Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun

mendatang terus meningkat yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6

juta pada tahun 2035. Jumlah paling banyak penduduk di Indonesia adalah

penduduk berusia 20-60 tahun sebanyak 51,8 % dengan jumlah penduduk pria

sebanyak 27,6% dan jumlah penduduk wanita sebanyak 24,2%. Jumlah orang

dewasa di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan antara 2-12% jiwa

tiap tahunnya (Anonim, 2013).

Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa 5% dari 208 pasien dewasa

menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit, dan sepertiga dari

pasien menggunakan obat yang tidak efektif 16% di antaranya merupakan obat

yang memiliki efek yang sama dalam suatu pengobatan (Schmader, Hanlon, dan

Pieper, 2004). Seorang pasien dikatakan dewasa bila berumur di atas 20 tahun

(Haffel, 2010). Survey yang dilakukan di USA menunjukkan 25% dari populasi

total menggunakan 5 atau lebih obat dalam satu minggu ini dan meningkat

menjadi 55% untuk pasien dewasa hingga usia 65 tahun ke atas (Chumney dan

Robinson, 2006). Semakin bertambahnya usia pasien biasanya pasien tersebut

menggunakan lebih banyak obat antara 2 sampai 9 obat dalam sehari karena akan

1
terjadi penurunan fungsi normal dari organ tubuh akibatnya akan semakin banyak

penyakit yang diderita oleh orang tersebut. Untuk mengatasi berbagai macam

penyakit yang diderita ini maka seseorang akan memerlukan terapi obat dalam

jumlah yang banyak (Christina, dkk, 2014).

Drug Related Problems (DRP) atau masalah terkait obat merupakan kejadian

tidak diinginkan yang dialami pasien bersangkutan yang terkait dengan terapi

obat sehingga menganggu pencapaian dari tujuanterapi. Penelitian di Inggris

menunjukkan adanya 8,8% kejadian Drug Related Problems (DRP) terjadi pada

93% pasien. Data Minnesota Pharmaceutical Care Project menunjukkan bahwa

17% dari masalah terapi obat yang telah diidentifikasi dan dikategorikan sebagai

pasien menerima obat yang salah. DRP terbagi dalam tujuh kategori, yaitu terapi

obat tidak tepat, pasien membutuhkan terapi obat tambahan, konsumsi obat yang

salah, dosis obat kurang dari dosis lazim, interaksi obat yang merugikan, obat

menyebabkan efek samping (Cipolle, et al, 1998).

Semua obat-obatan dapat menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan.

Pasien polifarmasi memiliki resiko lebih besar mengalami ADR (Adverse Drug

Reaction). Hal ini terjadi karena peningkatan frekuensi penggunaan obat dan

jumlah obat yang digunakan, di mana diketahui bahwa semakin bertambahnya

usia pasien maka pasien sering menderita berbagai jenis penyakit, sehingga

mengharuskan mereka mengkonsumsi berbagai jenis obat.selain itu Sangatlah

penting untuk mengetahui bagaimana interaksi obat yang benar supaya interaksi

obat tersebut tidak merugikan. Interaksi obat dikatakan sebagai faktor yang dapat

2
mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan yang diberikan. Umumnya obat

berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk ke dari lingkungan atau obat

lain. maka dari itu dalam makalah ini akan di bahas mengenai ADR, DRP

serta interaksi pada obat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari DRP ?

