Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ dalam pengertian Bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap
sesuatu. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan dari arti pertama dan kedua ini
terletak pada orang yang akan dituju, jika arti pertama diperuntukkan untuk satu orang
sedangkan arti kedua diperuntukkan untuk lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw. atas hukum syara yang tidak
ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadits.
Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh Abu Bakar ra. apabila terjadi kepada
dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka
ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu
dari Rasulullah Saw., ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam
sunnah Rasul Saw., ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia
sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
Jadi obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah Swt) bidang mu'amalat,
bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi
tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Qur'an dan Hadits.
Dasar Hukum. Al Qur’an.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan
yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia
ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama
ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat
tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu
hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Berdasar seginya ijma’ memiliki beberapa bentuk, yaitu ditinjau dari segi terjadinya
maka ijma’ terbagi menjadi ijma' sharih/qouli/bayani dan ijma’ sukuti/iqrari, ditinjau dari

P a g e 1 | Ijma’ dan Qiyas


segi keyakinan terbagi menjadi ijma' qath'i dan ijma' zhanni, ditinjau dari waktunya terbagi
menjadi, ijma’ sahabat, ijma’ khulafaurrasyidin, ijma’ shaikhanijma’ ahli Madinah, Ijma’
ahli Madinah, dan ijma’ ulama Kufah.
Sedangkan qiyas secara etimologis (bahasa arab) memiliki arti menyamakan,
membandingkan atau mengukur. Dalam hal ini dapat diartikan membandingkan sesuatu
dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Qiyas memiliki banyak pengertian, tetapi pada dasarnya memiliki inti yang sama yaitu
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan
cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa.
Dalam hukum-hukum Islam Qiyas lahir paling belakang. Ia di anggap sebagai prinsip
dasar atau Sumber Hukum keempat. Seperti sumber-sumber hukum Islam lainnya.
Sebenarnya Qiyas adalah salah satu cara ijtihad (Penalaran Hukum).
Proses penalaran hukum, yang secara teknis disebut ijtihad. Pada awalnya berkembang
dalam bentuk pendapat yang diakui oleh para Fuqah.
Berdasarkan seginya qiyas terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu dari segi kekuatan
illat terbagi menjadi qiyas al-aulawi, qiyas al-musawi, dan qiyas al-adna, dilihat dari segi
kejelasan illat yang terdapat pada hukum maka qiyas terbqiyas al-jaly, dan qiyas al–khafy,
di lihat dari segi persamaan cabang kepada pokok terbagi menjadi qiyas ma’na dan qiyas
sibhi.
Baik ijma’ maupun qiyas keduanya merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Keduanya sama-sama memiliki rukun, syarat-syarat, dasar hukum, dan
contoh masing-masing. Atas dasar tujuan menyelesaikan tugas dan memberikan
pengetahuan kepada pembaca, maka kami akan membahas hal-hal yang terkait dengan
ijma’ dan qiyas pada makalah kali ini sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijma’ dan qiyas?
2. Apa dasar hukum ijma’ dan qiyas?
3. Apa saja rukun dari ijma’ dan qiyas?
4. Apa syarat-syarat dari ijma’ dan qiyas?
5. Dibagi menjadi berapakah ijma’ dan qiyas?
6. Siapa saja orang yang boleh menetapkan ijma’ dan qiyas?
7. Dimana kedudukan ijma’ dan qiyas dalam Islam?
8. Apa sebab-sebab dilakukanya ijma’ dan qiyas?
9. Kapan ijma’ dan qiyas ini mulai dilakukan?
10. Apa saja contoh dari ijma’ dan qiyas?

P a g e 2 | Ijma’ dan Qiyas


C. Tujuan
Tujuan dari membuatan makalah kali adalah :
1. Menyelesaikan tugas Fiqih mengenai hukum islam yaitu ijma’ dan qiyas.
2. Menjelaskan kepada pembaca mengenai pengertian, dasar hukum, rukun, syarat,
kedudukan, sebab, contoh, dan pembagian dari hukum Islam ijma’ dan qiyas.
D. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah kami kali ini adalah menjelaskan dan menambah
pengetahuan kami khususnya pembaca mengenai sumber hukum Islam yaitu ijma’ dan
qiyas. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kami khusunya pembaca
mengenai sumber hukum Islam yang lebih di khususkan pada sumber hukum ijma’ dan
qiyas serta dapat menjadi reverensi bagi pembaca dalam mempelajari sumber hukum
Islam.

P a g e 3 | Ijma’ dan Qiyas


BAB II
ISI
A. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
a. Secara umum
Menurut Bahasa (secara etimologi), Ijma’ berasal dari mashdar, yaitu ajma’a
yujmi’u Ijma’an dengan isim maf’ul mujma yang memiliki dua makna,
memutuskan dan menyepakati sesuatu (setuju, sependapat). Contoh dari
memutuskan yaitu ajma’a fulan ‘ala kadza atau si A memutuskan begini. Contoh
dari menyepakati sesuatu ajma’a al-qaum ‘ala kadza orang-orang sepakat bulat
tentang begini. Maknya yang pertama dan kedua saling berhubungan di mana bila
ada kesepakatan bulat tentang sesuatu, maka pasti terdapat orang-orang yang
memutuskan tentang itu.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan ijma’ ialah:

“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad Saw. setelah beliau
wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu.”
Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang
yang bukan mujtahid sekalipun mereka alim, atau kesepakatan orang-orang yang
semasa dengan Nabi tidakkan disebut dengan ijma’.
Maksudnya, para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik
dalam bentuk keyakinan, ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata “para ulama ahli
ijtihad” dalam definisi ini memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak
termasuk ijma’. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu
diperhitungkan, begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa
dianggap ijma.
Ijtihad memiliki maksud pengerahan kemampuan pikiran secara maksimal
untuk menghasilkan putusan hukum. (berdasarkan dalil-dalil syar’i)
Setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (maksudnya Ijma’ itu terjadi
setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat). Karena Ijma’ pada masa hidup
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran semua hukum
diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
perantara wahyu.

