Anda di halaman 1dari 16

Soal

1. Bagaimana penanganan kegawat daruratan untuk kasus diskenario ?


2. Patofisiologi trauma capitis ?
3. Penanganan pasien kasus syok hipovolemik ?
4. Interpretasi pemeriksaan pada skenario ?
5. Jelaskan penanganan obstruksi jalan napas ?
6. Prinsip diagnosis pada skenario ?
7. Penyebab kondisi klinis yang dialami pasien ?
8. Komplikasi dan prognosis pasien ?
9. Penilaian primary survey ?
10. System rujukan pada skenario ?
11. Pemeriksaan penunjang pada kasus multiple trauma ?
12. Penanganan pada pasien sampai pemeriksaan konservatif ?

Jawab
1. Penanganan kegawat daruratan kasus diskenario
Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk
memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal
tersebut dapat dicapai dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan
volume replacement sesuai dengan protokol Advanced Trauma and Life
Support / ATLS. Bila dengan cara konservatif tidak bisa memberikan respon
yang positif maka dapat dilakukan immediate life-saving surgery.
Setelah dilakukan assessment dan intervensi awal maka kondisi pasien
sebaiknya diklasifikasikan diantara empat kategori dengan tujuan untuk
memandu langkah perawatan berikutnya. Keempat kategori tersebut adalah
stable, borderline, unstable, dan in extremis. Kategori ini berdasarkan atas
derajat keparahan trauma, adanya cedera spesifik, dan keadaan hemodinamik.
Sebelum pasien dimasukkan dalam salah satu kategori, terlebih dahulu harus
dicapai end points of resuscitation. Yang termasuk end points of resuscitation
adalah hemodinamik yang stabil, saturasi oksigen yang stabil, kadar laktat di
bawah 2 mmol/L, tidak ada gangguan koagulasi, temperatur yang normal,
urine output di atas 1 mL/kg/jam, dan tidak diperlukannya dukungan
inotropic.
Pertolongan Pertama pada patah tulang dan cedera sendi selama korban
masih di tempat kejadian cedera, ada pertolongan pertama yang dapat
dilakukan oleh masyarakat awam. Tatalaksana tersebut adalah pemasangan
bidai sederhana. Pemasangan bidai dilakukan setelah dipastikan tidak ada
gangguan pada pernapasan dan sirkulasi korban dan luka sudah ditangani.
Bidai bertujuan untuk mencegah pergerakan (imobilisasi) pada tulang dan
sendi yang mengalami cedera. Imobilisasi ini menghindari pergerakan yang
tidak perlu, sehingga mencegah perburukan patah tulang dan cedera sendi
serta menghindari rasa nyeri. Pemasangan bidai juga akan memberikan gaya
tarik dengan perlahan namun konsisten sehingga membantu mereposisi
bagian yang cedera mendekati posisi normalnya. Bidai sederhana dapat
dibuat dari bahan apapun yang kaku, seperti kayu, penggaris, atau tongkat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan bidai, yaitu:
Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: melewati sendi yang ada
di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus cedera sendi: mencapai
dua tulang yang mengapit sendi yang cedera. Bidai harus cukup kuat untuk
menghindari gerakan pada bagian yang patah, tulang atau sendi yang cedera,
namun tidak mengganggu sirkulasi. Bila tidak ada alat yang kaku untuk
dijadikan bidai, bagian tubuh yang cedera bisa diikatkan dengan bagian tubuh
yang sehat, misalnya dengan membalut lengan ke tubuh, atau membalut kaki
ke kaki yang sehat. Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang
mengalami deformitas, pasang bidai apa adanya.
Sumber: Tanto.C,et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Media
Aesculapius: Jakarta.
Helmi, Z.N. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.
3. Penanganan syok hipovolemik
Penatalaksanaan awal syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu
pada airway, breathing, dan circulation. Pastikan jalan napas paten dengan
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat
diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada
circulation, hal utama yang perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan
yang terlihat, lakukan akses intravena, dan nilai perfusi jaringan.
Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran
besar pada vena perifer. Namun, bila keadaan tidak memungkinkan pada
pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah sentral. Bila
kaketer intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, dan
tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
Langkah selanjutnya adalah resusitasi cairan. Tujuan dari resusitasi
cairan adalah untuk mengganti volume darah yang hilang dan mengembalikan
perfusi organ. Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan
secepatnya dengan dosis umum 1-2 liter untuk dewasa dengan cairan isotonik
NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan
dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik.
Pada transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan darah akibat
perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah. Jika
pasien sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan darah
spesifik tidak tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan
darah O. Golongan darah spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15
menit. Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok
hipovolemik. Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif
dari perfusi ginjal karena menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat.
Jumlah produksi urin yang normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang
dewasa. Defisit basa juga dapat digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi
morbiditas serta mortalitas pada pasien syok hipovolemik.
Sumber: Setiati, S., et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6.
Interna Publishing: Jakarta.