2. Bagaiman komponen dari DRP ?

3. Apa saja yang termasuk klasifikasi dari DRP ?

4. Bagaiman penyebab dan klasifikasi DRP ?

5. Apa definisi dari ADR ?

6. Bagaiman klasifikasi ADR ?

7. Apa saja faktor dari ADR ?

8. Bagaimana penilaian dugaan terjadinya ADR ?

9. Bagaimana identifkasi dari ADR ?

10. Apa definisi dari interaksi obat ?

11. Apa saja tipe interaksi obat ?

12. Bagaimana mekanisme dari interaksi obat ?

13. Bagaimana contoh interaksi obat ?

14. Bagaimana interaksi obat dengan makanan ?

15. Bagaimana hasil dari interaksi obat ?

3
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi DRP

2. Untuk mengetahui komponen DRP

3. Untuk mengetahui klasifikasi DRP

4. Untuk mengetahui penyebab dan klasifikasi DRP

5. Untuk mengetahui definisi dari ADR

6. Untuk mengetahui klasifikasi ADR

7. Untuk mengetahui factor dari ADR

8. Untuk mengetahui penilaian dugaan terjadinya ADR

9. Untuk mengetahui identifikasi dari ADR

10. Untuk mengetahui definisi dari interaksi obat

11. Untuk mengetahui tipe interaksi obat

12. Untuk mengetahui mekanisme dari interaksi obat

13. Untuk mengetahui contoh dari interaksi obat

14. Untuk mengetahui interaksi obat dengan makanan

15. Untuk mengetahui hasil dari inteaksi obat

D. Manfaat

1. Terpenuhinya tugas individu “mata kuliah farmakoterapi”

2. Bertambahnya wawasan mahasiswa mengenai ilm farmakoterapi kususnya

mengenai Drug related problem, Adverse drug reaction, serta interaksi obat

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DRP (Drug Related Problem)

a) Definisi

DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi

obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang

diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua

kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien,

kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnose penyakit, ketidak

mampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis,

sosiokultur atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut

dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

Society Consultant American Pharmacist menyebutkan bahwa tujuan dari

terapi obat adalah perbaikan kualitas hidup pasien melalui pengobatan atau

pencegahan penyakit, mengurangi timbulnya gejala, atau memperlambat

proses penyakit. Kebutuhan pasien berkaitan dengan terapi obat atau drug

related needs meliputi ketepatan indikasi, keefektifan, keamanan terapi,

kepatuhan pasien, dan indikasi yang belum tertangani. Apabila kebutuhan

5
tersebut tidak terpenuhi atau outcome pasien tidak tercapai maka hal ini dapat

dikategorikan sebagai DRP (Cipolle et al., 1998).

Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan

dan pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga

kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang

dikehendaki (Cipolle et al, 1998).

DRP aktual adalah DRP yang sudah terjadi sehingga harus diatasi dan

dipecahkan.Dalam hal ini pasien sudah mengalami DRP misalnya dosis

terlalu besar sehingga dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien. DRP

potensial adalah DRP yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami

oleh pasien apabila tidak dilakukan pencegahan, misalnya pasien apabila

diberikan suatu obat akan mengalami kontraindikasi sehingga harus diganti

dengan obat lain (Rovers et al, 2003).

b) Komponen DRP

Ada dua komponen penting dalam DRPs yaitu:

1. Kejadian atau resiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien.

Kejadian ini dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi,

fisiologis, atau sosiokultural pasien.

2. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak

diharapkan yang dialami oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini

meliputi konsekwensi dari terapi obat sehingga penyebab/diduga sebagai

6
penyebab kejadian tersebut,atau dibutuhkannya terapi obat untuk

mencegah kejadian tersebut.

Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:

a. Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya

Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau

premedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan

kontinyu.

b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai

Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik

kondisinya dengan terapi non obat,minum beberapa obat padahal

hanya satu terapiobat yang diindikasikan dan atau minum obat untuk

mengobati efeksamping.

c. Menerima obat salah

Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya resiko

kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat

yang tidak perlu dan bukan yang paling aman.

d. Dosis terlalu rendah

Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan

respon yang diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu

pendek,pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan obat tidak

tepat.

7
e. Dosis terlalu tinggi

Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka

waktu tidak tepat dan adanya interaksi obat.

f. Pasien mengalami ADR

Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila

obatdigunakan, efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan

pasien,interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan

terlalu cepatsehingga menyebabkan ADR dan mengalami efek yang

tidak dikehendakiyang tidak diprediksi.

g. Kepatuhan

Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat,

pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan,

pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal,

pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara

konsisten karena merasa sudah sehat (Cipolle et al, 1998).

c) Klasifikasi DRP

Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:

1. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obattetapi

pasien tidak mendapatkan obatuntuk indikasi tersebut.

2. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak

mempunyai indikasi medis yang valid.

8
3. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obatyang tidak

aman, tidak palingefektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.

4. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang

benartetapi dosis obattersebut kurang.

5. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang

benartetapi dosis obat tersebut lebih.

6. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang

merugikan.

7. Pasien mempunyai kondisi medis akibatinteraksi obat-obat, obat-

makanan, obat-hasillaboratorium.

8. Pasien mempunyai kondisi medis tetapitidakmendapatkan obat yang

diresepkan.

Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)

mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care

Network Europe., 2006) :

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug

Reaction/ADR) Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki

seperti efek samping atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan

memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk

9
penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat

diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai,

kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk

indikasi yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang

lebih besar atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak

menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang

tidak diresepkan.

5. Interaksi obat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang

bermanifestasi atau potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran

yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak

jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak

diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.

10
d) Jenis-jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi (Cipolle, etal.,
2004)

DRPs Kemungkinan kasus pada DRPs

Butuh terapi obat 1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi

tambahan obatnya yang terbaru

2. Pasien dengan kronik membutuhkan lanjutan terapi

obat

3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan

kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek

Terapi obat yang tidak 1. sinergisataupotensiasi


Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat

perlu 4. indikasi
Pasien dengan resiko pengembangan kondisi

2. kesehatan
Pasien yang mengalami
baru toksisitas
dapat dicegah dengankarena obat atau

hasil pengobatan
penggunaanobatprofilaksis

3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat,alkohol

dan rokok

4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik di

obati tanpa terapi obat

5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana

hanya sigle drug therapy dapat di gunakan

6. Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhan dapat

menghindari reaksi yang merugikan dengan

pengobatan lainnya

11
Obat tidak tepat 1. Pasien di mana obatnya tidak efektif

2. Pasien alergi

3. Pasien penerima obat yang tidak paling efektif untuk

indikasi pengobatan

4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikas


Dosis terlalu rendah 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat
i
yang digunakan
penggunaan obat
2. Pasien menerima kombinasi produk yag tidak p
e.Pasien menerima obat yang efektif tetapi
erlu dimana single drug dapat memberikan
ada obat lain yanglebihmurah
pengobatan yang tepat
f. Pasienmenerima obat efektif tetapi tidak aman
3. Pasien alergi
g.Pasienyangterkenainfeksiresistenterhadapobatyang
4. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
diberikan
menimbulkan respon

5. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah

range terapeutikyang diharapkan

6. Waktu prophylaksis (preoperasi) antibiotik diberi

kan terlalucepat

7. Dosisdan fleksibilitas tidakcukup untuk pasien

8. Terapi obat berubah sebelum terapetik perco

baan cukupuntuk pasien

9. Pemberian obat terlalu cepat

12
Reaksi obat merugikan 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat

digunakan

2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan intera

ksi dengan obat lainatau makanan pasien

3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan

pasien

4. Efek dari obat di ubah enzym inhibitor atau induktor

dari obat lain

Dosis telalu tinggi 5.


1. Efek
Dosisdari obat diubah dengan pemindahan obat dari
terlalutiggi

2. bindingsite
Konsentrasioleh
obatobat lainserum pasien diatas srange
dalam
6. terapi
Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan
obat yang diharapkan

3. obat
Dosislain
obat meningkat terlalu cepat

4. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak

tepat.
Ketidakpatuhan pasien 1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang
5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat
tepat (penulisan, obat, pemberian, pemakaian)

2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yan

g diberikan untuk pengobatan

3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena

harganya mahal

4. Pasien tidak mengambil beberapa obat

yang diresepkan karena kurang mengerti

Pasien tidak mengambil beberapa obat

yang diresepkan secara konsisten karena merasa


13
sudah sehat
2. ARD (Adverse Drug Reaction)

a) Definisi

Menurut WHO, ADR merupakan suatu respon yang tidak dikehendaki

& membahayakan pada penggunaan obat dosis lazim pada manusia, baik

untuk tujuan diagnosa, profilaksis, terapi maupun modifikasi fungsi fisiologis.

Sedangkan definisi efek samping adalah efek yang tidak diharapkan dari

sediaan farmasetik yang terjadi pada dosis lazim manusia, yang masih terkait

dengan sifat farmakologi obat tersebut.

b) Klasifikasi ADR

ADR dapat diklasifikasikan berdasarkan onset kejadian, keparahan, dan tipe

 Onset Kejadian

o Akut: Kejadian ADR yang timbul kira-kira 60 menit sejak obat

diberikan. Biasanya terjadi pada penggunaan parenteral.

o Sub akut: Kejadian ADR yang terjadi 1-24 jam sejak obat

digunakan.

o Laten: Kejadian ADR yang terjadi >2 hari sejak obat digunakan

 Tingkat Keparahan

o Ringan: Kejadian ADR yang tidak sampai membutuhkan terapi

tambahan pada pasien.

14
o Moderat: Kejadian ADR yang membutuhkan terapi tambahan

untuk pasien, namun tidak sampai menimbulkan kecacatan dan

mengancam jiwa pasien.

o Severe: Kejadian ADR yang sifatnya mengancam jiwa dan

menimbulkan kecacatan permanen.

 Tipe

o Tipe A

 Kejadian ADR yang terjadi akibat peningkatan efek

farmakologis obat

 Dapat diprediksikan-------> karena kejadiannya terkait

dengan efek farmakologis obat

 Bergantung dosis

 Bertanggungjawab pada 2/3 kejadian ADR

o Tipe B

 Sifatnya idionsikratik melibatkan reaksi imunologi

 Tidak bisa diprediksikan

 Kejadiannya jarang

 contohnya: penggunaan kloramfenikol yang dapat

menimbulkan anemia aplastik pada bayi------> grey baby

sindrome

 Tidak terkait efek farmakologis

15
o Tipe C

 Kejadian ADR yang terkait penggunaan obat jangka panjang

 Karena akumulasi dosis

 contoh: terjadinya interstisial nefritis dan toksisitas okular

akibat penggunaan fenasetin

o Tipe D

 Kejadian ADR yang sifatnya tertunda

 Tidak bergantung dosis

 contoh: efek teratogenik akibat penggunaan fenitoin----> fetal

hydantoin syndrome

c) Faktor Risiko ADR:

1. Usia (anak-anak & lanjut usia)

2. Multiple medication. contohnya: pasien TB

3. Multiple co-morbid condition

4. Obat diresepkan kurang tepat/tepat tapi tidak dimonitoring

penggunaannya

5. Disfungsi organ tahap akhir

6. Perubahan fisiologis.contohnya: ibu hamil. Saat hamil, progresteron

meningkat sehingga meningkatkan perfusi darah ke kulit, sehingga

absorbsi obat topikal dan p.o meningkat

7. Adanya riwayat ADR sebelumnya

16
8. Presdiposisi genetic

d) Penilaian dugaan terjadinya ADR

a. Certain : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abnormal,

terjadinya berhubungan dengan jarak waktu pemberian suatu jenis obat

tertentu, tetapi efek yang terjadi tidak dapat ada kaitannya dengan

penyakit yang diderita atau dengan obat yang lainnya. Efek yang

diakibatkan obat tersebut dapat dibuktikan secara farmakologi dan

fenomenologi. Apabila pemberian obat yang dicurigai dihentikan, akan

terjadi respon (dechallenge +).

b. Probable / likely : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium

abormal, diduga (kemungkinan besar) berhubungan dengan waktu

pemberian suatu obat, sangat kecil kemungkinan kaitan dengan efek

penyakit yang diderita atau dari jenis obat lainnya, yang akan terjadi

respon apabila pemberian obat itu dihentikan (dechallenge).

c. Possible : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abnormal

dengan dugaan berhubungan dengan pemberian suatu jenis obat, tapi

masih ada kemungkinan kaitan dengan efek penyakit yang diderita.

d. Unlikely : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium

abnormal, hubungan antara pemberian obat tertentu bersifat temporal

sehingga dugaan kaitan dengan obat tersebut kecil, tapi besar

kemungkinan berkaitan dengan penyakit yang diderita.

17
e. Conditional / unclassified : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil

laboratorium abnormal, namun belum ada data yang jelas mengenai kaitan

hubungan sebab-akibat dengan pemberian obat.

f. Unassesable / unclassifiable : Suatu laporan dugaan efek samping obat,

tapi tidak dapat dinilai kaitan hubungan sebab-akibat dari pemberian suatu

obat tersebut dikarenakan tidak cukupnya informasi yang diperoleh atau

kontradiksi, sehingga data tersebut tidak dapat diverifikasi

e) Identifikasi ADR

Baik dalam pengaturan rawat inap dan rawat jalan, gejala baru atau

memburuk pasien mungkin menjadi tanda pertama ADR. Di apotek

komunitas, pasien sering mencari saran dari apoteker untuk mengobati

berbagai gejala di rumah. Ini bisa menjadi peluang bagi apoteker untuk

menanyakan tentang gejala pasien untuk menentukan apakah mereka mungkin

disebabkan oleh ADR. Sebagai contoh, jika seorang pasien meminta apoteker

untuk rekomendasi untuk mengobati diare, apoteker dapat menanyakan

tentang obat lain yang diambil pasien untuk menentukan apakah diare adalah

ADR yang diketahui terkait dengan terapi obat, seperti dengan antibiotik.