P a g e 4 | Ijma’ dan Qiyas


Pada masa tertentu, ini memberikan penegasan bahwa Ijma’ tidak harus muncul
dari kesepakatan para ulama sepanjang masa hingga Kiamat, bahkan hanya pada
masa hidupnya para ulama ahli ijtihad pada saat terjadinya masalah saja.
Perkara agama, yaitu mencakup semua urusan yang terkait dengan masalah
syar’iyah,’aqliyah, ‘urfiyah dan bahasa. Maksud umat adalah umat ijabah, atau
mereka yang mengikuti ajaran dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian, berarti umat dari kalangan ahli bid’ah tidak termasuk kelompok
ahli ijtihad.
Ijma’ tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang
membatasi Ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm
rahimahullah yang menukil dari Sulaiman “bahwa tidak ada Ijma’ kecuali Ijma’
Sahabat”. Ada juga yang berpendapat bahwa Ijma’ bisa saja terjadi dalam masalah
selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang hanya membatasi Ijma’
pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali jika
masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.
b. Menurut Para Ulama
1) al-Ghazali mengatakan bahwa pengertian Ijma’ adalah kesepakatan umat
Muhammad saw, khususnya atau suatu persoalan keagamaan.
2) Menurut jumhur ulama ushul, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat
Muhammad saw. setelah wafatnya di satu kurung waktu, atas hukum agama di
dalam suatu kejadian (warqi’ah). Ijma’ atau kosensus, sumber hukum syariat
ketiga setelah al-Quran dan al-Sunnah, didefinisikan sebagai persetujuan para
ahli hukum Islam pada masa tertentu tentang masalah hukum.
3) Al-Syafi’iy menolak Ijma’ para ulama. Pengertian Ijma’ menurut al-Syafi’iy
adalah termasuk persetujuan seluruh masyarakat.
4) Mazhab Syi’ah tidak menerima Ijma’ kecuali berasal dari keluarga nabi. Ijma’
menurut mereka adalah konsensus yang mewujudkan pandangan imam yang
sempurna dan tidak semata-mata persetujuan ulama tentang suatu opini.
5) Mayoritas ahli ushul al-fiqh setelah al-Syafi’iy memberikan pengertian Ijma’
sebagai kesepakatan ulama atau mujtahid mengenai suatu hukum Islam.
Misalnya al-Syiraziy (w. 476 H.) mengartikan Ijma’ sebagai kesepakatan ulama
mengenai hukum suatu peristiwa. Sedang menurut al-‘Amidiy (w. 631 H.)
Ijma’ adalah kesepakatan semua anggota ahl al-hill wa al-‘aqd dari umat
Muhammad dalam satu priode tertentu mengenai suatu hukum peristiwa
tertentu. Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua mujtahidin umat Islam atas
sesuatu pendapat (hukum) yang disepakati oleh mereka, baik dalam suatu
pertemuan atau berpisah-pisah, maka hukum tersebut mengikat (wajib ditaati)
dan dalam hal ini Ijma’ merupakan dalil qath’iy, akan tetapi kalau hukum
tersebut haya keluar dari kebanyakan mujtahidin maka hanya dianggap sebagai
dalil Dzanniy dan lagi perseorangan boleh mengikuti sedang bagi orang-orang
tingkatan mujtahidin boleh berpendapat lain, selama oleh para penguasa tidak
diwajibkan untuk melaksanakannya. Ijma’ harus mempunyai dasar yaitu al-
Quran dan al-Sunnah.
P a g e 5 | Ijma’ dan Qiyas
2. Dasar Hukum Ijma’
Dasar Hukum ijma’ di dasarkan pada ayat Al Qur’an, yaitu Al-qur’an surah An-
Nisa Ayat 59 sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau
urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam
urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri
itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka
kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Ayat tersebut diturunkan tatkala terjadi sengketa di antara seorang Yahudi dan
seorang munafik. Orang munafik ini meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi
hakim di antara mereka sedangkan Yahudi meminta kepada Nabi Saw. lalu kedua orang
yang bersengketa itu pun datang kepada Nabi Saw. yang memberikan kemenangan
kepada orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka
mendatangi Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalanya. Kata umar kepada si
munafik, “Benarkah demikian?” “Benar”, jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh
Umar.
3. Rukun Ijma’
a. Adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan
tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan atau pendapat yang
masing-masing terdapat kesesuaian jika suatu saat tidak ada atau hanya ada satu
mujtahid, maka menurut ketentuan syara’ tidak mungkin terjadi ijma’, oleh karena
itu tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah karena beliaulah satu-satunya mujtahid.
b. Adanya kesepakatan terhadap hukum syara’ dari para mujtahid umat islam terhadap
kejadian pada saat terjadinya masalah tersebut tanpa memandang negeri,
kebangsaan, atau kelompok mereka. Maka apabila mujtahid Hijaz, Irak, dan Mesir
saja yg sepakat terhadap hukum syara’ yg terjadi maka kesepakatan yg khusus ini
P a g e 6 | Ijma’ dan Qiyas
tidak dikatakan sebagai ijma’, karena ijma’ tidak akan terjadi kecuali berdasar
kepada kesepakatan secara umum dari semua umat islam dipenjuru dunia pada
waktu terjadinya suatu peristiwa.
c. Kesepakatan mujtahid itu diiringi dengan pendapat mereka masing-masing secara
jelas mengenai suatu kejadian, baik ditampilkan secara individu dan setelah
pendapat-pendapatnya terkumpul tampak jelas melahirkan kesepakatan, atau
menampilkan pendapatnya secara kelompok, contoh : para mujtahid diseluruh
dunia berkumpul setelah terjadinya suatu peristiwa dimasa mereka, kemudian
masalah tersebut dihadapkan kepada mereka, setelah terjadi tukar pendapat mereka
sepakat terhadap satu hukum atas masalah tersebut.
d. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, karenanya
jika sebagian besar diantara mereka mengadakan kesepakatan maka kesepakatan
itu tidak bisa dikatakan ijma’, selama masih ada golongan yg berselisih, karena
selama masih ditemukan adanya perselisihan maka dapat dimungkinkan benar
disatu pihak dan salah dipihak lain.

4. Syarat Ijma’
Adapun Ijma’ memiliki beberapa syarat sebagai berikut.
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
c. Ijma' dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
d. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at.

5. Pembagian Ijma’
Adapun ijma’ dikelompokkan menjadi beberapa macam yang dapat ditinjau dari
beberapa segi sebagai berikut.
a. Ditinjau dari segi terjadinya
1) ljma' sharih atau qouli atau bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti
hukum masalah ini halal dan tidak haram.
2) Ijma’ sukuti/iqrari yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja
atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah
dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sukuti ini ada yang
menyatakan sebagai dalil qath’i dan ada yang berpendapat sebagai dalil dzhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah keadaan diamnya sebagian mujtahid
tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila
kemungkinan adanya persetujuan, maka hal ini adalah dalil qath’i, dan apabila ada
yang tidak menyetujui, maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada
kemungkinan memberi persetujuan, tetapi dia tidak menyatakan maka hal ini
adalah dalil dzhanni. Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab yaitu

P a g e 7 | Ijma’ dan Qiyas


ulama malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijma’ sukuti bukan sebagai ijma’ dan
dalil, menurut ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijma’ ini dapat
dinyatakan sebagai ijma’ dan dalil qath’i. Namun, menurut jumhur ulama ijma’
yang dapat dijadikan landasan hukum adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti
tidak.
b. Ditinjau dari segi keyakinan
1) Ijma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah sebagai dalil qath'i
diyakini benar terjadinya.
2) ljma' zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dzhanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmâ’ yang
dilakukan pada waktu yang lain.
c. Ditinjau dari Waktunya
1) Ijma’ Sahaby, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw.
2) Ijma’ Khulafaurrasyidin (khalifah yang empat), yaitu ijma’ yang dilakukan oleh
Khalifah Abu Bakar,. Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini
hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa
Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak
dapat dilakukan lagi.
3) Ijma’ Shaikhani, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
4) Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah.
Ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut
Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam.
5) Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
6) Ijma’ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada
suatu massa tertentu.
7) Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (keluarga rasul).

6. Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum yang
disebut dengan ijma’. Adapun syarat-syarat dari seorang mujtahid sekurang-kurangnya
tiga syarat sebagai berikut.
a. Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan :
1) Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2) Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3) Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

P a g e 8 | Ijma’ dan Qiyas


c. Menguasai ilmu bahasa Arab. Selain itu, Al Syatibi menambahkan syarat lain yaitu
memiliki pengetahuan tentang maqasid al Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu
seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al Syariah. Menurut Syatibi,
seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
Pertama, ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna, Kedua
ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan
pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al Syariah.

7. Kedudukan Ijma’
Ijma’ menempati salah satu sumber hukum atau dalil hukum berada setelah al-
Qur’an dan Sunnah. Demikian pendapat beberapa jumhur ulama’ mengenai ijma’. Hal
ini menunjukkan bahawa betapa pentingnya kedudukan ijma’ sebagai hujjah atau dalil
hukum. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib untuk di patuhi oleh semua umat muslim
jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Jika tidak mematuhi hal yang di tetapkan dalam ijma’ maka sama saja berarti tidak
mematuhi terhadap apa yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini
karena dalil yang ada pada ijma’ sumber hukumnya juga berasal dari al-Qur’an dan
hadis juga. Jumhur ulama’ mengemukakan pandapat ini tentu dengan menggunakan
dasar yang ada pada al-Qur’an dan Sunnah. Berikut beberapa dalil yang dijadikan dasar
oleh para ulama’ kaitannya mengenai ijma’.
Surat an-Nisa (4):115

Yang artinya: “dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukin, Kami biarkan mereka
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia
kedalam jahannam, dan jahanam itu merupakan seburuk-buruknya tempat kembali”.
(QS. An-Nisa (4): 115).
Dari uraian ayat tersebut, dapat diketahui bahwa yang dinamakan orang-orang
mukmin ialah orang yang melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan sebagai
umat mukmin. Mukmin yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan
oleh orang mukmin, maka ia mendapat ancaman neraka jahanam sebagai tempat
kembalinya. Neraka jahanam merupakan tempat kembali yang paling buruk.
Demikianlah yang di maksud ijma’ kaum muslimin.

P a g e 9 | Ijma’ dan Qiyas


Kaum muslimin disuruh untuk mengikuti ijma’. Kaum muslimin dilarang untuk
mengikuti jalan selain apa yang di ikuti kaum muslimin. Artinya, menjadi kewajiban
bagi kaum muslimin untuk mengikuti atau mentaati ijma’.
Apa yang telah ditetapkan oleh ijma’, wajib dilaksanakan perintahnya, dan apa
yang dilarang oleh ijma’ maka wajib dijauhi oleh kaum muslimin. Demikian penjelasan
dari surat an-Nisa: 115 yang di atas. Barang siapa, mukmin yang tidak mengikuti jalan
yang telah di tetapkan dalam ijma’, diancam akan dikembalikan pada neraka jahanam.
kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber
hukum Islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat
zhanniy. Golongan Syi’ah memandang bahwa Ijma’ ini sebagai hujjah yang harus
diamalkan. Sedangkan ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma’ sebagai dasar
hukum, baik ijma’ qath’iy maupun zhanniy. Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya
memegangi ijma’ qath’iy dalam menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma’ sebagai sumber hukum Islam ini antara lain:
Firman Allah Swt.:

“wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) si antara kamu.”(QS. An-Nisa/4
; 59)
Menurut sebagian ulam bahwa yang dimaksud degan ulil amri fid-dunya, yaitu
penguasa, dan ulil amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya
dengan ulama.
Apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau
masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid Umat islam, karenanya
pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid.
Ijma’ ini menempati tingkatan ketiga sebagai hukum syar’i, yaitu setelah Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternatife dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada
atau kurang jelas hukumnya.
8. Sebab-Sebab Dilakukan Ijma’
Ijma’ boleh dilakukan apabila terdapat sebab-sebab berikut yaitu:
a. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya,
sementara di dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan hukumnya.

P a g e 10 | Ijma’ dan Qiyas


b. Karena nash baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah sudah tidak turun atau
telah berhenti.
c. Karena pada jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah
dikordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum
persoalan permasalahan yang timbul pada waktu itu.
d. Di antara pada mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan
pendapat masih mudah di persatukan.

9. Waktu Pelaksanaan Perancangan Ijma’


Ijma’ dilaksanakan ketika suatu persoalan tidak terdapat hukumnya dalam Al-
Qur’an dan Sunnah, serta para mujtahid telah melakukan ijtihad dan tercapailah
kesepakan bersama. Di mana ijtihad yang dilakukan tetap di dasarkan pada sumber
hukum pertama dan kedua Islam , yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
a. Hukum menolak ijma’
Kelompok yang menolak Ijma’ bisa berbentuk penolakan Ijma’ sebagai dalil
atau menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma’:
1) Mengingkari Ijma’ sebagai hujjah dan dalil dalam agama, menurut sebagian
ulama hukumnya kafir. Sebagaimana telah ditegaskan penulis kitab Kasyful-
Asrar, ia menegaskan, barang siapa yang mengingkari Ijma’ maka ia telah
membatalkan seluruh agamanya karena kebanyakan landasan usuluddin berasal
pada Ijma’ kaum muslimin.
Namun secara umum, pokok-pokok ajaran agama Islam bersumber dari Al-
Qur`ân dan Sunnah, dan keduanya menunjukkan adanya Ijma’ secara zhanni,
tidak qath’i. Sehingga, seorang yang mengingkari Ijma’, ia tidak dikafirkan,
namun bisa dinyatakan sebagai ahli bid’ah atau fasiq.
2) Menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma’, maka sebagian ulama
menyatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan orang yang menolak hukum
yang tetap berdasarkan Ijma’ adalah kurang tepat, karena hukum yang tetap
berdasarkan Ijma’ bertingkat-tingkat.
a) Hukum yang dikenal secara mudah oleh setiap orang, baik dari kalangan
para ulama atau kaum awam, seperti masalah tauhid, Allah paling berhak
disembah, kenabian Muhammad dan beliau sebagai penutup para nabi,
datangnya kiamat, kebangkitan, alam akhirat, hisab, surga dan neraka.
Begitu juga masalah dasar-dasar syariat, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji. Atau haramnya bangkai, darah dan daging babi. Barang siapa yang
mengingkari dalam masalah ini maka jelas ia telah kafir.
b) Hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ yang qath’i, seperti haramnya
menghimpun antara wanita dengan bibinya dalam satu ikatan pernikahan,
haramnya berdusta atas nama Rasulullah, dan semisalnya. Sehingga
seseorang yang mengingkari hukum seperti ini, maka bisa dikafirkan,
karena dia mengingkari hukum syar’i yang tetap berdasarkan dalil yang
qath’i.

P a g e 11 | Ijma’ dan Qiyas


c) Hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ zhanni, seperti Ijma’ Sukuti atau
hukum yang hampir tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat langka.
Maka orang menolak Ijma’ ini divonis sebagai ahli bid’ah atau fasiq; dan ia
tidak boleh dikafirkan lantaran menyelisihi dan menolak dalil yang wajib
diamalkan menurut jumhur ulama, meskipun bobotnya zhanni.
b. Pembatalan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma’ bersandar pada dalil. Imam al-Amidi
meriwayatkan, ulama telah bersepakat dalam hal itu dan tidak perlu dihiraukan
pendapat lain yang menyelisihinya. Adapun sandaran dalil Ijma’, bisa berasal dari
al-Kitab dan Sunnah, baik mutawatir atau khabar ahad atau Qiyas, atau indikasi
kuat adanya kebenaran.
Ijma’ tidak boleh dibatalkan dengan Ijma’ serupa, terutama Ijma’ generasi Salaf
dari kalangan sahabat dan tabi’in, karena mereka tidak mungkin sepakat di atas
kesesatan, bahkan seluruh generasi berikutnya wajib mengikuti manhaj dan prinsip
agama mereka secara baik. Syaikh bin Baz rahimahullah berkata: “Generasi
terakhir tidak boleh menyelisihi kesepakatan ulama sebelum mereka, karena Ijma’
adalah sebuah kebenaran dan termasuk sumber hukum syariat ketiga yang wajib
menjadi rujukan hukum agama, yaitu al-Kitab, Sunnah dan Ijma’.
Meski demikian, tidak semua kesepakatan umat Islam bisa dianggap Ijma’ yang
mu’tabar. Ijma’ yang hakiki hanyalah Ijma’ para ulama, sedangkan Ijma’nya orang-
orang awam tidak bisa menjadi hujjah. Sehingga Ijma’ tentang hukum fikih bisa
diakui bila berasal dari ahli fikih. Ijma’ tentang perkara ‘aqidah bisa dianggap bila
berasal dari ulama Ushuluddin Ijma’ tentang ilmu nahwu, bisa dinyatakan sah bila
muncul dari ulama ahli nahwu, dan selain mereka termasuk katagori awwam. Ijma’
yang sejati, ialah Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan para sahabat, karena umat
setelah mereka telah timbul ikhtilaf sangat banyak dan menyebar di tengah umat.

10. Contoh Ijma’


a. Menjadikan sunnah sebagi salah satu sumber hukum islam. Semua mujtahid dan
bahkan semua umat Islam sepakat (ijma’) menetapkan sunnah sebagai salah satu
sumber hukum islam.
b. Dikumpulkan dan dilakukannya nash Al-Quran sejak asa pemerintahan Abu Bakar
As-Shiddiq adalah bentuk kesepakatan dan para ulama zaman sahabat. Ide
pengupulan Al-Quran ini berasal dari umar bin khattaab, tapi kemudian Abu-Bakar
Ash-Shiddiq mengumpulkan para ulama saat itu, shingga terjadi perdebatan,
karena hal itu itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Tetapi akhirnya par
ulama menyepakati ntuk mengumpulkan dan membukukan Al-Quran.
c. Penetapan tanggal satu ramadhan atau tanggal satu shyawal harus disepakati oleh
ulama di negerinya masing-masing berdasarkan ru’yatul hilal.
d. Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucunya jika tidak terhijab. Ketatapan
hukum ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dan tidak ada membatahnya.