4. Interpretasi pemeriksaan pada skenario


Tanda vital :
TD : 60/palpasi (hipotensi)
HR : 124x/menit (takikardi)
RR : 32x/menit (takipnea)
Pemeriksaan laboratorium :
Hb : 6,8 gr/dl (anemia).

5. Penanganan obstruksi jalan napas


a. Cairan: dikeluarkan dengan suction, jika cairannya banyak lakukan
finger swab (kalau pasien bisa membuka mulut), lalu miringkan kepala/
Log Roll (hati-hati pada multitrauma, fraktur cervical, trauma kapitis dan
penurunan kesadaran, luka di wajah) pada keadaan tersebut lakukan
imobilisasi pada leher. Jika pasien tidak bisa membuka mulutnya,
lakukan “Cross Finger Technique” (teknik membuka mulut dengan
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk).Jika tidak teratasi lakukan
“Airway Definitif” dengan menggunakan “Endotrakeal Tube”.
b. Membuka jalan napas secara manual ada beberapa teknik, seperti:
Back Blow: menepuk pada bagian punggung pasien dengan
menggunakan tangan terkuat.

Heimlich Manuver: memeluk pasien dari belakang lalu mengatupkan


kedua tangan dan mendorong bagian dada sekuat mungkin.

Triple Manuver: “Head Tilt, Chin Lift, Jaw Trust”


c. Menggunakan alat pada obstruksi parsial, yaitu:
Oropharyngeal Airway; cara pemasangan:
- Bersihkan mulut dan faring dari segala kotoran.
- Masukkan alat dengan ujung.
- Saat didorong masuk mendekati dinding belakang faring, alat diputar
1800.
- Ukuran alat dan penempatan yang tepat menghasilkan bunyi nafas
yang nyaring pada auskultasi paru saat dilakukan ventilasi.
- Pertahankan posisi kepala yang tepat setelah alat terpasang.
- Jangan gunakan alat ini pada korban dimana reflex faring masih ada
karena dapat menyebabkan muntah dan spasme laring.

Nasopharyngeal Airway; cara pemasangan:


- Pilih alat yang sesuai.
- Lumasi dan masukkan menyusuri bagian tengah dan dasar rongga
hidung, hingga mencapai belakang lidah.
- Apabila ada tahanan dengan dorongan ringan alat diputar sedikit.
- Selalu periksa apakah nafas spontan timbul setelah pemasangan alat
ini.
- Apabila tidak ada nafas spontan, lakukan nafas buatan dengan alat
bantu nafas yang memadai.
- Bila tidak ada alat bantu nafas yang memadai, lakukan pernafasan
dari mulut ke mulut dengan menggunakan barier.

Sumber: Kuliah Pakar dr. Imtihanah Amri, M.Kes, Sp.An. 2018. Manajemen
Jalan Nafas. FK Untad: Palu.