Over-the-counter (OTC)

obat-obatan mungkin tidak diperlukan, dan diare dapat hilang setelah selesai

terapi antibiotik. Dalam pengaturan rawat inap, pasien dapat memberi tahu

perawat atau dokter mereka tentang gejala baru yang mereka alami, yang

18
dapat menyebabkan panggilan telepon ke apoteker. Meminta pertanyaan rinci

tentang gejala pasien, daripada segera memberikan rekomendasi pengobatan,

dapat mengungkap ADR dan mencegah terapi obat yang tidak perlu atau

gejala ADR lebih lanjut. Menyadari bahwa sebuah laboratorium atipikal atau

prosedur diagnostik telah dipesan dapat mengindikasikan bahwa ADR telah

terjadi. Tes laboratorium umum juga dapat membantu mengidentifikasi ADR.

Pesanan baru untuk tingkat obat serum dapat mengingatkan praktisi untuk

menyelidiki apakah ADR yang disebabkan oleh toksisitas obat atau kegagalan

pengobatan sedang terjadi. Pemantauan laboratorium dapat membantu

menentukan peningkatan atau penurunan setelah perubahan dalam terapi.

Nilai laboratorium juga dapat menetapkan fungsi organ dasar dan

membantu mengkonfirmasi atau mengesampingkan diagnosis alternatif.

Ketika memulai terapi obat baru, mungkin berguna untuk mendapatkan nilai

laboratorium dasar dalam mengantisipasi ADR. Misalnya, baselinedengan

statin sebagai antisipasi bahwa terapi dapat menyebabkan peningkatan nilai-

nilai laboratorium ini, berpotensi menyebabkan penghentian. Kelainan dalam

hasil laboratorium tidak berarti bahwa ADR telah benar-benar terjadi, tetapi

praktisi harus melihat lebih dekat pada pasien untuk menilai apakah ADR

adalah penyebab potensial Beberapa metode deteksi batang yang kurang jelas

dari obat-obatan skrining urutan baik dalam praktek rawat inap dan rawat

jalan. Seringkali, ADR dapat dideteksi dengan memperhatikan penghentian

obat yang mendadak dan tidak terduga atau peningkatan atau pengurangan

19
dosis yang substansial. Pesanan untuk obat baru kadang-kadang beri tahu

apoteker bahwa ADR telah terjadi. Obat-obatan seperti nalokson, flumazenil,

diphenhydramine, antiemetik, vitamin K, sodium polystyrene sulfonate,

kortikosteroid, atau antidiare mungkin merupakan tanda bahwa seorang

praktisi

mengobati ADR (Rozich 2003).

Cara lain untuk mengidentifikasi ADR adalah dengan membaca

catatan multidisipliner harian dalam bagan pasien. Catatan yang berkaitan

dengan oversedation, kelesuan, dan jatuh mungkin merupakan tanda ADR

yang disebabkan oleh analgesik, penenang, atau pelemas otot. Laporan ruam

di catatan kemajuan pasien mungkin menunjukkan ADR dan harus diselidiki

untuk penyebab terkait obat, seperti reaksi alergi atau infeksi ragi yang

disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan. Beberapa sistem

rekam medis elektronik dapat menyusun laporan untuk perubahan ambang

batas yang telah ditentukan dalam nilai laboratorium. Sebagai contoh, jika

sistem kesehatan menentukan bahwa peningkatan atau penurunan nilai serum

kalium dari 1 mEq / L dalam periode 24 jam adalah signifikan, pasien yang

serum potasiumnya turun dari 4 mEq / L hingga 3 mEq / L akan dimasukkan

dalam laporan. Apoteker atau penyedia layanan kesehatan lainnya kemudian

dapat memeriksa profil obat untuk menentukan apakah penurunan kalium

terjadi karena ADR (misalnya, diuretik dalam kasus ini)

20
3. INTERAKSI OBAT

a) Definisi

Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau

dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan

terjadinya peristiwa interksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik,

manakala dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan atau hampir

bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa pengaruh yang merugikan,

beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam praktek pengobatan,

misalnya saja peristiwa interaksi antara probenesid dengan penisilin, di mana

probenesid akan menghambat sekresi penisilin di tubuh ginjal, sehingga akan

memperlambat ekskresi penisilin dan mempertahankan penisilin lebih lama

dalam tubuh.

b) Tipe Interaksi Obat

Menurut Hussar (2007) tipe interaksi obat-obat yang dibedakan

menjadi 3 macam, yaitu :

1) Duplikasi yaitu menambah dua obat yang sama efeknya diberikan, efek

samping mungkin dapat meningkat.

2) Berlawanan yaitu kompilasi dua obat dengan aksi bendera diberikan cek

dapat digunakan, akibatnya obat menurun salah satu atau keduanya.

21
3) Perubahan Itu adalah obat yang mungkin dirubah melalui absorbsi,

distribusi, metabolisme, dan ekskresi oleh obat lain.

c) Mekanisme Interaksi Obat

Berdasarkan mekanismenya, bisa berubah menjadi satu Interaksi yang

digunakan oleh farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi

respon farmakodinamik obat.Beberapa interaksi yang dikenal sebagai

kombinasi lebih dari satu gejala (Fradgley, 2003).

1) Interaksi Farmakokinetik

Merupakan interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorbsi,

distribusi, biotransformasi atau eliminasi obat lain. Absorpsi dapat

diubah jika obat pengubah pH atau motilitas diberikan secara

bersamaan, seperti yang tampak pada pengobatan antitukak atau

antidiare tertentu (tetrasiklin dan kation divalen, kolestiramin dan obat

anion). Perubahan distribusi dapat disebabkan oleh kompetisi untuk

ikatan protein (ikatan obat sulfa dan bilirubin pada albumin) atau

pergeseran dari tempat ikatan-jaringan (digitalis dan pemblok kanal

kalsium atau kuinidin). Pada perubahan biotransformasi atau

metabolisme, sebagai contoh induksi digambarkan dengan jelas

oleh pengobatan ankonvulsan utama, yaitu fenitoin, karbamazepin dan

barbiturat, sedangkan inhibisi dapat ditimbulkan oleh antimikroba

kuinolon, makrolida, dan golongan azol. Pada perubahan ekskresi

22
dapat pula dimodifikasi oleh obat pengubah pH urin, seperti pada

inhibitor karbonat anhidrase, atau mengubah jalur sekresi dan

reabsorpsi, seperti yang disebabkan oleh probenesid. Interaksi

farmakokinetika secara umum menyebabkan perubahan konsentrasi

obat aktif atau metabolit dalam tubuh, yang memodifikasi respon

terapeutik yang diharapkan (Ashraf, 2012).

2) Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik terjadi antara obat-obat yang mempunyai

efek samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh

kompetisi pada reseptor yang sama atau terjadi antara obat-obat yang

bekerja pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi farmakodinamik

dapat diekstrapolasi ke obat lain yang segolongan dengan obat yang

berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan

persamaan efek farmakodinamiknya. Disamping itu, kebanyakan efek

farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat

dihindarkan bila dokter mengetahui mekanisme keja obat yang

bersangkutan (Ganiswara, 1995).

Menurut Stockley et al (2003) kemungkinan efek yang dapat terjadi pada

interaksi farmakodinamik antara lain :

23
 Sirnegisme atau penambahan efek satu atau lebih obat.

 Efek antagonisme satu atau lebih obat.

 Penggantian efek satu atau lebih obat.

Interaksi obat yang umum terjadi adalah sirnegisme antara dua obat

yang bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek

farmakologi yang sama. Sebaliknnya antagonisme terjadi bila obat

yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal

ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu

atau lebih obat (Fradgley, 2003).

d) Beberapa contoh Interaksi Pada Obat

1) Ranitidine dengan Paracetamol

Aksi terapeutik dari paracetamol (NSAIDs) kemungkinan dapat

diubah oleh ranitidine (Histamine H2 Antagonist). Dalam

manajemennya tidak ada tindakan klinik khusus (Tatro, 2006 : 737)

2) Ondansetrondengan Tramadol

Ondansetron dapat menurunkan efek dari tramadol di beberapa

pasien. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dari tramadol. Penggunaan

5-HT3 reseptor antagonis dengan tramadol dapat meningkatkan

serotonin sindrom dan juga dapat menurunkan efikasi analgesic dari

tramadol. Dalam manajemennya, pasien perlu melakukan

24
monitoring untuk tanda-tanda dari serotonin sindrom selama

pengobatan, jika serotonin sindrom berkembang selama terapi,

semua agen serotonergik harus dihentikan.

3) Albuterol dengan Ondansetron

Penggunaan beta-2-adrenergik dapat menyebabkan perpanjangan dose-

related dari hilangnya potassium. Sebagai efek tambahan dapat

meningkatkan resiko aritmia ventricular. Dalam manajemennya dapat

diberikan perhatian bahwa penggunaan beta-2-agonist dalam kombinasi

dengan obat lain dapat memperpanjang interval QT. Pasien dapat

disarankan untuk melihat tanda-tanda seperti flu, irama jantung yang

tidak teratur, dan nafas pendek. .

4) Albuterol dengan Antasida

Penggunaan antasida dapat menyebabkan kehilangan elektrolit

dan meningkatkan resiko aritmia ventricular. Elektrolit akan terganggu

dan juga termasuk hypokalemia dan hypomagnesemia. Manajemen

yang dapat dilakukan adalah memonitoring keseimbangan elektrolit

secara periodik.

25
5) Ondansetron dengan Antasida

Penggunaan antasida dapat menyebabkan kehilangan elektrolit

dan meningkatkan resiko aritmia ventricular. Elektrolit akan terganggu

dan juga termasuk hypokalemia

6) Furosemide dengan Digoksin

Elektrolit yang diinduksi oleh furosemide (diuretik) dapat terganggu

dan mempengaruhi digoksin (digitalis) dalam menginduksi

aritmia.Peningkatan eksresi urin dari potassium dan magnesium

mempengaruhi aksi otot jantung. Manajemen yang dapat dilakukan

adalah mengukur level plasma dari potassium dan magnesium

ketika menggunakan kombinasi kedua obat ini (Tatro, 2006 : 348).

7) Aspirin dengan Digoksin

NSAIDs kemungkinan dapat meningktakan konsentrasi plasma

dari digoksin, dengan menurunkan klirens renal. Manajemen yang

dilakukan adalah memonitor efek farmakologis dari digoksin dan

untuk meningkatkan level plasma.

e) Interaksi Obat Dengan Makanan

Ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat,

perubahan tersebut dianggap sebagai interaksi obat-makanan. Interaksi seperti

26
itu bisa terjadi. Tetapi tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan, dan

beberapa obat hanya dipengaruhi oleh makanan- makanan tertentu.

Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat-obat yang diresepkan, obat

yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen. Meskipun beberapa interaksi

mungkin berbahaya atau bahkan fatal pada kasus yang langka, interaksi yang

lain bisa bermanfaat dan umumnya tidak akan menyebabkan perubahan yang

berarti terhadap kesehatan tubuh.

Makanan dan obat dapat berinteraksi dalam banyak cara yang berbeda.

Sering, zat tertentu di dalam makanan memberikan efek. Perubahan-

perubahan lain dapat disebabkan oleh jumlah protein dalam diet anda, atau

bahkan cara makanan tersebut disiapkan. Salah satu cara yang paling umum

makanan mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah cara obat-obat

tersebut diuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh. Jenis protein yang disebut

enzim, memetabolisme banyak obat. Beberapa makanan dapat membuat

enzim-enzim ini bekerja lebih cepat atau lebih lambat, baik dengan

memperpendek atau memperpanjang waktu yang dilalui obat di dalam tubuh.

Jika makanan mempercepat enzim, obat akan lebih singkat berada di dalam

tubuh dan dapat menjadi kurang efekteif. Jika makanan memperlambat

enzim, obat akan berada lebih lama dalam tubuh dan dapat menyebabkan efek

samping yang tidak dikehendaki.

27
Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya

interaksi obat dengan makanan adalah :

a. Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan

pengosongan lambung dari saat masuknya makanan

b. Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu

c. Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran

cerna

d. Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan

kompleks

e. Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan

Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat dengan Makanan

Obat-obat yang dikonsumsi dapat saling mempengaruhi yang

dampaknya bisa negatif dan bisa juga positif bagi kesehatan. Saling

pengaruh yang terjadi bila kita menggunakan lebih dari 1 macam obat

disebut juga interaksi obat. Dalam praktek sehari-hari, interaksi obat jarang

dikatakan sebagai akibat kegagalan pengobatan. Sesungguhnya pemberian

obat kepada pasien yang terlampau banyak jenisnya, misalnya lebih dari 4

macam, sangat potensial menimbulkan efek yang tidak diinginkan akibat

interaksi obat. Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah

atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan

terjadinya peristiwa interksi harus selalu dipertimbangkan dalam

klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan atau hampior

28
bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa pengaruh yang

merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam praktek

pengobatan. Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau

terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak

dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi obat yaitu :

 Obat dengan indek terapi sempit.