P a g e 12 | Ijma’ dan Qiyas


Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu:
1. Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan
para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
2. Dengan perbuatan (fiil), yaitu kesepakatan dalam mujtahid dalam mengamalkan
sesuatu.
3. Dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara para mujtahid yang
membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.

B. QIYAS
1. Pengertian
a. Secara umum
Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya
mengukur, menyamakan, dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran
sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Misalkan seperti membandingkan atau mengukur tinggi badan, bentuk tubuh,
dan kesamaan wajah antara si A dan si B. Demikian pula membandingkan sesuatu
dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

sedangkan menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum
ditetapkan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada
setatus hukumnya dalam nash ,berbeda dengan ijma, qiyas bisa di lakuan oleh
individu, sedangkan ijma’ dilakukan oleh para mujtahid.
Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-
Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukum berdasarkan nash. Qiyas merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk
mengungkap ketetapan hukum.
Proses penalaran hukum, yang secara teknis disebut ijtihad. Pada awalnya
berkembang dalam bentuk penggunaan pendapat yang diakui oleh para Fuqah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah hujjah Syar’iyyah terhadap
hukum-hukum Syara’ tentang tindakan manusia.
b. Menurut Para Ahli
Adapun pengertian qiyas menurut para ahli sebagai berikut.
1. Al-Ghazali dalam al-Mustahfa menjelaskan qiyas, yaitu "Menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2. Qadhi Abu Bakar menjelaskan qiyas adalah “Menanggung sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.

P a g e 13 | Ijma’ dan Qiyas


3. Ibnu Subki menjelaskan qiyas, yaitu “Menghubungkan sesuatu yang diketahui
kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya
menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4. Abu Zahrah menjelaskan maknya qiyas, yaitu “Menghubungkan suatu perkara
yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash
hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5. Ibnu Qudamah menurutnya qiyas adalah “Menanggungkan (menghubungkan)
furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan)
antara keduanya.
6. Ibnu al-Hummam menurut al-Hummam qiyas adalah“Samanya suatu wadah
(tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’ hukumnya.
Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7. Abu Hasan al-Bashri mengemukakan penjelasan qiyas, yaitu “Menghasilkan
(menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat
hukum menurut para mujtahid”.
8. Al-Human mengartikan qiyas, yaitu “Qiyas adalah persamaan hukum suatu
kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat
diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
2. DASAR HUKUM
Dasar hukum qiyas terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Hasyr (59) ayat 2, yaitu

Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-
orang yang mempunyai pandangan!”
Pada potongan ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka
ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai
pandangan tajam). Maksudnya ialah Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar
membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi
pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti
perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa.
Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu
hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
Dalam al-hadits hukum qiyas terdapat pada hadits riwayat Ahmad Abu Daud dan
at-Tirmidzi yang berarti.
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman,
beliau bertanya kepadanya: “Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan
berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz
berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh

P a g e 14 | Ijma’ dan Qiyas


dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu
Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang
diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-
Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan
dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
3. Rukun Qiyas
Adapun rukun qiyas terbagi menjadi empat yaitu :
a. Ashal (asal)
Ashal yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal atau maqis ‘alaih
atau musyabbah bih.
b. Far’ (cabang)
Far yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang
diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u atau al-maqis atau al-
musyabbah.
c. Hukum ashal
Hukun ashal memiliki arti yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang
kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
d. Illat
Illat memiliki arti yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau
suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.
4. Syarat Qiyas
a. Syara-syarat qiyas berdasarkan Al-Ashlu sebagai berikut.
1) Al-Ashlu (pokok) hendaklah merupakan ketentuan yang tidak boleh berubah.
Maksudnya, pokok yang dijadikan sebagai tempat melakukan qiyas sudah
jelas dan pasti dari nash dan tidak termasuk kepada kemungkinan dinasakhkan.
2) Ketentuan hukum pada pokok (Al-Ashlu) merupakan ketetapan syariat, karena
apa yang ditetapkan dengan jalan rasio atau berdasarkan istilah kebahasan
tidak digolongkan kepada hukum syara. Maksudnya, hukum pada pokok
merupakan ketentuan yang sudah ditetapkan langsung oleh nash, bukan
ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad.
3) Pokok (Al-Ashlu) hendaklah mempunyai ‘illat yang menjelaskan hukum
syara’. Artinya, ‘illat hukum pada pokok dapat dipahami dengan jelas behwa
ketentuan hukum pada pokok memang didasarkan pada ‘illat dimaksud.
4) Pokok (Al-Ashlu) tidak atau bukan menjadi cabang dari pokok yang lain.
Maksudnya, tidak boleh terjadi bahwa pokok juga menjadi cabang bagi pokok
lainnya.
P a g e 15 | Ijma’ dan Qiyas
5) Hendaklah ada dalil yang memastikan ‘illat pada pokok tidak mencakup ‘illat
pada cabang secara langsung. Maksudnya, ‘illat pada pokok dapat dibuktikan
secara jelas.
6) Hukum pokok tidak boleh berubah dengan penentuan ‘illat. Maksudnya,
pokok setelah dilakukan qiyas tidak berubah.
7) Pokok (Al-Ashlu) tidak boleh keluar dari ketentuan qiyas. Maksudnya, pokok
bukanlah dalil yang berlaku khusus bagi suatu persoalan. Dalil-dalil yang
berlaku khusus tidak boleh dijadikan pokok sebagai tempat qiyas, sebab
membatalkan kekhususannya. Misalnya, nash-nash yang berkaitan dengan
kekuasaan bagi Nabi, seperti mempunyai istri sembilan orang, menikahi
wanita dengan hibah (tanpa mahar).
b. Syarat qiyas berdasarkan Al-Far’u (Cabang)
1) Cabang hendaklah mempunyai ‘illat yang sama dengan pokok. Jika cabang
tidak mempunyai ‘illat yang sama dengan pokok, maka qiyas tidak dapat
dilakukan. Karena prinsip dasarnya, qiyas adalah memberlakukan hukum pada
pokok kepada cabang dan ini bisa terjadi bila adanya kesamaan ‘illat antara
keduanya.
2) Tidak ada nash yang menyebutkan hukum tentang cabang. Dengan kata lain,
cabang adalah persoalan baru yang akan dicari ketentuan hukumnya melalui
qiyas.
3) Cabang tidak boleh berlawanan dengan nash atau ijma’. Cabang adalah sesuatu
yang akan dicari hukumnya dengan ijma’ maka tidak sah.
4) Tidak terdapat sesuatu yang mungkin bisa menghalangi untuk mengamalkan
cabang dengan pokok.
5) Cabang tidak boleh mendahului pokok dalam penetapannya. Misalnya,
mengqiyaskan wudlu kepada tayamum dalam hal niat, pada tayamun itu adalah
yang terakhir.
c. Syarat Qiyas berdasarkan Hukum Ashal atau Hukum Pokok
Adapun syarat-syarat bagi hukum pokok ini, seperti dijelaskan oleh Abdul
Karim Zaidan adalah sebagai berikut:
1) Terdiri dari hukum syara amali yang tetap lantaran nash. Adapun hukum syara
amali yang tetap lantaran Ijma, maka dalam hal menjangkaukannya (kepada
cabang) lantaran qiyas ada dua pendapat.

P a g e 16 | Ijma’ dan Qiyas


- Golongan pertama mengatakan bahwa hukum pokok yang didasarkan
pada ijma’ tidak dapat (tidak sah) digunakan untuk sandaran qiyas. Dengan
kata lain ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijma’ tidak mungkin
diberlakukan pada cabang karena qiyas itu dapat dilakukan dengan
mengetahui ‘illat hukum dan ‘illat tersebut juga terdapat pada cabang sama
dengan pokok. Hal ini tidak bisa ditetapkan dengan ijma’.
- Golongan kedua mengatakan bahwa pemberlakuan hukum kepada
cabang dengan qiyas, meskipun ia merupakan hasil ketetapan ijma’ adalah
sah. Karena sesungguhnya mengetahui ‘illat dalam hubungan ini adalah
salah satu cara untuk menemukan persesuaian antara pokok dan hukumnya.
2) Hukum pokok hendaklah berdasarkan ‘illat yang bisa diketahui oleh akal.
Artinya, akal mampu mendeteksi keberadaan ‘illat tersebut, sehingga
memungkinkan memberlakukan hukum pokok pada cabang.
Sebagai contoh, yang berkaitan dengan pengharaman “khamar”. Tentang
pengharaman khamar ini, akal mampu mengetahui ‘illatnya, yaitu iskar
(memabukkan). Dan karena ‘illatnya dapat diketahui maka qiyas dapat
dilakukan atasnya.
3) Hukum pokok hendaklah hukum yang mempunyai ‘illat yang dapat
diberlakukan dan menjangkau ke cabang. Jika ‘illat hukum berlaku hanya pada
pokok saja, maka qiyas tidak dapat dilakukan, karena qiyas itu adalah
terdapatnya pertautan (persamaan) ‘illat antara pokok dan cabang. Dengan kata
lain, jika ‘illat hukum itu tidak menunjukkan keberadaannya di luar pokok tidak
mungkin dilakukan qiyas. Contohnya, seperti kebolehan mengqasar shalat dan
berbuka puasa karena melakukan safar (menjadi musafir). ‘illat hukum dari
kdua kasus ini adalah safar (bepergian) itu sendiri. Bolehnya melakukan qasar
shalat dan buka puasa tujuannya untuk menghilangkan kesulitan atau
kesusahan. Akan tetapi ‘illat safar ini tidaklah dapat diberlakukan kepada
persoalan lain kecuali bagi musafir serta tidak mungkin mengqiyaskan
kepadanya pekerja berat yang ingin mengqasar seperti halnya musafir.
4) Hukum pokok bukan ketentuan hukum yang berlaku khusus. Karena ketentuan-
ketentuan yang berlaku secara khusus tidak dapat diterapkan atau diperlakukan

P a g e 17 | Ijma’ dan Qiyas


ke cabang. Misalnya kekhususan bagi Rasulullah saw., bahwa beliau boleh
beristri lebih dari empat orang, dan haram menikahi istri beliau setelah
sepeninggalnya.
d. Adapun hukum qiyas menurut Al-illat/ ‘illat Hukum sebagai berikut.
Syarat yang paling penting seperti dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah
sebagai berikut:

1) ‘illat hukum, hendaklah merupakan suatu sifat yang jelas. Yang dimaksud dengan
“sifat yang jelas”, di sini adalah bahwa ‘illat itu dapat dipahami dan ditangkap
oleh indra kita, baik pada pokok maupun pada cabang. Misalnya sifat
“memabukkan” yang dapat dilihat pada khamar (sebagai asal qiyas), juga harus
dapat dilihat perasan buah-buahan yang memabukkan (sebagai cabang qiyas).
2) ‘illat hukum, hendaklah merupakan sifat yang akurat dan pasti. Maksudnya ialah
‘illat itu merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan ukurannya serta
tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau yang menolaknya. Misalnya
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang waris terhadap pewaris
adalah mempunyai hakikat yang pasti dan karenanya dapat diterapkan kepada
pembunuhan yang dilakukan oleh yang akan menerima wasiat terhadap yang
memberi wasiat.
3) ‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang tidak hanya terdapat pada
pokok, tetapi ia juga terdapat pada cabang. Maksudnya, karena ‘illat itu
merupakan dasar qiyas, ia tidak boleh hanya terbatas pada pokok saja, karena
qiyas itu adalah menyamakan antara cabang dengan pokok atas dasar ‘illat
hukum. Dengan kata lain, jika ‘illat hanya terbatas pada pokok saja dan tidak
terdapat pada cabang, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Misalnya tidak boleh
menetapkan ‘illat haramnya minuman khamar karena ia berasal dari perasan
anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukkan). Sebab
kalau itu yang dijadikan ‘illat, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang
memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur. Dengan demikian, maka
jadilah minuman-minuman yang lain yang memabukkan itu tidak haram
meminumnya, karena tak dapat diqiyaskan kepada khamar (asal qiyas).

P a g e 18 | Ijma’ dan Qiyas


4) ‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok bagi
penetapan hukum syara’. Maksudnya bahwa keterpautan hukum dengan ‘illat itu
adalah untuk merealisir hikmah hukum atau kemaslahatan yang menjadi tujuan
disyariatkannya hukum. Dengan kata lain, yang akan dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum itu adalah merupakan sifat yang pantas dan serasi untuk
merealisirkan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum. Misalnya, ‘illat
haramnya minum khamar ialah karena ia memabukkan dan sifat memabukkan ini
adalah sesuai dengan hikmah diharamkannya minum khamar, yaitu untuk
memelihara akal.

5. Pembagian Qiyas
a. Qiyas aulawi, yakni mengiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah
ada, nanmun sifatnya lbih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contoh,
keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah
haram.
b. Qiyas musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya kasus persamaan
keharaman hukum membakar harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya
sama – sama menghilangkan.
c. Qiyas dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada perrsamaan dilalatul hukmi
(penujukkan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim
dan harta orang dewasa. Karena keduanya sama – sama bisa tumbuh dan
berkembang (an-nama’).
d. Qiyas syibh, yakni terjdinya keraguan dalam mengiyaskan keasal mana illat
ditujukan; kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan
hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan
kepada seorang manusia sebagai anak cucu adam as., atau barang yang bisa
diperjualbelikan.
6. Syarat Orang yang Melakukan Qiyas
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum yang
disebut dengan ijma’. Adapun syarat-syarat dari seorang mujtahid sekurang-kurangnya
tiga syarat sebagai berikut.
a. Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan :
2) Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
3) Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
b. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c. Menguasai ilmu bahasa Arab.
7. Kedudukan Qiyas
Menurut ulama merupakan hujjah syar’iyah (dasar penetapan hukum) terhadap
hukum akal. Qiyas dalam hujjah syar’i menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu

P a g e 19 | Ijma’ dan Qiyas


peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu
disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada
ketetapannya dalam nash. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Allah swt. Q.S.
Al Hasyr/59:2

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!”
Dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyah
Khusya’miyah bertanya kepada Rasul, “Hai Rasul Allah, ayahku adalah seorang yang
sangat tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji
untuk dia, apakah ada manfaat bagi dia?” Rasul menjawab, “Bagaimanakah
pendapatmu jika ayahmu mempunyai utang itu. Apakah yang demikian itu bermanfaat
baginya?” Jariyah menjawab, “Ya.” Kemudia Rasulullah bersabda, “Utang kepada
Allah itu lebih berhak.

8. Sebab Diakukanya Qiyas


Diantara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah:
a. Adanya persoalan persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di
dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid
pun belum melakukan ijma’
b. Karna nash, baik berupa Al-Quran maupun As-Sunnah telah berakhir dan tidak
turun lagi.
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan
peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.
9. Waktu Pelaksanaan Perancangan Qiyas
Qiyas dapat dilakukan oleh para Ulama’ dan ahli ijtihad ketika suatu permasalahn baru
muncul dan permasalahan tersebut tidak terdapat hukumnya dalam al-qur’an dan
hadist. Tetapi, suatu permasalahan baru tersebut memiliki kesamaan sifat dan bentuk
dengan permasalahan yang sudah ada, sehingga permasalahan baru tersebut diberi
hukum sesuai dengan permasalahan yang sudah ada tersebut.

10. Contoh Qiyas


Contoh dari qiyas antara lain sebagai berikut.
a. Dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyah
Khusya’miyah bertanya kepada Rasul, “Hai Rasul Allah, ayahku adalah seorang
yang sangat tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan
haji untuk dia, apakah ada manfaat bagi dia?” Rasul menjawab, “Bagaimanakah
P a g e 20 | Ijma’ dan Qiyas
pendapatmu jika ayahmu mempunyai utang itu. Apakah yang demikian itu
bermanfaat baginya?” Jariyah menjawab, “Ya.” Kemudia Rasulullah bersabda,
“Utang kepada Allah itu lebih berhak dibayarkan.”
b. Peletakkan hukum haram pada narkotika dikarenakan memiliki kesamaan sifat
dengan khamar, yaitu sama-sama menghilangkan kesadaran bagi penggunanya,
sehingga dapat membuat penggunanya dapat melakuakan hal-hal yang dapat
membahayakan diri sendiri dan orang lain, serta apabila ia melakukan ibadah maka
tidak akan diterima.

P a g e 21 | Ijma’ dan Qiyas


BAB III

(PENUTUP)