6. Prinsip diagnosis
Anamnesis :
Nama : Tn. Baso
Keluhan utama : Trauma capitis, fraktur terbuka daerah femur.
Keluhan penyerta : Vulnum laserasi pada daerah dahi, hematom pada
daerah pipi kiri, terjadi perdarahan pada daerah
telinga, hidung dan mulut, muntah 2x,sesak dengan
nafas abdominal torakal.
Pemeriksaan fisik : Syok hipovolemik
Tanda vital TD : 60/palpasi
HR : 124x/menit
RR : 32x/menit abdominal thorakal asimetri (dada kiri tertinggal dari
yang kanan).
Pemeriksaan penunjang :
Radiologis didapatkan X-ray skull AP tampak fraktur os nasal dan ramus
mandibula kiri. Foto thoraks terdapat fraktur tulang kosta kiri dan
pneumothoraks kiri.
Leukositosis dan HB 6,8 gr/dl.
Diagnosis : Multiple trauma
8. Komplikasi dan prognosis
Gangguan yang biasa terjadi pada paru-paru pasca kecelakaan adalah
fraktur iga, kontusio (memar) paru, dan hematotoraks. Fraktur iga
merupakan cedera toraks yang terbanyak. Fraktur iga tidak termasuk ke
dalam fraktur yang dijelaskan sebelumnya karena efek dari fraktur ini lebih
kompleks daripada fraktur di daerah lain yaitu bisa mengganggu paru-paru
dan jantung. Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru,
sedangkan hematotoraks adalah terdapatnya darah di dalam selaput paru.
Trauma pertama yaitu trauma kepala, terutama jenis berat, merupakan
trauma yang memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk.
Sumber:Tanto.C,et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Media
Aesculapius: Jakarta.

9. Penilaian primary survey


A : Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol).

B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi. Tension pneumotoraks :


Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea midclavicularis
C : Circulation

D : Disability
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon

GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.
- Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah
penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan
ujung kuku jari tangan)
d. Tidak memberikan respon.
- Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan
apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon.
- Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah
penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)
e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan respon

E : Exposure/environmental control
Sumber: Tanto.C,et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Media
Aesculapius: Jakarta.
10. Sistem rujukan
Sumber : Zarei, Mohammad Reza. 2013. Modern Concept of Transport In
Multiple Trauma :A Narative Review.Chiness Journal of
Traumatology. Volume 16. Nomor 3. Diakses 20
Februari 2018. From http://www.ejournal.ac.id.

11. Pemeriksaan penunjang


Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse
oxymetry, doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan
lesi vaskular, tapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu
ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam mengetahui hasil
rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang
tertinggal. Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama
penanganan sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih
lama lagi. Arteriografi dilakukan bila terdapat keraguan diagnosis pada
reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga dianjurkan pada trauma
luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi kolateral
yang ada. Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma,
sirkulasi distal, dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi,
yakni 92-98%. Alat ini terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri
minimal yang dapat luput dari pengamatan karena minimalnya gejala
klinis yang ditampilkan.
Sumber: Yunisa A. 2010. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan. Victory
Inti Cipta: Jakarta.

12. Penanganan pasien sampai pemeriksaan konservatif


Penatalaksanaan syok hipovolemik adalah
- Pemberian posisi trendelenberg yangdimodifikasi dengan meninggikan
tungkai pasien,sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan
kepala agak dinaikan. Tujuannya,untuk meningkatkan arus balik vena
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi.
- Berikan infusRL (jika terpaksa NaCl 0,9%) 20 mL/kgBB dalam ½-1 jam,
dapat diulang. Apabila pemberian cairan kristaloid tidak adekuat/gagal,
dapat diganti dengan cairan koloid
- Bila dosis maksimal, cairan koloid tidak dapat mengoreksi kondisi syok,
dapat diberi noradrenaline, selanjutnya apabila tidak terdapat perbaikan,
dapat ditambahkan dobutamine.
- Sisa defi sit 8 jam pertama: 50% defi sit + 50% kebutuhan rutin; 16 jam
berikutnya : 50% defi sit + 50% kebutuhan rutin.

Penatalaksanaan fraktur
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
a. Menghilangkan rasa nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri,
namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk
mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan
juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur).
Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
- Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang.
- Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di
sekitar tulang yang patah
b. Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih mantap seperti
pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
- Penarikan (traksi) menggunakan beban untuk menahan sebuah
anggota gerak pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan,
tetapi dulu pernah menjadi pengobatan utama untuk patah tulang paha
dan panggul.
- Fiksasi internal dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan
atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang.
c. Penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4
minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun
terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga
dibutuhkan graft tulang.
d. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan
kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.
Sumber : Helmi, Z.N. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai