya bukan organisasi politik, walaupun dari
waktu ke waktu tidak bisa menghindar secara keseluruhan dari aktivitas politik kebangsaan. Dalam
sejarahnya, Muhammadiyah selalu mewarnai dinamika politik di Indonesia dengan memerankan
aksi-aksi politiknya di luar jalur formal yang dimainkan beberapa tokohnya.

Dalam catatan Zakiyuddin Baidhawy bahwa pengalaman politik Muhammadiyah dalam konselasi
sejarah nasional pasca kepemimpinan pendirinya dapat dibagi dalam beberapa metamorfosa.
Pertama, masa kooperatif yang dialami oleh kepemimpinan KH. Ibrahim dan KH. Mas Mansyur
yang menjalin kerja sama dengan pemerintahan Belanda dalam masalah pendidikan. Kedua, masa
kemerdekaan yang dialami oleh Ki Bagus Hadikusumo yang berpartisipasi dalam keanggotaan
BPUPKI. Ketiga, masa fleksibel dalam keanggotaan partai politik yang mana Muhammadiyah
tidak melarang anggotanya untuk terjun di dunia politik. Keempat, masa sektarianisme politik,
Muhammadiyah melarang bagi anggotanya agar tidak aktif di partai yang tidak berideologi Islam.
Kelima, masa kembali ke basis gerakan atau khittah 1912. Keenam, masa ormaspol, masa dimanan
Muhammadiyah dijadikan organisasi masyarakat politik melalui pendekatan KH. A. Badawi
dengan Soekarno. Disebabkan karena PKI mempengaruhi Soekarno untuk membubarkan
Masyumi dan Muhammadiyah karena keterlibatannya dalam anggota partai Islam ini.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan sebuah wadah bagi mahasiswa untuk bisa
meningkatkan kualitas diri sehingga bisa berguna di masyarakat. Seperti dalam semboyannya
“Anggun dalam Moral, Unggul dalam Intelektual dan Radikal dalam Pencerahan” IMM
mengharuskan seluruh kadernya meningkatkan intelektualnya sebagai kewajiban setiap
mahasiswa agar siap mengabdikan diri di masyarakat.

Trilogi ikatan yang meliputi keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan menjadi cerminan
dari realitas pada diri ikatan, latar belakang, identitas kader ikatan, dasar keagamaan dan lahan
garap untuk melakukan transformasi sosial baik dalam wilayah kemahasiswaan, keagamaan dan
kemasyarakatan. Mahasiswa merupakan salah satu generasi yang memiliki sensitifitas sosial,
kepedulian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, dan penyikapan.

Gerakan keilmuan dalam ikatan merupakan obor yang menjadikan ikatan harus berani melakukan
pilihan yang sadar untuk menentukan gerakannya. Sebagaimana tujuan terbentuknya akademisi
Islam yang berakhlak mulia untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah.

Untuk menjadikan kader yang intelek diperlukan instruktur yang intelek dan siap menjadi teladan
bagi para kader baru. Instruktur memiliki peran penting dalam proses perkaderan IMM, karena
mereka adalah pengajar, pendidik serta garda terdepan dalam suksesnya perkaderan. Apa yang
dilihat, didengar dan dirasakan kader saat perkaderan merupakan pendidikan bagi mereka.

Jakarta adalah pusat polik di Indonesia sehingga banyak sekali kepentingan-kepentingan


didalamnya. Sudah sepatutnya kader IMM membuka cakrawalanya terhadap politik yang ada di
negeri ini walaupun tidak terjun langsung kedalamnya. Seperti yang dilakukan para pendahulu
dalam memperjuangkan Muhammadiyah untuk menjaga keutuhan negeri ini, dengan tetap
berpegang teguh pada khittah perjuangannya. Karena dengan membuka wawasan tersebut bisa
menjaga negeri ini dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab terhadap amanahnya
dipemerintahan.
Daftar Pustaka

Yusuf, Chusnan, dkk. (2014). 6 Dimensi Kuliah Kemuhammadiyahan. Jakarta: Universitas


Muhammadiyah Jakarta.

Mansah, A. (2018). Meluruskan Pemahaman Umat Terhadap Muhammadiyah. Tangerang


Selatan: Pustakapedia.

Mu'arif. (2010). Benteng Muhammadiyah Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Haji Fachrodin.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Sani, M. A. (2011). Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Yogyakarta: Samudra Biru.

Korps Instruktur. (2011). Sistem Pengkaderan Ikatan. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat.

Anda mungkin juga menyukai