A. KESIMPULAN
Ajaran agama islam memiliki berbagai macam sumber hukum diantaranya adalah Al-
Qur’an sebagai sumber hukum pertama, hadits sebagai sumber hukum kedua, ijma’ sebagai
sumber hukum ketiga, qiyas sebagai sumber hukum keempat, dan sebagainya.
Ijma’ merupakan dasar hukum Islam yang dihasilkan dari ijtihad para mujahid yang telah
menyepakati hukum suatu masalah baru yang hukumya tidak terdapat pada Al-qur’an dan
hadits. Hukum ini dapat dikatakan ijma’ hanya apabila yang menetapkannya adalah seorang
mujahid di mana keputusan ini diambil bersama oleh para mujahid tersebut. Adapun dasar
hukum ijma’ terdapat pada Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 59 yang memerintahkan kita untuk
taat kepada Allah Swt, Rasul, serta Ulil Amri. Adapun rukun ijma’ yaitu dilakukan oleh para
mijtahid, ada kesepakatan terhadap hukum syara’ oleh para mujtahid, kesepakatan mereka
diiringi dengan pendapat mereka masing-masing secara jelas, dan kesepakatan tersebut
diwujudkan dalam suatu hukum. Syarat ijma’, antara lain adapun ijma’ memiliki beberapa
syarat sebagai berikut, yang bersepakat adalah para mujtahid ,yang bersepakat adalah seluruh
mujtahid, ijma' dilakukan setelah wafatnya rasulullah saw., kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan syari'at. Ijma’ terbagi menjadi Sembilan, yaitu Ijma’ Sharih, Ijma’
shahaby, Ijma’ ahli Madinah, Ijma’ Ahli Kufah, Ijma’ khalifah yang Empat, Ijma’ Syaikhani,
Ijma’ Ahli Bait. Contoh ijma’, yaitu dikumpulkan dan dilakukannya nash Al-Quran sejak asa
pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq adalah bentuk kesepakatan dan para ulama zaman
sahabat. Ide pengupulan Al-Quran ini berasal dari umar bin khattaab, tapi kemudian Abu-
Bakar Ash-Shiddiq mengumpulkan para ulama saat itu, shingga terjadi perdebatan, karena
hal itu itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Tetapi akhirnya par ulama menyepakati
ntuk mengumpulkan dan membukukan Al-Quran. Syarat seorang mujtahid adalah memiliki
pengetahuan tentang al qur’an, memiliki pengetahuan tentang sunnah, memiliki pengetahuan
tentang masalah ijma’ sebelumnya, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih, dan menguasai
ilmu bahasa arab.
Sedangkan qiyas adalah pemberian hukum terhadap suatu masalah baru yang ditetapkan
oleh para ulama’ dan ahli ijtihad. Penetapan ini boleh dilakukan seorang diri tanpa

P a g e 22 | Ijma’ dan Qiyas


berkelompok, tetapi harus tetap berdasarkan al-qur’an dan hadits. Dasar hukum qiyas adalah
qur’an surah Al-Hasyr ayat 2 yang memerintahkan kita untuk mengambil pembelajaran
terhadapat orang-orang kafir dari Bani Nadhar. Adapaun rukun qiyas, Ashal (asal), Far’
(cabang), Hukum ashal, dan Illat. Qiyas dibagi menjadi Qiyas aulawi, Qiyas musawi, Qiyas
dilalah, Qiyas syibh. Aadapun syarat orang yang dapat melakukan qiyas yaitu, memiliki
pengetahuan tentang al qur’an, memiliki pengetahuan tentang Sunnah, memiliki pengetahuan
tentang ushul fikih, menguasai ilmu bahasa arab. Kedudukan qiyas yaitu menurut ulama
merupakan hujjah syar’iyah (dasar penetapan hukum) terhadap hukum akal. Qiyas dalam
hujjah syar’i menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat
hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang
mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapannya dalam nash. Sebab dilakukan qiyas, yaitu
Adanya persoalan persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash
al-qur’an dan as-sunnah tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’,
karna nash, baik berupa al-quran maupun as-sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi, adanya
persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya
telah ditentukan oleh nash. Waktu pembuatan qiyas Yaitu dapat dilakukan oleh para Ulama’
dan ahli ijtihad ketika suatu permasalahn baru muncul dan permasalahan tersebut tidak terdapat
hukumnya dalam al-qur’an dan hadist. Tetapi, suatu permasalahan baru tersebut memiliki
kesamaan sifat dan bentuk dengan permasalahan yang sudah ada, sehingga permasalahan baru
tersebut diberi hukum sesuai dengan permasalahan yang sudah ada tersebut. Contoh qiyas
anatar lain yaitu dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyah
Khusya’miyah bertanya kepada Rasul, “Hai Rasul Allah, ayahku adalah seorang yang sangat
tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji untuk dia, apakah
ada manfaat bagi dia?” Rasul menjawab, “Bagaimanakah pendapatmu jika ayahmu
mempunyai utang itu. Apakah yang demikian itu bermanfaat baginya?” Jariyah menjawab,
“Ya.” Kemudia Rasulullah bersabda, “Utang kepada Allah itu lebih berhak dibayarkan.

B. SARAN

Semoga makalah ini dapat menjadi penambah ilmu bagi pembaca mengenai hukum islam
ijma’ dan qiyas. Semoga pembaca mengambil pelajaran yang baik dari makalah ini sehingga,
pembaca dapat mengetahui mengenai pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, hakikat,
P a g e 23 | Ijma’ dan Qiyas
pembagiannya, orang yang melakuakn ijma’ dan qiyas, kedudukanya, sebab dilakukan qiyas,
dan contohnya.

C. PENUTUP

Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan
saran demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi
yang ingin menambah khazanah kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki dari apa
yang telah disusun. Sehingga mudah-mudahan kedepannya bisa lebih baik.
Wassalamu,alaikum WR. WB.

P a g e 24 | Ijma’ dan Qiyas


Daftar Refrensi

Pendidikan Agama Islam Fiqih.Semarang:PT Karya Toha Putra.

https://ediwijayaiais.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-ijma-qiyas/, diunduh 12 Oktober


2018
Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2017/09/pengertian-ijma-dasar-hukum-rukun-
dan.html?m=1, diunduh 12 Oktober 2018
https://www.kompasiana.com/misbah.kompasiana/54f8fc29a333116c5d8b4628/kedudukan-
ijma-sebagai-dalil-hukum, diunduh 12 Oktober 2018
http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-ijmak-menurut-bahasa-dan-
istilah.html?m=1, diunduh 12 Oktober 2018
http://mytelisikadress.blogspot.com/2015/11/pengertian-qiyas-menurut-para-ulama.html?m=1,
diunduh 12 Oktober 2018
http://kutaradja92.blogspot.com/2014/01/qiyas-dan-kedudukannya-sebagai-sumber.html?m=1,
diunduh 12 Oktober 2018
http://arwave.blogspot.com/2015/12/rukun-ijma-dan-macamnya.html?m=1, diunduh 12 Oktober
2018.

P a g e 25 | Ijma’ dan Qiyas

Anda mungkin juga menyukai