PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ dalam pengertian Bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap
sesuatu. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan dari arti pertama dan kedua ini
terletak pada orang yang akan dituju, jika arti pertama diperuntukkan untuk satu orang
sedangkan arti kedua diperuntukkan untuk lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw. atas hukum syara yang tidak
ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadits.
Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh Abu Bakar ra. apabila terjadi kepada
dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka
ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu
dari Rasulullah Saw., ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam
sunnah Rasul Saw., ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia
sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
Jadi obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah Swt) bidang mu'amalat,
bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi
tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Qur'an dan Hadits.
Dasar Hukum. Al Qur’an.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan
yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia
ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama
ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat
tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu
hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Berdasar seginya ijma’ memiliki beberapa bentuk, yaitu ditinjau dari segi terjadinya
maka ijma’ terbagi menjadi ijma' sharih/qouli/bayani dan ijma’ sukuti/iqrari, ditinjau dari
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijma’ dan qiyas?
2. Apa dasar hukum ijma’ dan qiyas?
3. Apa saja rukun dari ijma’ dan qiyas?
4. Apa syarat-syarat dari ijma’ dan qiyas?
5. Dibagi menjadi berapakah ijma’ dan qiyas?
6. Siapa saja orang yang boleh menetapkan ijma’ dan qiyas?
7. Dimana kedudukan ijma’ dan qiyas dalam Islam?
8. Apa sebab-sebab dilakukanya ijma’ dan qiyas?
9. Kapan ijma’ dan qiyas ini mulai dilakukan?
10. Apa saja contoh dari ijma’ dan qiyas?
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad Saw. setelah beliau
wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu.”
Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang
yang bukan mujtahid sekalipun mereka alim, atau kesepakatan orang-orang yang
semasa dengan Nabi tidakkan disebut dengan ijma’.
Maksudnya, para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik
dalam bentuk keyakinan, ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata “para ulama ahli
ijtihad” dalam definisi ini memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak
termasuk ijma’. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu
diperhitungkan, begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa
dianggap ijma.
Ijtihad memiliki maksud pengerahan kemampuan pikiran secara maksimal
untuk menghasilkan putusan hukum. (berdasarkan dalil-dalil syar’i)
Setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (maksudnya Ijma’ itu terjadi
setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat). Karena Ijma’ pada masa hidup
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran semua hukum
diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
perantara wahyu.
“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau
urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam
urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri
itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka
kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Ayat tersebut diturunkan tatkala terjadi sengketa di antara seorang Yahudi dan
seorang munafik. Orang munafik ini meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi
hakim di antara mereka sedangkan Yahudi meminta kepada Nabi Saw. lalu kedua orang
yang bersengketa itu pun datang kepada Nabi Saw. yang memberikan kemenangan
kepada orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka
mendatangi Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalanya. Kata umar kepada si
munafik, “Benarkah demikian?” “Benar”, jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh
Umar.
3. Rukun Ijma’
a. Adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan
tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan atau pendapat yang
masing-masing terdapat kesesuaian jika suatu saat tidak ada atau hanya ada satu
mujtahid, maka menurut ketentuan syara’ tidak mungkin terjadi ijma’, oleh karena
itu tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah karena beliaulah satu-satunya mujtahid.
b. Adanya kesepakatan terhadap hukum syara’ dari para mujtahid umat islam terhadap
kejadian pada saat terjadinya masalah tersebut tanpa memandang negeri,
kebangsaan, atau kelompok mereka. Maka apabila mujtahid Hijaz, Irak, dan Mesir
saja yg sepakat terhadap hukum syara’ yg terjadi maka kesepakatan yg khusus ini
P a g e 6 | Ijma’ dan Qiyas
tidak dikatakan sebagai ijma’, karena ijma’ tidak akan terjadi kecuali berdasar
kepada kesepakatan secara umum dari semua umat islam dipenjuru dunia pada
waktu terjadinya suatu peristiwa.