 Obat yang mempunyai bioavaibilitas rendah.

 Formulasi obat.

 Stereokimia obat.

 Potensi obat.

 Obat yang mempunyai kurva dosis respon yang tajam / curam.

 Lama terapi / penggunaan obat.

 Dosis obat.

 Konsentrasi obat dalam darah dan jaringan (cairan tubuh).

 Waktu dan urutan penggunaan obat.

 Rute pemberian

f) Hasil Interaksi Obat

Hasil interaksi obat dengan obat adalah respon klinis atau farmakologis

dari suatu pemberian kombinasi obat, yang berbeda dari yang seharusnya

29
terjadi bila kedua obat-obat diberikansendiri-sendiri. Efek yang terjadi dapat

berupa :

1. Antagonisme (1+1<2)--> saling menurunkan khasiat dari masing-masing

obat Kegiatan obat pertama dikurangi atau bahkan ditiadakan sama

sekali oleh obat kedua yang memiliki khasiat farmakologis yang

bertentangan, misalnya adrenalin dan histamin. Contoh : ekspektoran +

antitusiv, adrenalin + antihistamin

2. Sinergisme (1+1>2)

Kerjasama antara dua obat dan dikenal ada dua jenis yaitu Adisi efek

kombinas adalah sama dengan kegiatan dari masing-masing obat

(1+1=2). Contoh : kombinasi asetosal dan parasetamol, juga trisulfa.

3. Potensiasi (mempertinggi potensi). Kegiatan obat dipertinggi oleh obat

kedua (1+1>2),Kedua obat dapat memiliki kegiatan yang sama seperti

estrogen dan progesteron,sulfametoksasol dan trimethoprim asetosal

dan kodein. Atau satu obat tidak memiliki efek bersangkutan misalnya

analgetik dan klorpromazin, benzodiazepin/meprobamat dan alkohol,

penghambatan MAO dan amfetamin dan lainnya Contoh :

Sulfametoksasol + Trimetoprim --> efek sinergesme Amoxicillin +

Asam Klavulanat --> Asam Klavulanat meningkatkan aktivitas

amoksisilin karena dapat memproteksi cincin beta laktam dari

amoxicillin.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. DRP

Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan

dan pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga

kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang

dikehendaki.

2. ARD

Suatu respon yang tidak dikehendaki & membahayakan pada penggunaan

obat dosis lazim pada manusia, baik untuk tujuan diagnosa, profilaksis, terapi

maupun modifikasi fungsi fisiologis

3. INTERAKSI OBAT

Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain

(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia

lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat

digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat

peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu

diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang

sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan

31
dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang

biasa digunakan bersamaan,

B. Saran

Diharapkan mahasiswa dapat mengerti serta menguasai mengenai pokok

bahasan dalam makalah ini. Semoga ilmu yang digunakan dapat bermanfaat.

32
DAFTAR PUSTAKA

BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association Royal

Pharmacetical of Great Britain, England.

Cipolle, R.J, Strand, L.M. & Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice

Mc Graw Hill Company, New York

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.

Fradgley, S., 2003, Interaksi Obat dalam Aslam, M., Tan., C.,K., dan Prayitno,

A., Farmasi Klinis, Penerbit PT. Elex Media Komputindo kelompok Gramedia,

Jakarta

Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Lorensia, A., Canggih, B. & Wijaya, R.I., 2013,Analisis Adverse Drug Reactions

pada Pasien Asma di Suatu Rumah Sakit, Surabaya. Jurnal Farmasi

Indonesia,

Strand, L. M., Morley, P. C., Cipolle, R. J., Ramsey, R., and Lamsam, G. D.,1990,

Drug-related Problems : their structure and function

Tatro D.S. 2006. Drug Interaction Fact, fifth Edition, facts and comparisons A.

California : Wolter Kluwer Company

33
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2006, PCNE Classification for

drug-related problems. Pharmaceutical care research.V5.01.

34

Anda mungkin juga menyukai