c. Kesepakatan mujtahid itu diiringi dengan pendapat mereka masing-masing secara
jelas mengenai suatu kejadian, baik ditampilkan secara individu dan setelah
pendapat-pendapatnya terkumpul tampak jelas melahirkan kesepakatan, atau
menampilkan pendapatnya secara kelompok, contoh : para mujtahid diseluruh
dunia berkumpul setelah terjadinya suatu peristiwa dimasa mereka, kemudian
masalah tersebut dihadapkan kepada mereka, setelah terjadi tukar pendapat mereka
sepakat terhadap satu hukum atas masalah tersebut.
d. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, karenanya
jika sebagian besar diantara mereka mengadakan kesepakatan maka kesepakatan
itu tidak bisa dikatakan ijma’, selama masih ada golongan yg berselisih, karena
selama masih ditemukan adanya perselisihan maka dapat dimungkinkan benar
disatu pihak dan salah dipihak lain.
4. Syarat Ijma’
Adapun Ijma’ memiliki beberapa syarat sebagai berikut.
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
c. Ijma' dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
d. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at.
5. Pembagian Ijma’
Adapun ijma’ dikelompokkan menjadi beberapa macam yang dapat ditinjau dari
beberapa segi sebagai berikut.
a. Ditinjau dari segi terjadinya
1) ljma' sharih atau qouli atau bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti
hukum masalah ini halal dan tidak haram.
2) Ijma’ sukuti/iqrari yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja
atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah
dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sukuti ini ada yang
menyatakan sebagai dalil qath’i dan ada yang berpendapat sebagai dalil dzhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah keadaan diamnya sebagian mujtahid
tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila
kemungkinan adanya persetujuan, maka hal ini adalah dalil qath’i, dan apabila ada
yang tidak menyetujui, maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada
kemungkinan memberi persetujuan, tetapi dia tidak menyatakan maka hal ini
adalah dalil dzhanni. Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab yaitu
6. Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum yang
disebut dengan ijma’. Adapun syarat-syarat dari seorang mujtahid sekurang-kurangnya
tiga syarat sebagai berikut.
a. Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan :
1) Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2) Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3) Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
7. Kedudukan Ijma’
Ijma’ menempati salah satu sumber hukum atau dalil hukum berada setelah al-
Qur’an dan Sunnah. Demikian pendapat beberapa jumhur ulama’ mengenai ijma’. Hal
ini menunjukkan bahawa betapa pentingnya kedudukan ijma’ sebagai hujjah atau dalil
hukum. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib untuk di patuhi oleh semua umat muslim
jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Jika tidak mematuhi hal yang di tetapkan dalam ijma’ maka sama saja berarti tidak
mematuhi terhadap apa yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini
karena dalil yang ada pada ijma’ sumber hukumnya juga berasal dari al-Qur’an dan
hadis juga. Jumhur ulama’ mengemukakan pandapat ini tentu dengan menggunakan
dasar yang ada pada al-Qur’an dan Sunnah. Berikut beberapa dalil yang dijadikan dasar
oleh para ulama’ kaitannya mengenai ijma’.
Surat an-Nisa (4):115
Yang artinya: “dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukin, Kami biarkan mereka
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia
kedalam jahannam, dan jahanam itu merupakan seburuk-buruknya tempat kembali”.
(QS. An-Nisa (4): 115).
Dari uraian ayat tersebut, dapat diketahui bahwa yang dinamakan orang-orang
mukmin ialah orang yang melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan sebagai
umat mukmin. Mukmin yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan
oleh orang mukmin, maka ia mendapat ancaman neraka jahanam sebagai tempat
kembalinya. Neraka jahanam merupakan tempat kembali yang paling buruk.
Demikianlah yang di maksud ijma’ kaum muslimin.
B. QIYAS
1. Pengertian
a. Secara umum
Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya
mengukur, menyamakan, dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran
sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Misalkan seperti membandingkan atau mengukur tinggi badan, bentuk tubuh,
dan kesamaan wajah antara si A dan si B. Demikian pula membandingkan sesuatu
dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
sedangkan menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum
ditetapkan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada
setatus hukumnya dalam nash ,berbeda dengan ijma, qiyas bisa di lakuan oleh
individu, sedangkan ijma’ dilakukan oleh para mujtahid.
Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-
Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukum berdasarkan nash. Qiyas merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk
mengungkap ketetapan hukum.
Proses penalaran hukum, yang secara teknis disebut ijtihad. Pada awalnya
berkembang dalam bentuk penggunaan pendapat yang diakui oleh para Fuqah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah hujjah Syar’iyyah terhadap
hukum-hukum Syara’ tentang tindakan manusia.
b. Menurut Para Ahli
Adapun pengertian qiyas menurut para ahli sebagai berikut.
1. Al-Ghazali dalam al-Mustahfa menjelaskan qiyas, yaitu "Menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2. Qadhi Abu Bakar menjelaskan qiyas adalah “Menanggung sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-
orang yang mempunyai pandangan!”
Pada potongan ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka
ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai
pandangan tajam). Maksudnya ialah Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar
membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi
pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti
perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa.
Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu
hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
Dalam al-hadits hukum qiyas terdapat pada hadits riwayat Ahmad Abu Daud dan
at-Tirmidzi yang berarti.
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman,
beliau bertanya kepadanya: “Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan
berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz
berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh
1) ‘illat hukum, hendaklah merupakan suatu sifat yang jelas. Yang dimaksud dengan
“sifat yang jelas”, di sini adalah bahwa ‘illat itu dapat dipahami dan ditangkap
oleh indra kita, baik pada pokok maupun pada cabang. Misalnya sifat
“memabukkan” yang dapat dilihat pada khamar (sebagai asal qiyas), juga harus
dapat dilihat perasan buah-buahan yang memabukkan (sebagai cabang qiyas).
2) ‘illat hukum, hendaklah merupakan sifat yang akurat dan pasti. Maksudnya ialah
‘illat itu merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan ukurannya serta
tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau yang menolaknya. Misalnya
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang waris terhadap pewaris
adalah mempunyai hakikat yang pasti dan karenanya dapat diterapkan kepada
pembunuhan yang dilakukan oleh yang akan menerima wasiat terhadap yang
memberi wasiat.
3) ‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang tidak hanya terdapat pada
pokok, tetapi ia juga terdapat pada cabang. Maksudnya, karena ‘illat itu
merupakan dasar qiyas, ia tidak boleh hanya terbatas pada pokok saja, karena
qiyas itu adalah menyamakan antara cabang dengan pokok atas dasar ‘illat
hukum. Dengan kata lain, jika ‘illat hanya terbatas pada pokok saja dan tidak
terdapat pada cabang, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Misalnya tidak boleh
menetapkan ‘illat haramnya minuman khamar karena ia berasal dari perasan
anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukkan). Sebab
kalau itu yang dijadikan ‘illat, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang
memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur. Dengan demikian, maka
jadilah minuman-minuman yang lain yang memabukkan itu tidak haram
meminumnya, karena tak dapat diqiyaskan kepada khamar (asal qiyas).
5. Pembagian Qiyas
a. Qiyas aulawi, yakni mengiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah
ada, nanmun sifatnya lbih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contoh,
keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah
haram.
b. Qiyas musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya kasus persamaan
keharaman hukum membakar harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya
sama – sama menghilangkan.
c. Qiyas dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada perrsamaan dilalatul hukmi
(penujukkan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim
dan harta orang dewasa. Karena keduanya sama – sama bisa tumbuh dan
berkembang (an-nama’).
d. Qiyas syibh, yakni terjdinya keraguan dalam mengiyaskan keasal mana illat
ditujukan; kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan
hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan
kepada seorang manusia sebagai anak cucu adam as., atau barang yang bisa
diperjualbelikan.
6. Syarat Orang yang Melakukan Qiyas
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum yang
disebut dengan ijma’. Adapun syarat-syarat dari seorang mujtahid sekurang-kurangnya
tiga syarat sebagai berikut.
a. Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan :
2) Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
3) Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
b. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c. Menguasai ilmu bahasa Arab.
7. Kedudukan Qiyas
Menurut ulama merupakan hujjah syar’iyah (dasar penetapan hukum) terhadap
hukum akal. Qiyas dalam hujjah syar’i menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!”
Dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyah
Khusya’miyah bertanya kepada Rasul, “Hai Rasul Allah, ayahku adalah seorang yang
sangat tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji
untuk dia, apakah ada manfaat bagi dia?” Rasul menjawab, “Bagaimanakah
pendapatmu jika ayahmu mempunyai utang itu. Apakah yang demikian itu bermanfaat
baginya?” Jariyah menjawab, “Ya.” Kemudia Rasulullah bersabda, “Utang kepada
Allah itu lebih berhak.
(PENUTUP)
A. KESIMPULAN
Ajaran agama islam memiliki berbagai macam sumber hukum diantaranya adalah Al-
Qur’an sebagai sumber hukum pertama, hadits sebagai sumber hukum kedua, ijma’ sebagai
sumber hukum ketiga, qiyas sebagai sumber hukum keempat, dan sebagainya.
Ijma’ merupakan dasar hukum Islam yang dihasilkan dari ijtihad para mujahid yang telah
menyepakati hukum suatu masalah baru yang hukumya tidak terdapat pada Al-qur’an dan
hadits. Hukum ini dapat dikatakan ijma’ hanya apabila yang menetapkannya adalah seorang
mujahid di mana keputusan ini diambil bersama oleh para mujahid tersebut. Adapun dasar
hukum ijma’ terdapat pada Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 59 yang memerintahkan kita untuk
taat kepada Allah Swt, Rasul, serta Ulil Amri. Adapun rukun ijma’ yaitu dilakukan oleh para
mijtahid, ada kesepakatan terhadap hukum syara’ oleh para mujtahid, kesepakatan mereka
diiringi dengan pendapat mereka masing-masing secara jelas, dan kesepakatan tersebut
diwujudkan dalam suatu hukum. Syarat ijma’, antara lain adapun ijma’ memiliki beberapa
syarat sebagai berikut, yang bersepakat adalah para mujtahid ,yang bersepakat adalah seluruh
mujtahid, ijma' dilakukan setelah wafatnya rasulullah saw., kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan syari'at. Ijma’ terbagi menjadi Sembilan, yaitu Ijma’ Sharih, Ijma’
shahaby, Ijma’ ahli Madinah, Ijma’ Ahli Kufah, Ijma’ khalifah yang Empat, Ijma’ Syaikhani,
Ijma’ Ahli Bait. Contoh ijma’, yaitu dikumpulkan dan dilakukannya nash Al-Quran sejak asa
pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq adalah bentuk kesepakatan dan para ulama zaman
sahabat. Ide pengupulan Al-Quran ini berasal dari umar bin khattaab, tapi kemudian Abu-
Bakar Ash-Shiddiq mengumpulkan para ulama saat itu, shingga terjadi perdebatan, karena
hal itu itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Tetapi akhirnya par ulama menyepakati
ntuk mengumpulkan dan membukukan Al-Quran. Syarat seorang mujtahid adalah memiliki
pengetahuan tentang al qur’an, memiliki pengetahuan tentang sunnah, memiliki pengetahuan
tentang masalah ijma’ sebelumnya, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih, dan menguasai
ilmu bahasa arab.
Sedangkan qiyas adalah pemberian hukum terhadap suatu masalah baru yang ditetapkan
oleh para ulama’ dan ahli ijtihad. Penetapan ini boleh dilakukan seorang diri tanpa
B. SARAN
Semoga makalah ini dapat menjadi penambah ilmu bagi pembaca mengenai hukum islam
ijma’ dan qiyas. Semoga pembaca mengambil pelajaran yang baik dari makalah ini sehingga,
pembaca dapat mengetahui mengenai pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, hakikat,
P a g e 23 | Ijma’ dan Qiyas
pembagiannya, orang yang melakuakn ijma’ dan qiyas, kedudukanya, sebab dilakukan qiyas,
dan contohnya.
C. PENUTUP
Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan
saran demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi
yang ingin menambah khazanah kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki dari apa
yang telah disusun. Sehingga mudah-mudahan kedepannya bisa lebih baik.
Wassalamu,alaikum WR. WB.